Indonesia di Iklim Reformasi

2 kebebasan pers menjadi lebih leluasa; 3 munculnya sikap profesionalisme dalam redaksi dan pengolaan bisnis. 12 Perkembangan pers pada masa ini diawali dengan berkembangnya situasi konflik yang membawa ketegangan di berbagai segi kehidupan sehingga masyarakat tergerak untuk mencari informasi melalui pers. 13 Karenanya tak heran jika pada periode ini jumlah pers bertambah banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari angka statistik yang dikeluarkan Serikat Penerbit Suratkabar SPS Pusat tahun 1971 yang menyatakan bahwa “pada tahun 1965 terdapat 111 harian dengan total tiras 1.432.850 eksemplar dan mingguan 84 buah dengan total tiras 1.153.800 eksemplar”. 14 Sedangkan pada tahun berikutnya, yakni 1966 berdasarkan hasil penelitian Judith B. Agassi terdapat 132 harian Indonesia dengan total tiras 2 juta eksemplar dan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.542.200 eksemplar. 15 Secara lebih jelas, perbandingan jumlah pers dan total tiras antara tahun 1965 dan tahun 1966 dapat dilihat pada tabel berikut: 12 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 21 13 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 21 14 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 1995, h. 45 15 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45 1965 1966 Jumlah Surat Kabar Harian 111 132 Total Tiras Surat Kabar Harian 1,4 juta 2 juta Jumlah Surat Kabar Mingguan 84 114 Total Tiras Surat Kabar Mingguan 1.15 juta 1,5 juta Tabel 3.1 perbandingan jumlah pers dan total tiras tahun 1965 dan 1966 Menurut Ahmad Zaini Abar, kenaikan tiras surat kabar, baik harian maupun mingguan pada tahun 1966 ini selain disebabkan oleh banyaknya pers baru yang bermunculan, juga didukung oleh kembalinya surat kabar lama yang pernah dibredel di masa demokrasi terpimpin. 16 Beberapa surat kabar yang sempat dibredel dan pada akhirnya kembali muncul pada periode ini di antaranya harian Merdeka terbit kembali Juni 1966, Berita Indonesia terbit kembali Mei 1966, Indonesian Observer terbit kembali September 1966. 17 Perkembangan signifikan yang terjadi pada tahun 1966 tersebut rupanya tidak bertahan lama. Setahun kemudian, atau tepatnya 1967, angka kenaikan jumlah pers maupun tiras yang diperoleh menurun drastis, bahkan lebih rendah dibanding tahun 1965, saat perkembangan 16 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45 17 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45 signifikan belum terjadi. 18 “Pada awal kebangkitannya, orde baru mewarisi hiper-krisis ekonomi yang mencapai titik puncak yang sangat mengkhawatirkan. Karena itu, penguasa orde baru melakukan usaha stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian secara besar-besaran dan drastis”. 19 Salah satu program stabilisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah pada masa ini adalah dengan mengurangi subsidi di berbagai sektor ekonomi, termasuk menghapus subsidi untuk kertas koran bagi pers. 20 hal ini tentu akan memengaruhi perekonomian dalam perusahaan pers, terlebih perusahaan pers yang belum begitu mapan. Perusahaan yang tadinya mendapat bantuan dana subsidi untuk membeli kertas koran, mulai sejak diberlakukannya kebijakan baru tersebut tentu harus mengeluarkan biaya pembelian kertas koran secara pribadi. Hal ini tentu saja secara otomatis akan memengaruhi ongkos produksi, yang selanjutnya berpengaruh pada harga jual. Lebih jauh lagi, harga jual akan berpengaruh pada minat beli masyarakat, yang akhirnya memengaruhi tiras surat kabar. Inilah yang secara berkelanjutan menjadi seleksi alam, mana pers yang tetap bertahan dan mana yang tidak. Selain mengalami perubahan dalam segi jumlah, pers Indonesia pada masa orde baru ini juga mengalami perubahan baik dari segi 18 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45 19 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 47 20 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 47 orientasi dan posisi pers, “peta ideologi” pers, serta persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers. 21 Pada tahun 1962- 1965, “peta ideologi” pers dapat digambarkan sebagai pers komunis dan pers simpatisannya yang menduduki posisi dominan dalam menciptakan opini publik dan politik serta memengaruhi kebijaksanaan pemerintah, dan pers lain yang menempati posisi periferal seperti pers agama, pers kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme BPS, dan pers militer. 22 Adapun pers agama merupakan pers yang berafiliasi dengan partai agama, di antaranya adalah harian Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan partai Naadhlatul Ulama NU, harian Sinar Harapan yang berafiliasi dengan Partai Kristen indonesia Parkindo, serta harian Kompas yang berafiliasi dengan partai katolik. 23 Pers kelompok BPS di antaranya surat kabar yang terbit di Jakarta seperti harian Merdeka, Berita Indonesia, Indonesian Observer, dan Warta Kota, di Medan seperti Indonesia Baru dan Waspada, di Semarang seperti Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, harian Suara Rakyat di Surabaya, dan Pikiran Rakyat di Bandung. 24 Pers militer yang terpenting adalah Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Harian Berita Yudha terbit pada 9 Februari 1965, di bawah control Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto. Harian Angkatan Bersenjata, terbit pada 15 Maret 1965 21 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 50 22 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 51-52 23 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 52 24 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 52-53 berada di bawah control Kepala Penerangan Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. 25 Pers militer ini diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS, dan penerbitan surat kabar ini juga merupakan usaha politik Angkatan Darat untuk mengisi kekosongan peran media yang saat itu banyak dilarang terbit oleh pemerintah dengan cara menahan dan melawan aksi informasi dari pers komunis. 26 Hal ini terjadi karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada masa itu pers komunis mendominasi “peta ideologi” pers. Namun akhirnya pada 1 Oktober 1965, seluruh pers komunis dan simpatisannya dibredel. 27 Namun kemudian seiring berjalannya waktu dan perubahan kondisi yang terjadi, beberapa surat kabar yang telah dibredel akhirnya kembali terbit, disertai dengan terbitnya “surat kabar baru yang kebanyakan dikelola oleh mahasiswa dan intelektual kampus di sekitar pertengahan 1966”. 28 Hal ini membuat dominasi pers militer dalam “peta ideologi” merosot, dan sejak pertengahan tahun 1966 tersebut “peta ideologi” pers berada dalam keadaan seimbang. 29 Selain mengalami perubahan dalam segi “peta ideologi”, pers pada masa orde baru ini juga mengalami perubahan dalam segi 25 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 53 26 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 53-54 27 Azhar Irfansyah dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya Pers itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia Part II”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http:indoprogress.com201405tentang-pasang-surutnya-badai-itu-riwayat-pers-kiri-di- indonesia-bagian-ii 28 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 56 29 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 56-57 persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers. Ahmad Zaini Abar mengatakan bahwa pada periode Demokrasi Terpimpin “persepsi, sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia telah melampaui batas- batas toleransi”. 30 Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers seakan-akan dilihat seperti sebuah senapan yang siap menembakkan peluru informasi ke arah massa atau masyarakat yang tak berdaya. 31 Jadi dalam hal ini terlihat bahwa penguasa Demokrasi Terpimpin pada masa orde baru ini menjadikan pers sebagai alat untuk melancarkan kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan pers disebut sebagai alat revolusi yang digunakan untuk menggerakkan massa melalui power yang dimilikinya. Jika pers dianggap sebagai “alat”, maka otomatis pemerintah tentu merasa harus menguasai pers agar dapat lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kehendaknya. Pada masa ini, surat kabar maupun majalah diwajibkan memiliki izin terbit. 32 Setiap penerbit pers yang mengajukan izin terbit tersebut diharuskan menyetujui 19 pasal perjanjian sebagai berikut: 33 1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan atau akan dikeluarkan diberikan oleh penguasa tertinggi dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan; 2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto Politik R.I. secara keseluruhan; 3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah; 30 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 60 31 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 60 32 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 62 33 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 62-64 4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959; 5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Undang- Undang Dasar 1945; 6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila; 7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia; 8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin; 9. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Ekonomi Terpimpin; 10. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional Indonesia; 11. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat Negara Republik Indonesia; 12. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memberantas imperialism dan kolonialisme, liberalism, federalism separatism; 13. Penerbitan kami wajib menjadi pembela pendukung dan alat pelaksana dari politik bebas dan aktif Negara Republik Indonesia serta tidak menjadi pembela pendukung dan alat dari perang dingin antar blok negara asing; 14. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Pancasila; 15. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Manifesto Politik R.I; 16. Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik; 17. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan- lukisan, atau gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak; 18. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan- lukisan, atau gambar-gambar yang mengandung penghinaan terhadap Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan Negara Republik Indonesia; 19. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan- lukisan, atau gambar-gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang berdasarkan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960. Ke 19 pasal yang menjadi syarat untuk mendapat izin terbit tersebut sangat jelas tergambar adanya kekangan dari penguasa kepada pers. Kewajiban-kewajiban pers yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut dianggap sangat efektif untuk mengebiri pers. 34 Pers tampak tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri dengan menyajikan berita sesuai dengan cara mereka. Bahkan topik pemberitaan pun sudah ditentukan dalam 19 pasal yang harus ditepati tersebut. Dengan demikian, akhirnya pers yang tersisa dan bersedia menyanggupi perjanjian tersebut adalah pers yang sudah jinak kepada pemerintah dan memiliki kesetiaan kepada pemerintah.

B. Sejarah Perkembangan Koran Kuning

Koran kuning atau yang dalam tradisi jurnalisme barat disebut sebagai yellow paper atau yellow journalism merupakan koran yang dikenal memiliki fokus pada penyajian berita yang sensasional dan memberikan penekanan sensasi tersebut berupa isu politik, kriminalitas, seksualitas, maupun gosip selebritis. 35 Apriadi Tamburaka mengatakan bahwa “penyebutan istilah yellow paper merujuk pada surat kabar yang mengabaikan norma dan kaidah jurnalistik dengan menampilkan sisi emosionalisme dan sensasional yang berlebihan”. 36 Dengan demikian secara tidak langsung Apriadi mengungkapkan bahwa koran kuning yellow paper merupakan surat kabar yang tidak layak karena tidak mengikuti norma dan kaidah jurnalistik yang berlaku. Tentu norma dan kaidah jurnalistik merupakan 34 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 64 35 Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning 1”, artikel diakses pada 11 Maret 2016 dari http:etnohistori.orgetnografi-sejarah-koran-kuning-1-lukman-solihin.html 36 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 pakem untuk menggiring surat kabar berjalan di jalur yang seharusnya, sesuai dengan nilai yang di anut masyarakat. Dalam TheFreeDictionary.com disebutkan bahwa “Yellow journalism, or the yellow press, is a type of journalism that presents little or no legitimate well-researched news and instead use eye-catching headlines to sell more newspaper”. 37 Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa koran kuning merupakan tipe surat kabar yang menyajikan berita tanpa benar-benar meneliti kebenarannya. Koran kuning juga sengaja menggunakan headline yang mencolok agar lebih laku dipasaran. Adapun pengertian koran kuning menurut para ahli seperti Baran, Shirley, Campbell, dan Frank Luther Mott adalah sebagai berikut: Menurut Baran, yellow paper diambil dari nama yellow kid, tokoh kartun populer, yellow journalism merupakan kajian yang melampaui batas seperti seks yang sensasional, kejahatan, berita bencana; dengan judul berita besar; ilustrasi yang berat; dan menitik beratkan pada cerita kartun dan warna. Judul berita dan gambar di halaman depan, penggunaan foto dan ilustrasi kartun merupakan karakteristiknya. 38 Menurut Shirley, yellow journalism merupakan “by extension, the term yellow journalism is used today asa pejorative to decry any journalism that treats news in an unprofessional or un ethical fashion”. Inti dari pernyataan Shirley tersebut adalah bahwa koran kuning 37 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 38 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 merupakan surat kabar yang memperlakukan berita secara tidak profesional dan tidak etis. 39 Definisi koran kuning menurut Campbell adalah surat kabar yang salalu menyajikan banyak kolom di halaman depan dengan banyak judul seperti olahraga dan skandal dengan menggunakan layout huruf bold disertai dengan ilustrasi dan warna yang berat dan sumber yang tidak jelas. Istilah ini menurut Campbell sempat digunakan untuk menggambarkan sebagian besar surat kabar di New York sekitar tahun 1990-an dalam pertarungan sirkulasi. 40 Selanjutnya Frank Luther Mott juga mengungkapkan pengertian koran kuning yellow paper yellow journalism. Menurutnya, yellow journalism ini memiliki lima karakteristik yakni: 1 menggunakan judul yang menggemparkan dengan dicetak huruf besar, sering kali justru hanya mengandung sedikit berita; 2 fokus kepada penggunaan gambar atau lukisan imajinatif; 3 menggunakan wawancara palsu, menyesatkan berita utama, pseudo-science, pengetahuan dari sumber yang bukan ahli; 4 menekankan pada warna penuh, biasanya dengan serangkaian gambar komik; dan 5 mendramatisasi rasa simpati sebagai pihak “underdog” melawan sistem yang ada. 41 Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa koran kuning merupakan surat kabar yang 39 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 40 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 151 41 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 151- 152