44
2.4 Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Rony 1996 mengenai transaksi jual beli lahan di kota Bogor menunjukkan bahwa biaya transaksi yang muncul pada saat
jual beli tersebut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu i biaya kontrak, ii biaya pengawasan dan penegakan hukum, dan iii biaya informasi. Biaya kontrak
adalah biaya yang diperlukan untuk pembuatan akta kesepakatan jual beli, dalam hal ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk jasa pejabat pembuat akta
tanah camat dan notaris berikut para saksi. Biaya pengawasan dan penegakan hukum adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan pengamanan dan jaminan
bahwa pelaksanaan suatu keputusan hukum jual-beli dapat berlangsung lancar dan mencegah pihak luar yang tidak berkompeten terlibat dalam kegiatan
transaksi. Biaya informasi adalah biaya yang diperlukan untuk memperoleh seluruh informasi mengenai lahan, penjual, pembeli, harga, kondisi, dan
mekanisme perolehannya. Biaya ini berbentuk biaya jasa yang diberikan kepada calo tanah atas keterlibatannya dalam jual beli lahan Rony 1996.
Beberapa temuan penting dari penelitian tersebut adalah i hak kepemilikan yang semakin lengkap dalam bentuk lahan yang berstatus hak
milik dapat lebih menurunkan biaya transaksi. Pada hak kepemilikan yang kurang lengkap dalam bentuk lahan yang berstatus milik adat, biaya
transaksinya menjadi lebih besar utamanya pada biaya kontrak, ii kelembagaan formal yang kurang ditegakkan dalam bentuk aturan mengenai biaya legalisasi
akta jual beli dan biaya administrasi pengurusan izin prinsip menyebabkan biaya transaksi menjadi meningkat karena pungutan-pungutan dikenakan melebihi
ketentuan. Praktek-praktek inipun sebenarnya juga telah melembaga. Chhibber 1999, dalam Dasgupta Serageldin [ed.] 1999 memang menyebutkan bahwa
praktek-praktek korupsi menjadi kontributor biaya transaksi, iii meskipun keterlibatan pihak ketiga dalam penelitian ini adalah calo tanah meningkatkan
biaya transaksi, namun keterlibatannya tetap saja dibutuhkan karena para calo tanah ini menyediakan segala informasi yang diperlukan sehingga calon pembeli
dapat menghindarkan diri dari kerugian atas suatu transaksi. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini 2005 di Palabuhanratu
Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa setiap Rp 100,00 dari penerimaan petani pemilik, maka Rp 19,00 harus dikeluarkan sebagai biaya transaksi atau
dengan kata lain rasio biaya transaksi terhadap penerimaan transaction cost to
45
benefit ratio adalah sebesar 0,19. Untuk petani penggarap, rasionya lebih kecil yaitu 0,18.
Jika dilihat rasio biaya transaksi terhadap biaya total transaction cost to
total cost ratio, maka petani pemilik memiliki rasio lebih besar yaitu 0,30 bila dibandingkan dengan petani penggarap yang memiliki rasio 0,21. Artinya, untuk
petani pemilik, setiap Rp 100,00 yang dikeluarkan sebagai biaya produksi maka sebesar Rp 30,00 adalah biaya yang dikeluarkan untuk biaya transaksi.
Nelayan, yang juga diteliti pada penelitian yang sama, menghadapi biaya transaksi pula. Nelayan dibedakan atas nelayan kincang dan nelayan diesel.
Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan nelayan kincang sebesar 0,17 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,10. Rasio biaya transaksi terhadap
biaya total untuk nelayan kincang sebesar 0,24 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,15. Selengkapnya mengenai biaya transaksi yang dihadapi petani dan
nelayan di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rasio biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu
Kabupaten Sukabumi
Petani Nelayan Rasio
Pemilik Penggarap Kincang Diesel
Rasio biaya transaksi terhadap biaya total transaction cost to total cost ratio
0.30 0.21 0.24 0.15
Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan transaction cost to benefit ratio
0.19 0.18 0.17 0.10
Sumber: Diolah dari Anggraini 2005
Komponen biaya transaksi yang dihadapi oleh setiap pelaku ekonomi pada penelitian Anggraini 2005 tidaklah sama. Petani pemilik menghadapi komponen
biaya transaksi meliputi i biaya transaksi tetap fixed transaction costs yaitu
biaya pengesahan jual beli tanah dan biaya peralihan hak tanah dan bangunan BPHTB, dan ii biaya transaksi peubah
variable transaction cost meliputi biaya mempertahankan kontrak, biaya perantara
middlemen costs, biaya pengangkutan hasil panen, dan pungutan penggunaan irigasi. Petani penggarap
menghadapi komponen biaya transaksi yang sama seperti petani pemilik kecuali untuk biaya transaksi tetap dan biaya mempertahankan kontrak. Nelayan diesel
menghadapi komponen biaya transaksi meliputi biaya manajemen, retribusi hasil tangkapan, biaya tambat dan keamanan kapal, dan biaya pelaksanaan tradisi
laut. Nelayan kincang menghadapi biaya transaksi meliputi biaya perantara bakul
46
middlemen costs, biaya tambat dan keamanan perahu, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Hal ini mendukung pernyataan Sadoulet de Janvry 1995, diacu
dalam Gabre-Madhin 2001 yang menyatakan bahwa biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar dan tidak ada satu harga pasar yang
efektif single effective market price pada saat pertukaran terjadi.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab biaya transaksi pada nelayan dan petani diantaranya adalah struktur pasar yang tidak
sempurna dan penegakan aturan yang lemah. Struktur pasar yang tidak sempurna ditandai dengan jumlah pembeli yang jauh lebih sedikit dibanding
jumlah penjual dan informasi yang bersifat asimetris antara pembeli dan penjual.
Penegakan aturan yang lemah terkait dengan tidak berjalannya pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan TPI sebagaimana mestinya dan pengawasan
terhadap kebijakan harga dasar gabah mengingat petani selalu mendapatkan harga gabah yang lebih rendah dibandingkan harga pasar. Struktur pasar yang
tidak sempurna dan penegakan aturan yang lemah sejatinya adalah permasalahan-permasalahan kelembagaan.
Bentuk kelembagaan mempengaruhi biaya transaksi. Berdasarkan disertasi Sukmadinata 1995 mengenai kelembagaan transaksi dalam
pemasaran hasil usaha penangkapan ikan di Jawa Timur, diketahui bahwa kelembagaan penjualan hasil tangkapan melalui TPIPPI Pusat-pusat
Pendaratan Ikan menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPIPPI.
Demikian pula halnya dengan tesis yang disampaikan Yani 1999. Menggunakan kasus budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung KJA di
wilayah Kepulauan Riau, disimpulkan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan KJA dengan
tauke tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada
nelayan untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan. Di
dalam mekanisme kontrak informal ini, nelayan KJA adalah sebagai penerima harga
price taker saja, sedangkan tauke sebagai penentu harga. Mekanisme kontrak informal ini dapat disebut sebagai
principal-agent relation PAR. Principal dapat diartikan sebagai pemimpin atau sponsor dan
dalam PAR ini tauke-lah yang menjadi principal karena perannya sebagai
47
penentu harga. Agent dapat diartikan sebagai anak buah dan ini diperankan oleh
nelayan KJA karena nelayan sebagai penerima harga. PAR adalah salah satu alternatif bentuk kelembagaan yang dipilih oleh
tauke dan nelayan KJA untuk melaksanakan transaksi penjualan ikan. Terdapat alternatif bentuk kelembagaan lain yaitu pasar terbatas, kontrak formal, aliansi
strategis, koperasi formal, dan integrasi vertikal. Dasar pemilihan bentuk kelembagaan utamanya adalah tingkat pengurangan ketidakpastian dan biaya
transaksi. Secara umum, kelembagaan pasar terbatas menyebabkan biaya transaksi
yang tinggi, sistem kontrak formal bersifat kurang adaptif terhadap perubahan situasi sehingga kurang bisa menghadapai ketidakpastian, dan aliansi strategis
melibatkan aset yang bersifat spesifik assets specificity sehingga meningkatkan
biaya transaksi. Kelembagaan koperasi formal sebenarnya dapat meningkatkan posisi tawar nelayan KJA tetapi belum mampu menawarkan keuntungan finansial
kepada anggotanya. Mengenai bentuk kelembagaan integrasi vertikal, ini adalah bentuk kelembagaan ideal karena i resiko dan keuntungan ditanggung bersama
antara nelayan dan tauke, ii hubungan kerjasama bersifat jangka panjang, iii
informasi sempurna perfect information dan terdistribusi merata, iv adanya
stabilitas usaha, dan v kedua belah pihak terikat pada kesepakatan yang dibuat. Hanya saja, untuk menuju bentuk kelembagaan integrasi vertikal ini ada
syarat yang harus dipenuhi yaitu produk dengan mutu yang terstandarisasi, memiliki sarana transportasi yang memadai, dan modal yang mendukung.
Mengingat syarat ini belum dapat dipenuhi maka integrasi vertikal belum dipilih sebagai bentuk kelembagaan yang menangani transaksi penjualan ikan.
Hal-hal yang mendasari sehingga PAR menjadi bentuk kelembagaan yang meminimumkan biaya transaksi adalah transaksi didasari oleh sikap saling
percaya trust dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan
berkembang sejak lama dalam struktur masyarakat nelayan pantai. Ketidakpastian pun, sebagai satu faktor penyebab munculnya biaya transaksi,
dapat dikurangi baik ketidakpastian dari pihak nelayan seperti pemenuhan kebutuhan operasional dan fluktuasi harga maupun ketidakpastian dari pihak
tauke seperti pasokan ikan kerapu hidup yang tidak berkesinambungan. Penelitian yang dilakukan oleh Poel 2005 mengenai kelembagaan
informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus mengenai
48
pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan
tersebut dapat mendorong munculnya saling percaya trust terlebih dahulu.
Saling percaya menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi.
3 METODOLOGI
3.1 Kerangka Pendekatan