Respon penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan terkait dengan efektivitas penangkapan

(1)

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN

IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN

ARISTI DIAN PURNAMA FITRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini.

Bogor, Desember 2008

Aristi Dian Purnama Fitri NRP C561050011


(3)

Penguji pada Ujian Tertutup : - Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc - Prof. Dr. Wasmen Manalu

Penguji pada Ujian Terbuka : - Prof. Dr. Ir. Johannes Hutabarat, M.Sc - Dr. Ir. Suseno, MM


(4)

ABSTRACT

ARISTI DIAN PURNAMA FITRI. Visual and Olfaction Responses of Groupers to Baits in Relation to Fishing Effectiveness. Supervised by Ari Purbayanto, Mulyono S. Baskoro, and Daniel R. Monintja.

The mechanisms of bait detection by the groupers through vision and olfactory sense in pot fishing have not been thoroughly studied. The general objective of this research is to reveal the vision and olfactory responses of groupers to various baits as attractors, and its relationship with the pot fishing effectiveness.

The research was carried out from June 2007 to March 2008, conducted in

two phases: phase I (laboratory scale) covering investigations on the grouper’s

retinal physiology and brain weight ratio to reflect the function of olfactory and vision organs analysis on chemical contents of baits, and reaction of groupers to the baits; phase II covering the field test, measuring the pot fishing effectiveness on groupers using natural and artificial baits. Comparative experiment methods were used and non parametric statistical method (i.e. the median test) was applied to test the significancy of the results.

The grouper’s retinal physiology analysis showed that the twin cone cells

were dominating compared to the single cone cells, forming mosaic pattern. The density of cone cells appeared to be highest in the ventro-temporal part, which indicates that the visual axis of the grouper is facing upper-fore. Visual acuity of the groupers ranged from 0.05 to 0.15, and their maximum sighting distance ranged from 4.72 to 12.60 m for visual object of 25 mm diameter. The percentage of brain weight to the body weight of the fish ranged from 0.04 to 0.37%. The highest percentage of brain weight located in the optic tectum and telencephalon part of the brain, amounted to 45% and 20% of the total brain weight, respectively.

This indicates that the most dominant organ governing the grouper’s feeding

activity is the visual organ and followed by the olfactory organ.

The groupers showed no significant difference in responding to dark and bright environment conditions (sig. value 0.05). This indicates that the groupers also utilize their olfactory organ in detecting the bait, besides using their visual organs. However, the groupers showed different response to the artificial bait in the dark environment condition (sig. value < 0.05).

The pot fishing effectiveness for groupers during the daytime using baits of fish, shrimp, D bait formula, sea urchin, and B bait formula were 23.38%, 22.29%, 20.83%, 18.75%, and 6.25% respectively. In the night time, using baits of shrimp, fish, sea urchin, D bait formula, and B bait formula, were 49.17%, 44.58%, 43.74%, 41.67%, and 39.58% respectively. The findings shows that the D bait formula has the functional characteristics to be able to replace the sea urchin as bait. Furthermore the result also indicates that the grouper could be catagorized as crepuscular fish that actively feed during the day and night time. Keywords: vision and olfactory responses, grouper, baits, catching effectiveness


(5)

RINGKASAN

ARISTI DIAN PURNAMA FITRI. Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan. Dibimbing oleh Ari Purbayanto, Mulyono S. Baskoro, dan Daniel R. Monintja.

Ikan kerapu umumnya ditangkap dengan menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun (potasium sianida). Kedua cara penangkapan yang terakhir merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan bagi kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumber daya ikan. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang. Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan dengan bubu dan pancing. Umpan digunakan sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimilikinya sehingga dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu.

Tujuan umum penelitian adalah mengkaji respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan sebagai atraktor dalam kaitannya dengan efektivitas penangkapan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Mengkaji organ penglihatan dan organ penciuman ikan kerapu yang tercermin pada bagian otak, (2) Menentukan kandungan kimia umpan alami dan buatan serta pengaruhnya terhadap respons tingkah laku makan ikan kerapu, (3) Menghitung efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan pada alat tangkap bubu.

Penelitian ini dilaksanakan selama 9 bulan (Juni 2007-Maret 2008), yang terdiri dua tahap. Tahap pertama adalah penelitian skala laboratorium, yang meliputi histologi mata ikan kerapu dan pembedahan otak ikan kerapu yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB; pembuatan formulasi umpan buatan dilakukan di Laboratorium Bio-Kimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB; analisis kandungan kimia umpan buatan dan alami dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor serta pengamatan respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB dan Laboratorium Hatchery LPWP-Jepara, FPIK-UNDIP. Tahap kedua adalah penelitian lapangan, untuk uji coba penangkapan di perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen laboratorium (experimental laboratory), dan uji coba penangkapan (experimental fishing). Data primer yang dikumpulkan adalah data waktu dan respons ikan kerapu mendekati umpan, komposisi bahan formulasi umpan buatan, kandungan kimia (proksimat, asam amino dan asam lemak) umpan alami dan formulasi umpan buatan, serta komposisi hasil tangkapan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik


(6)

Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu karet (Epinephelus heniochus)memiliki struktur mata dan lensa seperti umumnya ikan bertulang sejati (teleostei). Tipe sel kon (kerucut) yang dominan adalah sel kon ganda dan berpola mosaik bujur sangkar. Sel kerucut yang tersusun teratur berpengaruh pada ketajaman penglihatan. Sumbu penglihatan lurus ke arah depan naik pada sudut sekitar 30 derajat, dengan indeks ketajaman penglihatan berkisar 0,0548-0,1465. Ketajaman penglihatan tersebut tidak jauh berbeda dengan ketajaman penglihatan pada ikan karang lainnya dari famili Chaetodontidae yang berkisar 0,058-0,145; genus Sebastes schlegeli yang berkisar 0,093-0,106; famili Siganidae berkisar 0,058-0,059 dan famili Lutjanidae berkisar 0,055-0,077. Jarak pandang maksimum ikan kerapu berukuran panjang total 150-350 mm berkisar 4,72 –12,59 m untuk objek penglihatan dengan diameter 25 mm.

Persentase berat area otak tertentu dibandingkan dengan total berat otak menunjukkan bahwa optic tectum dan telencephalon ikan kerapu mempunyai persentase rata-rata lebih tinggi 45% dan 20% dibandingkan dengan area otak lainnya seperti olfactory bulb, cerebellum, dan medulla oblongata berkisar 4–19%. Struktur bagian otak ikan kerapu yang berukuran paling besar merupakan cerminan indera apa yang paling berkembang sebagai fungsi organ sensoris. Persentase rasio berat optic tectum menduduki porsi terbesar yang mencerminkan bahwa organ penglihatan merupakan organ dominan pertama. Organ dominan kedua adalah organ penciuman yang ditunjukkan dengan persentase rasio berat telencephalon yang menduduki porsi terbesar kedua yang digunakan ikan kerapu.

Analisis proksimat umpan alami menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan ikan (171,4 mg/g); kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi (67,6 mg/g); dan kandungan air tertinggi terdapat pada umpan udang (777,9 mg/g). Pada umpan buatan, komposisi protein yang tertinggi terdapat pada umpan A (152,9 mg/g), diikuti oleh umpan B (135,7 mg/g), umpan C (134,4 mg/g), dan umpan D (93,8 mg/g). Umpan kontrol memiliki nilai kadar protein terendah, yaitu 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan D (331,8 mg/g), C (283,9 mg/g), umpan B, dan A berturut-turut 231,9 mg/g, dan 54,3 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan kontrol, yaitu sebanyak 39,96 mg/g. Asam amino yang berpengaruh terhadap respons penciuman ikan adalah alanina, arginina, metionina, dan leusina. Pada umpan alami, kandungan asam amino tertinggi pada kandungan alanina, arginina, dan metionina terdapat pada umpan ikan (15,34 mg/g, 2,18 mg/g, 2,83 mg/g) dan leusina terdapat pada umpan udang (9,87 mg/g). Pada umpan buatan, kandungan arginina, metionina, isoleusina, leusina, dan lisina tertinggi pada umpan buatan D, dengan nilai berturut-turut 4,82 mg/g, 3,19 mg/g, 0,48 mg/g, 13,03 mg/g, dan 0,53 mg/g. Kandungan asam lemak yang dapat direspons kerapu pada jenis umpan alami, yaitu miristat dan palmitat terdapat pada umpan gonad bulu babi, oleat dan linoleat terdapat pada umpan ikan. Pada umpan buatan, kandungan palmitat dan oleat terdapat pada formulasi umpan D.

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis statistik median test terhadap respons ikan kerapu pada skala laboratorium menunjukkan bahwa respons ikan kerapu terhadap umpan pada light condition tidak berbeda nyata pada tahapan fase


(7)

starvasi 48 jam, ikan memberikan respons yang sama ketika mendeteksi keberadaan umpan dengan menggunakan organ penglihatan saja. Respons ikan kerapu pada dark condition terhadap umpan alami tidak berbeda nyata pada fase arousal, fase

searching, dan fase finding. Pada umpan buatan, tidak ada perbedaan respons ikan pada fase arousal, dan fase searching. Hal ini disebabkan karena ikan kerapu memberikan respons yang sama dengan keberadaan umpan pada kondisi lapar, baik saat menerima rangsangan pertama kali dari umpan maupun saat mencari umpan. Pada fase finding terhadap umpan buatan, terdapat perbedaan respons dari masing-masing ikan kerapu, yang ditunjukkan dengan waktu tercepat ikan saat mendeteksi umpan buatan D. Hal ini disebabkan pada saat finding, umpan buatan D masih mampu menjadi atraktan organ penciuman dibandingkan umpan buatan lain yang telah hilang fungsi atraktannya karena proses difusi, selain itu respons masing-masing ikan kerapu yang berbeda ketika menemukan umpan buatan D.

Hasil uji coba di lapangan terhadap penggunaan umpan alami (gonad bulu babi, udang, dan ikan) dan umpan buatan (umpan B dan umpan D) pada alat tangkap bubu tambun menunjukkan hasil tangkapan rata-rata dan galat baku pada siang hari adalah 302,61±3,78 gr dan malam hari adalah 405,72±4,16 gr. Penggunaan umpan pada siang hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kerapu (sign. > α 0,05). Waktu perendaman malam hari dengan umpan yang berbeda ditunjukkan dengan nilai (sign.>α 0,05) yang artinya tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kerapu.

Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu pada siang hari dengan perbedaan umpan adalah terbaik untuk umpan ikan, yaitu sebesar 23,33% diikuti oleh umpan udang dengan nilai efektivitas sebesar 22,29%, umpan D sebesar 20,83%, umpan gonad bulu babi sebesar 18,75%, dan umpan B sebesar 6,25%. Pada malam hari, efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan nilai terbaik adalah umpan udang 49,17% diikuti umpan ikan sebesar 44,58%, gonad bulu babi sebesar 43,75%, umpan D sebesar 39,58% dan umpan B sebesar 39,58%. Hal ini mengindikasikan bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan umpan udang dan umpan ikan. Dengan kata lain, umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami.

Kata kunci: organ penglihatan, organ penciuman, umpan alami, umpan buatan, ikan kerapu, bubu


(8)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b.Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN

IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN

ARISTI DIAN PURNAMA FITRI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan, bimbingan, dan ilmu. Bahkan lebih jauh, penulis diberikan motivasi dan rasa percaya diri untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin dan membantu penulis dalam memecahkan masalah-masalah selama penelitian berlangsung. Penulis tidak dapat memberikan apa-apa, kecuali doa dan harapan kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk selalu memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada Bapak semua.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Beni Pramono, M.Si.; Dr. Edi Husni, ST, M.Si.; M.Riyanto, S.Pi, M.Si., Deka Berkah Sejati, S.Pi.; Deby Sofiana, S.Pi; serta Angga Nugraha, S.Pi yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan data serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan kepada Mama, Papa, Ibu dan Bapak serta suami Dr. Heri Sutanto, S.Si, M.Si dan anakku Aura Herdi Ramadhina Sutanto atas segala doa, kesabaran, dorongan dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan

Kepada semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu langsung atau tidak langsung, semoga Allah membalas kebaikan tersebut dengan rahmat dan pahala berlipat ganda. Terakhir penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, Amin.

Bogor, Desember 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 2 Oktober 1973 sebagai anak tunggal dari Bapak Drs. HM. Ischaq Anwar dan Ibu Dra. Hj. Tina Hartrina. Menikah pada tahun 1999 dengan Dr. Heri Sutanto, S.Si, M.Si, dikaruniai anak Aura Herdi Ramadhina Sutanto.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP, lulus pada bulan Juli 1995. Penulis bekerja sebagai dosen di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP, sejak tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Program Studi Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005, kembali mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional untuk melanjutkan ke program doktor di program studi yang sama.

Karya berkaitan dengan disertasi, diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk Prosiding Seminar Nasional UGM tahun 2007 dengan judul Respons Makan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan Perbedaan Jenis dan Lama Waktu Perendaman Umpan, Prosiding Seminar Nasional UGM tahun 2008 dengan judul Respons Penciuman Kerapu Sunu (Plectropomus maculatus) terhadap Formulasi Umpan Buatan. Publikasi yang telah diterbitkan tahun 2007 di Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP (Vol 12 (3): 133-138), dengan judul Tingkah Laku Ikan Kerapu terhadap Umpan. Dua artikel berikutnya dengan judul Rasio Area Otak dan Organ Penglihatan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Hubungannya dengan Pola Makan segera terbit di Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (Vol 14 No. 4, Desember 2008), serta judul Pengaruh Perbedaan Umpan terhadap Pola Tingkah laku Makan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Jurnal Ilmu Perairan, IPB dalam proses segera terbit.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Hipotesis ... 6

1.6 Kerangka Penelitian ... 7

1.7 Metodologi Umum ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Morfologi Retina Mata Ikan ... 11

2.2 Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity) ... 12

2.3 Sumbu Penglihatan (Visual Axis) ... 13

2.4 Organ Penciuman (Olfactory Organ) ... 14

2.5 Otak dan Bagian-bagiannya ... 19

2.6 Umpan... 21

2.7 Ikan Kerapu (Serranidae) ... 23

2.8 Respons Tingkah Laku Ikan terhadap Alat Tangkap Bubu ... 25

2.9 Alat Tangkap Bubu dan Efektivitasnya ... 26

3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU ... 29

3.1 Pendahuluan ... 29

3.2 Metode Penelitian ... 33

3.2.1 Waktu dan tempat penelitian ... 33

3.2.2 Pengambilan sampel retina ... 33

3.2.3 Analisis data... 35

3.2.3.1 Analisis sumbu penglihatan (visual axis) ... 35

3.2.3.2 Analisis ketajaman mata ikan (visual acuity) ... 37

3.2.3.3 Analisis jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD) ... 38

3.3 Hasil ... 39

3.3.1 Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh ... 39

3.3.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu ... 40

3.3.3 Densitas fotoreseptor ... 41

3.3.4 Sumbu penglihatan (visual axis) ... 43

3.3.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity) ... 43

3.3.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD) ... 48

3.4 Pembahasan ... 50


(13)

3.4.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu ... 50

3.4.3 Densitas fotoreseptor ... 52

3.4.4 Sumbu penglihatan (visual axis) ... 53

3.4.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity) ... 54

3.4.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD) ... 54

3.5 Kesimpulan ... 54

4 OTAK IKAN KERAPU ... 56

4.1 Pendahuluan ... 56

4.2 Metode Penelitian ... 57

4.2.1 Waktu dan tempat penelitian ... 57

4.2.2 Pengambilan dan penimbangan sampel otak ... 57

4.2.3 Analisis data ... 58

4.3 Hasil ... 59

4.3.1 Struktur otak ikan kerapu ... 59

4.3.2 Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu ... 62

4.3.3 Persentase rata-rata berat bagian-bagian otak terhadap berat otak total ikan kerapu ... 62

4.3.4 Telencephalon dan optic tectum ... 66

4.4 Pembahasan ... 67

4.4.1 Struktur otak ikan kerapu ... 67

4.4.2 Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu ... 70

4.4.3 Persentase rata-rata berat bagian-bagian otak terhadap berat otak total ikan kerapu ... 71

4.4.4 Telencephalon dan optic tectum ... 72

4.5 Kesimpulan ... 73

5 UMPAN ... 74

5.1 Pendahuluan ... 74

5.2 Metode Penelitian ... 77

5.2.1 Waktu dan tempat penelitian ... 77

5.2.2 Metode penelitian ... 77

5.2.3 Pembuatan umpan buatan ... 78

5.2.4 Analisis data ... 80

5.3 Hasil ... 82

5.3.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman ... 82

5.3.2. Kandungan kimia umpan ... 82

5.4 Pembahasan ... 87

5.4.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman ... 87

5.4.2. Kandungan kimia umpan ... 88

5.5 Kesimpulan ... 92

6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN ... 94

6.1 Pendahuluan ... 94

6.2 Metode Penelitian ... 97

6.2.1 Waktu dan tempat penelitian ... 97

6.2.2 Alat dan bahan penelitian ... 97

6.2.3 Pengumpulan data ... 101

6.2.3.1 Jenis penelitian ... 101


(14)

6.2.4 Analisis data ... 105

6.2.4.1 Respons tingkah laku ikan kerapu mendekati umpan ... 105

6.2.4.2 Respons penglihatan ikan kerapu terhadap perbedaan umpan ... 106

6.4.2.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap perbedaan umpan ... 106

6.3 Hasil ... 107

6.3.1 Pola tingkah laku makan ikan kerapu ... 107

6.3.2 Analisis respons penglihatan ikan kerapu terhadap umpan ... 107

6.3.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap umpan ... 114

6.3.3.1 Umpan alami (natural bait) ... 118

6.3.3.2 Umpan buatan (artificial bait) ... 123

6.3.4 Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan ... 129

6.4 Pembahasan ... 130

6.4.1 Pola tingkah laku makan ikan kerapu ... 130

6.4.2 Analisis respons penglihatan ikan kerapu terhadap umpan ... 131

6.4.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap umpan ... 132

6.4.4 Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan ... 133

6.5 Kesimpulan ... 134

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN ... 135

7.1 Pendahuluan ... 135

7.2 Metode Penelitian ... 137

7.2.1 Waktu dan tempat penelitian ... 137

7.2.2 Metode penelitian ... 138

7.2.3. Penangkapan ikan kerapu ... 139

7.2.3.1 Peralatan yang digunakan ... 139

7.2.3.2. Pengoperasian bubu ... 140

7.2.4 Pengumpulan data ... 141

7.2.5 Analisis data ... 141

7.2.5.1 Hasil tangkapan bubu ... 141

7.2.5.2 Efektivitas penangkapan ikan kerapu ... 142

7.2.6 Perbedaan jumlah tangkapan ... 143

7.3 Hasil ... 143

7.3.1 Komposisi total hasil tangkapan ... 143

7.3.2 Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu ... 145

7.3.3 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu perendaman umpan ... 149

7.3.4 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan ... 153

7.4 Pembahasan ... 155

7.5 Kesimpulan ... 156

8 PEMBAHASAN UMUM ... 157

9 KESIMPULAN DAN SARAN ... 164

9.1 Kesimpulan ... 164

9.2 Saran ... 165


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Bagian utama dan subbagian otak ikan ... 19

2 Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan terhadap di perairan Karimunjawa ... 22

3 Densitas sel kon (0,01 mm2) pada area retina mata ikan kerapu ... 42

4 Ketajaman penglihatan (visual acuity) mata ikan kerapu ... 45

5 Jarak pandang maksimum (MSD) ikan kerapu ... 49

6 Hubungan berat otak dan berat tubuh ikan kerapu... 62

7 Perbandingan persentase rata-rata berat telencephalon dan optic tectum terhadap berat total ikan kerapu, ikan kepe-kepe, dan ikan pelagis ... 67

8 Alat dan bahan membuat umpan buatan ... 78

9 Ketahanan umpan di dalam air laut ... 82

10 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ... 100

11 Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan ... 139


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Bagian utama dan subbagian otak ikan ... 19

2 Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan terhadap di perairan Karimunjawa ... 22

3 Densitas sel kon (0,01 mm2) pada area retina mata ikan kerapu ... 42

4 Ketajaman penglihatan (visual acuity) mata ikan kerapu ... 45

5 Jarak pandang maksimum (MSD) ikan kerapu ... 49

6 Hubungan berat otak dan berat tubuh ikan kerapu... 62

7 Perbandingan persentase rata-rata berat telencephalon dan optic tectum terhadap berat total ikan kerapu, ikan kepe-kepe, dan ikan pelagis ... 67

8 Alat dan bahan membuat umpan buatan ... 78

9 Ketahanan umpan di dalam air laut ... 82

10 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ... 100

11 Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan ... 139


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data waktu respons pada light condition ... 175

2 Data waktu respons pada dark condition dengan umpan alami ... 178

3 Data waktu respons pada dark condition dengan umpan buatan ... 181

4 Data hasil tangkapan ... 184

5 Uji normalitas data respons ikan kerapu ... 207

6 NPar Tests arousal vs jenis ikan ... 208

7 NPar Tests arousal vs kondisi umpan alami ... 208

8 NPar Tests finding vs jenis ikan ... 209

9 NPar Tests finding vs jenis umpan alami ... 209

10 NPar Tests finding vs kondisi mata ... 210

11 NPar Tests arousal vs jenis ikan ... 211

12 NPar Tests arousal vs jenis umpan alami ... 211

13 NPar Tests searching vs jenis ikan ... 212

14 NPar Tests searching vs jenis umpan alami ... 212

15 NPar Tests finding vs jenis ikan ... 213

16 NPar Tests finding vs jenis umpan alami ... 213

17 NPar Tests arousal vs jenis ikan ... 214

18 NPar Tests arousal vs jenis umpan buatan ... 214

19 NPar Tests searching vs jenis ikan ... 215

20 NPar Tests searching vs jenis umpan buatan ... 215

21 NPar Tests finding vs jenis ikan ... 216


(18)

DAFTAR ISTILAH

Natural bait (umpan alami) Umpan yang berasal dari bahan alami yang digunakan untuk memikat ikan sehingga mendekati umpan tersebut.

Artificialbait (umpan buatan) Umpan dari hasil formulasi berbagai jenis bahan seperti minyak ikan, tepung tapioka, dan tepung ikan, digunakan untuk memikat ikan sehingga mendekati umpan tersebut.

Alat penangkap ikan Suatu alat yang digunakan untuk menangkap ikan

Attractor (pemikat ikan) Alat bantu untuk memikat/menarik perhatian ikan sehingga mendekati objek pemikat

Bubu Alat penangkap ikan yang termasuk

dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan crustacea

Crepuscular Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif di

antara waktu siang dan malam hari

Chemoreception Rangsangan yang diterima oleh ikan

karena bahan kimia

Dead bait (umpan mati) Umpan yang digunakan dalam keadaan mati

Diurnal Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu siang hari

Nocturnal Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu malam hari

Efektivitas Tingkat pencapaian hasil terhadap suatu tujuan

Feeding habits (tingkah laku makan) Tingkah laku makhluk hidup dalam mencari makanan

Fish behaviour (tingkah laku ikan) Tingkah laku ikan dalam hidupnya, yang dipelajari untuk kegiatan perikanan


(19)

Fishing ground

(daerah penangkapan ikan)

Daerah yang menjadi tujuan operasi penangkapan ikan

Fishing unit (unit penangkapan) Unit penangkapan yang terdiri atas nelayan, kapal, dan alat tangkap

Hauling (pengangkatan) Proses pengangkatan alat tangkap ke atas kapal dalam operasi penangkapan

Olfaction response

(respons penciuman)

Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima oleh organ penciuman

Reotaxis (reotaksis) Sifat ikan yang selalu bergerak karena mengikuti arus

Setting (penanaman) Pemasangan alat tangkap di daerah

penangkapan

Thigmotaxis (thigmotaksis) Sifat ikan yang selalu ingin tahu terhadap benda asing

Trap (perangkap) Alat penangkapan ikan yang prinsip

kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat dengan pikatan tertentu

Umpan Bahan fisik maupun kimia yang dapat memberikan rangsangan ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan

Vision response (respons penglihatan) Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima oleh organ penglihatan

Telencephalon Bagian otak depan ikan yang berfungsi

sebagai sensor penciuman

Optic tectum Bagian otak tengah ikan yang berfungsi

sebagai sensor penglihatan

Mosaik Pola pada fotoreseptor retina mata ikan dengan susunan 1 sel kerucut (sel kon) tunggal dikelilingi 4 sel kerucut ganda


(20)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan konsumsi (food fish). Sebagai ikan konsumsi, ikan karang mempunyai nilai ekonomis penting. Peluang pengembangan ikan karang ini cukup menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar, bukan saja untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga untuk ekspor. Volume ekspor ikan kerapu tahun 2006 mencapai 4800 ton atau US$ 24 juta dari total produksi perikanan sebesar 12000 ton (DKP 2006).

Penangkapan ikan karang di Indonesia selama ini dilakukan dengan menggunakan berbagai alat dan metode. Alat penangkap ikan karang yang umumnya digunakan adalah perangkap (trap), jaring insang (gillnet), pancing ulur (handline), tombak (hand spear), muro ami, racun, dan bom ikan. Dari sekian banyak alat tangkap tersebut di atas, pemilihan bubu sebagai alat penangkap ikan karang dipertimbangkan tepat, jika dilihat dari segi mutu ikan hasil tangkapan (Djamal 1995). Penggunaan bubu dalam penangkapan ikan karang dibandingkan dengan penggunaan alat tangkap lainnya dapat dikatakan lebih ramah lingkungan karena cara pengoperasiannya yang menunggu ikan masuk kurungan sehingga tidak merusak habitat ikan.

Peranan ilmu fisiologi dan tingkah laku ikan sangat signifikan dalam menunjang perkembangan ilmu dan teknologi penangkapan ikan. Pada proses penangkapan ikan, prinsip tingkah laku ikan yang menjadi sasaran tangkapan harus didukung oleh pemahaman terhadap indera utama dari ikan (sense organ) khususnya indera penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis,

dan sebagainya (Gunarso 1985). Indera-indera tersebut merupakan indera penting pada ikan yang berhubungan dengan tingkah laku alami (natural behaviour). Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu ikan nocturnal yang aktif ketika malam hari, ikan diurnal aktif ketika siang


(21)

2 hari, dan ikan crepuscular, yaitu ikan yang aktif pada waktu di antara siang dan malam hari (Indonesian Coral Reef Foundation 2004). Khusus untuk ikan karang yang hidup di zona euphotik, penggunaan indera penglihatan dan penciuman lebih dominan untuk mencari makan dan beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya.

Penelitian tentang organ penglihatan dan organ penciuman merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Telah cukup banyak penelitian pada kedua organ tersebut, namun penelitian-penelitian tersebut umumnya terfokus pada kajian parsial dari fisiologi penglihatan atau penciuman. Beberapa penelitian tersebut diantaranya adalah perkembangan ketajaman penglihatan red sea bream (Pagrus major) (Shiobara et al. 1998), karakteristik histologi dan perkembangan retina pada Japanese sardine (Sardinops melanostictus) (Matsuoka 1999), dan fisiologi penglihatan Japanese whiting (Sillago japonica) (Purbayanto et al. 2001). Penelitian terkait dengan organ penciuman yang telah dilakukan di antaranya adalah guanylyl cyclase sebagai visualisasi penyelenggara transgenik (Kusakabe dan Suzuki 2000), studi perbandingan sistem penciuman antara Pagrus major dan

Acanthropagrus schegeli yang berasal dari alam dan stok budidaya (Mana dan Kawamura 2002), neuronal oksida berisi nitrat sintase pada sistem penciuman ikan teleostei Oreochromis mossambicus dewasa (Singru et al. 2003), dan peranan organ penciuman dan mata dalam perilaku homing pada ikan Sebastes inermis

(Mitamura et al. 2005).

Menurut Subani dan Barus (1989), efektivitas bubu sebagai alat tangkap pasif akan lebih baik apabila dalam pengoperasiannya menggunakan umpan. Sejauh ini belum diketahui efektivitas stimulasi organ penglihatan dan penciuman ikan terhadap umpan pada pengoperasian bubu. Organ penglihatan dan penciuman pada ikan yang hidup di zona fotik masih dapat berfungsi sampai batas ambang tertentu terhadap umpan. Akan tetapi, jika sudah di luar ambang batas toleransi penglihatan, maka organ penciuman yang lebih berperan. Untuk ikan yang hidup di zona afotik, organ penciumanlah yang sangat berperan karena organ penglihatan sudah tidak berfungsi lagi. Penelitian tingkah laku ikan karang konsumsi, khususnya ikan kerapu (Serranidae) di perairan tropis, terkait dengan sistem penglihatan dan penciuman, belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai sistem penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu terkait


(22)

3 dengan efektivitas alat tangkap bubu dapat memberikan informasi penting dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan.

1.2 Perumusan Masalah

Ikan karang merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cerah di Indonesia dalam upaya peningkatan ekspor non-migas. Namun, penangkapan ikan di daerah karang sering kali dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Metode penangkapan yang digunakan antara lain bahan peledak, bahan kimia beracun (potassium cyanide), atau dengan cara merusak terumbu karang sebagai bahan penutup bubu yang berfungsi untuk penyamaran (kamuflase) saat dioperasikan. Selain itu, selama ini hasil tangkapan bubu tidak hanya merupakan spesies ikan target saja, tetapi juga spesies ikan non target tangkapan. Hal tersebut disebabkan oleh sifat bubu yang pasif serta fungsi lain dari bubu sebagai tempat berlindung atau bersembunyi (shelter) bagi organisme yang sifatnya selalu bersembunyi.

Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983). Meskipun pemasangan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan telah banyak digunakan, spesies ikan yang terperangkap dalam bubu masih bervariasi (kurang selektif). Di sisi lain, lama waktu pemasangan bubu dengan menggunakan umpan berpengaruh pada hasil tangkapan karena kesegaran umpan yang semakin menurun sehingga kurang merangsang ikan masuk ke dalam bubu (Dulgofar 2000).

Ikan kerapu juga dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa berbagai jenis ikan kecil, plankton hewani, udang-udangan, cumi-cumi, dan hewan-hewan kecil lainnya (Ghufran dan Kordi 2005). Jenis-jenis makanan tersebut merupakan makanan utama bagi ikan kerapu. Informasi makanan utama tersebut dapat digunakan sebagai referensi mengenai umpan yang baik untuk menangkap ikan kerapu. Ketersediaan umpan alami di alam yang semakin


(23)

4 menurun dan bersifat musiman, mendorong perlu dikembangkannya penggunaan umpan buatan sebagai alternatif umpan yang dapat memberikan solusi terhadap ketersediaan umpan tersebut. Penggunaan umpan buatan (artificial bait) haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai atraktor yang tentunya selektif dan ramah lingkungan.

Pendeteksian umpan oleh spesies ikan pada pengoperasian bubu dalam hubungannya dengan fungsi organ tubuh ikan masih belum banyak diketahui. Sejauh ini, belum diketahui efektivitas organ penglihatan dan penciuman ikan secara bersama-sama terhadap pendeteksian umpan pada pengoperasian bubu, meskipun hasil penelitian Purbayanto et al. (1998) menjelaskan bahwa indikator ikan bergerak masuk ke dalam alat tangkap karena didominasi oleh rangsangan bau yang ditimbulkan oleh umpan. Untuk mengoptimalkan ikan hasil tangkapan bubu sesuai dengan target tangkapan (selektif) maka perlu diketahui fisiologi penglihatan dan penciuman serta kandungan kimia umpan-umpan yang selama ini digunakan. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam menentukan jenis umpan apa yang dapat menjadi atraktor efektif ikan untuk penangkapan ikan kerapu sehingga efektivitas dan efisiensi pengoperasian bubu dapat ditingkatkan berdasarkan konsep penangkapan ramah lingkungan.

Berdasarkan aktivitas hidupnya ikan kerapu dikelompokkan menjadi ikan

nocturnal (aktif di malam hari) dan memiliki puncak aktivitas pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985). Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), kerapu termasuk jenis ikan yang aktif di antara siang dan malam hari (crepuscular). Aktivitas hidup yang utama adalah aktivitas untuk mencari makan. Aktivitas mencari makanan ini terkait erat dengan indera utama yang berperan penting pada natural behaviour dari masing-masing ikan. Sementara itu, aktivitas ikan kerapu, yang terkait dengan fungsi penglihatan dan penciuman belum banyak diteliti. Hal ini penting diteliti karena menjadi dasar dalam pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan.

Penelitian tentang respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan belum banyak dilakukan sehingga diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mengungkapkan respons makan ikan kerapu melalui fungsi organ penglihatan dan penciuman terhadap umpan dalam efektivitas penangkapan.


(24)

5

Keterangan:

: input : proses

: output

Gambar 1 Kerangka penelitian

EKOSISTEM TERUMBU KARANG

IKAN KERAPU

PENINGKATAN EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN DENGAN UMPAN

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN

FISIOLOGI IKAN KERAPU

ORGAN PENCIUMAN (NOSTRIL)

ORGAN PENGLIHATAN (EYES)

UMPAN

KANDUNGAN KIMIA

- PROKSIMAT

- AS. AMINO

- ASAM LEMAK

TINGKAH LAKU IKAN KERAPU BAU

MENJAUHI

MENDEKATI FAKTOR EKSTERNAL

Kecerahan perairan

Arus

Cahaya UKURAN


(25)

6 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan sebagai atraktor dalam kaitannya dengan efektivitas penangkapan.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan penelitian secara khusus, adalah :

(1) Mengkaji organ penglihatan dan organ penciuman ikan kerapu yang tercermin pada bagian otak.

(2) Menentukan kandungan kimia umpan alami dan buatan serta pengaruhnya terhadap respons tingkah laku makan ikan kerapu.

(3) Menghitung efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan pada alat tangkap bubu.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi fisiologi sistem penglihatan dan penciuman ikan kerapu terkait dengan mekanisme respons terhadap umpan. Informasi ini selanjutnya dapat dijadikan bahan acuan dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan kerapu yang efektif dan efisien. Di samping itu, aspek ilmiah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian selanjutnya guna penyempurnaan formulasi umpan buatan. Dua aspek penelitian tersebut memberikan kontribusi kepada pemecahan masalah penangkapan ikan kerapu dengan bubu yang diberi umpan melalui pengembangan penangkapan ramah lingkungan.

1.5 Hipotesis

(1) Organ penglihatan ikan kerapu lebih dominan digunakan dibandingkan organ penciuman dalam melakukan aktivitas mencari makan.


(26)

7 (3) Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan

buatan relatif sama dengan umpan alami.

1.6 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian yang terdiri atas input, proses, dan output secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1. Input merupakan proses di alam dimana terdapat suatu ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem tersebut terdapat suatu habitat, salah satu penghuninya adalah ikan kerapu. Dalam melakukan aktivitas makan, ikan tersebut menggunakan organ-organ dalam tubuhnya, yaitu organ penglihatan untuk merespons bentuk dan ukuran umpan/makanan, serta organ penciuman untuk merespons bau dari umpan karena adanya kandungan bahan kimia.

Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian yang mengungkapkan fisiologi ikan kerapu melalui analisis organ penglihatan dan organ penciuman. Organ penglihatan ikan kerapu yang dikaji adalah ketajaman penglihatan (visual acuity), sumbu penglihatan (visual axis), dan jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) berdasarkan struktur ukuran umpan. Fungsi organ penciuman ikan kerapu diamati berdasarkan struktur otak, rasio berat otak, dan bagian-bagiannya dalam dimensi berat. Informasi dari hasil penelitian struktur otak tersebut menjelaskan adaptasi dari organ-organ sensoris terutama untuk organ penglihatan dan penciuman yang berkembang pada ikan kerapu. Informasi mengenai organ penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu berkaitan erat dengan faktor eksternal pada perairan yang menunjang proses tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan. Pada bagian proses, dianalisis pula kandungan kimia umpan yang digunakan, meliputi analisis proksimat, asam amino, dan asam lemak. Selain itu, metode operasi penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu dianalisis. Berdasarkan analisis organ penciuman, penglihatan, dan kandungan umpan serta metode operasi penangkapan bubu selanjutnya dianalisis tingkah laku ikan kerapu berdasarkan fungsi kedua organ tersebut dengan menggunakan umpan.


(27)

8

Output atau keluaran dari penelitian mengenai sistem penglihatan dan penciuman terhadap umpan adalah informasi mengenai kedua sistem fisiologi tersebut dalam merespons umpan yang selanjutnya bermanfaat bagi pengembangan teknologi penangkapan ikan kerapu yang efektif dan efisien sehingga ramah lingkungan.

1.7 Metodologi Umum

1.7.1 Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu :

(1) Tahap pertama yaitu skala laboratorium (experimental laboratory), yang terdiri atas beberapa bagian:

- Histologi dan analisis organ penglihatan ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) dari bulan Juni hingga Agustus 2007 yang dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Ikan kerapu sunu dan kerapu karet didapatkan dari hasil tangkapan nelayan di perairan Teluk Awur Jepara, Jawa Tengah, sedangkan ikan kerapu macan didapatkan dari karamba jaring apung (KJA) program sea farming di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

- Pembedahan dan pengukuran berat rasio area otak dari ketiga jenis kerapu pada bulan Juni-Juli 2007 dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perikanan, FPIK- IPB. - Pembuatan dan pengujian kimia serta ketahanan formulasi umpan

buatan serta pengujian kimia dan ketahanan umpan alami dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2007. Pembuatan umpan buatan dilakukan di Laboratorium Bio-Kimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB, analisis kandungan kimia umpan buatan dan alami dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor, serta analisis ketahanan umpan buatan dan alami selama perendaman dengan


(28)

9 menggunakan air laut dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB.

- Pengamatan dan analisis tingkah laku (respons) ikan terhadap umpan dilaksanakan dari bulan Juni 2007 hingga bulan Februari 2008 di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu Kelautan, IPB dan Laboratorium Hatchery LPWP Jepara, FPIK-UNDIP.

(2) Tahap kedua (experimental fishing) adalah uji coba penggunaan umpan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 di perairan Kepulauan Seribu, provinsi DKI Jakarta.

1.7.2 Alat dan bahan penelitian

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian skala laboratorium, adalah peralatan dan bahan untuk melakukan analisis mikroteknik dan histoteknik mata ikan kerapu, peralatan untuk menimbang berat ikan kerapu dan menimbang berat otak ikan kerapu, peralatan dan bahan yang digunakan untuk membuat formulasi umpan buatan serta peralatan dan bahan untuk menguji kandungan kimia umpan alami dan buatan, serta peralatan untuk pengamatan dan analisis respons ikan kerapu terhadap umpan.

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian lapangan adalah alat tangkap bubu tambun, kamera digital dan data sheet serta umpan alami dan umpan buatan.

1.7.3 Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan disertasi ini bersifat parsial. Keterkaitan bagian satu dengan bagian lainnya akan membentuk satu kesatuan disertasi.

Metode penelitian yang digunakan secara umum dijelaskan sebagai berikut:


(29)

10 (1) Metode eksperimen di laboratorium (experimental laboratory)

Metode ini bertujuan untuk melakukan eksperimen secara langsung di laboratorium untuk memperoleh data yang diperlukan dalam analisis respons tingkah laku ikan terhadap umpan.

(2) Metode eksperimen penangkapan (experimental fishing)

Metode ini bertujuan untuk melakukan eksperimen secara langsung di lapangan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam analisis efektivitas penggunaan umpan pada bubu terhadap hasil tangkapan.


(30)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Retina Mata Ikan

Mata (penglihatan) pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan, menghindari predator atau pemangsa, atau keluar dari kepungan suatu alat tangkap. Ketajaman pada mata ikan dapat dijadikan dasar untuk mengetahui area kekuatan pandang untuk melihat suatu objek benda melalui metode tingkah laku (Muntz 1974). Kualitas pandangan di bawah air sangat minim sehingga sebagian besar ikan akan bergantung pada indera penglihatannya untuk mendapatkan informasi di sekelilingnya (Pitcher 1993).

Retina merupakan salah satu dari bagian mata pada ikan yang berfungsi sebagai reseptor penglihatan. Retina adalah proyeksi dari otak dan terdiri atas berbagai tipe sel yang terdiri atas 8 lapisan dan 2 membran (Ali dan Anctil 1976). Retina terdapat pada salah satu lapisan mata ikan dengan ketebalan berkisar 90– 500 m, sedangkan lapisan visual selnya mempunyai ketebalan 30–200 m (Nicol 1989).

Jenis teleostei memiliki jenis retina duplex, yaitu retina mereka mempunyai dua jenis reseptor yang dinamakan sel rod dan sel kon (cone). Pada retina tersebut umumnya distribusi kedua jenis reseptor tersebut berbeda untuk bagian yang berlainan yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera penglihatan dalam lingkungannya (Gunarso 1985). Matsuoka (1999) menjelaskan bahwa retina ikan umumnya terdiri atas tiga tipe pada lapisan indera penglihat (visual cell layer) , yaitu sel kon tunggal (single cone), sel kon ganda (twin cone), dan sel rod. Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity).


(31)

12

Gambar 2 Mata ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2002)

Tidak semua jenis ikan memiliki dua reseptor, seperti misalnya pada ikan tuna, mackerel hanya memiliki reseptor kon saja, sedangkan jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod saja (Gunarso 1985). Dijelaskan pula bahwa jenis ikan demersal yang mencari makan pada malam hari, seperti Solea sp dan Lysodes sp pada umumnya memiliki retina tanpa pengkonsentrasian reseptor sehingga tidak tercipta bentuk mosaik dan kon sangat minim jumlahnya.

2.2 Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity)

Ketajaman penglihatan pada ikan adalah kemampuan untuk melihat dua titik dari suatu objek pada satu garis digambarkan dalam hubungan timbal balik yang diperlihatkan dalam istilah sudut pembeda terkecil/minimum separable angle

(MSA)(He 1989). Untuk membedakan dua sasaran penglihatan yang terdekat, yang dapat diukur melalui pengujian histologi.

Ketajaman penglihatan pada ikan bergantung pada dua faktor, yaitu diameter lensa dan kepadatan sel reseptor kon pada retina (Shiobara et al. 1998). Dijelaskan

Kapsul mata

Ligamen

Iris

Lensa

Kornea Retina

Otot Saraf


(32)

13 pula bahwa semakin tajam penglihatan karena peningkatan kedudukan jarak fokus lensa daripada kepadatan sel kon-nya.

Kepadatan sel kon akan tetap selama ikan hidup. Perubahan kekuatannya mungkin akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan lensanya (Tamura, 1957). Shiobara et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tajam daya penglihatan mungkin diakibatkan oleh hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih meningkat daripada kepadatan kon-nya.

He (1989) menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh, sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999).

2.3 Sumbu Penglihatan (Visual Axis)

Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter 1980). Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata diketahui, dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957).

Menurut Tamura (1957), dalam menentukan sumbu penglihatan terlebih dahulu mengetahui kepadatan sel kon yang biasanya terletak pada area dorso-temporal, temporal atau ventro-temporal di retina mata ikan. Apabila area kepadatan sel kon terbanyak diketahui, dengan menarik garis lurus dari bagian area retina dengan sel kon terbanyak menuju ke titik lensa mata, maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya. Biasanya sumbu penglihatan ikan menghadap arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore), dan arah depan-naik ( upper-fore).

Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter 1980). Selanjutnya dijelaskan pula


(33)

14 bahwa pada daerah retina yang memiliki kepadatan sel kon tertinggi pada bagian

dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun (lower-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun pada sudut berkisar 20°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian temporal, maka ada dua kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada

diopter ke arah depan, maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada sudut 0°. Perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upper-fore) pada sudut 30°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30°.

2.4 Organ Penciuman (Olfactory Organ)

”Hidung” pada ikan teleost merupakan sepasang cekungan penciuman (olfactory) yang biasanya terletak di sisi dorsal bagian kepala dan sedikit agak jauh dari posisi mulut (Hoar dan Randall 1971).

Secara umum organ olfactory ikan serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia, akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mucosa berupa lipatan/lamella berbentuk rosette

(Pitcher 1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Gambar 3).


(34)

15

Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor,

Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor, pendukung dan basal. Dua tipe morfologi sel reseptor adalah cilia dan mikrovilar, umumnya terdapat pada teleostei. Pada elasmobranch dan Australian Lung Fish hanya memiliki sel microvilar sedangkan African Lung Fish hanya memiliki sel reseptor cilia. Sel reseptor adalah neuron primer bipolar dengan dendrit silindris

yang berakhir pada permukaan epitelium dan tidak terlindung dari lingkungan luar. Sel pendukung adalah sel epitel kolumnar yang keluar secara vertikal dari permukaan epitelium ke lomuna dasar, yang berhubungan dengan sel reseptor, sedangkan sel sensori tidak bersilia (Schultz 2004).

Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan cilia yang disebabkan oleh arus lemah yang melewati lamella. Selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat. Sistem saraf olfactory yang menuju ke otak memiliki dua konfigurasi (Schultz 2004) , yaitu:

(1) Pola pertama, cuping olfactory berhubungan dengan otak melalui sistem

olfactory bagian depan dari forebrain yang biasa disebut olfactory lobe. Biasanya batas pemisah dari forebrain tidak jelas.

Keterangan :

(a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella


(35)

16 (2) Pola kedua, cuping olfactory dan tangkai olfactory bergabung menuju otak,

kadang-kadang lurus dan kadang-kadang mengalami penyempitan antara cuping dan forebrain.

Umumnya pada bagian rongga hidung ikan jenis elasmobranch mempunyai dua pembukaan, yaitu saluran anterior dan pintu masuk di depan, akan tetapi hal tersebut berbeda pada ikan bertulang belakang, tidak ada kontak antara sistem pencium dan sistem pernapasan.

Menurut Schultz (2004), sistem olfactory pada ikan, apabila air yang masuk melalui nostril (hidung bagian depan) dan keluar melalui anterior naris ketika ikan berenang maka air yang mengandung zat kimia akan diterima oleh sistem saraf olfactory yang berhubungan dengan otak. Pada sistem pernafasan, terdiri atas dua tahap, yaitu tahap pertama, inspirasi, rongga mulut terbuka, rongga mulut terbuka, rongga bukopharin dan rongga insang mengembang, air masuk melalui rongga mulut. Tahap kedua, ekspirasi, yaitu rongga mulut menutup, rongga

bukopharin dan rongga insang menyempit, celah insang terbuka dan air bergerak dari rongga mulut ke rongga insang kemudian keluar melalui celah insang. Dalam beberapa jenis (Zoarces viviparus, Gasterosteus aculentus, Spinnchin spinachin), ada saat naris membuka dan air masuk dengan meninggalkan suatu pergerakan. Secara skematik perbedaan sistem tersebut terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Sistem penciuman (olfactory)pada ikan (Sumber: Schultz 2004)

Menurut Mitamura et al. (2005), pengaturan, bentuk, dan derajat tingkat pengembangan lamella berbeda-beda antarjenis ikan. Jumlah lamella meningkat


(36)

17 sampai taraf tertentu sesuai dengan pertumbuhan dari suatu individu, tetapi secara relatif tetap setelah ikan mencapai pertumbuhan tertentu.

Tidak ada korelasi antara banyaknya lamella dengan ketajaman penciuman/bau. Untuk ikan jenis Cyclothone spp pada kelompok jantan daya penciumannya lebih besar dibandingkan dengan betina. Dari penelitian yang pernah dilakukan ada dugaan bahwa ikan bathypelagic biasa menggunakan perasaan daripada menggunakan organ penciuman untuk mencari makanan. Selain itu organ pencium lebih sering digunakan pada ikan jantan untuk mencari pasangannya (Mitamura et al. 2005). Apabila dilihat dari arah dorsal, maka hubungan antara lamella (berbentuk rosette) dengan otak dapat dilihat pada Gambar 5.

Ikan mendeteksi adanya stimuli kimia melalui reseptor pembau. Stimuli tersebut masuk pada lubang hidung (nostril) dan di rubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella

yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon.

Gambar 5 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon (dilihat dari posisi dorsal)

(Sumber: Mitamura et al. 2005)

Ikan mendeteksi stimuli kimia melalui sedikitnya dua saluran

chemoreception yang berbeda, yaitu olfaction (bau) dan gustory (rasa). Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada

Keterangan:

OB : Olfactory Bulb OT : Olfactory Tracts GCL : Granule Cell Layer GL : Glomerular Layer MCL : Mitral Cell Layer MOT : Medial Olfactory Tract MR : Median Raphe OL : Olfactory Lamellae ON : Olfactory Nerve ONL : Olfactory Nerve Layer Tel : Telencephalon


(37)

18 semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ

olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung (air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak, yang memungkinkan ikan untuk menempatkan dan menemukan makanan atau pasangan seksual atau untuk menghindari musuh pada suatu jarak yang lebih jauh (Hansen dan Reutter 2004). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa banyak penemuan menunjukkan bahwa secara umum olfaction sebagai penengah dari isyarat kimia yang mempengaruhi perilaku berbagai ikan teleostei. Meskipun demikian, teori dasar tentang mekanisme fisiologis ikan masih sedikit.

Secara umum, olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia. Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, sosial, seksual, dan perilaku yang berkenaan dengan orang tua (Pitcher 1993).

Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri. Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut.

Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan untuk mempelajari natural behaviour.

Kelompok ikan anadromous (ikan salmon) dan black rockfish (Sebastes inermis) sangat mengandalkan organ penciumannya untuk kembali “homing

(pulang)” ke habitat asalnya untuk tumbuh dewasa, spawning atau melakukan

schooling saat melakukan migrasinya (Mana dan Kawamura 2002, Mitamura et al. 2005).


(38)

19 Organ penciuman umumnya adalah indera yang paling sensitif bagi ikan, terutama pada ikan hiu karena pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan tersebut masih sensitif terhadap bau (Syandri 1988). Pada ikan predator (buas), sistem penciumannya digunakan untuk mendeteksi makanan/umpan mati berdasarkan stimuli asam amino yang dikeluarkan dari makanan tersebut (Hansen dan Reutter 2004).

2.5 Otak dan Bagian-bagiannya

Otak merupakan cerminan berkembang tidaknya fungsi organ-organ sensoris yang dominan pada hewan (Bone and Marshall 1982). Otak ikan memiliki bagian-bagian yang menunjukkan susunan yang berbeda pada kelompoknya. Secara umum, otak ikan di bagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu otak depan (forebrain) disebut juga prosencephalon, otak tengah (mesencephalon) dan otak belakang (rhombencephalon). Ketiga bagian otak tersebut terbagi lagi ke dalam sub bagian seperti dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bagian utama dan subbagian otak ikan (Bone and Marshall 1982)

No. Bagian Utama Sub Bagian

1. Forebrain (Prosencephalon) Lobus olfactorius

Telencephalon (cerebral hemisphere) Diencephalon (between-brain) 2. Midbrain (Mesencephalon) Lobus opticus

3. Hindbrain (Rhombencephalon) Metencephalon (cerebellum)

Myelencephalon (medulla oblongata)

Telencephalon merupakan pusat penciuman pada bagian otak depan. Bagian ini di sebut juga otak depan (forebrain). Pada ikan, telencephalon merupakan tempat penerimaan, elaborasi dan meneruskan impuls aroma (bau). Ukuran

telencephalon bervariasi, sesuai dengan peranan yang dimainkannya bagi kehidupan ikan. Ikan elasmobranchii (cucut, pari, skate, dan chimaeras) memiliki indera penciuman yang berperan besar dalam mencari makan dan berinteraksi sosial karena itu lobus olfactorius membesar. Seperti contoh pada otak depan ikan


(39)

20 cucut bagian bulbus olfactorius yang membesar menjadi indikasi berkembangnya indera penciuman yang berguna untuk memburu mangsa melalui deteksi keberadaan mangsanya melalui bau hingga sejauh 9 km (Ristori 1991 diacu dalam Razak 2005).

Mesencephalon merupakan otak tengah (mid brain). Pada ikan relatif besar yang terdiri atas lobus opticus dorsal, di bagian dorsal terdapat dua lobus opticus

dan ventral tegmentum. Lobus opticus merupakan bagian depan dari retina yang diteruskan proyeksinya ke dalam bagian belakang contra-lateral dari lobus opticus dari sisi yang lain pada ikan. Ikan sebagaimana vertebrata lainnya memiliki lensa konveks pada matanya yang dapat membuat bayangan sampai di retina. Lobus opticus yang besar pada ikan salmon dibandingkan dengan ikan pari listrik (Raja clavata), goldfish (Carasius auratus), lungfish atau ikan pari (Neoceradotus forsteri), bermakna mata ikan salmon berkembang sangat baik (Rose 2002).

Perkembangan otak depan yang sangat besar dibandingkan dengan kelompok ikan bertulang sejati maupun hewan vertebrate lainnya merupakan indikasi bahwa hewan predator seperti ikan cucut sangat mengandalkan indera penciuman sebagai detektor mangsanya dari jarak yang cukup jauh (Scheer 1966

diacu dalam Razak 2006).

Pada Gambar 6 diperlihatkan bagian-bagian dari otak pada kelompok ikan

teleost

Keterangan: A). Posisi otak secara dorsal, B) Posisi otak secara lateral. Gambar 6 Bagian-bagian otak ikan (Sumber: Hoar and Randall 1970)

(A)

(B)

Ob - Olfactory bulb I - Olfactory nerve Tel - Telencephalon Ot - Optic tectum Cerb - Cerebellum Hyp - Hypothalamus Vag L Med - Vagal lobe of medulla oblongata SpC - Spinal cord.


(40)

21 Bagian utama yang ketiga adalah otak belakang (hindbraind) yang terdiri atas metencephalon dan myelencephalon (medulla oblongata). Metencephalon

merupakan pusat keseimbangan dan tonus otot, dimana pada bagian tersebut terdapat cerebellum atau otak kecil. Fungsi cerebellum adalah pengatur keseimbangan renang, dan orientasi ruang. Pada beberapa ikan komponen ini bagian yang terbesar dari otak. Bagian myelencephalon adalah tempat ditemukannya medulla oblongata. Medulla oblongata merupakan komponen saraf pusat yang mempengaruhi saraf-saraf sensoris (Scheer 1966 diacu dalam Razak 2006).

2.6 Umpan

Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan.

Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu (perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Syarat umpan yang baik (Djatikusumo 1975) adalah:

(1) Tahan lama artinya tidak mudah busuk; (2) Mempunyai ukuran yang memadai; (3) Harganya terjangkau;

(4) Mempunyai bau yang spesifik yang dapat merangsang; (5) Mempunyai warna yang mudah dilihat; dan

(6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan

King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat


(41)

22 menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al. 1988). Bubu yang menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (pellet). Tidak semua jenis ikan akan merespons jenis umpan yang sama. Masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti misalnya pinfish (Lagodon rhomboides) memperlihatkan respons yang besar terhadap umpan dari udang dan pigfish (Orthopristis chrysopterus), namun terkadang pinfish lebih merespons umpan dari kepiting (Yamamoto 1982). Menurut Monintja et al. (1992), umpan yang digunakan dalam pengoperasian jaring keranjang untuk menangkap ikan-ikan karang adalah terasi.

Menurut Prayitno (1986), berdasarkan hasil pengamatan secara menyeluruh mengenai reaksi ikan karang terhadap beberapa jenis umpan di perairan Karimunjawa seperti tertera pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan di perairan Karimunjawa (Prayitno 1986)

No Jenis Umpan Reaksi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kepiting Kepala ikan

Kepala ikan tongkol Tahu Bulu babi Terasi Multi krill +++ ++ +++ + ++ +++ + Keterangan:

+++ : baik sekali ++ : baik + : sedang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Titaley (2000) bahwa jenis umpan cumi dan udang menghasilkan tangkapan terbanyak pada ikan kerapu bebek (Plectropomus altivelis). Demikian pula pada umpan bulu babi, menghasilkan tangkapan kerapu terbanyak sebesar 48% dibandingkan dengan menggunakan umpan ikan dan keong mas (Mawardi 2001). Jenis umpan berupa ikan, sering dikonsumsi kelompok ikan kerapu terutama untuk spesies


(42)

23 Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus

dan atraktor makan pada ikan dan crustacea. Hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkeborg 1994). Lebih lanjut menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004), ikan predator (buas) yang memakan makanan tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciumannya untuk dapat mendeteksi dan dapat membeda-bedakan stimuli asam amino.

Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman ikan salmon atlantik adalah L-glutamina dan L-alanina (Caprio 1982). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas relatif stimulus organ penciuman dari kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah alanina, glutamina, L-sisteina dan L-metionina. Kandungan L-alanina terdapat pada jaringan organisme cacing, moluska, crustacea, dan ikan teleostei. Adapun untuk L-arginina, terdapat pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari bahwa untuk ikan catfish, reseptor penciuman sangat besar responsnya pada kandungan sisteina dan metionina; dan pada reseptor rasa sangat besar responsnya pada kandungan alanina dan arginina masih belum diketahui.

2.7 Ikan Kerapu (Serranidae)

Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), ikan karang dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan dan pengelompokan ikan karang berdasarkan perannya.

Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan di bagi lagi atas tiga kelompok yaitu :

(1) Ikan nokturnal, merupakan jenis ikan yang aktif pada malam hari. Contohnya pada ikan-ikan dari suku Holocentridae (swanggi), suku Apogonindae (beseng),dan lain- lain.


(43)

24 (2) Ikan diurnal, merupakan jenis ikan yang aktif ketika siang hari. Contohnya

pada ikan-ikan dari suku Pomacentridae (injel, napoleon), Acanthuridae (ketamba lencam) dan lain- lain.

(3) Ikan crepuscular, merupakan ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam. Contohnya pada ikan- ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (kerapu), Carangidae(ikan kue), dan lain- lain.

Pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya juga di bagi atas tiga kelompok yaitu :

(1) Ikan target, merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi, seperti Serranidae(kerapu),

Lutjanidae(kakap), Lethrinidae(ketamba lencam), Acanthuridae(botana), dan Siganidae (baronang).

(2) Ikan indikator, merupakan ikan penentu keberadaan terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan tingkat kesuburan terumbu karang, yaitu ikan kepe-kepe dari Famili Chaetodontidae.

(3) Ikan lain (mayor famili), ikan jenis ini umumnya dalam jumlah banyak dan umumnya dijadikan ikan hias air laut. Contohnya kakatua dari famili Scaridae, swanggi dari famili Holocentridae, dan lain- lain.

Nontji (1993) mengatakan bahwa ikan yang berasal dari perairan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam produksi perikanan antara lain ikan ekor kuning dan pisang-pisang (Caesio spp), berbagai macam ikan hias, dan ikan yang sering disajikan, misalnya baronang (Siganus), lencam (Lethrinus), kuweh (Caranx), kakap (Lutjanus), dan kerapu (Epinephelus).

Ikan kerapu, termasuk famili Serranidae, dikenal sebagai ikan yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Biasanya hidup di perairan karang berkedalaman kurang lebih 27 m (Departemen Pertanian, 1987). Ikan kerapu (Epinephelus sp) merupakan satu di antara sekian jenis ikan laut yang bernilai ekonomis tinggi yang banyak dipasarkan dalam keadaan hidup untuk restoran-restoran elit, baik di dalam maupun di luar negeri (Pramu 1994). Produksi ikan kerapu di Indonesia mencapai 6-30 ton per tahun (Hartati et al. 2004)


(44)

25 Di Indonesia ikan kerapu terdapat di seluruh wilayah perairan teluk Banten, Ujung kulon, Kep. Riau, Kep. Karimunjawa, Kep. Seribu, Jawa, dan NTB (Mayunar,1991). Ada berbagai jenis ikan kerapu yang terdapat di Indonesia, di antaranya adalah kerapu lumpur (Epinephelus suillus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lodi (Plectropomus maculatus), kerapu merah (Epinephelus fasciatus), kerapu tutul (Epinephelus melanustigma), kerapu batu (Cephalopholis boenack), kerapu hitam (Cephalopholis microprion), dan kerapu lokal (Epinephelus gouyanus) (Balai Penelitian Perikanan Laut 2007).

Ikan dari famili Serranidae di alam, aktif makan pada siang dan malam hari. Selanjutnya ikan kerapu dalam mencari makanan akan berenang-renang di antara batu karang, atau celah-celah batu yang merupakan tempat persembunyiannya dan hanya kepalanya yang terlihat. Dari tempat itulah ikan kerapu menunggu mangsanya. Bila mangsa telah tampak, ikan kerapu segera melesat dengan cepat menangkap mangsanya dan menelannya, setelah itu ikan kembali ke tempat persembunyiannya (Sugama et al. 1986).

2.8 Respons Tingkah Laku Ikan terhadap Alat Tangkap Bubu

Tingkah laku ikan adalah suatu proses adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan internal. Sistematika studi tingkah laku ikan termasuk ke dalam beberapa aspek (He 1989), yaitu:

(1) Ragam dari tingkah laku ikan; yaitu ragam tingkah laku dari berbagai tingkah laku ikan.

(2) Evolusi tingkah laku ikan; yaitu perubahan tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan adaptasi terhadap lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang panjang.

(3) Sejarah (history) tingkah laku ikan; yaitu untuk mempelajari bagaimana pola tingkah laku tertentu dari generasi yang lampau sampai generasi yang akan datang dan bagaimana variasi yang akan muncul hubungannya dengan perubahan lingkungan.


(45)

26 Terdapat enam tahap perilaku ikan yang dapat dikenali saat pengoperasian alat tangkap bubu, yaitu arousal, location, tingkah laku di sekitar bubu, masuk dalam bubu (ingress), aktivitas di dalam bubu, dan melarikan diri (Furevik 1994). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa untuk pengoperasian bubu dengan menggunakan umpan, arousal dan location merupakan dua tahap dalam tingkah laku ikan saat mengarah ke umpan, sedangkan tahap yang lain tidak begitu penting dalam penangkapan ikan dengan menggunakan bubu karena ketika ikan memakan umpan yang dipasang berarti ikan tersebut terperangkap.

Beberapa alasan yang menyebabkan ikan menjadi lebih tertarik masuk dalam bubu ialah gerakan acak dari ikan, adaptasi ikan sebagai tempat tinggal atau tempat berlindung, keingintahuan ikan, tingkah laku sosial antarspesies atau adanya predator. Hal tersebut yang menjadikan dasar dalam mekanisme pengoperasian bubu tanpa umpan (Furevik 1994). Rangsangan kimia dari mangsa menjadikan alasan yang penting untuk efisiensi penangkapan pada bubu yang menggunakan umpan maupun yang tidak menggunakan umpan (Hara 1993). Bubu tanpa umpan yang direndam sekitar satu minggu di perairan, biasanya ditempeli oleh ganggang cokelat (Phaeophyceae) dan ganggang hijau (Chlorophyceae). Adanya ganggang tersebut diduga menjadi daya tarik bagi kelompok ikan herbivor untuk datang dan mengkonsumsi ganggang tersebut (Monintja et al. 1992)

Bubu dengan menggunakan umpan, biasanya ikan mendekati bubu dari posisi bawah ketika aroma dari umpan telah menyebar. Ditemukan hampir 90% ikan haddock (Melanogrammus aeglefinus) mendekati bubu berumpan dari posisi atas (Furevik 1994), sedangkan untuk bubu tanpa menggunakan umpan, posisi ikan saat mendekati bubu dari segala arah.

2.9 Alat Tangkap Bubu dan Efektivitasnya

Bubu (perangkap) adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return device) (Brandt 1984).


(46)

27 Bubu dalam berbagai macam ukuran dan bentuk banyak digunakan pada berbagai lokasi, terutama daerah karang (Martasuganda 2003). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa bentuk bubu sangat beraneka ragam, antara lain ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, dan persegi panjang. Bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan sama. Terkadang bentuk bubu yang dipakai biasa juga berbeda bergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikan.

Secara umum bubu terdiri atas bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu masuk. Badan berupa rongga sebagai tempat ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu ikan masuk dan tidak dapat keluar. Umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989).

Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan yang akan dijadikan target tangkapan (Martasuganda 2003). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai tiga hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam.

Bubu dioperasikan di dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa. Hasil tangkapan bubu berkualitas tinggi dan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup (Martasuganda 2003). Ikan yang banyak tertangkap oleh bubu adalah ikan kue (caranx spp), beronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp), dan lencam (Lethrinus spp) (Subani dan Barus 1988).

Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan sebagai perbandingan antara hasil dengan tujuan dalam persen. Apabila nilai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat


(1)

211

Lampiran 11 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Ikan

Frequencies

3 11 4

9 1 8

> Median <= Median Waktu_Respon

K. SUNU K. KARET K. MACAN Jenis_Ikan

Test Statisticsb

36 2.8306 12.667a

2 .002 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. a.

Grouping Variable: Jenis_Ikan b.

Lampiran 12 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Umpan Buatan

Frequencies

7 6 5

5 6 7

> Median <= Median Waktu_Respon

Bulu Babi Udang Ikan Jenis_Umpan

Test Statisticsb

36 2.8306 .667a

2 .717 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. a.

Grouping Variable: Jenis_Umpan b.


(2)

212

Lampiran 13 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Ikan

Frequencies

2 11 5

10 1 7

> Median <= Median Waktu_Respon

K. SUNU K. KARET K. MACAN Jenis_Ikan

Test Statisticsb

36 2.9740 14.000a

2 .001 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. a.

Grouping Variable: Jenis_Ikan b.

Lampiran 14 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Umpan Buatan

Frequencies

7 6 5

5 6 7

> Median <= Median Waktu_Respon

Bulu Babi Udang Ikan Jenis_Umpan

Test Statisticsb

36 2.9740 .667a

2 .717 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. a.

Grouping Variable: Jenis_Umpan b.


(3)

213

Lampiran 15 NPar Tests FINDING vs Jenis Ikan

Frequencies

2 10 6

10 2 6

> Median <= Median Waktu_Respon

K. SUNU K. KARET K. MACAN Jenis_Ikan

Test Statisticsb

36 4.0750 10.667a

2 .005 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. a.

Grouping Variable: Jenis_Ikan b.

Lampiran 16 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Umpan Buatan

Frequencies

6 6 6

6 6 6

> Median <= Median Waktu_Respon

Bulu Babi Udang Ikan Jenis_Umpan

Test Statisticsb

36 4.0750 .000a

2 1.000 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. a.

Grouping Variable: Jenis_Umpan b.


(4)

214

Lampiran 17 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Ikan

Frequencies

0 16 10

15 4 10

> Median <= Median Waktu_Respon

K. SUNU K. KARET K. MACAN Jenis_Ikan

Test Statisticsb

55 2.6800 22.102a

2 .000 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 7.1. a.

Grouping Variable: Jenis_Ikan b.

Lampiran 18 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Umpan Buatan

Frequencies

8 5 9 4

6 9 5 9

> Median <= Median Waktu_Respon

Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Jenis_Umpan

Test Statisticsb

55 2.6800 4.344a

3 .227 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.1. a.

Grouping Variable: Jenis_Umpan b.


(5)

215

Lampiran 19 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Ikan

Frequencies

0 18 8

15 2 12

> Median <= Median Waktu_Respon

K. SUNU K. KARET K. MACAN Jenis_Ikan

Test Statisticsb

55 3.9500 28.521a

2 .000 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 7.1. a.

Grouping Variable: Jenis_Ikan b.

Lampiran 20 NPar Tests SEARCH vs Jenis Umpan Buatan

Frequencies

9 4 6 7

5 10 8 6

> Median <= Median Waktu_Respon

Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Jenis_Umpan

Test Statisticsb

55 3.9500 3.925a

3 .270 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.1. a.

Grouping Variable: Jenis_Umpan b.


(6)

216

Lampiran 21 NPar Tests FINDING vs Jenis Ikan

Frequencies

0 14 13

15 6 7

> Median <= Median Waktu_Respon

K. SUNU K. KARET K. MACAN Jenis_Ikan

Test Statisticsb

55 4.9700 19.988a

2 .000 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 7.4. a.

Grouping Variable: Jenis_Ikan b.

Lampiran 22 NPar Tests FINDING vs Jenis Umpan Buatan

Frequencies

9 8 8 2

5 6 6 11

> Median <= Median Waktu_Respon

Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Jenis_Umpan

Test Statisticsb

55 4.9700 7.929a

3 .047 N

Median Chi-Square df

Asymp. Sig.

Waktu_ Respon

0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.4. a.

Grouping Variable: Jenis_Umpan b.