kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS BTNGHS
2007. Masyarakat yang tinggal di kawasan ekosistem Halimun terdiri dari
masyarakat adat Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul terutama di bagian Barat dan Selatan kawasan, dan masyarakat Sunda Lokal. Masyarakat yang mendiami
kawasan TNGHS sudah ada sejak abad ke-19, yakni pada zaman kerajaan Pajajaran. Masyarakat lokal tersebut tidak terpengaruh oleh adanya ekonomi
pasar, tetapi hanya untuk bertahan hidup. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup subsisten Harada et al. 2001.
Berdasarkan fakta sejarah keberadaan masyarakat Sunda Lokal ini adalah masyarakat pendatang dari beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Cirebon,
Indramayu, Garut, Subang, dan Kuningan yang pada masa penjajahan Belanda merupakan buruh perkebunan yang akhirnya menetap dan menjadi salah satu
komunitas masyarakat yang mendiami kawasan ekosistem Halimun. Masyarakat pendatang ini terutama mendiami pada daerah yang dulunya merupakan areal
perkebunan, antara lain: Cisalimar, Nirmala, Cisarua, Nanggung, dan Warung Kiara Hanafi et al. 2004.
Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak mayoritas adalah masyarakat petani yang menggantungkan
hidupnya pada pertanian. Sebagian yang lain adalah masyarakat perkebunan yang bermatapencaharian sebagai pegawai dan buruh perkebunan.
3.1.8 Sejarah Kawasan
Kawasan ekosistem Halimun Salak memiliki sejarah panjang, yang melintasi berbagai generasi dan penguasa. Pemanfaatan lahan telah dimulai sejak
Pemerintahan Hindia Belanda yang juga mulai melindungi kawasan ini. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan TNGHS sudah mengalami perubahan
pengelolaan sejak zaman penjajahan Belanda. Menurut Galudra et al. 2005, sejarah penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS
dapat dibagi menjadi empat periode tahun, dimulai dari zaman penjajahan sampai dengan setelah kemerdekaan Republik Indonesia Tabel 1.
Tabel 1 Sejarah pengelolaan kawasan TNGHS Periode Tahun
Pemerintahan Penggunaan dan
penunjukan kawasan TNGHS
Keterangan
1700 – 1865
Hindia Belanda Kawasan
perkebunan Kopi, indigo, teh,
kayu manis, kapas, karet, kina, coklat,
kapuk, kelapa, lada
1865 – 1942
Hindia Belanda Kawasan kehutanan
Hutan rimba 1.570 mdpl, dan
hutan cadangan
1942 – 1945
Jepang Kawasan pertanian
Sawah dan kebun 1945-sekarang Republik
Indonesia Kawasan kehutanan
Kelompok hutan dikelola oleh
BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional
Sumber: Galudra et al. 2005
Dari awal abad ke-18 sampai dengan tahun 1865 kawasan TNGHS merupakan kawasan perkebunan di bawah pengelolaan pemerintah Hindia
Belanda dengan komoditi kopi, indigo, teh, kayu manis, kapas, karet, kina, coklat, kapuk, kelapa, dan lada. Banyak masyarakat dari daerah-daerah sekitar
didatangkan sebagai tenaga kerja perkebunan. Selain tenaga kerja yang didatangkan, banyak pula warga masyarakat yang sengaja datang karena
mendengar adanya lapangan pekerjaan Simarmata 2009. Masyarakat tersebut sampai saat ini masih banyak mendiami wilayah di sekitar perkebunan dan
membentuk desa perkebunan. Pada tahun 1865 pemerintah Hindia Belanda menunjuk kawasan TNGHS
menjadi kawasan kehutanan. Kawasan yang ditetapkan adalah hutan rimba dengan ketinggian lebih dari 1.570 mdpl, dan hutan cadangan. Kedatangan Jepang
di Indonesia merubah sistem pengelolaan kawasan ini pada tahun 1942-1945. Kawasan yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan kehutanan beralih
menjadi kawasan pertanian. Kawasan pertanian ini digunakan sebagai sumber bahan makanan untuk mendukung perang yang dilakukan Jepang pada waktu itu.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pengelolaan kawasan beralih ke pemerintah Indonesia. Kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan kehutanan
kembali. Tahun 1978 pemerintah memberikan kewenangan kepada PT Perhutani
Unit III Jawa Barat-Banten untuk mengelola kawasan hutan sebagai hutan produksi. Pada tahun 1992 sebagian kawasan hutan ditunjuk sebagai kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun TNGH dan tahun 2003 ditunjuk areal perluasan TNGH seluas ±40.000 hektar menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak TNGHS yang mencakup kawasan Hutan Lindung Gunung Salak dan kawasan hutan produksi Perhutani.
Taman Nasional Gunung Halimun ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992 atas perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Halimun. Pada tahun
2003 taman nasional ini diperluas menjadi ± 113.357 hektar dari hasil perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi
Terbatas pada kelompok Hutan Gunung Halimun dan kelompok Hutan Gunung Salak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Kawasan tersebut saat ini
disebut dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Departemen Kehutanan 2007.
Gambar 1 Peta zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007.
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak tidak seluruhnya menjadi hutan konservasi. Di
dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tahun 2007- 2026, disebutkan bagian-bagian atau zonasi yang memiliki fungsinya masing-
masing Gambar 1., sebagai berikut:
1. Zona Inti dan Zona Rimba =ZI, warna merah dan ZR, warna kuning muda
2. Zona Rehabilitasi =Zre, warna biru muda
3. Penetapan Zona Pemanfaatan =ZP, warna hijau
4. Zona dengan Fungsi Utama Ekonomi Wilayah =Zona Khusus, ZKh, warna
abu-abu tua 5.
Zona untuk Tujuan Sosial Budaya =Zona Budaya, Religi, dan Sejarah, ZBs, warna ungu tua dan Zona Tradisional, ZTr, warna kuning tua
6. Zona Lainnya =ZL, warna putih
3.1.9 Interaksi Masyarakat dengan Kawasan TNGHS