Biaya Transaksi Pada Kelembagaan Pemuda Perkotaan Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda Di Kota Bogor

(1)

STUDI KASUS DUA ORGANISASI PEMUDA DI KOTA BOGOR

ARIEF RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan bahwa tesis berjudul: Biaya Transaksi pada Kelembagaan Pemuda Perkotaan: Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda di Kota Bogor adalah sepenuhnya karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan tidak pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain baik diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Arief Rahman NRP A155030161


(3)

ABSTRACT

ARIEF RAHMAN. Transaction Costs on Urban Youth Institutions: Case Study of Two Youth Organizations in Bogor. Under direction of AKHMAD FAUZI and ERNAN RUSTIADI.

Transaction cost (TC) defines as resources used to establish and maintain property rights. TC minimization does not end in itself but rather as a means of achieving broader economic objectives such as efficiency improvement and externalities internalization. TC can be minimized by (i) social capital (SC) in the form of networks and reputation, and (ii) institution as the rules of the game. The research aims to provide clear understanding on how SC and institution minimizes TC. The results of this research can be used further to improve the institutional strengthening process which has became popular agenda in recent years. Any effort of institutional strengthening will be incomplete and imperfect if it is not consider the role of institution in TC minimizing.

The research took cases in two youth organization in Bogor: Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) and Karang Taruna Berbakti (KARTAR). Youth organization was chosen based on former research which showed its potentials to foster community empowerment through its investment on SC. KALAM also plays great roles in local resources management, proven by its winning in competition of spatial arragement innovation held by the government in commemoration of World Town Planning Day 2008. KALAM and KARTAR has similarity: both have well-achievement in the city and provincial-level, and both are subdistrict-based organization (KALAM is in Tegal Gundil sub-district while KARTAR is in Kebon Pedes subdistrict). Both are also long-lived institution so it is fulfil the critical characteristic of New Institutional Economics: views long lived institution as efficient and therefore proper subject of economic inquiry.

The level of TC was measured firstable by determine the transaction which will be the unit of analysis. The transaction then divided into acquisition, distribution and enforcement stage. Opportunity costs of men and time needed to establish and maintain property rights on those stages are used as proxies to measure TC level. Discriminant Function Analysis is used to test variables which has most significant influence to the TC differences among those two organizations. Those variables are network, reputation, incomplete property right, imperfect property right, asymmetric information, and asset specificity. As an added information, descriptive analysis is used to compare the level of organizational effectivenes. Result shows that KALAM is minimized TC better than KARTAR in every stages of transaction. In aggregate, KALAM needs only less than a third than TC imposed by KARTAR. Two discriminant variables which significantly affect TC differences are networks and property rights completeness. Networks facilitates established pattern of interaction followed by shared expectation of long-lived relationship and easily detected cheating behavior. It then lower the cost of market enforcement. More complete property rights reduces the cost of resources allocation. In the term of organizational effectiveness, KALAM is also more effective than KARTAR did. The insights brought by this research was the interdependencies between cost elements of TC and major roles played by social capital in TC minimizing.

Key words: transaction cost, property right, new institutional economics, social capital, urban youth organization


(4)

RINGKASAN

ARIEF RAHMAN. Biaya Transaksi pada Kelembagaan Pemuda Perkotaan: Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda di Kota Bogor. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan ERNAN RUSTIADI.

Kelembagaan adalah seperangkat aturan main yang dibuat oleh manusia sehingga interaksi antar orang dapat lebih terstruktur. Kelembagaan memfasilitasi kerjasama antar individu untuk mencapai tujuan bersama sehingga menciptakan integrasi sosial yang pada akhirnya menentukan maju tidaknya suatu masyarakat. Kelembagaan juga menentukan kinerja ekonomi suatu bangsa. Oleh sebab itu aspek kelembagaan menjadi salah satu pilar dari ilmu wilayah.

Kelembagaan menentukan kinerja ekonomi karena kelembagaan mempengaruhi besaran biaya transaksi. Biaya transaksi tidak hanya sekadar biaya untuk melaksanakan sebuah transaksi melainkan segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan. Kelembagaan dapat meminimalkan biaya transaksi karena kelembagaan mendistribusikan hak kepemilikan dan mengurangi ketidakpastian pada saat pertukaran terjadi.

Pentingnya kelembagaan dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan istilah yang populer dewasa ini yaitu penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan merujuk kepada proses untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Mengingat pengaruh kelembagaan terhadap biaya transaksi, maka penguatan kelembagaan hanya dapat utuh dipahami dan dilakukan jika memperhitungkan pula sisi minimalisasi biaya transaksi sebagai peran dari kelembagaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dari kelembagaan yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi. Pengetahuan akan faktor-faktor tersebut dapat digunakan selanjutnya untuk meningkatkan kualitas dari upaya-upaya penguatan kelembagaan sehingga kelembagaan yang dikuatkan dapat efisien secara sosial dan efisien secara ekonomi.

Penelitian ini menggunakan kelembagaan pemuda di perkotaan sebagai kasusnya. Dasar penentuannya adalah hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kelembagaan pemuda dapat mendorong pemberdayaan masyarakat lokal melalui investasi modal sosial. Kelembagaan pemuda juga dapat memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya lokal. Hal ini dibuktikan oleh Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM), sebuah organisasi pemuda yang melalui karya penataan ruang terbuka hijau di sempadan jalan, berhasil menjadi salah satu pemenang dari Lomba Karya Inovasi Penataan Ruang yang diadakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka memperingati World Town Planning Day 2008.

Meskipun kelembagaan berbeda dengan organisasi (karena kelembagaan adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya), tetapi penelitian mengenai kelembagaan dapat dilakukan terhadap organisasi. Hal ini dikarenakan aturan main melekat dalam setiap organisasi. Dua organisasi pemuda yang menjadi studi kasus dari penelitian ini adalah Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) dan Karang Taruna Berbakti (KARTAR). Dua organisasi ini memiliki kesamaan-kesamaan yaitu merupakan organisasi pemuda berbasis kelurahan (KALAM berkegiatan di Kelurahan Tegal Gundil sedangkan


(5)

KARTAR di Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor) dan juga merupakan organisasi pemuda yang berprestasi baik di tingkat kota Bogor hingga provinsi Jawa Barat. Dua organisasi ini juga dipilih karena telah memenuhi karakteristik kritis dari New Institutional Economics yang menyatakan bahwa kelembagaan yang dapat menjadi subyek penelitian ekonomi adalah kelembagaan yang telah bertahan lama karena menandakan bahwa kelembagaan itu efisien.

Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penelitian ini diawali dengan pengukuran biaya transaksi pada masing-masing organisasi pemuda. Langkah pertama dari pengukuran baya transaksi ini adalah penentuan jenis transaksi yang akan dijadikan unit analisis. Agar dapat diperbandingkan antar dua organisasi, maka unit analisis transaksinya harus memenuhi kriteria (i) memiliki nilai transaksi yang sama, dan (ii) bernilai besar bagi kedua organisasi.

Transaksi sebagai unit analisis tersebut lantas dibagi ke dalam tiga tahap yaitu tahap akuisisi, distribusi, dan penjagaan. Biaya transaksi diukur pada masing-masing tahap tersebut. Mengingat tidak adanya variabel terukur yang secara langsung dapat menghitung biaya transaksi maka dibutuhkan variabel proxies. Proxies yang digunakan adalah opportunity costs atas sumber daya manusia dan waktu yang digunakan pada masing-masing tahap transaksi untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan.

Terukurnya biaya transaksi pada kedua organisasi pemuda lantas dilanjutkan dengan pengujian faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap minimalisasi biaya transaksi. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Fungsi Diskriminan sehingga diketahui faktor-faktor yang paling mempengaruhi perbedaan biaya transaksi antara KALAM (sebagai grup 1) dan KARTAR (sebagai grup 2). Enam faktor yang diduga berpengaruh terhadap besaran biaya transaksi dan diuji dalam penelitian ini adalah (i) kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, (ii) reputasi, (iii) hak kepemilikan yang tidak lengkap, (iv) hak kepemilikan yang tidak sempurna, (v) informasi asimetris, dan (vi) spesifisitas aset yang ditransaksikan.

Untuk mendapatkan gambaran lebih utuh, maka dilakukan pula penilaian efektivitas masing-masing organisasi pemuda dalam mencapai tujuannya. Efektivitas organisasi dinilai dari tiga hal (i) seberapa baik masyarakat setempat yang menjadi penerima manfaat mengenal KALAM/KARTAR, (ii) seberapa banyak pemuda yang mendapat pengaruh positif, dan (iii) seberapa besar dampak dari pengaruh positif yang diberikan. Pengolahan data tingkat efektivitas ini dilakukan secara deskriptif.

Hasil menunjukkan bahwa KALAM memiliki biaya transaksi yang lebih rendah dibanding KARTAR pada semua tahap transaksi. Pada tahap akuisisi, biaya transaksi di KALAM sebesar Rp 443.706,41 atau 20,35% dari biaya transaksi di KARTAR yang mencapai Rp 2.180.651,17. Selanjutnya, biaya transaksi pada tahap distribusi di KALAM mencapai Rp 27.514,13 atau 39,72% dari biaya transaksi di KARTAR yang sebesar Rp 69.266,34. Terakhir, tahap penjagaan di KALAM membutuhkan biaya transaksi sebesar Rp 602.168,12 atau 42,01% dari biaya transaksi di KARTAR yang mencapai Rp 1.433.428,43.

Penjelasan akan lebih rendahnya biaya transaksi di KALAM pada ketiga tahapan transaksi adalah sebagai berikut: pada tahap akuisisi, kontrak yang dibuat antara KALAM dan mitra transaksinya adalah kontrak yang tidak lengkap. Kontrak yang tidak lengkap membutuhkan biaya informasi yang lebih rendah. Pada tahap distribusi, KALAM mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap dan hal ini selanjutnya menyebabkan alokasi sumber daya dapat dilakukan lebih


(6)

efisien. Pada tahap penjagaan, market enforcement dapat dilakukan secara lebih murah di KALAM. Dua kondisi yang dipenuhi oleh KALAM sehingga market enforcement lebih murah dilakukan adalah (i) masing-masing pihak yang bertransaksi memiliki harapan untuk menjalin kerjasama dalam jangka panjang, dan (ii) informasi mengenai perilaku curang dapat diketahui dengan mudah. Dua kondisi ini menyiratkan kualitas jaringan yang dimiliki antar pihak yang bertransaksi.

Terdapat keterkaitan antara tahap akuisisi dan tahap penjagaan. Kontrak akan cenderung dibuat tidak lengkap jika market enforcement murah untuk dilakukan.

Market enforcement menjadi murah dilakukan jika antar pihak yang bertransaksi memiliki kualitas jaringan yang baik. Jaringan merupakan kategori struktural dari modal sosial. Tahap distribusi juga terkait dengan modal sosial. Hak kepemilikan didistribusikan lebih lengkap jika ada kepercayaan antar pihak yang bertransaksi, dan kepercayaan merupakan aspek dari modal sosial.

Hasil dari analisis fungsi diskriminan menegaskan penjelasan sebelumnya. Dua faktor yang berpengaruh nyata terhadap perbedaan biaya transaksi antara KALAM dan KARTAR adalah kualitas jaringan dan tingkat kelengkapan hak kepemilikan.

Penuturan masyarakat setempat di masing-masing kelurahan tempat KALAM dan KARTAR berlokasi menunjukkan bahwa KALAM dinilai lebih efektif dalam mencapai tujuannya dibanding KARTAR. KALAM dikenal lebih baik oleh masyarakat lokalnya dibanding KARTAR, bahkan untuk KARTAR sebanyak 30% responden menyatakan tidak tahu sama sekali mengenai tujuan dan kegiatannya. Responden juga menyatakan bahwa KALAM memberikan pengaruh positif yang berdampak kepada lebih banyak pemuda dibanding KARTAR. Meskipun penelitian ini tidak mengkorelasikan antara efektivitas pencapaian tujuan dan besaran biaya transaksi, tetapi dapat dinyatakan bahwa KALAM memiliki besaran biaya transaksi yang lebih rendah dan efektivitas yang lebih tinggi dan demikian sebaliknya pada KARTAR.

Hasil penelitian ini menunjukkan interdependensi antar tahapan biaya transaksi, besaran biaya transaksi pada satu tahap akan mempengaruhi besaran pada tahap lainnya. Hasil ini juga menunjukkan besarnya pengaruh modal sosial terhadap minimalisasi biaya transaksi.

Modal sosial yang baik menurunkan contracting costs dan enforcement costs

serta mendistribusikan hak kepemilikan secara lebih lengkap. Hal ini pada akhirnya tidak hanya meminimalkan biaya transaksi saja melainkan juga mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan.

Besarnya pengaruh modal sosial menyebabkan upaya-upaya penguatan kelembagaan hanya dapat utuh dilakukan jika mencakup juga penguatan modal sosial. Penguatan modal sosial membutuhkan investasi-investasi yang berjangka panjang. Oleh karena itulah salah satu karakteristik dasar dari New Institutional Economics adalah bahwa kelembagaan yang efisien adalah kelembagaan yang telah bertahan lama. Penguatan kelembagaan yang mencakup juga investasi pada modal sosial ini tidak dapat dilakukan secara cepat dan instan jika hendak mewujudkan kelembagaan yang efisien secara sosial dan efisien secara ekonomi.


(7)

©

HAK CIPTA MILIK IPB, TAHUN 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

BIAYA TRANSAKSI PADA

KELEMBAGAAN PEMUDA PERKOTAAN:

STUDI KASUS DUA ORGANISASI PEMUDA DI KOTA BOGOR

ARIEF RAHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

Judul Tesis : Biaya Transaksi pada Kelembagaan Pemuda Perkotaan: Studi Kasus Dua Organisasi Pemuda di Kota Bogor

Nama : Arief Rahman

NRP : A 155030161

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(10)

(11)

PRAKATA

Penelitian yang memakan waktu lebih dari satu tahun ini pada masa-masa awal perumusannya dihadang dua pertanyaan besar: ”apa itu sebenarnya biaya transaksi?” dan ”bagaimana cara mengukurnya?”. Banyak energi dihabiskan untuk menjawab dua pertanyaan ini, dan arahan dari Bapak Prof.Dr.Ir. Akhmad Fauzi,M.Sc beserta Dr.Ir. Ernan Rustiadi selaku komisi pembimbing sangat membantu penulis untuk memahami hingga mewujud sebagaimana hasilnya saat ini. Masukan-masukan dari Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si selaku dosen penguji turut membentuk tesis ini. Untuk itu, penulis haturkan terima kasih.

Kesediaan Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) dan Karang Taruna Berbakti untuk menjadi subyek penelitian turut menjadi penentu terselesaikannya penelitian ini. Dukungan istri dan anak tercinta beserta segenap keluarga memungkinkan penulis untuk terus melangkah. Kepedulian rekan-rekan senantiasa mengingatkan penulis untuk jangan pernah lalai. Atas kesemuanya itu, penulis haturkan terima kasih.

Semoga kebermanfaatan penelitian ini tidak hanya dipetik penulis seorang tetapi juga lainnya.

Bogor, Agustus 2009


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada tanggal 03 Juni 1979 dari ayah Muhammad Sugeng Hidayat dan ibu Diah Darwati. Selepas SMA pada tahun 1997, penulis mulai menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Pendidikan sarjana tersebut dapat penulis selesaikan pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, pendidikan penulis lanjutkan kembali dengan mengikuti Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

Semenjak menempuh pendidikan sarjana, penulis telah berkenalan dan mengakrabi kehidupan lembaga swadaya masyarakat. Pada masa itu, penulis intens berhubungan dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Trawas Mojokerto. Pengalaman tersebut membentuk penulis hingga di Bogor pun menggabungkan diri pada Perkumpulan Susur Alam lewat Alur Masyarakat (SALAM). Di perkumpulan tersebut, penulis menjabat Direktur semenjak tahun 2007 hingga bulan Juli 2008. Penulis juga menjadi peneliti lepas pada Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB. Kegiatan-kegiatan pada dua organisasi tersebut memfasilitasi penulis untuk turut menghasilkan beberapa buku dan modul utamanya mengenai community development dan participatory aproach.

Dunia pendidikan juga menjadi minat penulis. Saat ini, penulis menjadi dosen tidak tetap di Universitas Pamulang untuk mata kuliah Perilaku Organisasi. Hampir bersamaan dengan kelulusan, penulis diterima bekerja sebagai Kepala Sekolah KALAM, sebuah sekolah informal di kota Bogor.


(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 12

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Masyarakat dan Interaksi antar Anggotanya... 13

2.2 Kelembagaan ... 14

2.2.1 Kelembagaan dan Sumber Daya Wilayah ... 16

2.2.2 New Institutional Economics ... 17

2.3 Biaya Transaksi ... 18

2.3.1 Definisi Biaya Transaksi... 19

2.3.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi... 22

2.3.3 Macam-macam Penggolongan Biaya Transaksi... 28

2.3.4 Pengukuran Biaya Transaksi ... 29

2.3.5 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Hak Kepemilikan... 31

2.3.6 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Kelembagaan ... 36

2.3.7 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Modal Sosial.. 38

2.3.8 Contoh Permodelan Biaya Transaksi... 42

2.4 Kajian Penelitian Terdahulu... 44

3 METODOLOGI ... 48

3.1 Kerangka Pendekatan Studi ... 48

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

3.3 Metode Penelitian yang Digunakan... 53

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 53

3.5 Teknik Pengambilan Responden... 53

3.6 Pengukuran Besaran Biaya Transaksi pada KALAM dan KARTAR... 54


(14)

xiii

3.7 Pengujian Faktor-faktor Kelembagaan yang Berpengaruh

terhadap Minimalisasi Biaya Transaksi ... 55

3.7.1 Analisis Fungsi Diskriminan ... 56

3.8 Penilaian Efektivitas Kedua Organisasi Pemuda dalam Pencapaian Tujuan ... 59

4 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN ... 61

4.1 Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM)... 61

4.2 Karang Taruna Berbakti ... 64

5 HASIL PENELITIAN ... 68

5.1 Jenis Transaksi sebagai Unit Analisis... 68

5.2 Besaran Biaya Transaksi pada KALAM ... 68

5.2.1 Tahap Akuisisi... 68

5.2.2 Tahap Distribusi ... 69

5.2.3 Tahap Penjagaan... 70

5.3 Besaran Biaya Transaksi pada KARTAR... 73

5.3.1 Tahap Akuisisi... 73

5.3.2 Tahap Distribusi ... 75

5.3.3 Tahap Penjagaan... 76

5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Biaya Transaksi ... 77

5.5 Efektivitas Kelembagaan dalam Pencapaian Tujuan ... 79

5.5.1 Efektivitas KALAM... 79

5.5.2 Efektivitas KARTAR ... 81

6 PEMBAHASAN ... 83

6.1 Besaran Biaya Transaksi ... 83

6.1.1 Tahap Akuisisi... 84

6.1.2 Tahap Distribusi ... 92

6.1.3 Tahap Penjagaan... 98

6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Biaya Transaksi ... 103

6.2.1 Keterkaitan Biaya Transaksi antar Tahap Transaksi ... 107

6.3 Efektivitas Kelembagaan dalam Pencapaian Tujuan ... 108

6.4 Implikasi Kebijakan ... 110

7 SIMPULAN DAN SARAN ... 113

7.1 Simpulan... 113


(15)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN ... 120


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Perbedaan definisi biaya transaksi berikut implikasinya antara

golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan... 22 Tabel 2 Contoh karakter variabilitas dan karakter alterable sebagai

vektor terhadap barang (goods) ... 24 Tabel 3 Asumsi yang mendasari dan situasi-situasi yang memunculkan

biaya transaksi pada hak kepemilikan sumber daya fisik dan manusia ... 27 Tabel 4 Penghitungan biaya transaksi terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) Amerika Serikat 1870-1970... 30 Tabel 5 Rasio biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di

Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi ... 45 Tabel 6. Sumber daya yang dialokasikan pada tahap akuisisi dana

program KALAM ... 69 Tabel 7. Sumber daya yang dialokasikan pada tahap distribusi dana

program KALAM ... 70 Tabel 8. Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dana

program KALAM ... 72 Tabel 9. Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap akuisisi dana

program KARTAR ... 74 Tabel 10. Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap distribusi dana

program KARTAR ... 76 Tabel 11. Sumber daya yang dibutuhkan pada tahap penjagaan dana

program KARTAR ... 77 Tabel 12 Fungsi klasifikasi variabel-variabel bebas terhadap KALAM dan

KARTAR ... 77 Tabel 13. Signifikansi pengaruh masing-masing variabel bebas... 78 Tabel 14. Biaya transaksi untuk kesemua tahapan pada KALAM dan

KARTAR ... 83 Tabel 15. Biaya transaksi pada tahap akuisisi dana program di KALAM

dan KARTAR ... 85 Tabel 16. Biaya transaksi pada tahap distribusi dana program di KALAM

dan KARTAR ... 93 Tabel 17. Biaya transaksi pada tahap penjagaan dana program di KALAM


(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pendekatan studi yang digunakan di dalam penelitian ini ... 51 Gambar 2 Lokasi KALAM di Kelurahan Tegal Gundil dan KARTAR di

Kelurahan Kebon Pedes sebagai tempat penelitian. ... 52 Gambar 3 Bagan organisasi Komunitas Peduli Kampung Halaman

(KALAM). ... 62 Gambar 4 Kondisi awal PKL (gambar kiri) yang berdagang di trotoar dan

tanpa kepastian usaha dan kondisi setelah terorganisasi dalam Saung Tegal Gundil (STG) (gambar kanan) ... 63 Gambar 5 Bagan organisasi Karang Taruna Berbakti (KARTAR) ... 65 Gambar 6 Penilaian responden beneficiaries terhadap efektivitas KALAM... 81 Gambar 7 Penilaian responden beneficiaries terhadap efektivitas KARTAR .. 82 Gambar 8 Komposisi biaya transaksi pada KALAM (gambar kiri) dan

KARTAR (gambar kanan). ... 84 Gambar 9 Komposisi search cost dan contracting cost pada tahap akuisisi

di KALAM dan KARTAR ... 92 Gambar 10 Komposisi monitoring internal dan eksternal pada tahap

penjagaan di KALAM (gambar kiri) dan KARTAR (gambar kanan). ... 101 Gambar 11 Interdependensi antar tahap biaya transaksi ... 108 Gambar 12 Pembandingan efektivitas KALAM dan KARTAR berdasarkan


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuesioner untuk responden pelaku... 121

Lampiran 2. Kuesioner untuk responden beneficiaries... 125

Lampiran 3. Kategori dan skoring variabel penjelas ... 127


(19)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar

Belakang

Sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau

sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004). Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Baik dikonsumsi saat ini maupun pada masa mendatang, sumber daya dan modal adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jonsson et al. 1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Hanya saja, sumber daya bersifat langka (scarce). Selain langka, secara geografis keberadaannya di alam pun seringkali bersifat melekat pada lokasi-lokasi tertentu. Dengan demikian, sumber daya (khususnya sumber daya alam) secara geografis tersebar tidak merata, baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Rustiadi et al. 2006). Hal inilah yang menjadi awal dari berkembangnya ilmu wilayah (regional science).

Pemahaman akan prinsip-prinsip kelangkaan berimplikasi pada perlunya suatu sistem alokasi. Mengingat kelangkaannya, maka sumber daya haruslah dialokasikan seefisien dan seefektif mungkin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Inilah yang menjadi pilar utama dari perencanaan dan pengembangan wilayah, yaitu suatu sistem alokasi sumber daya yang bersifat langka (scarce) dan tersebar tidak merata, baik kuantitas maupun kualitasnya, dalam menghadapi keinginan manusia yang tidak terbatas (Rustiadi et al. 2006).

Sistem alokasi sumber daya tidak hanya memuat tentang efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya tetapi juga memuat distribusi hak kepemilikan (distribution of property right). Sistem alokasi sumber daya tidak hanya mengatur bagaimana suatu sumber daya diekstraksi, tetapi juga mengatur


(20)

diekstraksi. Sistem alokasi sumber daya tidak hanya mengatur tentang pengelolaan, tetapi juga penguasaan.

Tingkat penguasaan ditentukan oleh hak kepemilikan (property rights). Hak kepemilikan didefinisikan sebagai kewenangan eksklusif dari pihak yang memiliki sumber daya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan (Alchian 2002). Lebih singkatnya Allen (1999) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai kapasitas untuk menentukan pilihan (exercise a choice) atas suatu barang atau jasa.

Tanpa hak kepemilikan yang terdefinisikan dengan jelas (well-established property rights), maka setiap pihak akan berkompetisi untuk memiliki atau mengontrol sumber daya dengan cara kekerasan. Pada masa kolonialisme, tanah-tanah jajahan ditentukan oleh negara yang paling kuat. A world of anarchy, situasi itulah yang dinyatakan oleh Allen (2005) ketika hak kepemilikan tidak terdefinisikan.

Berbeda halnya jika hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas. Setiap pihak akan berkompetisi untuk memiliki atau mengontrol sumber daya dengan cara-cara damai (competition by peaceful mean) (Alchian 2002). Elemen kunci dari kemajuan negara-negara Barat adalah hak kepemilikan yang jelas dan terjamin. Hak kepemilikan sekaligus juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi modern (North & Thomas 1973 dan North & Weingast 1989, diacu dalam Rodrik 1999). Hak kepemilikan menyediakan insentif bagi seseorang untuk mengumpulkan aset dan terus berinovasi (Rodrik 1999).

Oleh karena itulah hak kepemilikan perlu untuk dibangun (establish) dan dijaga (maintain). Segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan

menjaga hak kepemilikan disebut sebagai biaya transaksi (transaction costs) (Allen 1991).

Implikasi dari definisi ini adalah biaya transaksi sebesar nol (zero transaction cost) adalah sama dengan well-established and well-maintaned property right. Demikian pula sebaliknya, biaya transaksi yang terlalu tinggi adalah sama dengan tidak adanya hak kepemilikan (absence of property rights). Pernyatakan seperti “jika diasumsikan biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan lengkap” adalah pernyataan dengan pengulangan yang tidak perlu (Allen 1999).


(21)

Pada kenyataannya, biaya transaksi tidak dapat dihilangkan. Biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata, artinya biaya transaksi akan selalu positif dan ada dimana-mana (ubiquitous) (Allen 1991, 2005). Hak kepemilikan tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumber daya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005).

Penyebabnya adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal (Rodrik 1999; Alchian 2002). Sebagai contoh adalah polusi suara yang diderita oleh pemilik rumah di tepi jalan raya. Pada situasi well-established property rights, maka pemilik rumah dapat menagih para pengguna jalan sebagai kompensasi atas polusi suara yang melintasi hak kepemilikannya (rumah di tepi jalan). Akan tetapi hal ini akan menjadi terlalu mahal terutama untuk pengawasannya. Ini adalah contoh dari eksternalitas. Contoh lain adalah seseorang yang melintasi halaman rumah milik orang lain tanpa permisi bukan lantas menjadikan si pemilik berhak untuk menembaknya. Ada peraturan-peraturan lain dalam bentuk hukum tertulis maupun norma yang membatasi hak kepemilikan. Semua masyarakat di negara-negara di dunia mempraktekkan pembatasan dari penggunaan hak kepemilikan privat sepanjang pembatasan itu dilakukan demi kepentingan publik (Rodrik 1999).

Biaya transaksi tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diminimalkan. Minimalisasi biaya transaksi adalah penting artinya tetapi minimalisasi biaya transaksi bukanlah tujuan melainkan sebuah proses antara untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan spesifik pada sistem ekonomi seperti maksimalisasi profit untuk perusahaan, maksimalisasi utilitas untuk individu, dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat untuk pemerintah (Rao 2003). Sumber daya yang pada awalnya dialokasikan untuk membangun dan menjaga hak kepemilikan, maka dengan biaya transaksi yang diminimalkan sumber daya tersebut dapat direalokasikan untuk fungsi-fungsi produksi. Dengan biaya transaksi yang diminimumkan, maka eksternalitas negatif yang timbul dapat diinternalisasikan melalui proses bargaining (Fauzi 2005). Jika biaya transaksi sebesar nol, maka efisiensi dapat tercapai dan eksternalitas akan menghilang (Coase 1960, diacu


(22)

dalam Williamson 1993). Artinya, minimalisasi biaya transaksi menjadi prasyarat menuju peningkatan efisiensi dan pengurangan eksternalitas.

Biaya transaksi diminimalkan salah satunya dengan modal sosial (social capital). Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menggolongkan modal sosial dalam dua kategori (i) kategori struktural, dan (ii) kategori kognitif. Kategori struktural adalah berbagai elemen dari organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), dan tata cara (procedures) sebagaimana juga berbagai jenis jaringan (networks) yang berkontribusi terhadap berlangsungnya kerjasama, dan lebih khususnya lagi adalah aksi bersama yang saling menguntungkan (MBCA: Mutually Beneficial Collective Action). Kategori kognitif berasal dari proses-proses mental dan berbagai gagasan, yang didukung oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sopan santun, dan keyakinan yang berkontribusi terhadap perilaku untuk bekerjasama dan MBCA.

Lebih lanjut Uphoff menyatakan bahwa kategori struktural inilah, utamanya dalam bentuk jaringan, yang menurunkan biaya transaksi karena interaksi yang sudah terpola menyebabkan hasil yang didapatkan dari kerjasama dapat lebih diprediksikan dan menguntungkan. Stiglitz (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menambahkan orang yang berada dalam satu jaringan yang sama akan lebih saling mengenal satu sama lain berikut ekspektasinya.

Selain kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, ada aspek lain yang dapat meminimalkan biaya transaksi yaitu reputasi (Solow 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999; Stiglitz 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Jika Solow tidak mengaitkan reputasi dengan modal sosial (karena Solow tidak setuju dengan penggunaan konsep modal dalam modal sosial), maka Stiglitz melihat bahwa reputasi adalah salah satu dari empat aspek modal sosial (tiga lainnya adalah tacit knowledge, collection of networks, dan organizational capital). Reputasi dapat meminimalkan biaya transaksi karena reputasi memunculkan kepercayaan (trust), dan dengan kepercayaan itulah maka tidak diperlukan lagi sumber daya untuk mencegah perilaku-perilaku eksploitatif (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Selain modal sosial, biaya transaksi juga diminimalkan melalui kelembagaan (institution). Begitu banyak literatur yang menyatakan bahwa kelembagaan dapat meminimalkan biaya transaksi (diantaranya Lin & Nugent


(23)

1995, diacu dalam Rodrik 1999; Allen 2005; Fauzi 2005). Hasil-hasil penelitian juga banyak yang menegaskan fungsi kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi (diantaranya Masten et al 1991, diacu dalam Allen 1999; Cordella 2001; Gabre-Madhin 2001; Poel 2005).

Ilmu ekonomi memang menerjemahkan institution sebagai kelembagaan tetapi cabang ilmu lain seperti sosiologi dan antropologi menerjemahkan

institution sebagai pranata. Ada juga yang menerjemahkan institution sebagai

institusi seperti pada terjemahan buku berjudul The Sociology of Social Change

karya PiÖtr Sztompka (1993). Terdapat banyak definisi yang ditawarkan (diantaranya Schotter 1981, diacu dalam Williamson 1993; Sztompka 1993; Lin & Nugent 1995, diacu dalam Rodrik 1999; Koentjaraningrat 2002; Helmke & Levitsky 2003; North 1991, diacu dalam Poel 2005). Bukannya saling bertentangan, tetapi berbagai jenis definisi yang ditawarkan tersebut mengandung tiga kesamaan substansi kelembagaan yaitu (i) kelembagaan adalah aturan main, (ii) aturan tersebut menata tindakan atau perilaku dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Jika kelembagaan adalah aturan main, maka satu hal yang menarik adalah Chhibber (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menyamakan antara kelembagaan informal dengan modal sosial.

Definisi yang ditawarkan oleh North adalah definisi yang paling banyak diterima berbagai kalangan (Poel 2005). Definisi kelembagaan dinyatakan sebagai berikut (North 1995):

“humanly devised constraints that structure human interaction.”

Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) melengkapi definisi tersebut dengan menyatakan bahwa kelembagaan adalah:

"a set of humanly devised behavioral rules that govern and shape the interactions of human beings, in part by helping them to form expectations of what other people will do."

Satu kesalahan adalah ketika institution disamakan dengan organization. Kelembagaan berbeda dengan organisasi. Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk


(24)

mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005).

Kelembagaan adalah fungsi dari biaya transaksi (Allen 2005). Penjelasannya adalah bahwa kelembagaan mengalokasikan/mendistribusikan hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1999). Berdasarkan rezim pengelolaan sumber daya, hak kepemilikan didistribusikan dalam tiga bentuk (i) hak kepemilikan publik/pemerintah (public/state property), (ii) hak kepemilikan privat (private property), dan (iii) hak kepemilikan bersama (common property). Allen (2005) menyatakan:

“…institution as a distribution of property rights; that is a set of rules and constraints that define our ability to exercise choices…”

Kelembagaan menjadi tidak memiliki pengaruh apapun pada situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Teori Coase menyatakan:

“In the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights.”

Arti dari teori ini adalah aturan main (dalam bentuk distribusi hak kepemilikan) menjadi tidak berpengaruh pada situasi ketika tawar menawar (bargaining) dapat dilakukan tanpa biaya (costlessly), sebuah situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Contoh yang diajukan oleh Coase adalah ketika seorang peternak berurusan dengan petani yang menjadi tetangganya mengenai hewan ternaknya yang sering melintasi lahan pertanian. Pada situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol, maka berapa banyak jumlah ternak yang boleh melintasi lahan pertanian tidak tergantung pada apakah peternak memiliki hak atau tidak, melainkan ditentukan oleh tingkat output yang dapat mewujudkan maksimalisasi kesejahteraan bersama (joint wealth maximizing level of output) antara peternak dan petani (Allen 2002). Sederhananya, teori Coase adalah aplikasi ilmu ekonomi terhadap situasi ketika tawar menawar dapat dilakukan tanpa biaya dan aturan main berubah (Allen 2005).

Tetapi, karena biaya transaksi selalu positif maka fungsi kelembagaan menjadi penting. Allen (2005) menyatakan secara tegas keterkaitan antara biaya transaksi dengan kelembagaan:

“…when transaction costs are zero, then the institutional rules do not matter. When transaction costs are positive (which they always are) then institution have significant consequences for the allocation of resources.”


(25)

Kelembagaan meminimalkan biaya transaksi selain melalui distribusi hak kepemilikan juga melalui pengurangan tingkat ketidakpastian (uncertainty) pada saat pertukaran terjadi (North 1995). Sebagaimana dinyatakan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999), kelembagaan membantu orang untuk membangun perkiraan tentang apa yang akan dilakukan orang lain. Kelembagaan juga meminimalkan biaya transaksi melalui pengaruhnya terhadap bagaimana organisasi-organisasi memilih bentuk kontrak, apakah kontrak yang lengkap (complete/complex contract) atau kontrak yang tidak lengkap (incomplete/simple contract). Holmstrom dan Tirole (1989 diacu dalam Masten dan Saussier 2001) mencirikan kontrak yang lengkap adalah kontrak yang (i) menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak pada setiap kemungkinan kondisi (every possible contingency), dan (ii) memberikan kemungkinan hasil terbaik (the best possible outcome) berdasarkan informasi yang tersedia saat kontrak dibuat sehingga tidak akan diperlukan lagi revisi atau upaya untuk melengkapi. Kelembagaan yang berjalan dengan baik dapat mengurangi kebutuhan untuk membuat kontrak yang lengkap. Hal ini dikarenakan kelembagaan yang berjalan dengan baik memunculkan praktek-praktek baik yang menjadi kelaziman (diistilahkan dengan common law) sehingga segala bentuk penyelewengan terhadapnya akan mudah teridentifikasi dan kontrak yang lengkap menjadi tidak lagi dibutuhkan (Allen 2002).

Vitalnya nilai kelembagaan tersebut menjadikan aspek kelembagaan sebagai salah satu dari empat pilar pokok ilmu wilayah (tiga lainnya adalah aspek inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumber daya, aspek ekonomi, dan aspek lokasi). Sistem kelembagaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat sangat menentukan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya (Rustiadi et al 2006).

Kelembagaan sosial (social institutions), menurut banyak ekonom seperti Douglass North, Oliver Williamson, dan Ronald Coase, lebih efisien dalam urusan mekanisme alokasi sumber daya, utamanya ketika terdapat biaya transaksi dalam pengalokasiannya (Stiglitz, 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed] 1999). Dalam kasus masyarakat tradisional, kelembagaan pasar non formal yang dibangun oleh masyarakat sebagai media bertransaksi seringkali lebih efisien dibandingkan kelembagaan pasar formal yang lebih mahal biaya transaksinya (Anwar 1994). Sedangkan kelembagaan formal, sebagai contoh adalah negara (state), membebankan biaya transaksi yang begitu besar


(26)

pada proses seperti pendirian usaha baru (setting up a new business) atau restrukturisasi usaha lama, dan seringkali dibutuhkan penyuapan (Chhibber 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Banyak penelitian yang mendukung bahwa kelembagaan informal lebih efisien dan lebih dapat meminimumkan biaya transaksi daripada kelembagaan formal. Penelitian yang dilakukan oleh Gabre-Madhin (2001) menunjukkan bahwa norma dan aturan yang mengatur hubungan antara pedagang (traders) dan pedagang perantara (brokers) pada pasar tanaman biji-bijian (grains) di Etiopia dapat mengurangi perilaku curang (cheating) yang mungkin dilakukan oleh pedagang perantara. Sukmadinata (1995) di dalam disertasinya menyatakan bahwa kelembagaan formal penjualan hasil tangkapan melalui Tempat-tempat Pelelangan Ikan/Pusat-pusat Pendaratan Ikan (TPI/PPI) menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPI/PPI. Yani (1999) di dalam tesisnya menyatakan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan kerapu yang menggunakan alat tangkap keramba jaring apung kerapu dengan

tauke (tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada nelayan) untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan.

Mekanisme kontrak informal dapat meminimumkan biaya transaksi yang dihadapi nelayan utamanya dikarenakan transaksi didasari oleh sikap saling percaya (trust) dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama dalam struktur masyarakat nelayan pantai. Penelitian yang dilakukan oleh Poel (2005) mengenai kelembagaan informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan tersebut dapat mendorong munculnya saling percaya (trust) terlebih dahulu. Saling percaya menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi. Sikap saling percaya dan kekeluargaan adalah kategori kognitif dari modal sosial (meliputi norma, nilai, sikap, dan keyakinan), kategori yang sulit dijumpai pada kelembagaan formal mengingat pada kelembagaan formal lebih didominansi oleh kategori struktural (peran, aturan, keteladanan, dan tata cara).


(27)

Tetapi, tidak selamanya kelembagaan informal itu efisien. Stiglitz menunjukkan kelembagaan sosial yang disfungsional (dysfunctional social institutions), misalnya adalah Kolombia, Amerika Serikat, Meksiko, dan lainnya akan menjadi lebih baik tanpa adanya perdagangan narkotika (narcotics trafficking). Tanpa adanya perdagangan narkotika, maka tingkat pendapatan yang sama (the same level of income) akan dapat lebih dinikmati (Stiglitz, 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Kelembagaan pun tidak selalu didesain agar efisien secara sosial (socially efficient). Bahkan, kerap kali kelembagaan didesain hanya untuk melayani kepentingan dari pihak yang memiliki kuasa untuk membuat peraturan-peraturan (North 1995). Kelembagaan dapat didesain untuk mengurangi biaya transaksi, tetapi seringkali yang terjadi adalah sebaliknya (Rao 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi. Untuk itu, penelitian ini diawali dengan pengukuran biaya transaksi. Pengukuran biaya transaksi adalah sebuah tantangan. Hal ini dikarenakan, pertama, tidak ada variabel terukur yang langsung dapat menghitung biaya transaksi. Dalam daftar input produksi, tidak ada komponen yang dinamakan biaya transaksi. Biaya transaksi tidak dapat dihitung secara langsung melainkan diperkirakan (estimated) dengan menggunakan berbagai variabel proxies (Gabre-Madhin 2001; Allen 2002).

Kedua, teori mengenai biaya transaksi belum sama diterima umum. Terdapat perbedaan bahkan mengenai definisi biaya transaksi itu sendiri (Allen 2002). Allen (1991, 1999) menggolongkan dua mazhab yang berbeda dalam mendefinisikan biaya transaksi: neoclassical approach dan property right approach. North (1995) mengistilahkan pendekatan yang digunakannya sebagai

University of Washington approach. Dengan segala perbedaan itu, biaya transaksi hanya dipersatukan oleh kesepakatan bahwa konsep ini memiliki nilai penting (North 1995).

Hingga tahun 1999, Allen (1999) menyatakan bahwa hanya terdapat dua penelitian saja yang mencoba mengukur biaya transaksi. Satu penelitian dilakukan oleh Wallis & North (1986), dan satu penelitian lainnya dilakukan oleh Masten, Meehan & Snyder (1991). Tantangan ini tentu memberikan gairah

tersendiri terhadap penelitian yang akan dilakukan ini. Kontribusi Allen melalui berbagai makalah di berbagai jurnal (1991, 1999, 2005) adalah nyata terhadap


(28)

penelitian ini untuk mencoba menjawab tantangan tersebut, termasuk membentuk mazhab yang dianut dalam penelitian ini yaitu property right approach.

Penelitian mengenai kelembagaan dapat dilakukan terhadap organisasi. Meskipun kelembagaan itu berbeda dengan organisasi, tetapi aturan main pada kelembagaan melekat di dalam organisasi (Helmke & Levitsky 2003). Organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di dalamnya diatur oleh sistem kelembagaan (Rustiadi et al 2006).

Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Iskandar (2004) menunjukkan bahwa organisasi pemuda dapat turut berinvestasi dalam modal sosial. Organisasi pemuda yang dimaksud adalah Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM), sebuah organisasi yang bergerak di tingkat kelurahan dan berlokasi di Kelurahan Tegal Gundil Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor. Investasi terhadap modal sosial dilakukan oleh KALAM melalui pembuatan koran komunitas.

Tidak hanya berinvestasi dalam modal sosial, KALAM sebagai organisasi pemuda juga turut mengelola sumber daya lokal. Para pedagang kaki lima diorganisir dalam satu wadah disebut dengan STG (Saung Tegal Gundil), dan jika sebelumnya para PKL tersebut berdagang dengan menempati trotoar, maka setelah diorganisir terbangunlah saung bambu yang apik bagi tempat para PKL berdagang tanpa mengganggu satupun pohon-pohon peneduh jalan hingga trotoar pun kembali pada fungsinya semula. Melalui pengorganisasian ini pula maka para PKL yang sebelumnya berdagang tanpa kepastian perizinan menjadi mendapatkan kepastian usaha dengan diberikannya izin usaha oleh Walikota Bogor.

Pembangunan STG pun diapresiasi oleh pemerintah dengan menjadikannya salah satu juara dalam Lomba Karya Inovasi Penataan Ruang yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Lomba yang diadakan dalam rangka memperingati World Town Planning Day 2008 itu berskala nasional. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan KALAM memberikan pengaruh terhadap pengelolaan wilayah, khususnya dalam hal penataan ruang dan peningkatan aktivitas ekonomi. Adanya STG menunjukkan bahwa organisasi pemuda seperti KALAM memiliki potensi daya ungkit (leveraging) bagi pembangunan wilayahnya.


(29)

Hal-hal inilah yang mendasari sehingga organisasi pemuda KALAM menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Investasinya terhadap modal sosial menandakan bahwa modal sosial organisasi KALAM telah baik sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap minimalisasi biaya transaksi. Perannya dalam pengelolaan sumber daya lokal menjadikan KALAM sebagai organisasi pemuda penting dalam konteks pembangunan wilayah.

Apalagi, dalam konteks wilayah perkotaan terdapat kecenderungan terjadinya “youth bulge”, ialah meningkatnya jumlah populasi pemuda dan ini utamanya terjadi di negara-negara berkembang. Menggunakan definisi pemuda versi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepemudaan yang menyebutkan bahwa pemuda ialah orang dalam rentang usia 18-35 tahun, maka jumlah pemuda dalam populasi penduduk Indonesia mencapai 32% (BPS 2008). Fenomena youth bulge ini pada gilirannya mendorong perhatian yang lebih terhadap penciptaan lapangan kerja, tingkat kriminalitas dan kekerasan, serta kesetaraan peluang (Hoornweg et al. 2007). Fenomena youth bulge memiliki pengaruh nyata terhadap ekonomi, sosial, dan budaya (Hansen et al. 2008).

Untuk kepentingan pembandingan dan pengujian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi maka ditentukanlah Karang Taruna Berbakti (KARTAR) Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor sebagai pembanding KALAM. Kesamaan-kesamaan antara KALAM dan KARTAR adalah (i) bergerak di tingkat kelurahan, dan (ii) berprestasi di tingkat Kota Bogor hingga Provinsi Jawa Barat.

Baik KALAM dan KARTAR juga sama-sama merupakan kelembagaan yang telah bertahan lama. KALAM didirikan pada tanggal 10 Agustus 2002 sedangkan KARTAR jauh lebih dahulu yaitu pada tanggal 3 Oktober 1982. Usia kelembagaan menjadi penting karena hal ini menjadi salah satu dari dua karakteristik dasar New Institutional Economics (NIE) (Allen 2005):

“…the NIE has two critical characteristics. First, it views long lived institution as efficient and therefore proper subject of economic inquiry.”

Penelitian yang dilakukan akan menghasilkan pengetahuan mengenai pengaruh dari kelembagaan dalam meminimalkan biaya transaksi. Pengetahuan ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya-upaya penguatan kelembagaan.


(30)

Penguatan kelembagaan menjadi istilah yang populer dan kerap kali didengungkan oleh banyak pihak dari beragam sektor. Hal ini salah satunya didasari oleh kecenderungan bahwa banyak kelembagaan, baik formal maupun informal, yang semakin melemah sehingga tidak mampu lagi mengatur dan membentuk pola perilaku para anggotanya. Kelembagaan yang ada pun banyak diduga tidak efisien secara sosial melainkan hanya melayani kepentingan pihak yang memiliki kuasa untuk membentuk peraturan-peraturan. Menurut Rachbini (2001), pembangunan kelembagaan adalah unsur paling lemah dalam pemerintahan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini. Cepatnya pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh kelembagaan yang modern dan kuat sehingga Indonesia tergelincir ke dalam krisis sosial politik yang akut.

Penguatan kelembagaan tidak lengkap dipahami dan dilakukan hanya melalui pembuatan atau revitalisasi aturan main saja. Penguatan kelembagaan yang menjadi agenda penting nasional dan dilaksanakan oleh multi sektor dan multi pihak ini hanya dapat utuh dipahami dan dilakukan jika memperhatikan sisi minimalisasi biaya transaksi yang memang menjadi fitrah dari kelembagaan: kesepakatan yang meminimumkan biaya transaksi (Fauzi 2005). Atas dasar inilah penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui besaran biaya transaksi pada dua kelembagaan pemuda yang menjadi studi kasus.

2. Mengetahui faktor-faktor dari kelembagaan yang berpengaruh terhadap minimalisasi biaya transaksi.


(31)

2 TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Masyarakat dan Interaksi antar Anggotanya

Di dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi interaksi. Setiap masyarakat merupakan suatu kesatuan individu yang antara satu dan lainnya berada dalam hubungan interaksi yang berpola mantap (Koentjaraningrat 2002) dan salah satu bentuk interaksi itu adalah pertukaran ekonomi. Interaksi tersebut dapat dijalankan karena pada masyarakat terdapat prasarana untuk berinteraksi seperti jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, media massa baik cetak maupun elektronik, hingga upacara-upacara pada hari-hari besar tertentu (Koentjaraningrat 2002).

Tetapi bukan berarti sekumpulan manusia yang saling berinteraksi tersebut dapat serta merta disebut sebagai masyarakat, karena bisa jadi sekumpulan manusia itu sebenarnya adalah kerumunan (crowd). Anggota kerumunan bisa jadi saling berinteraksi satu sama lain. Hal yang membedakan antara masyarakat dengan kerumunan adalah bahwa masyarakat memiliki pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan, dan pola tingkah laku itu bersifat mantap dan berkesinambungan, atau telah menjadi adat istiadat yang khas. Pola tingkah laku itu dapat menjadi mantap dan berkesinambungan karena adanya sistem norma, hukum, dan aturan-aturan khas (Koentjaraningrat 2002).

Terakhir, ciri lain yang melekat pada sekumpulan manusia yang disebut masyarakat adalah dimilikinya rasa identitas diantara para warga atau anggotanya. Rasa identitas ini membuatnya menjadi satu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya (Koentjaraningrat 2002).

Konsep interaksi sangat penting dalam menganalisis masyarakat. Interaksi itu terjadi bila seorang anggota masyarakat berbuat demikian rupa sehingga menimbulkan respon atau reaksi dari anggota lainnya. Dalam menganalisis proses interaksi harus dibedakan dua hal pokok antara (i) kontak, dan (ii) komunikasi. Kontak antar individu tidak hanya mungkin terjadi pada jarak dekat seperti misalnya berhadapan muka atau sejauh jangkauan panca indera manusia saja, melainkan dapat terjadi pada jarak yang teramat jauh melalui alat-alat kebudayaan masa kini seperti buku, media massa, telepon, dan teknologi informasi. Ketika buku dibaca, maka telah terjalin kontak antara pembaca dengan penulis. Komunikasi muncul setelah terjadi kontak dalam bentuk reaksi


(32)

pihak kedua sebagai akibat ditangkapnya pesan yang dikeluarkan oleh pihak pertama (Koentjaraningrat 2002).

Adanya kontak belum berarti adanya komunikasi, seperti misalnya seorang pembaca yang tidak dapat memahami tulisan seorang penulis. Sering terjadi juga ketika pesan yang dikeluarkan oleh pihak pertama ditangkap secara berbeda oleh pihak kedua sehingga menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. Banyak proses interaksi di masyarakat yang berlangsung semacam itu sehingga menimbulkan berbagai ketegangan (Koentjaraningrat 2002).

2.2 Kelembagaan

Ilmu sosiologi dan antropologi menerjemahkan institution sebagai pranata. Pranata adalah sistem aturan-aturan yang menata rangkaian tindakan sehingga dapat berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat 2002). Institution seringkali juga dialihbahasakan menjadi institusi. Terjemahan dari buku The Sociology of Social Change karya PiÖtr Sztompka menyebutkan bahwa institusi sosial adalah ikatan dalam bentuk aturan (seperti nilai, norma, ketentuan, dan cita-cita) yang menghubungkan antar individu dalam kehidupan bersama (Sztompka 1993).

Ilmu ekonomi menerjemahkan institution sebagai kelembagaan. North (1991, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah batasan-batasan yang dibuat oleh manusia (humanly devised constraints) sehingga interaksi politik, ekonomi, dan sosial dapat lebih terstruktur. Schotter (1981, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah kebiasaan dalam bertingkahlaku yang disetujui bersama oleh para anggota masyarakat sekaligus sebagai pengatur dalam bertingkahlaku pada situasi-situasi tertentu. Satu definisi yang cukup lengkap mengenai kelembagaan diajukan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat aturan mengenai perilaku yang dibuat oleh manusia yang mengatur dan membentuk interaksi antar individu sehingga orang dapat terbantu untuk membangun perkiraan tentang apa yang orang lain akan lakukan.

Beragam kata yang menjadi terjemahan dari kata institution tersebut memiliki garis kesamaan substansi. Kesamaan tersebut adalah (i) di dalam


(33)

dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Mengingat penelitian ini dibangun dari ilmu ekonomi dan nomenklatur kelembagaan lebih umum digunakan dibandingkan dengan pranata, maka penelitian ini menggunakan nomenklatur kelembagaan.

Kelembagaan (institution) seringkali disangka orang memiliki arti yang sama dengan organisasi. Ini adalah sebuah kesalahan karena organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005).

Kehidupan bermasyarakat menuntut adanya kelembagaan. Ungkapan Latin kuno menyatakan ubi societas ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya norma bersama. Norma bersama adalah salah satu hal yang menyebabkan orang dapat memprediksi perilaku orang lain (Segerstedt, diacu dalam Sztompka 1993). Norma bersama adalah salah satu contoh dari kelembagaan.

Adanya kebutuhan akan kelembagaan mendorong manusia untuk membuatnya. Sistem aturan sosial adalah buatan manusia (Burns & Flam, diacu dalam Sztompka 1993). Manusia melakukannya melalui tiga cara (i) penciptaan, (ii) penafsiran (interpretasi), dan (iii) penerapan. Pembuatan kelembagaan menjadi medan konflik sosial dan perjuangan dan medan politik. Kelembagaan, yang dilahirkan dari tindakan manusia, pada akhirnya juga akan memaksa tindakan manusia (Sztompka 1993).

Jumlah kelembagaan yang dibuat oleh suatu masyarakat tergantung pada kompleksitas kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Semakin kompleks kebudayaan, maka akan semakin banyak jumlah kelembagaannya. Mengingat masyarakat selalu menjadi semakin kompleks, maka jumlah kelembagaan pun menjadi selalu bertambah (Koentjaraningrat 2002).


(34)

2.2.1 Kelembagaan dan Sumber Daya Wilayah

Kelembagaan menjadi salah satu pilar dari ilmu wilayah (regional science). Jika ilmu wilayah bertitik tolak dari fakta bahwa sumber daya tidak hanay langka tetapi juga tersebar tidak merata secara spasial, maka kelembagaan berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumber daya yang langka dan tersebar tidak merata tersebut secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Sistem kelembagaan yang ada mempengaruhi penguasaan dan pengelolaan sumber daya tersebut, misalnya penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat adat sekitar hutan yang dipengaruhi oleh aturan adat (Rustiadi et al. 2006).

Kelembagaan dapat dilihat sebagai distribusi hak kepemilikan, yaitu seperangkat aturan yang mendefinisikan kapasitas seseorang untuk menentukan pilihan atas penggunaan suatu sumber daya (Allen 2005). Tanpa distribusi hak kepemilikan, maka kompetisi atas suatu sumber daya akan berlangsung dengan kekerasan hingga menjadi dunia yang anarkis (Alchian 2002; Allen 2005).

Sumber daya baru dapat dikatakan sebagai sumberdaya apabila telah memenuhi dua kriteria yaitu (i) manusia memiliki pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkannya, dan (ii) ada permintaan terhadap sumberdaya tersebut (Fauzi 2004). Sebagai gambaran, pada masa dimana manusia belum mengetahui bagaimana eksplorasi minyak bumi dan manusia juga masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, maka pada masa itu minyak bumi bukanlah sumberdaya.

Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Jika sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004), maka modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).

Secara garis besar, modal dibagi menjadi dua yaitu modal alam (natural capital) dan modal buatan manusia (human-made capital, untuk selanjutnya disebut modal buatan) (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).


(35)

Jelas bahwa pembeda utama antara kedua golongan itu adalah apakah keberadaan sumber daya tersebut dibuat oleh manusia ataukah terbentuk melalui proses alamiah (Fauzi 2004). Modal alam adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jansson et al.

1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal buatan itu terbagi lagi menjadi modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital). Modal fisik meliputi banyak jenis seperti bangunan, jalan, bahkan hewan ternak dan berbagai peralatan (tools). Modal manusia adalah pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan dan diimplementasikan manusia pada aktivitasnya. Modal manusia ini dapat dibentuk secara sadar melalui pendidikan dan pelatihan maupun dibentuk secara tak sadar melalui pengalaman (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal sosial akan dijelaskan dalam sub bab tersendiri selanjutnya.

2.2.2 New

Institutional

Economics

Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm.

Tetapi makalah tersebut tidak hanya memperkenalkan biaya transaksi ke dalam analisis ekonomi semata, melainkan juga menjadi awal dari apa yang disebut dengan New Institutional Economics. Istilah New Institutional Economics sendiri diciptakan oleh Oliver Williamson untuk membedakannya dengan Old Institutional Economics (Coase 1998).

New Institutional Economics berangkat dari pemahaman bahwa

kesejahteraan (welfare) masyarakat ditentukan oleh aliran barang dan jasa, sedangkan aliran ini ditentukan oleh produktivitas sistem ekonomi. Adam Smith menjelaskan bahwa produktivitas sistem ekonomi bergantung pada pembagian kerja (division of labor) atau spesialisasi, tetapi spesialisasi ini hanya dapat terjadi ketika pertukaran (exchange) dapat dilakukan. Ada biaya untuk melakukan pertukaran, dan ketika pertukaran dapat dilakukan dengan biaya yang semakin rendah, maka pada gilirannya spesialisasi akan semakin banyak sehingga produktivitas dari sistem ekonomi menjadi meningkat (Coase 1998). Artinya, tinggi rendahnya biaya untuk melakukan pertukaran (the costs of exchange) mempengaruhi tingkat produktivitas dari suatu sistem ekonomi.


(36)

Tetapi biaya untuk melakukan pertukaran ini dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada dimana di dalam kelembagaan tersebut mencakup sistem hukum, sistem politik, sistem sosial, sistem pendidikan, budaya, dan lainnya. Melihat keterkaitan ini, maka dapat dinyatakan bahwa kelembagaanlah yang menentukan kinerja perekonomian dan hal ini yang menjadi arti penting dari

New Institutional Economics (Coase 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa:

“institutions are chosen (either explicitly through a conscious act or implicitly through trial and error) to maximize the gains from trade and production net of transaction costs.”

Ini disebut oleh Allen sebagai hipotesis utama (grand hypothesis) dari New Institutional Economics. Pada hipotesis ini dapat dilihat perpaduan antara kerangka neoklasik (maximize the gains from trade and production) dengan kerangka kelembagaan (net of transaction costs).

Allen (2005) selanjutnya menambahkan bahwa New Institutional Economics memiliki dua karakter kritis (critical characteristics): pertama,

asumsinya bahwa biaya transaksi selalu positif, dan kedua, kelembagaan yang dijadikan subyek penelitian ekonomi adalah kelembagaan yang telah lama bertahan (long lived institutions) karena menandakan bahwa kelembagaan tersebut efisien (Allen 2005).

2.3 Biaya

Transaksi

Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm.

Coase sendiri menyatakan (Coase 1998):

“It is commonly said, and it may be true, that the new institutional economics started with my article, The Nature of the Firm (1937), with its explicit introduction of transaction costs into economic analysis.”

Coase sendiri tidak pernah mendefinisikan biaya transaksi. Hanya saja, Coase menyatakan bahwa terdapat biaya atas penggunaan mekanisme harga (the cost of using the price mechanism) (Allen 1999).

Penjelasan mengenai pernyataan tersebut diawali dengan pertanyaan Coase (1992 dalam Allen 1999):

“We had a factor of production, management, whose function was to coordinate. Why was it needed if the pricing system provided all the coordination necessary?”


(37)

Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa terdapat biaya untuk menggunakan mekanisme harga. Contoh dari biaya semacam ini yang diberikan oleh Coase misalnya adalah proses mencari harga (discovering what prices are) serta negosiasi dan pembuatan kontrak (Allen 1999).

Mekanisme harga digunakan untuk mengalokasikan sumber daya, dan ketika ada biaya untuk menjalankan mekanisme harga tersebut, maka mekanisme tersebut akan bersaing dengan mekanisme lain seperti perusahaan (firms) dan pemerintah. Setiap metode alokasi sumber daya tidak pernah gratis, selalu ada biayanya. Coase berargumen bahwa ada saat ketika mekanisme perusahaan dan manajemennya menggantikan pasar, dan ada saat lainnya ketika harga pasar (market prices) digunakan untuk mengalokasikan barang dan jasa (Allen 1999).

Setelah The Nature of the Firm yang ditulis pada tahun 1937, baru pada makalah Coase selanjutnya yang berjudul The Problem of Social Cost (1960) dinyatakan secara eksplisit adanya keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan dirangkum pada apa yang dinamakan sebagai Teori Coase (Coase Theorem) (Allen 1999):

“In the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights.”

Pendapat tersebut oleh Cheung (1969) lantas diperluas dalam konteks kontrak dan pilihan jenis kontrak (contract choices) (Allen 1999). Cheung secara eksplisit menyatakan bahwa pilihan akan jenis kontrak dipengaruhi oleh biaya transaksi yang terkandung pada masing-masing jenis kontrak tersebut. Biaya transaksi semacam ini tidak hanya meliputi biaya antar aktor pasar (across markets) tetapi juga internal di dalam perusahaan (internal to the firm) (Allen 1999).

2.3.1 Definisi Biaya Transaksi

Definisi biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua golongan utama yaitu golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan. Golongan neoklasik mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya yang ditimbulkan oleh transfer hak kepemilikan. Definisi ini memang merujuk pada hak kepemilikan, tetapi biaya transaksi hanya muncul ketika transfer terjadi (Allen 1999). Dapat juga dikatakan bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk melaksanakan transaksi (cost of


(38)

transacting) atau biaya yang muncul pada saat melakukan pertukaran (costs that arise in an exchange).

Sebagai orang yang memperkenalkan biaya transaksi pertama kali, Coase termasuk ke dalam golongan neoklasik. Coase (1998) menulis:

“...the lower the costs of exchange (transaction costs if you will),...”

Costs of transacting dicontohkan dengan permisalan seorang pemilik perkebunan yang bertransaksi dengan seorang petani hingga membuat satu kesepakatan dan costs of transacting meliputi usaha yang dikeluarkan oleh pemilik perkebunan untuk menuju rumah petani, lantas waktu dan naskah-naskah yang disusun untuk membuat kesepakatan, dan akhirnya usaha yang dikeluarkan untuk kembali pulang setelah kesepakatan terjadi. Contoh lebih lengkapnya sebagaimana dinyatakan oleh Stavins (1995, diacu dalam Allen 1999):

“In general, transaction costs are ubiquitous in market economies and can arise from the transfer of property right because parties to exchanges must find one another, communicate and exchange information. There may be necessity to inspect and measure goods to be transferred, draw up contracts, consult with lawyers or other experts and transfer title. Depending upon who provides these services, transaction costs can take one of two forms, inputs or resources - including time – by a buyers and/or a seller or a margin between the buying and selling price of a commodity in a given market”.

Definisi pertama ini adalah definisi yang paling umum diterima. Biaya semacam ini adalah serupa (equivalent) dengan pajak (taxes) atas transaksi yang dilakukan (Allen 1991).

Menyerupakan biaya transaksi seperti pajak adalah sebuah kesalahan. Implikasi atas penyerupaan itu adalah biaya transaksi itu sederhana, mudah diamati, dan tergolong jenis biaya pada umumnya (ordinary costs) yang dapat langsung dimasukkan pada fungsi biaya (costs function) sebagaimana lainnya. Ketika biaya transaksi diperlakukan seperti pajak, maka analisis nantinya tidak akan dapat menjelaskan keberadaan hubungan-hubungan kontrak (contractual relationships) yang bersifat spesifik, padahal untuk alasan inilah biaya transaksi awal mulanya ada (Allen 1991).

Definisi selanjutnya adalah definisi dari golongan hak kepemilikan, digagas oleh Allen (1991) dengan menyatakan bahwa biaya transaksi adalah segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak-hak kepemilikan (resources used to establish and maintain property rights). Definisi


(39)

ini secara tegas menyatakan hubungan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan.

Implikasi dari definisi ini adalah biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan yang lengkap adalah dua situasi yang sama. Pernyataan “jika biaya transaksi sama dengan nol dan hak kepemilikan lengkap” adalah pengulangan yang tidak perlu. Jika biaya transaksi sangat tinggi, maka hak kepemilikan menjadi nol (Allen 1999). Menggunakan definisi dari golongan hak kepemilikan ini, maka dapat ditarik secara lebih tegas garis pembatas antara biaya produksi (seperti biaya transportasi) dengan biaya transaksi.

Definisi dari golongan hak kepemilikan ini juga konsisten dengan teori Coase. Coase (1960, diacu dalam Allen 1991) menyatakan:

“when transaction costs are zero, the gains from trade are maximized, independent of any initial distribution of property rights”.

Biaya transaksi sama dengan nol adalah sama dengan situasi ketika hak kepemilikan terdefinisikan dengan sempurna (perfectly defined property rights). Jika hak kepemilikan tidak terdefinisikan dengan sempurna, maka usaha akan dilakukan untuk menyempurnakannya. Biaya atas usaha yang dilakukan inilah yang disebut sebagai biaya transaksi. Oleh karena itu, biaya transaksi adalah sumber bagi segala penjelasan mengenai distribusi hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1991).

Jika biaya transaksi sama dengan pajak (sebagaimana pada definisi neoklasik), maka teori Coase tersebut akan tetap berlaku bahkan ketika biaya transaksi tersebut positif. Oleh karena itu, definisi neoklasik yang mengecualikan usaha-usaha untuk membangun hak kepemilikan menjadi tidak konsisten dengan teori Coase (Allen 1991).

Pembeda lain antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan adalah jenis biaya penegakan (enforcement-type cost) di dalam

perusahaan bukanlah biaya transaksi. Hal ini dikarenakan biaya transaksi hanya muncul antar perusahaan atau individu pada saat proses pertukaran terjadi (Allen 1999). Lebih lengkapnya mengenai perbedaan definisi biaya transaksi dan implikasinya antara golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 1.


(40)

Tabel 1 Perbedaan definisi biaya transaksi berikut implikasinya antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan

Perbedaan definisi biaya transaksi dan implikasinya Komponen

perbedaan

Golongan neoklasik Golongan hak kepemilikan

Terkait dengan hak kepemilikan

Biaya transaksi hanya muncul pada saat transfer hak kepemilikan

Biaya transaksi, selain muncul pada saat transfer hak kepemilikan, juga muncul sebagai biaya untuk menjaga (maintain) hak kepemilikan

Perbedaan dengan biaya produksi

Serupa dengan biaya produksi, utamanya biaya transportasi. Juga serupa dengan pajak (taxes)

Perbedaannya jelas dengan biaya produksi

Internal/eksternal terhadap aktor pasar

Eksternal terhadap aktor pasar karena biaya transaksi hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market)

Selain eksternal, juga internal terhadap aktor pasar (internal to the firm)

Konsistensi dengan

Teori Coase Tidak konsisten Konsisten

Sumber: Penulis dengan mengolah dari Allen (1991, 1999)

Biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu harga pasar yang efektif (single effective market price) pada saat pertukaran terjadi (Sadoulet & de Janvry 1995, diacu dalam Gabre-Madhin 2001).

2.3.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi

Berdasarkan definisi Allen (1991), maka biaya transaksi akan muncul pada tiga situasi. Pertama, biaya transaksi akan muncul pada situasi pertukaran yang dipaksakan (coerced exchange) seperti pencurian. Biaya atas kunci pengaman, anjing penjaga, dan senjata api yang digunakan untuk mencegah perampokan adalah biaya transaksi. Demikian juga halnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perampokan seperti alat pembuka kunci, tongkat, atau lainnya adalah juga biaya transaksi. Kedua, biaya transaksi akan muncul pada usaha-usaha untuk mencegah atau mengambil keuntungan melalui free riding pada barang-barang publik (public goods). Ketiga, dan yang terpenting, biaya transaksi muncul pada semua jenis transaksi lainnya. Pada setiap pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchanges, sebagai lawan dari coerced exchange), biaya


(41)

transaksi muncul sebagai usaha yang dilakukan untuk menangkap kesejahteraan (wealth) orang lain sekaligus mencegah kesejahteraannya sendiri diambil orang lain. Melihat tiga situasi tersebut, maka biaya transaksi bersifat ada dimana-mana (ubiquitous) (Allen 1991).

Biaya transaksi memang tidak dapat dihilangkan. Biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata (Allen 1991, 2005). Hal ini dikarenakan hak kepemilikan tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumber daya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak akan suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005).

Penyebabnya adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal (Rodrik 1999; Alchian 2002). Sebagai contoh adalah polusi suara yang diderita oleh pemilik rumah di tepi jalan raya. Pada situasi well-established property rights, maka pemilik rumah dapat menagih para pengguna jalan sebagai kompensasi atas polusi suara yang melintasi hak kepemilikannya (rumah di tepi jalan). Akan tetapi hal ini akan menjadi terlalu mahal terutama untuk pengawasannya. Ini adalah contoh dari eksternalitas. Contoh lain adalah seseorang yang melintasi halaman rumah milik orang lain tanpa permisi bukan lantas menjadikan si pemilik berhak untuk menembaknya. Ada peraturan-peraturan lain dalam bentuk hukum tertulis maupun norma yang membatasi hak kepemilikan. Semua masyarakat di negara-negara di dunia mempraktekkan pembatasan dari penggunaan hak kepemilikan privat sepanjang pembatasan itu dilakukan demi kepentingan publik (Rodrik 1999).

Biaya transaksi juga terkait dengan informasi yang tidak gratis. Allen (1991) menyatakan:

”Information regarding the number and levels of each good’s attributes is not free”.

Implikasi langsung dari pernyataan ini adalah bahwa biaya informasi adalah syarat perlu (necessary condition) bagi permasalahan biaya transaksi. Meskipun demikian, biaya informasi tidak selalu menjadi biaya transaksi. Biaya yang muncul atas pengumpulan informasi yang independen terhadap suatu pertukaran, dalam arti biaya ini ada meskipun tanpa terjadinya sebuah pertukaran, adalah biaya informasi dan bukan biaya transaksi. Termasuk juga di


(42)

dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan seperti mencari mitra dagang, memilih barang-barang yang diperlukan, atau membandingkan dan mencari harga terbaik adalah biaya informasi, dan bukan biaya transaksi (Allen 1991).

Tetapi asumsi informasi yang tidak gratis tidak cukup untuk menjelaskan munculnya biaya transaksi. Asumsi kedua diperlukan dan asumsi tersebut adalah bahwa barang (goods) merupakan vektor dari karakter variabilitas dan karakter kemungkinan untuk dimodifikasi (vectors of variable and alterable attributes)(Allen 1991).

Pembeda utama antara kedua karakter tersebut adalah bahwa variabilitas ialah perubahan yang disebabkan oleh alam sedangkan karakter kemungkinan untuk dimodifikasi (untuk selanjutnya disebut karakter alterable) adalah perubahan yang disebabkan oleh manusia (Allen 1991). Selengkapnya mengenai contoh dari kedua karakter ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Contoh karakter variabilitas dan karakter alterable sebagai vektor terhadap barang (goods)

Karakter Alterable (dapat dimodifikasi oleh manusia)

Non-alterable (tidak dapat dimodifikasi oleh manusia)

Variable (dapat beragam karena alam)

Kesemua yang lainnya Gempa bumi

Topan badai

Non-variable (tidak dapat beragam karena alam)

Mawar Tuhan Sumber: Allen (1991)

Asumsi kedua ini menjadi penting karena karakter variabilitas dan karakter

alterable menentukan muncul tidaknya biaya transaksi. Jika sebuah barang memiliki variabilitas dan dapat dimodifikasi oleh manusia, maka biaya transaksi akan muncul. Jika hanya salah satu karakter saja yang melekat pada suatu barang, maka biaya transaksi akan sama dengan nol (Allen 1991).

Sebagai contoh adalah telur. Jika telur tidak dapat beragam karena alam, sedangkan telur tersebut dapat dimodifikasi oleh manusia, maka ketika misalnya kuning telurnya disedot dan cairannya diganti dengan zat lain tanpa memecahkan kulit telur lantas telur tersebut dijual, maka si penjual pasti tidak akan dapat lari dari tuduhan berperilaku curang. Hal ini dikarenakan telur tersebut tidak memiliki karakter variabilitas sehingga tidak mungkin berubah karena alam. Segala perubahan terhadap telur pastinya dipersalahkan kepada penjual yang berperilaku curang.


(1)

Assets Specificity

9.

Apakah sumber daya hanya dapat/boleh digunakan untuk penggunaan

tertentu saja sebagaimana dimaksudkan di awal atau dapat/boleh

digunakan untuk bermacam-macam penggunaan?

Sumber daya hanya dapat/boleh digunakan untuk penggunaan tertentu saja sebagaimana dimaksudkan di awal yaitu (mohon diisi)…..

Sumber daya dapat/boleh digunakan untuk bermacam-macam penggunaan

10. Seberapa banyak/sering sumber daya digunakan secara berbeda

dibanding maksudnya di awal?

Sumber daya seluruhnya/selalu digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

Sumber daya sebagian besar/sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

Sumber daya agak banyak/agak sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

Sumber daya sebagian kecil/sesekali digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

Sumber daya tidak ada/tidak pernah digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

11. Apakah penggunaan sumber daya secara berbeda dibanding maksudnya di

awal itu menimbulkan kerugian bagi KALAM/KARTAR?

Justru menguntungkan KALAM/KARTAR

Tidak menimbulkan kerugian apapun bagi KALAM/KARTAR Ada kerugian bagi KALAM/KARTAR, tetapi kecil

Kerugian bagi KALAM/KARTAR cukup besar Kerugian bagi KALAM/KARTAR sangat besar


(2)

Lampiran 2. Kuesioner untuk responden

beneficiaries

Identitas Responden

Nama :

Usia :

Alamat rumah

: ………...……....

No.telp rumah/HP :

1.

Apakah anda tahu mengenai organisasi KALAM/Karang Taruna (Kartar) di

kelurahan anda?

Sangat tahu

Banyak tahu

Agak tahu

Sedikit tahu

Tidak tahu sama sekali

Jika anda tahu, maka apa yang anda ketahui mengenai:

Kegiatan KALAM/KARTAR:

...

...

...

...

...

Tujuan KALAM/KARTAR:

...

...

...

2.

Menurut anda, seberapa banyak pemuda setempat di kelurahan yang

mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR?

Seluruh pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR Sebagian besar pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari

KALAM/KARTAR

Separuh pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR Sebagian kecil pemuda di kelurahan mendapat pengaruh positif dari

KALAM/KARTAR*

Tidak ada pemuda di kelurahan yang mendapat pengaruh positif dari

KALAM/KARTAR (jika ini yang dipilih sebagai jawaban, maka pertanyaan tidak dilanjutkan)

Jika ada pemuda yang mendapat pengaruh positif, mohon sebutkan

bentuk pengaruh positifnya:


(3)

...

...

...

...

...

(Pertanyaan lanjutan khusus jika jawabannya “sebagian kecil pemuda”)

Apakah yang anda maksud dengan sebagai kecil pemuda itu adalah (i)

anggota KALAM/KARTAR saja, ataukah (ii) anggota KALAM/KARTAR

ditambah segelintir pemuda setempat lain? ...

3.

Adakah diantara pemuda-pemuda tersebut yang mendapatkan dampak

besar dari pengaruh positif yang diterima? Ada / Tidak ada / Tidak tahu

Jika “Ada”, maka seberapa banyak?

Tandai pilihan

Seluruh pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar

Sebagian besar pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar

Separuh pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar

Sebagian kecil pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR menerimanya sebagai dampak besar

Tidak ada pemuda yang mendapat pengaruh positif dari KALAM/KARTAR yang menerimanya sebagai dampak besar

Mohon sebutkan bentuk-bentuk dampak besarnya:

...

...

...

...

...


(4)

Lampiran 3. Kategori dan skoring variabel penjelas

Variabel Kategori Skoring

Seluruh anggota menjadi teman akrab 5 Sebagian besar anggota menjadi teman akrab

5

Separuh anggota menjadi teman akrab 3 Sebagian kecil anggota menjadi teman akrab

1

x1 (kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan)

Jumlah anggota organisasi yang menjadi teman akrab

Tidak ada anggota yang menjadi teman akrab

1

Seluruh tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta

5

Sebagian besar tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta

5

Separuh tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta

3

Sebagian kecil tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta

1

x2 (aspek reputasi dari modal sosial)

Tingkat tugas yang diselesaikan responden dan anggota lainnya secara tepat waktu dan sesuai

Tidak ada tugas yang dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan yang diminta

1

Hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya

5 (jika Ya), 1 (jika tidak) Hak untuk mendapatkan manfaat

ekonomi

5 (jika Ya), 1 (jika tidak) Hak untuk mengecualikan pihak lain 5 (jika Ya), 1 (jika tidak)

x3 (hak kepemilikan yang tidak lengkap)

Bundle of rights

Hak untuk mentransfer sumber daya 5 (jika Ya), 1 (jika tidak) Sumber daya selalu/ seluruhnya

digunakan oleh orang yang tidak berhak 5

Sumber daya seringkali/banyak

digunakan oleh orang yang tidak berhak 5

x4 (hak kepemilikan yang tidak

sempurna)

Tingkat penggunaan sumber daya oleh orang yang tidak berhak

Sumber daya agak sering/agak banyak digunakan oleh orang yang tidak berhak


(5)

Variabel Kategori Skoring Sumber daya sesekali/sedikit

digunakan oleh orang yang tidak berhak 1

Sumber daya tidak pernah/tidak ada digunakan oleh orang yang tidak berhak

1

Semua anggota memiliki tingkat informasi yang sama

1

x5 (informasi asimetris)

Tingkat penguasaan informasi antar orang mengenai kondisi

sumber daya Beberapa orang tahu lebih banyak 5 Sumber daya seluruhnya/selalu

digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

1

Sumber daya sebagian besar/sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

1

Sumber daya agak banyak/agak sering digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

3

Sumber daya sebagian kecil/sesekali digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

5 Tingkat penggunaan

secara berbeda dibandingkan yang dimaksudkan di awal

Sumber daya tidak ada/tidak pernah digunakan secara berbeda dibanding maksudnya di awal

5

Justru menguntungkan 1 Tidak menimbulkan kerugian apapun 1 Ada kerugian, tetapi kecil 3 Kerugian cukup besar 5

x6 (tingkat spesifisitas aset)

Tingkat kerugian akibat penggunaan secara berbeda


(6)

Lampiran 4. Hasil skoring variabel penjelas

x1

x2

x3

x4

x5

x6

Y1R1

5

3

2

1

5

4.5

Y1R2

5

4

2

1

5

4.5

Y1R3

5

5

1

1

5

1

Y1R4

5

4

1

1

5

1

Y1R5

5

4

2

1

5

3

Y1R6

5

3

2.5

1

5

5

Y2R1

1

5

4

1

5

5

Y2R2

1

3

4

1

5

5

Y2R3

3

3

4

1

5

4.5

Y2R4

1

4

4

1

5

4.5

Y2R5

1

4

4

1

5

4.5

Y1* = 1,073,388.66

Y2 = 3,683,345.94

Skoring variabel penjelas

Kode

responden

pelaku

Nilai Y (Rp)

* Y1 adalah besaran biaya transaksi pada KALAM, Y2 adalah besaran biaya transaksi pada KARTAR.


Dokumen yang terkait

Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

5 116 193

Resistensi Masyarakat Terhadap Organisasi Kepemudaan (Studi Kasus Tentang Keberadaan Organisasi Pemuda Pancasila Di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok)

4 96 149

Persepsi Masyarakat Terhadap Organisasi Sosial Kepemudaan (Studi Deskriptif pada Majelis Pimpinan Cabang Organisasi Pemuda Pancasila di Jl. Rangkuti No.7 Kabupaten Simalungun)

4 97 99

RESEPSI ORGANISASI PEMUDA TENTANG MODEL KEPEMIMPINAN JOKOWI PADA PROGRAM “KABAR KHUSUS” DI TV ONE EDISI 22 JANUARI 2013 (Studi pada Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor Kota Malang)

0 5 45

RESEPSI ORGANISASI PEMUDA TENTANG MODEL KEPEMIMPINAN JOKOWI PADA PROGRAM “KABAR KHUSUS” DI TV ONE EDISI 22 JANUARI 2013 (Studi pada Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Ansor Kota Malang)

0 18 45

MANAJEMEN ORGANISASI PEMUDA

0 4 13

membangun tim pada organisasi pemuda

0 0 7

A. Pedoman Wawancara untuk Organisasi Pemuda - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 43

Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 2 18

BAB II PEMUDA PANCASILA DARI ORGANISASI KEMASYARAKATAN PEMUDA MENJADI ORGANISASI KEMASYARAKATAN 2.1 Organisasi Pemuda Pancasila sebagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) - Srikandi Pemuda Pancasila Sumatera Utara (1982 – 2007)

0 1 12