Graen dan Uhl-Bhien 1995 mengungkapkan hal mendasar dari teori LMX ialah seorang pemimpin tidak akan memberi perlakuan
dan membangun relasi yang sama dengan setiap anggotanya. Setiap anggota atau bawahan pastinya memiliki kualitas relasi dan perlakuan
yang berbeda-beda dengan pemimpinnya. Maka kualitas tersebut akan berkisar dari kualitas LMX yang rendah sampai dengan kualitas LMX
yang tinggi Rockstuhl et al. 2012. Kualitas LMX yang rendah merupakan relasi antara atasan
dengan karyawan yang hanya didasarkan pada tuntutan formal kontrak kerja semata. Dengan kata lain, hubungan karyawan dengan atasannya
hanya sebatas tanggung jawab yang ada dalam job desk dan karyawan dibayar sesuai dengan ketentuan yang ada Bakker, Breevehart,
Demerouti Heuvel, 2013. Sebaliknya, kualitas LMX yang tinggi bukanlah relasi atasan dan bawahan yang dibangun hanya
berlandaskan kontrak kerja semata, melainkan menyangkut aspek- aspek afektif seperti kepercayaan, saling menghormati dan rasa
tanggung jawab bersama dalam perusahaan. Masyln dan Uhl-Bien 2001 menyebutkan bahwa jika kualitas
LMX dalam sebuah tim kerja relatif tinggi maka, beberapa manfaat positif akan didapatkan oleh pemimpin maupun karyawannya. Hal
positif tersebut berupa kepuasan kerja yang tinggi, efektifitas kerja yang meningkat, komunikasi yang lebih intim dan terbuka, juga
meningkatkan perilaku extra role behaviour. Sedangkan kualitas LMX PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang relatif rendah, diketahui akan memberikan dampak yang negatif bagi bawahan, dalam hal pekerjaan dan karir di perusahaan. Pada
kualitas LMX yang rendah, bawahan akan memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi dengan atasan. Sehingga, informasi yang didapatkan
otomatis juga akan terbatas. Hal ini akan dapat menyebabkan kepuasan kerja yang rendah, efektifitas pekerjaan yang rendah, rendahnya
komitmen terhadap organisasi dan turnover yang tinggi Maslyn Uhl-Bien, 2001.
Berdasarkan definisi
yang telah
dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa leader-member exchange LMX merupakan kualitas interaksi dan hubungan yang terjalin antara pemimpin dengan
bawahannya dimana pemimpin memiliki kualitas LMX yang berbeda dengan setiap bawahannya. Kualitas tersebut akan berkisar dari
kualitas LMX yang tinggi sampai dengan kualitas LMX yang rendah.
2. Dimensi Leader-Member Exchange LMX
Kualitas LMX dapat dilihat berdasarkan pada tiga bentuk dimensi yaitu: perilaku terkait tugas-tugas yang ada kontribusi,
loyalitas terhadap satu dengan yang lainnya loyalitas, dan perasaan saling “menyukai” antara atasan dengan bawahan afeksi Dienesch
Liden, 1986; Graen Uhl-Bien, 1995. LMX dapat diidentifikasi jika terdapat satu, dua atau ketiga dari bentuk pertukaran tersebut. Dalam
perkebangannya, LMX diketahui memiliki multidimensional konsep. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Namun seiring dengan perkembangannya, beberapa literatur dan penelitian yang ada telah menambahkan satu bentuk dimensi lagi
ke dalam konsep LMX, sehingga terdapat empat dimensi yang dapat dijadikan tolak ukur LMX. Keempat dimensi tersebut meliputi
Kontribusi contribution atau persepsi tentang segala kegiatan yang berorientasi pada pekerjaan atau job desk dalam perusahaan work-
oriented activities dan tugas di tingkat tertentu yang dilakukan oleh
setiap anggota kelompok untuk mencapai tujuan organisasi baik secara eksplisit maupun implisit, Loyalitas loyalty yaitu sejauh mana
pemimpin dan anggotanya saling menunjukkan dukungan terhadap sikap maupun karakter pribadi satu dengan yang lain, Afeksi affect
timbal balik dan perasaan saling memiliki yang disebabkan karena daya tarik interpersonal bukan karena nilai-nilai profesionalisme kerja
semata, dan penghormatan professional professional respect persepsi
mengenai sejauh mana setiap anggota dari sebuah tim kerja telah membangun reputasi pribadi baik di dalam maupun di luar organisasi
Liden Masylin, 1998; Masylin Uhl-Bien, 2001.
3. Dampak dari Leader-Member Exchange
Demerouti, Breevaart dan Heuvel 2015 mengungkapkan bahwa kualitas LMX yang tinggi akan berkorelasi dengan outcomes
yang positif seperti kepuasan kerja, Organizational Citizenship Behaviour
dan komitmen terhadap pekerjaan. Selain itu, LMX yang tinggi juga dapat menimbulkan perilaku-perilaku positif pada
karyawan seperti
performansi tinggi,
komitmen organisasi,
kepercayaan terhadap organisasi, loyalitas terhadap organisasi, dan rendahnya tingkat turnover dalam Ozdevecioglu, 2015
Karyawan yang memiliki kualitas relasi yang baik dengan atasannya akan merasa memiliki tanggung jawab untuk membalas
perlakuan tersebut. Biasanya, perasaan bertanggung jawab tersebut akan diungkapkan dengan perilaku-perilaku dan kinerja extra-role
Zhao, 2014. Sebaliknya, karyawan dengan kualitas LMX yang rendah, akan memiliki negative reciprocity beliefs dimana karyawan
tersebut percaya bahwa LMX dapat merusak keadilan dalam lingkungan kerja. Hal ini dikarenakan secara teori, pemimpin akan
membangun relasi dengan setiap bawahan dan kualitas relasi tersebut dapat berbeda-beda satu dengan lainnya mulai dari relasi yang buruk
dan lemah sampai dengan relasi yang kuat dan menimbulkan kepercayaan Dhivya Sripirabaa, 2015.
Di sisi lain, Handoyo dan Sandjadja 2012 mengungkapkan bahwa LMX yang tinggi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif
bagi organisasi. Dukungan dan relasi yang baik dengan atasan berpotensi membuat seorang karyawan merasa malas dan merasa
bahwa mengerjakan job desk saja sudah cukup sehingga, terjadi sebuah fenomena yang dinamakan dengan social loafing. Social loafing
merupakan keadaan dimana seorang karyawan akan merasa posisi atau kedudukannya aman dalam perusahaan sehingga tidak menunjukkan
keterlibatannya dan hanya terbatas pada melakukan perilaku in-role nya saja. Handoyo Sandjadja, 2012.
Meskipun demikian, karyawan dengan LMX yang berkualitas akan menjadi lebih terlibat engage dalam organisasi dan pekerjaan
mereka. Hal ini dikarenakan tingginya kualitas LMX dapat menimbulkan motivasi intrinsik individu untuk melakukan tugas dan
pekerjaan sebaik mungkin dan berusaha untuk memajukan organisasi Bakker et al. 2013
C. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Konsep mengenai employee engagement terbilang baru, tetapi sudah populer dalam bidang pengembangan dan sumber daya manusia
Rana, Alexandre Oleksandr, 2014. Konsep ini mulai muncul dan diperbincangkan dalam penelitian dan literatur bisnis dan organisasi
sejak dua dekade yang lalu. Adalah Khan 1990 yang pertama kali mencetuskan
engagement dalam
penelitian akademik
yang dilakukannya Guest, 2014.
Kemunculan engagement merupakan tindak lanjut dari penelitian mengenai burnout dan sebagai upaya dalam melihat well-
being pada karyawan. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan
terhadap burnout pada karyawan menjelaskan engagement sebagai perilaku yang berkebalikan atau positive antithesis dengan perilaku