Pulau Batam sebagai KEK Kawasan Ekonomi Khusus

pemeriksaan surveyor dan perijinan dari pusat. Kontrol berdasarkan post reporting and audit bila perlu. Kawasan Ekonomi Khusus KEK adalah kawasan tertentu dimana diberlakukan ketentuan khusus bidang: 1 Kepabeanan; 2 Perpajakan; 3 Perijinan licensing one stop services; 4 Keimigrasian; dan 5 Ketenagakerjaan. Kawasan ini ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur yang handal serta Badan Pengelola yang profesional dengan standar internasional. Tujuan dari pengembangan KEK adalah untuk: 1 Peningkatan investasi; 2 Penyerapan tenaga kerja; 3 Penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor; 4 Meningkatkan keunggulan kopetitif produk ekspor; 5 Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor; dan 6 Mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui technology transfer. Berdasarkan atas fungsi, luas areal, fokus pengembangan dan jenis insentif yang berikan, maka KEK dapat dibedakan atas: a Kawasan yang dikeluarkan dari daerah pabean negara yang bersangkutan; dan b Kawasan yang tetap berada pada daerah pabean negara yang bersangkutan. a Kawasan yang dikeluarkan dari daerah pabean negara yang bersangkutan. Dalam kawasan ini semua arus keluar masuk barang tidak dikenakan bea masuk, PPN dan cukai. Biasanya diikuti dengan pemberian batas tegas atas area tersebut, dan dinyatakan sebagai wilayah terbatas bagi yang tidak berkepentingan. Contoh: Export Processing Zone Free Trade Zone. b Kawasan yang tetap berada pada daerah pabean negara yang bersangkutan. Dalam kawasan ini biasanya termasuk kawasan yang lebih luas, dapat berupa kota atau bahkan provinsi. Daya tarik investasi di kawasan semacam ini dilakukan melalui penerapan kebijakan untuk mendukung kemudahan berusaha, pengurangan pajak perusahaan, repatriasi keuntungan serta pelonggaran kontrol devisa. Contoh: Special Economic Zone FEZ, Free Economic Zone FEZ, Industrial Zone dan Distribution Zone. Beberapa faktor yang menentukan dalam pemilihan lokasi KEK, antara lain: − Didukung oleh tersedianya tenaga kerja dengan upah yang kompetitif; − Infrastruktur dengan kondisi baik; − Lokasi berdekatan dengan pelabuhan dan bandar udara internasional; − Tersedianya layanan utilitas yang baik air, listrik, sewage; − Ketersediaan lahanareal pengembangan; − Berdekatan dengan rute pelayaran internasional untuk pengembangan logistic center atau hub port; − Adanya pengelola kawasan yang profesional. Permasalahan yang muncul dalam pengembangan KEK, antara lain: a Keterbatasan infrastruktur karena keterbatasan finansial dalam pembangunannya; b Rendahnya profesionalisme kerja; c Areal pengembangan yang terbatas sehingga mengakibatkan tingginya harga tanah dan sewa tanah; d Birokrasi yang berbelit-belit red tape; dan e Tingkat pelayanan infrastruktur dan utilitas yang kurang memadai.

4.4 Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam

Analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis spasial terhadap master plan tahun 1991 dan master plan tahun 1998. Analisis yang dilakukan meliputi perkembangan luas tata guna lahan, perkembangan area yang dibangun dan tidak dibangun serta perkembangan alokasi lahan masing-masing sektor.

4.4.1 Tata Ruang

Sesuai KEPPRES Nomor 56 Tahun 1984 telah ditetapkan bahwa wilayah pengembangan Otorita Batam adalah meliputi P. Batam serta beberapa pulau di sekitarnya yaitu P. Karim Pengenang, P. Momoi, P. Janda Berias dan P. Tanjung Sauti. Dalam master plan 1986 dan derivisi tahun 1991, P. Batam dibagi menjadi 8 Sub Wilayah Pengembangan SWP yaitu : 1 SWP Batu Ampar dengan luas 3.609 Ha. 2 SWP khusus Batam Center dengan luas 2.567 Ha. 3 SWP Nongsa dengan luas 3.700 Ha. 4 SWP kabil dengan luas 5.165 Ha. 5 SWP Duriangkang – Tanjung Plaju dengan luas 8.227Ha. 6 SWP Tanjung Uncang – Saguling dengan luas 6.789Ha. 7 SWP Sekupang dengan luas 4.563 Ha. 8 SWP Muka Kuning dengan luas 6.931 Ha. Sampai dengan tahun 1998 yang digunakan adalah master plan P. Batam yang dievaluasi tahun 1991. Pada tahun 1998 pun evaluasi master plan tahun 1991 sedang dilaksanakan namun sampai akhir tahun 1998 evaluasi master plan tersebut belum selesai. Di dalam evaluasi master plan 1986 menjadi master plan 1991, prinsip Tata Guna Lahan untuk peruntukan usaha tidak jauh berbeda. Perbedaan yang sangat terlihat adalah perluasan peruntukan yang mengakibatkan perubahan fungsi lahan lihat Gambar 20 dan 21. Perubahan ini disebabkan pesatnya permintaan lahan untuk industri, jasa dan perumahan. Sampai dengan evaluasi master plan 1991 konsep utama yaitu perbandingan daerah terbangun dan tidak terbangun berbanding 40 : 60. Untuk daerah terbangun dibagi dalam 5 lima peruntukan utama, yaitu Peruntukan Jasa Pertokoan, Peruntukan Perumahan, Peruntukan Industri, Peruntukan Perkebunan Pertanian dan Pariwisata Gambar 20.