Pola Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman

tanggal dan lokasi kejadian, kronologis kejadian serta besarnya kerugian akibat gangguan.

5.3 Pola Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman

Kerjasama pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman jenis cepat tumbuh fast growing species antara Perum Perhutani dan PT KIFC merupakan bentuk kerjasama operasional KSO. Kerjasama operasional adalah bentuk kerjasama usaha antara Perum Perhutani dengan Pihak Lain, dimana Perum Perhutani menyediakan obyek yang dikerjasamakan dan Pihak Lain menanamkan modal yang dimilikinya dalam suatu usaha. Begitu pula jika dikaji mengikuti pola-pola kemitraan menurut Departemen Pertanian, pola kemitraan antara Perum Perhutani dan PT KIFC disebut Kerjasama Operasional Agribisnis KOA yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal danatau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi. Dalam pelaksanaan kegiatan kerjasama, kedua pihak yaitu Perum Perhutani dan PT KIFC berkewajiban untuk melibatkan Masyarakat di lokasi kerjasama melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH. Berikut skema kerjasama pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa Hutan. sharing hasil sharing hasil 26,25 65 sharing hasil 8,75 Gambar 4 Skema kontribusi dan sharing bagi hasil dalam kerjasama pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman antara Perum Perhutani, PT KIFC dan MDH. PT KIFC sebagai penanam modal investor menanggung biaya pembuatan hutan tanaman yang meliputi biaya perencanaan, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, biaya administrasi dan umum, biaya sarana dan prasarana serta biaya pengamanan dan perlindungan. Biaya kerjasama yang disepakati sebesar Rp 11.309.500,- per Hektar mengikuti biaya penanaman yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan, dimana pembiayaan tersebut bersifat utuh tanpa ada pengurangan maupun penambahan selain yang diakibatkan oleh faktor inflasi danatau deflasi. Biaya tersebut tidak termasuk biaya pemanenan dan dibayarkan secara bertahap setiap 3 tiga bulan sesuai dengan kegiatannya. Penyetoran biaya kerjasama dilakukan melalui rekening Kantor Pusat Perum Perhutani di Jakarta. Perum Perhutani menanggung biaya teknis seperti Pajak Bumi dan Bangunan PBB atas lokasi yang dikerjasamakan selama masa perjanjian Hutan tanaman jenis cepat tumbuh fast growing species : Mindi Melia azedarach dan Sengon Paraserianthes falcataria dengan daur 8 tahun Perum Perhutani 1. Lahan 2. SDM 3. Biaya teknis PT KIFC Biaya pembuatan hutan tanaman biaya perencanaan, penanaman, pemeliharaan, administrasi dan umum, sarana dan prasarana, serta pengamanan dan perlindungan dan pelatihantraining Masyarakat Desa Hutan yang tergabung dalam LMDH - Tenaga Kerja Budidaya tumpang sari kerjasama. Selain itu Perum Perhutani juga menyediakan tenaga kerja yaitu mandor dan Polisi Hutan yang bertugas melakukan patroli untuk menjaga keamanan tanaman kerjasama. Jika terjadi resiko usaha yang menimbulkan kerugian dikemudian hari, maka akan ditanggung oleh kedua pihak, yaitu Perum Perhutani dan PT KIFC. Proporsi bagi hasil produksi sharing disepakati 65 untuk PT KIFC dan 35 untuk Perum Perhutani. Sedangkan Masyarakat Desa Hutan yang diwakili LMDH akan memperoleh sharing dari nilai produksi sebesar 25 dari 35 yang diperoleh Perum Perhutani. Jadi jika dihitung secara keseluruhan proporsi sharing adalah 65 untuk PT KIFC, 26,25 untuk Perum Perhutani dan 8,75 untuk LMDH. Cara perhitungan bagi hasil adalah berdasarkan hasil penjualan dikurangi biaya pemanenan, kemudian hasilnya dibagi sesuai proporsi yang telah disepakati. Setelah panen Perum Perhutani dan PT KIFC masih mempunyai kewajiban membayar PSDH kepada negara sesuai dengan proporsi bagi hasil yang diterima. Hak dan kewajiban Perum Perhutani dan PT KIFC tertuang dalam Pasal 9 Perjanjian Kerjasama No. 11SJDIR2009 dan 2009-07KIFC tentang Pembangunan, Pengembangan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Dalam Kawasan Hutan. Selain yang telah disebutkan di atas masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: Perum Perhutani 1. Berhak menentukan lokasi dan luas kawasan hutan yang akan dikerjasamakan, bersama PT KIFC menyusun rencana pembuatan hutan tanaman serta melakukan monitoring dan evaluasi, dan menerima uang garansi sebesar Rp 15.000.000,- apabila dalam jangka waktu paling lama 3 tiga bulan PT KIFC tidak melaksanakan kegiatannya. 2. Berkewajiban menyediakan lahan kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan, melaksanakan kegiatan pembuatan hutan tanaman dan pemanenan, memberikan akses kepada PT KIFC atas seluruh kegiatan dan penggunaan dana, serta memperhitungkan uang garansi sebesar RP 15.000.000,- sebagai bagian hasil kerjasama, apabila dalam jangka waktu paling lama 3 tiga bulan PT KIFC sudah melaksanakan kegiatan. PT KIFC 1. Berhak mengamati segala hal yang terkait dengan perjanjian, bersama Perhutani melakukan monitoring, pengawasan dan evaluasi, mengetahui daftar rencana penanaman dan jumlah bibit yang sudah ditanam, dan mendapatkan prioritas untuk membeli seluruh hasil produksi sesuai dengan harga pasar yang berlaku pada saat panen. 2. Berkewajiban menyetor seluruh biaya pembuatan hutan tanaman sesuai dengan perjanjian, mematuhi ketentuan administrasi dan teknis yang berlaku di Perum Perhutani, melaksanakan perlindungan hutan bersama dengan Perum Perhutani, serta memberikan pemberdayaan SDM berupa pelatihan. Sesuai dengan bunyi pasal 9 ayat 2 5a PKS No. 11SJDIR2009, PT KIFC berkewajiban melakukan program pemberdayaan SDM berupa pelatihantraining di Korea selatan selama 2 dua minggu bagi 10 sepuluh orang, yaitu 7 tujuh orang pengurus LMDH dan tokoh masyarakat dan 3 tiga orang petugas Perhutani. Pelatihan diberikan satu tahun sekali dan selama kerjasama berjalan telah dilakukan dua kali pelatihan. Pelatihan yang pertama telah dilaksanakan pada tanggal 18-30 Oktober 2009, dengan materi koperasi kehutanan, teknik tanaman, pengelolaan hutan dan lain-lain termasuk semangat Saemaul Undong. Saemaul undong merupakan gerakan pembaruan masyarakat desa yang dicanangkan Presiden Korea Selatan, Park Chung-hee pada tahun 1970-an, dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani dan nelayan di desa. Saemaul undong menekankan reformasi sikap mental. Pertama-tama, masyarakat Korea Selatan didorong untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat. Selanjutnya, sikap mental percaya diri tersebut diikuti dengan tiga spirit utama gerakan Saemaul undong, yaitu rajin dilligent, mandiri self help, dan gotong royong cooperation Satria 2002. Peserta pelatihan sebanyak 10 orang dari RPH Kutapohaci BKPH Teluk Jambe, yakni 6 orang pengurus LMDH dan tokoh masyarakat serta 4 orang petugas Perhutani. Kegiatan dilakukan di Pusat Latihan Mekanisasi Hutan NFCF di Gangneung, Koperasi Kehutanan Kota Gangneung, Kabupaten Gapyeong, Yeoju, Jungsun dan Pusat Pelatihan Saemaul undong. Peserta pelatihan juga didampingi oleh tim dari PT KIFC. Metode pelatihan meliputi pengarahan, penyajian materi di dalam ruang kuliah, pemutaran film, kunjungan ke hutan dan lokasi industri pengolahan kayunon kayu serta diskusi. Pelatihan pada tahun kedua telah dilaksanakan pada tanggal 03-16 Oktober 2010 dengan peserta sebanyak 10 orang dari RPH Pinanyungan dan RPH Wanakerta lokasi kerjasaman tahun 2010. Pelatihantraining akan dilakukan sampai dengan tahun kedelapan dengan materi training yang disesuaikan dengan hasil evaluasi pada training tahun sebelumnya mengacu pada Feasibility Study FS yang disusun oleh ahli kehutanan Korea dan Indonesia. Untuk pelatihan tahun ketiga, yaitu tahun 2011, direncanakan peserta pelatihan sebanyak 9 sembilan orang yaitu 6 enam orang dari KPH Sumedang dan 3 tiga orang dari KPH Indramayu. Sedangkan hak dan kewajiban Perum Perhutani dan LMDH yang tertuang dalam PKSPHBMPwkIII2010 adalah sebagai berikut: Perum Perhutani dan PT KIFC 1. Berhak Menentukan cara penanaman dan pemeliharaan tanaman, memperoleh data dan informasi dari LMDH mengenai kegiatan kerjasama dan menghentikan kerjasama apabila LMDH tidak melaksanakan sesuai kewajibannya. 2. Berkewajiban memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui LMDH untuk berpartisipasi aktif, memberikan bimbingan dan bantuan dalam kegiatan penanaman, mengadakan monitoring dan evaluasi serta memberikan saranmasukan. LMDH 1. Berhak menerima bimbingan teknis mengenai penanaman dan pemeliharaan, mengawasi dan mengawal bibit sampai lokasi tanaman, ikut serta dalam melaksanakan penilaian dan evaluasi kegiatan. 2. Berkewajiban membantu kegiatan penanaman, menaati petunjuk-petunjuk teknis dan non-teknis, menyampaikan data dan informasi yang terkait dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, menjaga tegakan dari kerusakan dan kehilangan serta memberikan laporan kemajuan pelaksanaan kerjasama. Berikut ini dipaparkan pola kemitraan beberapa penelitian sebelumnya tentang kemitraan. Natalia 2005 dalam penelitianya yang berjudul Kajian Kemitraan antara Perum Perhutani dengan Petani Melalui Program Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat Studi Kasus di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor menyimpulkan bahwa dalam kemitraan tersebut Perum Perhutani menanggung biaya persiapan lapangan, pengadaan sarana dan prasarana serta pelaksanaan. Sedangkan petani memberikan korbanan tenaga kerja. Sharing hasil dari tanaman tumpang sari sebesar 75 untuk petani dan 25 untuk Perum Perhutani. Permana 2007 melakukan penelitian yang sama di Desa Protomulyo dan Desa Magelung, RPH Mugas, BKPH Mangkang, KPH Kendal, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa Perum Perhutani sebagai pemilik lahan menanggung biaya untuk penanaman jati, sedangkan petani berkewajiban melakukan pengamanan kawasan hutan dan mengelola hutan secara bersama-sama. Proporsi bagi hasil panen kayu jati adalah 20 untuk petani, 75 untuk Perum Perhutani dan 5 untuk Pemerintah Desa. Sedangkan hasil panen dari hasil tumpang sari yang ditanam petani di lahan garapan semuanya merupakan milik petani. Lestari 2011 melakukan penelitian tentang analisis pola dan kelayakan kemitraan antara petani hutan rakyat dengan PT Bina Kayu Lestari Group di Tasikmalaya Jawa Barat. Penelitian dilakukan di tiga desa dengan pola kemitraan yang berbeda. Di Desa Mekarjaya, KPH Tasikmalaya menanggung 50 biaya pengelolaan hutan, PT BKL Group menanggung 50 biaya penyediaan dan pengangkutan bibit serta 50 biaya pengelolaan hutan, sedangkan petani menanggung biaya pengolahan lahan sampai penanaman dan pemeliharaan pada tahun ke-dua dan ke-tiga. Sharing hasil sebesar 50 untuk KPH Tasikmalaya, 30 untuk PT BKL Group dan 20 untuk petani. Di Kelurahan Urug komposisi pembagian biaya hampir sama dengan pola kemitraan di Desa Mekarjaya, hanya saja berbeda di biaya perlindungan hutan. Sharing hasil sebesar 48 untuk KPH Tasikmalaya, 30 untuk PT BKL Group, 20 untuk petani dan 2 untuk LMDH. Sedangkan di Desa Leuwibudah PT BKL Group menanggung biaya penyediaan dan pengangkutan bibit dan pupuk, mengorganisasi petani, biaya bimbingan teknis, pengawasan, 50 biaya panen dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan petani menyediakan lahan, menanggung biaya persiapan dan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan 50 biaya panen. Sharing hasil sebesar 75 untuk petani dan 25 untuk PT BKL Group. Kemitraan tidak hanya bisa dilakukan dengan perusahaan besar, Suryono 2004 meneliti tentang Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Dalam kasus ini Petani hutan rakyat bermitra dengan Koperasi Industri Kecil KOPIK. KOPIK menanggung biaya pengadaan bibit, pemupukan dan transportasi, sedangkan petani menyediakan lahan dan tenaga dalam pengelolaan hutan rakyat. Hasil dari hutan rakyat dipasarkan oleh KOPIK dengan pembagian hasil sebesar 40 untuk KOPIK dan 60 untuk petani. Paparan penelitian sebelumnya di atas menunjukkan bahwa pola kemitraan di berbagai tempat berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak yang bermitra. Besarnya bagi hasilsharing disesuaikan dengan besarnya biaya atau pengorbanan yang diberikan masing-masing mitra. Dalam penelitian ini PT KIFC memperoleh proporsi bagi hasil terbesar, yaitu sebesar 65 karena PT KIFC menanggung biaya pembuatan hutan tanaman yang meliputi biaya perencanaan, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, biaya administrasi dan umum, biaya sarana dan prasarana serta biaya pengamanan dan perlindungan. 5.4 Analisis Kemitraan 5.4.1 Analisis Tingkat Hubungan Kemitraan

Dokumen yang terkait

Pemanenan Hutan Tanaman Jati di BKPH Conggeang, KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat

1 18 83

Evaluasi Elemen dan Prestasi Kerja Pemanenan di Hutan Jati (Studi Kasus Pemanenan Kayu Jati BKPH Sadang KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat)

0 19 74

Analisis finansial pengelolaan hutan tanaman jati di KPH Banten Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 6 94

Analisis gender dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) kasus di Desa Pulosari, RPH Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

2 19 56

Efektivitas kolaborasi antara perum perhutani dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan kasus PHBM di KPH Madiun dan KPH Nganjuk, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 32 102

Kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri: studi kasus usaha agroforestri tanaman kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 12 453

Peran Perempuan dalam Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Studi Kasus RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

0 13 203

Simulasi Multisistem Pemanenan Hutan Pada Pengelolaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

1 8 58

Persepsi dan partisipasi masyarakat desa sekitar hutan terhadap sistem PHBM di Perum Perhutani (Kasus di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat)

1 13 177

Potensi Kebakaran Hutan di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 4 32