Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Kutanegara menurut mata pencaharian No
Mata Pencaharian Jumlah orang
1 Karyawan
d. Pegawai Negeri Sipil
e. A B R I
f. Swasta
4 1
97 0,11
0,03 2,61
2 Wiraswastapedagang
59 1,58
3 Tani
1.209 32,47
4 Pertukangan
72 1,93
5 Buruh Tani
2.280 61,24
6 Pensiunan
1 0,03
Total 3.723
100,00
Sumber: Data monografi Desa Kutanegara tahun 2007
Perangkat Desa Kutanegara terdiri atas 1 orang Kepala Desa, 1 orang Sekretaris Desa, 6 orang Kepala Urusan, 3 orang Kepala Dusun dan 30 orang
Petugas Teknis serta dibantu oleh 5 orang pengurus RW dan 12 orang pengurus RT. Lembaga Musyawarah Desa LMD dibentuk pada tanggal 13 September
2006 dan beranggotakan sebanyak 8 orang. Selain itu juga terdapat beberapa kelembagaan desa, yaitu BPD, LPM dan PKK. Bidang keamanan dan ketertiban
di Desa Kutanegara cukup aman dan terkendali, hal ini didukung dengan adanya 12 orang Hansip terlatih, 9 buah pos kamling dan 6 kelompok peronda kampung.
Sarana pendidikan yang dimiliki yaitu sebuah taman kanak-kanak TK dan 3 buah SD. Sarana keagamaan yang dimiliki berupa 7 buah Mesjid dan 5 buah
Mushola, 6 buah Majelis Ta’lim dan 1 buah pesantren. Desa Kutanegara juga memiliki 5 club Sepak Bola, 5 club Volley Ball dan 1 club Bulu Tangkis. Selain
itu untuk mengembangkan bidang kesenian, di Desa Kutanegara juga terdapat 1 grup Wayang Golek dan 1 grup Odong-odong.
4.3 Pengelolaan Hutan di RPH Kutapohaci Sebelum Kerjasama dengan
PT KIFC
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH Teluk Jambe terdiri atas tiga Resort Pemangkuan Hutan RPH, yaitu RPH Kutapohaci, RPH Pinayungan dan
RPH Wanakerta. Masalah utama yang terjadi di BKPH Teluk Jambe KPH purwakarta adalah masalah tenurial yang juga banyak terjadi di KPH-KPH
lainnya di Perum Perhutani. Kepadatan penduduk di Pulau jawa yang semakin meningkat menyebabkan terjadinya perambahan dan penyerobotan kawasan hutan
untuk dijadikan pemukiman. Masyarakat tidak hanya tinggal di sekitar hutan, melainkan juga di dalam kawasan hutan itu sendiri.
Pada tahun 1987 di BKPH Teluk Jambe terdapat tanaman Acacia mangium yang tersebar di tiga RPH. Tanaman tersebut ditanam dengan dana dari Bank
Dunia. Tahun 1989-1990, yaitu pada masa orde baru, terdapat wacana bahwa kawasan hutan Teluk Jambe akan dijadikan kawasan industri, sehingga pada
tahun 1990-1991 seluruh karyawan Perum Perhutani di BKPH Teluk Jambe dimutasi. Kekosongan petugas dan berita bahwa kawasan hutan Teluk Jambe akan
dijadikan kawasan industri menyebabkan masyarakat berbondong-bondong mulai memasuki kawasan hutan, menggarap lahan bahkan membangun pemukiman, hal
ini terjadi sejak tahun 1994. Selain itu, banyaknya masyarakat yang bermukim dan menggarap lahan di dalam kawasan hutan serta ingin memiliki lahan juga
merupakan dampak dari euphoria reformasi dan tidak terlepas dari adanya unsur politik.
Saat terjadi krisis moneter pada era reformasi, tepatnya pada tahun 1996, ada wacana dari pemerintah bahwa masyarakat boleh menggarap dan
memanfaatkan lahan tidur atau lahan kosong. Pada kasus di BKPH Teluk Jambe lahan tidur yang dimaksud adalah lahan yang tidak termasuk atau berada di luar
kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan industri. Tetapi masyarakat salah menafsirkan, sehingga mereka memasuki kawasan yang ditunjuk untuk dijadikan
kawasan industri yang tidak lain adalah kawasan hutan Teluk Jambe. Unsur politik tidak lepas dari permasalahan ini, baik pemerintahan desa maupun partai
politik secara tidak langsung melegalkan masyarakat untuk memasuki kawasan hutan dengan iming-iming masyarakat akan memperoleh surat bukti pemilikan
tanah yang sah dengan memberikan suara mereka saat pemilihan. Peningkatan jumlah pemukim juga disebabkan oleh adanya jual beli lahan. Masyarakat
mengklaim bahwa mereka bukan menjual lahan, melainkan menjual garapan yang telah mereka usahakan.
Selain itu juga terjadi tukar menukar lahan Rislah Tanah antara Perum Perhutani dan
PT Hutan Pertiwi Lestari HPL yang merupakan investor
perkebunan. Tanah yang akan dipertukarkan adalah tanah milik Perum Perhutani di BKPH Teluk Jambe dengan tanah milik PT HPL yang berlokasi di Banten.
Rislah tanah akan dilakukan dengan rasio 1:1 dan tanah yang dipersiapkan PT HPL seluas 2.929,86 Ha. Tetapi tahun 1999 dilakukan pembatalan pelepasan
kawasan hutan Teluk Jambe karena hasil audit BPK pada tahun 1995 menyimpulkan ratio 1:1 yang dilakukan PT HPL dengan Perhutani merugikan
negara karena mestinya ratio itu 1:27. Kawasan hutan yang ditukar dikeluarkan dicukupkan dengan tanah pengganti 2.929,86 Ha yaitu hanya 110 Ha 1:27.
Tetapi kawasan hutan Teluk Jambe baru diserahkan kembali kepada Perum Perhutani secara resmi pada tahun 2004 dengan diterbitkannya SK Menhut nomor
SK.365Menhut-II2004. Saat itu dalam kawasan hutan sudah banyak masyarakat yang bermukim dan
memanfaatkan lahan untuk digarap. Masyarakat tidak mengetahui bahwa kawasan hutan telah dikembalikan kepada Perum Perhutani. Jumlah pemukim di dalam
kawasan hutan saat itu diperkirakan sebanyak 4.000 jiwa. Hanya tiga petak yang tidak terdapat tanaman masyarakat, yaitu petak 25, 26 dan 27 yang merupakan eks
tebangan Acacia mangium. Selain tiga petak tersebut, lahan telah ditanami oleh tanaman pertanian dan perkebunan milik masyarakat, seperti padi, pisang, jeruk,
mangga, petai, jengkol, dan lain-lain. Perum Perhutani bekerjasama dengan pemerintahan desa dan kecamatan
melakukan sosialisasi kepada masyarakat, hingga akhirnya petugas Perum Perhutani dapat masuk dalam kawasan hutan dan mulai melakukan pengelolaan
hutan kembali dengan melakukan penanaman rutin. Sebelumnya sangat sulit bagi petugas Perum Perhutani untuk masuk dalam areal kerjanya karena tidak diterima
oleh masyarakat, bahkan pernah terjadi penghadangan dan penahanan petugas. Kegiatan pengelolaan dimulai dengan membangun persemaian jenis Acacia
mangium seluas ± 2 Ha. Tahun 2004 dilakukan penanaman jenis Mahoni Swietenia macrophylla di petak 24b, serta jenis Mahoni Swietenia macrophylla
dan Mindi Melia azedarach di petak 20 pada tahun 2006. Tetapi masih banyak perlawanan dan gangguan dari masyarakat karena masyarakat tidak setuju
dilakukannya penanaman. Ada masyarakat yang meminta tanaman yang baru ditanam untuk dicabut kembali, ada yang melarang dilakukan penanaman di lahan
yang telah ditanami jeruk, ada pula yang meminta kegiatan penanaman hanya dilakukan di batas atau pinggiran kebun jeruk mereka. Pada tahun 2007 pernah
terjadi konflik yang mencuat antara masyarakat dengan Perum Perhutani, sebanyak ± 120 orang dari Desa Kutanegara yang tidak setuju dengan penanaman
rutin yang dilakukan Perhutani mendatangi KRPH. Konflik tidak sampai mengakibatkan kekerasan fisik dan dapat diredam setelah masyarakat diberi
arahan oleh ketua LMDH dan LSM, yaitu LSM Lodaya. Saat evaluasi dapat dikatakan tanaman tahun 2005-2006 mengalami
kegagalan, dari rencana 165 Ha hanya dapat terealisasi 55 Ha. Penanaman tahun 2006-2007 di petak 20, 23, 25 dan 26 yang mengalami gangguan telah diupayakan
disulam, tetapi yang berhasil hanya dua petak, yaitu petak 25 dan 26. Masalah tenurial ini menjadi salah satu penyebab minimnya produksi di BKPH Teluk
Jambe.
4.4 Kronologis Kerjasama Tanaman Antara Perum Perhutani, PT KIFC