baik lagi dan perlu adanya kesepakatan-kesepakatan kerjasama agar dapat berkelanjutan. Bahkan kemitraan antara petani dengan perusahaan lokal seperti
kasus di Desa Leuwibudah dalam penelitian Lestari 2011 sudah mencapai tingkat Prima Utama, dimana kemitraan usaha tersebut perlu dikembangkan dan
terus dilanjutkan, karena saling membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat dan menghidupi.
5.5 Pendapatan Responden dan Kontribusi Tanaman Kerjasama bagi
Pendapatan Rumah Tangga
Jumlah pendapatan masing-masing responden bervariasi disebabkan oleh perbedaan mata pencaharian. Pendapatan dihitung dari perolehan responden baik
dari pekerjaan kehutanan maupun non kehutanan dalam jangka waktu satu tahun terakhir, yaitu tahun 2010. Pendapatan dari kehutanan diperoleh dari upah yang
diterima dari kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman kerjasama sampai dengan tahun berjalan dan tanaman tumpang sari berupa tanaman perkebunan dan
pertanian seperti jeruk, pisang, petai, jengkol, mangga dan lain-lain. Saat ini komoditi hasil tumpang sari yang utama adalah pisang. Sedangkan pendapatan
non kehutanan diperoleh dari hasil berdagang, beternak, wirausaha, jasa, upah atau gaji sebagai buruh, pegawai, sales, kuli bangunan dan lain-lain.
Untuk mengetahui pengaruh luas lahan garapan dan kontribusi kehutanan maupun non kehutanan terhadap pendapatan rumah tangga dilakukan
penghitungan pendapatan rata-rata berdasarkan luas lahan yang dimiliki responden. Kontribusi dari kehutanan berasal dari tanaman kerjasama dan
tumpang sari, dihitung besarnya kontribusi masing-masing terhadap total pendapatan rata-rata. Selanjutnya dihitung kontribusi keduanya tanaman
kerjasama dan tumpang sari terhadap total pendapatan rata-rata. Selain itu dihitung pula kontribusi dari luar kehutanan terhadap total pendapatan rata-rata.
Data penghasilan responden dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 15 Pendapatan rata-rata responden tahun 2010
Sumber Pendapatan Rata-rata RpRespondenTahun
1 Ha 1-3 Ha
3 Ha Kehutanan
1.866.000 22,4 2.116.000
23,31 3.096.000 48,56
a. Tanaman
kerjasama 630.000
7,55 1.653.750 18,22 3.240.000
50,82 b.
Tumpang sari 1.793.333
21,50 1.528.000 16,84 1.800.000
28,23 Non Kehutanan
8.093.750 97,04 9.211.853
101,50 4.099.000 64,30
Jumlah 8.341.000
9.076.067 6.375.200
Tabel 14 memberikan informasi bahwa sampai penelitian dilakukan, pendapatan rata-rata responden dari kegiatan tumpang sari jauh lebih besar
dibandingkan pendapatan dari tanaman kerjasama. Hal ini dikarenakan saat penelitian dilakukan tanaman Mindi Melia Azedarach dan Sengon
Paraserianthes falcataria yang dikerjasamakan masih berumur 2 tahun dari daur 8 tahun. Sehingga pendapatan yang diperoleh baru berasal dari upah kegiatan
penanaman dan pemeliharaan, itu pun tidak diikuti oleh semua responden karena adanya aktivitas lain yang tidak dapat ditinggalkan serta banyaknya tenaga kerja
yang didatangkan dari luar. Pendapatan non kehutanan lebih besar daripada kehutanan, hal ini karena sebagian besar responden memiliki lebih dari satu
pekerjaan sampingan, selain itu keadaan biofisik dan aksesibilitas yang kurang mendukung mengakibatkan hasil tumpang sari tidak maksimal.
Data dalam tabel 14 juga menjelaskan bahwa semakin luas lahan garapan, maka pendapatan rata-rata responden dari kehutanan, baik dari tanaman kerjasama
maupun tumpang sari juga meningkat. Kontribusi tanaman kerjasama bagi responden yang memiliki lahan 1 Ha hanya 7,55 dari total pendapatan rata-
rata, sedangkan bagi responden dengan luas lahan 1 – 3 Ha dan 3 Ha tanaman
kerjasama memberikan kontribusi masing-masing sebesar 18,22 dan 50,82 terhadap total pendapatan rata-rata. Kontribusi kehutanan terhadap total
pendapatan rata-rata rumah tangga responden dengan luas lahan garapan 1 Ha adalah Rp 1.866.000,-tahun atau 22,40, untuk responden dengan lahan seluas 1
– 3 Ha sebesar Rp 2.116.000,-tahun atau 23,31, sedangkan untuk responden dengan luas lahan garapan 3 Ha adalah sebesar Rp 3.096.000,-tahun atau
48,56.
Tetapi tidak demikian halnya dengan total pendapatan rata-rata, responden dengan luas lahan garapan 1
– 3 Ha memiliki pendapatan total rata-rata tertinggi, yaitu Rp 9.076.067,-tahun. Sedangkan total pendapatan rata-rata responden yang
memiliki luas lahan 3 Ha hanya Rp 6.375.200,-tahun, hal ini dikarenakan jumlah pendapatan mereka dari non kehutanan lebih kecil. Sebaliknya responden
dengan luas lahan garapan 1 Ha dan 1 – 3 Ha memiliki pendapatan dari non
kehutanan yang lebih besar dibandingkan dari kehutanan. Persentase pendapatan non kehutanan untuk petani dengan luas lahan 1
– 3 Ha besarnya melebihi 100 dikarenakan perbedaan jumlah pembagi. Pendapatan
rata-rata non kehutanan dihitung dengan membagi jumlah total pendapatan yang bersumber dari non kehutanan dengan jumlah responden yang memiliki
pendapatan dari non kehutanan, sedangkan rata-rata total pendapatan dibagi dengan jumlah seluruh responden dari masing-masing tingkat luasan pemilikan
lahan. Petani telah mencoba menanam beberapa jenis komoditi perkebunan lain
seperti kopi dan porang, tetapi kondisi tanah yang keras dan menjadi retak-retak saat musim kemarau menyebabkan kedua jenis tanaman tersebut tidak dapat
tumbuh dengan baik di lokasi penelitian. Salah satu solusi yang mungkin dapat dilakukan adalah menanan jenis tanaman yang tahan naungan seperti kencur, jahe,
lengkuaslaos dan lain-lain. Kondisi jalan menuju lokasi kerjasama di Desa Kutanegara masih berupa jalan tanah yang sempit dan menjadi becek jika turun
hujan Gambar 5a dan 5b. Sarana aksesibilitas yang sulit menyebabkan hasil tumpang sari petani dibeli dengan harga murah, harga beli pisang di Desa
Kutanegara hanya Rp 500,- – Rp 700,-kg. Sedangkan hasil tumpang sari dari
desa Mulyasejati dibeli dengan harga sedikit lebih tinggi, yaitu Rp 700,- –
Rp 1.000,-kg karena kondisi jalan menuju lokasi sudah lebih baik yaitu berupa jalan berbatu yang lebar Gambar 5c.
a b
c Gambar 5 Kondisi jalan menuju petak kerjasama di Desa Kutanegara a b dan
di Desa Mulyasejati c.
5.6 Pengeluaran Responden