Pembangunan Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang

Selanjutnya setelah kita berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut maka hal berikut yang harus kita buat adalah menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan sosial, ekonomi dan ekologis yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya pulih recovery atau daya lenting resilience dari sumberdaya yang dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional Dahuri et al , 1996; Dahuri, 1998.

2.1.4 Pembangunan Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang

Seperti halnya dalam konsep pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi, pembangunan berkelanjutan erat kaitannya dengan kegiatan perencanaan tata ruang atau penataan ruang. Perencanaan tata ruang sendiri merupakan suatu mekanisme pengambilan keputusan tentang alokasi ruang dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan berkelanjutan. Disiplin tata ruang dapat diartikan sebagai usaha optimasi pemanfaatan ruang wilayah dalam bentuk suatu penataan ruang wilayah. Penataan ruang atau perencanaan tata ruang merupakan salah satu model dari kegiatan perencanaan planning. Penataan ruang merupakan salah model perencanaan yaitu physical planning, karena memberi perhatian pada mencari solusi optimal untuk pola lokasi tempat tinggal, tempat usaha dan kegiatan- kegiatan manusia lainnya. Biasanya suatu produk tata ruang diperkuat kedudukannya melalui peraturan pemerintah dan dikendalikan oleh pemerintah setempat. Sebagai salah satu dari model perencanaan, maka dalam kegiatan- kegiatan analisis, proyeksi dan evaluasi harus berorientasi jangka panjang sebagai dasar dari pengambilan keputusan dan implementasinya. Sebagai alat pembangunan dan jika dikaitkan dengan paradigma baru pembangunan berkelanjutan, maka penataan ruang perlu menyesuaikan dengan paradigma baru tersebut. Untuk itu, perlu diperhatikan tiga tujuan fundamental kegiatan perencanaan yang disesuaikan dengan paradigma baru yang terlihat saling berkonflik tetapi sekaligus berpotensi untuk saling melengkapi kepentingan- kepentingan yang ada yaitu seperti terlihat pada Gambar 2. Sesuai dangan peran yang diharapkan sebagai central player, maka dalam kegiatan penataan ruang berkelanjutan seorang perencana harus dapat menjadi seorang pengarah yang netral neutral moderator sekaligus membantu masing- masing pihak yang berkonflik. Untuk itu, seorang perencana perlu mengembangkan keahliannya secara prosedur dan substantif. Hal tersebut dapat dicapai melalui pengintegrasian pendekataan aspek lingkungan dengan teori- teori sosial, serta mengkombinasikan keahlian substantifnya dengan teknik-teknik penyelesain konflik di masyarakat yang kesemuanya diarahkan untuk menghadapi ketidakadilan dalam aspek ekonomi dan lingkungan. Gambar 2. Segitiga Tujuan dan Konflik Perencanaan Campbell, 1996 Segitiga Tujuan Perencanaan yang berkonflik dengan tiga konflik yang mungkin timbul diantaranya. Seorang perencana harus dapat berdiri pada pusat sebagai central player. Secara lebih rinci, upaya-upaya yang perlu dilakukan seorang perencana dalam menghubungkan penataan ruang wilayah berkelanjutan dapat diperoleh melalui cara-cara sebagai berikut Campbell, 1996: 1. Cara Substantif − Melalui suatu desain tata ruang yang berwawasan lingkungan land use dan design yang merupakan potensi terbesar seorang perencana untuk dapat menyeimbangkan kepentingan ke tiga pihak. Dalam suatu − Keadilan Sosial − Kesempatan Ekonomi − Kesetaraan Pendapat − Pertumbuhan Ekonomi − Efisiensi Perlindungan Lingkungan − Berwawasan Lingkungan − Saling menguntungkan − Adil PERENCANA Konflik SDA Konflik Pembangunan Konflik Properti perencanaan tata ruang diharapkan dapat dicapai secara simultan integritas spasial dan teritorial untuk ketiga pihak. − Mengubah wilayah perencanaan administratif menjadi wilayah perencanaan berdasarkan pada batas ekologis dari suatu wilayah fisik physical region yang terkenal sebagai bioregionalisasi Campbell, 1996. Untuk itu perlu dilakukan pengaturan skala pembangunan baru untuk suatu masyarakat dan kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan pada batasan ekologis dari suatu fisik regional scale. Keseluruhan upaya tersebut dilakukan dengan wawasan yang komprehensif bagi penggunaan lahan yang berkelanjutan sustainable land-use. − Meningkatkan kemampuan teknologi dalam upaya regenerasi sumberdaya maupun mengendalikan pencemaran, misalnya mencari bahan bakar alternatif ramah lingkungan, daur ulang, bahan baku ramah lingkungan, dan regulasi. Seorang perencana diharapkan dapat menyeimbangkan kepentingan antara bioregionalisme yang bersifat komprehensif dengan kepentingan jangka pendek individual technology important. 2. Cara Prosedural: − Melakukan negosiasi konflik dengan pendekatan saling menguntungkan win-win outcome, dicapai melalui keinginan berkompromi dan mencari keseimbangan penggunaan suatu wilayah untuk berbagai kepentingan. − Menyelaraskan “bahasa” masing-masing pihak, dimana ahli ekonomi berfikir tentang insentif dan marginal rate; ahli lingkungan berfikir tentang daya dukung lingkungan dan keanekaragaman hayati, ahli sosial berfikir tentang hak-hak mempunyai tempat tinggal, pemberdayaan dan diskriminasi. Pada tahap ini, seorang perencana bertindak berbagai ‘translator’ dalam rangka membantu masing- masing pihak untuk saling membantu prioritas dan alasan-alasan yang diambil untuk dicari penyelesaian secara seimbang. Untuk itu, seorang perencana harus meningkatkan koleksi data yang disusun dalam suatu kerangka spasial. − Mengembangkan mekanisme pasar yang dapat memenuhi prioritas ke tiga pihak, terutama bagi golongan miskin yang sangat perlu dibantu dalam rangka keadilan sosial social equity. Disadari bahwa masing-masing cara mempunyai kelemahan, maka seorang perencana dapat melakukan upaya-upaya yang menggabungkan beberapa cara sekaligus, misalnya visi substantif yang digabungkan dengan kemampuan bernegoisasi dengan pengembang developer, land-use preservationist dan ahli yang melaksanakan kepentingan pemerataan sosial social equity. Selanjutnya dikatakan oleh Bengen dan Retraubun 2006 bahwa kesesuaian unit ruang bagi pemanfaatan ekosistem pulau kecil pada dasarnya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatan ditempatkan pada zona yang secara ekologis biogeofisik-kimiawi sesuai dengan kegiatan pemanfaatan dimaksud. Untuk ekosistem pesisir pulau-pulau kecil yang menerima dampak negatif negative externalities berupa bahan pencemar, sedimen atau perubahan regim hidrologi, baik melalui aliran sungai, limpasan air permukaan run off, atau aliran air tanah ground water, hendaknya dampak yang diterima ditekan seminimal mungkin sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil masih dapat menenggang segenap dampak negatif yang timbul. Contohnya, jika suatu ekosistem pesisir sudah diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, marikultur atau kawasan konservasi, maka dampak negatif pencemaran, sedimentasi, atau perubahan regim hidrologi yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan di daratan hendaknya diminimalkan atau kalau mungkin ditiadakan. Menurut Dahuri 1996 bahwa agar penyusunan perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut secara berkelanjutan, maka dari dimensi ekologis pembangunan tersebut harus memenuhi tiga persyaratan utama. Pertama, bahwa setiap kegiatan pembangunan hendaknya ditempatkan di lokasi yang secara biofisik ekologis sesuai dengan persyaratan biofisik dari kegiatan pembangunan tersebut. Kedua, bahwa laju pembuangan limbah ke dalam wilayah pesisir dan lautan hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi wilayah tersebut. Artinya perlu pengendalian pencemaran. Untuk ini diperlukan informasi tentang sumber dan kuantitas limbah dari setiap jenis limbah yang masuk ke dalam wilayah pesisir dan lautan, tingkat kualitas perairan pesisir dan lautan serta kapasitas asimilasi perairan tersebut. Ketiga, bahwa laju tingkat pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan, khususnya yang dapat pulih, hendaknya tidak melampaui kemampuan pulih potensi lestarinya dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, perlu pemanfaatan sumberdaya secara optimal.

2.1.5 Industri yang Berada di Wilayah Pesisir