Sejarah Perkembangan Koran Kuning

merupakan surat kabar yang memperlakukan berita secara tidak profesional dan tidak etis. 39 Definisi koran kuning menurut Campbell adalah surat kabar yang salalu menyajikan banyak kolom di halaman depan dengan banyak judul seperti olahraga dan skandal dengan menggunakan layout huruf bold disertai dengan ilustrasi dan warna yang berat dan sumber yang tidak jelas. Istilah ini menurut Campbell sempat digunakan untuk menggambarkan sebagian besar surat kabar di New York sekitar tahun 1990-an dalam pertarungan sirkulasi. 40 Selanjutnya Frank Luther Mott juga mengungkapkan pengertian koran kuning yellow paper yellow journalism. Menurutnya, yellow journalism ini memiliki lima karakteristik yakni: 1 menggunakan judul yang menggemparkan dengan dicetak huruf besar, sering kali justru hanya mengandung sedikit berita; 2 fokus kepada penggunaan gambar atau lukisan imajinatif; 3 menggunakan wawancara palsu, menyesatkan berita utama, pseudo-science, pengetahuan dari sumber yang bukan ahli; 4 menekankan pada warna penuh, biasanya dengan serangkaian gambar komik; dan 5 mendramatisasi rasa simpati sebagai pihak “underdog” melawan sistem yang ada. 41 Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa koran kuning merupakan surat kabar yang 39 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 40 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 151 41 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 151- 152 menyajikan berita yang diraih dengan cara yang tidak profesional dan tidak etis, bahkan melampaui batas, dengan layout dan judul mencolok untuk tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, tentu terlihat bahwa koran kuning mengabaikan norma dan kaidah jurnalistik yang berlaku. Sisi emosional dan sensasi yang kerap dihadirkan oleh koran kuning menurut Yusuf Awaluddin dapat terlihat dari headline, lead, dan body berita. 42 Ketiganya dapat terlihat terlihat dari pemilihan kata, frasa, maupun kalimat berupa luapan emosi wartawan yang tampak dari narasi yang disajikan. 43 Apriadi Tamburaka menyebutkan penilaiannya terhadap koran kuning dari berbagai segi seperti: 1 dari segi pemberitaan, koran kuning mengabaikan kaidah jurnalistik yang ada; 2 dari segi pendidikan, koran kuning menurunkan kualitas pendidikan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar; 3 dari segi peliputan, koran kuning tidak mengindahkan kaidah liputan media yang menekankan pada objektivitas sehingga informasi menjadi bias; 4 dari segi akurasi pemberitaan, koran kuning cenderung mengabaikan pemberitaan yang berimbang, di mana sumber berita seperti korban menjadi eksploitasi pemberitaan tanpa adanya cover both side dan pengecekan ulang informasi. 44 42 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 153 43 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 154- 155 44 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 156 Demikian gambaran umum dari koran kuning, yang merupakan bagian dari media massa cetak yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan pers di Indonesia. Adapun mengenai perkembangan koran kuning itu sendiri ternyata tidak tercatat secara khusus dalam sejarah. Meskipun tidak ada catatan sejarah khusus mengenai perkembangan koran kuning di Indonesia, namun hal ini dapat ditelusuri dengan melihat lima periode perkembangan pers di Indonesia. Pertama, masa pra-1945 dengan ciri perlawanan terhadap penjajah; kedua, masa 1945-1949 dengan ciri mempertahankan kemerdekaan; ketiga, masa 1950-1959 dengan ciri kemelut liberalism; keempat, masa 1960- 1965 dengan ciri “politik adalah panglima”; dan kelima masa 1965- seterusnya dengan ciri menegakkan demokrasi Pancasila dan mendukung pembangunan. 45 Jika melihat pada periode perkembangan pers di Indonesia tersebut, maka dapat diketahui bahwa periode pertama hingga periode keempat merupakan masa di mana kondisi Indonesia masih genting pasca kemerdekaan. Hal ini juga akan memengaruhi pemberitaan yang dimuat. Dalam peristiwa genting semacam ini, berita yang lebih di prioritaskan tentulah berita yang berfokus pada kepentingan kenegaraan seperti kepentingan politis sebagai alat perjuangan.Pada masa itu juga diketahui bahwa pembaca surat kabar masih terfokus pada kalangan tertentu seperti kaum elite dan kaum terpelajar. 45 Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning 1”, artikel diakses pada 11 Maret 2016 dari http:etnohistori.orgetnografi-sejarah-koran-kuning-1-lukman-solihin.html Melihat fenomena ini, dapat diperkirakan bahwa koran kuning baru memiliki kemungkinan muncul pada periode kelima, di mana kondisi negara sudah mulai stabil. Terlebih ditandai dengan kemunculan Pos Kota sebagai koran kuning pertama pada tahun 1970. Karena itulah dapat disimpulkan bahwa titik awal perkembangan koran kuning berasal dari kemunculan Pos Kota di tahun 1970 atau bertepatan dengan periode kelima perkembangan pers di Indonesia. Selain Pos Kota, koran kuning yang saat ini kerap diperbincangkan adalah Lampu Hijau.

C. Gambaran Umum Surat Kabar Lampu Hijau

46

1. Profil dan Sejarah Lampu Hijau

Gambar 3.1 logo surat kabar Lampu Hijau Surat kabar Lampu Hijau adalah metamorfosis dari surat kabar Lampu Merah. Surat kabar Lampu Merah mulai terbit tanggal 26 November 2001. Dibentuk atas gagasan Margiono selaku Direktur Utama Rakyat Merdeka Group. Lampu Merah sendiri berada di bawah Rakyat Merdeka Group dan secara manajemen juga berada di bawah pengelolaan manajemen Rakyat Merdeka Group. 46 Wek Anggoro, “Company Profile LH”, profil perusahaan diterima via email pada 19 April 2016 dari wekanggorogmail.com Latar belakang munculnya surat kabar Lampu Merah bermula dari pemikiran untuk membuat sebuah koran segmentif. Ada beberapa segmen yang dipilih, di antaranya hiburan, politik, sosial budaya, café n resto, tapi akhirnya dipilih segmen kriminal. Pada akhirnya segmen yang terpilih adalah kriminal karena belum ada satu koran pun di Indonesia yang khusus menyajikan semua berita tentang kriminal. Nama Lampu Merah sendiri muncul secara spontan dan langsung disepakati. Pertimbangan Lampu Merah dengan segmen kriminal karena selama ini masyarakat Indonesia buta akan informasi kriminal secara menyeluruh. Rakyat Merdeka Group yakin Lampu Merah akan berkembang pesat. Sejak awal, Lampu Merah mengusung motto: love, peace and friend. Maknanya Lampu Merah ada sebagai sebuah wujud cinta dari orang-orang yang berada di dalamnya, untuk mengabdikan diri pada perusahaan dan masyarakat, demi memenuhi kebutuhan informasi seputar kriminal. Adanya informasi seputar kejahatan, diharapkan mampu memberikan rasa aman, damai dan ketenangan bagi masyarakat. Dan, dalam kehidupan sehari-hari, Lampu Merah membangun relasi dengan banyak rekan, demi tercapainya sebuah informasi yang berimbang seputar berita kriminalitas. Hanya perlu waktu setahun, Lampu Merah sudah mencapai tiras di atas 70 ribu eksemplar per hari. Dalam setahun, Lampu Merah sudah memperoleh banyak keuntungan sehingga sudah tidak memiliki utang, baik ke percetakan maupun Rakyat Merdeka Group. Selanjutnya, Lampu Merah pernah mencapai tiras di atas 130 ribu eksemplar per hari. Berdasarkan survei AC Nielsen, Lampu Merah langsung bercokol di peringkat ke 3 untuk koran terbesar tingkat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Jabodetabek dan Nasional pada saat itu. Dalam perkembangannya, Lampu Merah kemudian berganti nama menjadi Lampu Hijau, tepatnya pada 18 Oktober 2008. Hal ini adalah sebuah evolusi untuk memperbaiki nama Lampu Merah yang terlanjur dicap sebagai koran porno. Bergantinya nama diharapkan mampu mengubah citra yang melekat. Lampu Hijau lebih soft dalam pemberitaan, meski tidak mengubah gaya penjudulan yang atraktif, inovatif, menarik dan selalu menampilkan sisi unik. Perubahan yang menonjol bisa dilihat dari segi layout, headline, rubrik, isi, fotogambar dan bahasa penulisan. Dari segi layout, Lampu Hijau lebih rapi dari Lampu Merah dan lebih elegan. Dari sisi rubrik, Lampu Hijau lebih banyak rubrik kreatif, dibanding Lampu Merah. Dari sisi fotogambar, Lampu Hijau mengurangi foto berdarah-darah, sadistik dan foto-foto yang lebih sopan. Dari sisi bahasa dan penulisan, Lampu Hijau tak berbeda banyak dengan Lampu Merah, karena Lampu Hijau tetap ingin menampilkan gaya atraktif yang inovatif dan mudah dipahami oleh komunikan atau masyarakat pembaca sesuai segmentasi Lampu Hijau yang menengah ke bawah. Adapun jumlah