Dan untuk keseluruhan perhitungan yang dilakukan didapatkan nilai sebesar 65,51 untuk persentase total pendapatan terhadap total pengeluaran. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapatan responden belum mencukupi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat disebabkan karena tanaman jeruk sudah dua
tahun gagal panen akibat curah hujan yang tinggi sehingga bunganya rontok sebelum dapat berbuah, sedangkan jeruk adalah komoditas yang memberikan
pendapatan cukup besar. Defisit pendapatan tersebut biasanya dipenuhi dengan cara meminjam atau berhutang dengan tetangga atau keluarga, adapula beberapa
responden yang kebutuhan sehari-harinya dipenuhi oleh anak mereka yang telah berkeluarga.
5.7 Estimasi Pendapatan Responden dari Tanaman Kerjasama
Dalam penelitian ini juga dilakukan penghitungan estimasi pendapatan yang akan diperoleh petani dari bagi hasil sharing tanaman kerjasama pada saat panen
di akhir daur dengan menggunakan rumus Discount Rate pada tingkat suku bunga 12. Estimasi pendapatan dari tanaman kerjasama setiap tahunnya dirata-ratakan,
kemudian dibagi 8 untuk memperoleh besaran pendapatan per tahun. Selanjutnya hasilnya dikalikan dengan luas lahan milik petani yang masuk dalam petak
kerjasama. Dari hasil penghitungan diketahui bahwa jumlah rata-rata yang akan diperoleh petani dari tanaman kerjasama adalah sebesar Rp 912.803,-Hatahun.
Jumlah bagi hasil yang diterima petani akan berbeda-beda sesuai dengan luas lahan yang dimiliki. Apabila dihitung secara keseluruhan untuk lahan garapan
petani yang masuk dalam petak kerjasama, yaitu seluas 101,85 Ha, maka petani responden akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp 92.969.067
,-tahun. Penghitungan estimasi pendapatan tanaman kerjasama dari panen di akhir daur dapat
dilihat pada Lampiran 7.
Jika estimasi total pendapatan tanaman kerjasama untuk petani responden yang lahannya masuk dalam petak kerjasama ini dijumlahkan dengan pendapatan
sebelumnya yaitu Rp 523.709.000,- maka total pendapatan bertambah menjadi Rp 616.678.067,-tahun. Meskipun total pendapatan setelah ditambah dengan
hasil panen tanaman kerjasama masih lebih rendah daripada total pengeluaran, yaitu Rp 799.474.500,-, tetapi dari hasil estimasi ini diketahui bahwa pendapatan
tahunan petani menjadi bertambah dan dapat digunakan untuk untuk membantu
menutupi kekurangan tersebut, sehingga defisit keuangan rumah tangga responden tidak sebesar sebelumnya sebelum ditambah pendapatan dari tanaman
kerjasama. Natalia 2005 dalam penelitiannya yang berjudul kajian kemitraan antara
Perum Perhutani dengan petani melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat, pada kasus di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang,
KPH Bogor menyimpulkan bahwa Kemitraan melalui program PHBM yang diterapkan di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang memberikan kontribusi terhadap
peningkatan pendapatan anggota Kelompok Tani Hutan Tani Mandiri dengan rata-rata Rp 866.667,-tahun atau Rp 72.222,25,-bulan atau 12,8 dari
pendapatan total petani. Permana 2007 juga melakukan penelitian tentang kajian kemitraan antara
Perum Perhutani dengan petani melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat di Desa Protomulyo dan Desa Magelung, RPH Mugas, BKPH
Mangkang, KPH Kendal, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Kontribusi PHBM terhadap pendapatan total petani yaitu sebesar Rp 1.289.225,-tahun atau
16,80. Penelitian tentang kemitraan antara petani dengan perusahaan lokal
dilakukan oleh Barus 2005 yaitu kemitraan pola PIR antara Petani Mitra dengan PT Toba Pulp Lestari, Tbk di Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Petani
mitra sebagai plasma menyediakan lahan, mengeluarkan biaya pengadaan alat dan pajak lahan, sedangkan biaya pembangunan HTI PIR menjadi tanggung jawab
pihak perusahaan inti. Pihak plasma terbagi menjadi 2, yaitu Plasma A dan Plasma B. Plasma A adalah plasma yang ikut sebagai tenaga kerja harian pada
lahannya, sedangkan Plasma B adalah plasma yang tidak ikut sebagai tenaga kerja harian dan menyerahkan pengelolaan HTI PIR sepenuhnya kepada pihak
perusahaan inti. Pendapatan bersih Plasma A adalah Rp 6.632.897,80,-Hadaur, sedangkan pendapatan bersih Plasma B sebesar Rp 3.491.250,-Hadaur dengan
asumsi 1 tahun adalah 10 bulan dan 1 daur 7 tahun. Petani plasma yang ikut mengerjakan lahan PIRnya akan memperoleh keuntungan lebih besar daripada
petani plasma yang tidak ikut mengelola lahannya.
Lestari 2011 dalam penelitiannya tentang analisis pola dan kelayakan kemitraan antara petani hutan rakyat dengan PT Bina Kayu Lestari Group di
Tasikmalaya Jawa Barat menyimpulkan bahwa pendapatan rumah tangga petani dari hutan rakyat berasal dari penjualan kayu sengon dan tumpang sari. Penelitian
dilakukan di tiga desakelurahan, yaitu Desa Mekarjaya, Kelurahan Urug dan Desa Leuwibudah. Pendapatan dari hutan rakyat untuk petani di Desa Mekarjaya
adalah Rp 598. 087,-tahun, petani di Kelurahan Urug sebesar Rp 1.587.507,- tahun, sedangkan pendapatan petani di Desa Leuwibudah adalah sebesar Rp 3.
854.996,-tahun. Pendapatan responden di Desa Leuwibudah lebih tinggi karena umumnya mereka mempunyai lahan yang lebih luas dibandingkan kedua desa
lainnya dan merupakan lahan milik pribadi. Suryono 2004 meneliti sistem pengelolaan hutan rakyat pola kemitraan di
Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Petani hutan rakyat bermitra dengan Koperasi Industri Kecil KOPIK. Pendapatan petani dari hutan
rakyat saat penelitian dilakukan hanya diperoleh dari tanaman pengisi yang ditanam secara tumpang sari, yaitu Rp 100.000,-tahun untuk petani strata 1 0,5
Ha, Rp 171.177,-tahun untuk petani strata II 0,5 – 1 Ha dan Rp 137.778,-
tahun untuk petani strata III 1 Ha atau dengan rata-rata sebesar Rp 317.103,- tahun. Kontribusi hutan rakyat dari tanaman pokok berupa kayu Jati Tectona
grandis dihitung dengan menggunakan pendekatan Net Present Value NPV pada tingkat suku bunga 12. Hasil perhitungan menunjukkan proyeksi
kontribusi tanaman jati sebesar Rp 623.894,-tahun untuk petani strata 1 0,5 Ha, Rp 1.710.705,-tahun untuk petani strata II 0,5
– 1 Ha dan Rp 4.115.756,- tahun untuk petani strata III 1 Ha.
Petani umumnya hanya memiliki aset sumberdaya alam lahan dan selalu dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan, khususnya keterbatasan skala
usaha, manajemen usaha, modal, teknologi, keterampilan usaha, dan pemasaran produksi. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan maka
dapat diambil kesimpulan bahwa adanya suatu kemitraan memberikan dampak besar, khususnya kepada petani mitra. Pada kasus kemitraan antara Perum
Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa Hutan, meskipun hasilnya belum dapat menutupi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari rumah
tangga petani, namun sejauh ini kemitraan sudah memberikan dampak yang besar bagi petani, mengingat dalam pelaksanaan kemitraan petani tidak mengeluarkan
biaya maupun menanggung resiko usaha, melainkan hanya ikut berpartisipasi dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaaan, itu pun dengan diberikan upah
harian. PT KIFC dan Perum Perhutani memiliki rencana untuk melanjutkan kemitraan apabila hasilnya menguntungkan bagi masing-masing pihak, begitu
pula dengan petani, sebagian besar responden menyatakan mereka tidak keberatan untuk melanjutkan kemitraan asalkan mereka masih diperbolehkan tinggal dan
menggarap lahan milik Perum Perhutani. Solusi yang mungkin diberikan agar petani lebih merasakan manfaat kemitraan adalah dengan meningkatkan proporsi
bagi hasil untuk petani dan memperbaiki sarana aksesibilitas menuju petak kerjasama agar hasil tumpang sari petani dapat dijual dengan harga yang lebih
tinggi.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pola kemitraan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman
antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa Hutan di Desa Mulyasejati dan Desa Kutanegara, RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH
Purwakarta adalah pola Kerjasama Operasional KSO. Dalam hal ini Perum Perhutani berperan dalam penyediaan lahan, SDM, biaya yang bersifat
insidentil, membayar pajak dan memasarkan hasil. PT KIFC berperan sebagai penyedia modal investor, sedangkan petani berperan sebagai buruh dalam
kegiatan penanaman dan pemeliharaan hutan. Proporsi bagi hasil produksi disepakati 65 untuk PT KIFC, 26,25 untuk Perum Perhutani dan 8,75
untuk LMDH. Jika terjadi resiko usaha yang menimbulkan kerugian di kemudian hari maka akan ditanggung oleh Perum Perhutani dan PT KIFC.
2. Tingkat hubungan kemitraan antara Perum Perhutani, PT KIFC dan MDH yang
diwakili LMDH
berdasarkan keputusan
Menteri Pertanian
No. 994KptsOT.2101097 mengenai Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan
Kemitraan Usaha Pertanian adalah tingkat Prima Madya, dimana hubungan tingkat kemitraan usaha ini masih perlu dijalin lebih baik lagi dan perlu adanya
kesepakatan-kesepakatan kerjasama agar dapat berkelanjutan. 3.
Semakin luas lahan garapan, maka pendapatan rata-rata responden dari kehutanan, baik dari tanaman kerjasama maupun tumpang sari juga meningkat.
Kontribusi tanaman kerjasama terhadap total pendapatan rata-rata bagi responden dengan luas lahan garapan 1 Ha hanya 7,55, 18,22 bagi
responden dengan luas lahan 1 – 3 Ha dan 50,82 bagi responden dengan luas
lahan 3 Ha. Pendapatan yang bersumber dari non kehutanan lebih tinggi dibandingkan pendapatan dari kehutanan untuk semua tingkatan luas lahan
garapan. Estimasi pendapatan tahunan dari hasil panen tanaman kerjasama untuk petani adalah Rp 912.803,-Hatahun.