15. Lama menggarap lahan
16. Jumlah lahan yang dikuasai
B. Data Sekunder 1.
Peta wilayah desa 2.
Monografi Desa Cipeuteuy 3.
Kondisi umum desa dan TNGHS
Instansi pemerintah
desa dan Pengelola
TNGHS Studi pustaka
variabel sosial-eekonomi yang dianalisis dengan regresi
4.6 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara, sebagai berikut: 1.
Wawancara Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan
responden. Wawancara dilakukan secara terstruktur maupun wawancara bebas. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar
pertanyaan atau kuisioner yang telah dipersiapkan yaitu pertanyaan secara langsung disampaikan oleh peneliti. Sedangkan wawancara bebas
dilakukan tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang masih berkaitan dengan penelitian. Wawancara juga dilaksanakan dengan mencoba mengingatkan
kembali recalling responden terhadap keadaan mereka di masa yang lalu. 2.
Observasi Data dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. 3.
Teknik pencatatan Pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian dilakukan dengan
pencatatan data dari desa, kecamatan, dinas terkait dan instansi lainnya.
4.7 Metode Pengambilan Contoh
Pemilihan responden sebagai unit contoh dilakukan dengan metode random sampling yaitu penentuan contoh dilakukan secara acak. Populasi adalah
masyarakat yang berinteraksi atau pernah berinteraksi dengan kawasan TNGHS di dua dusun penelitian. Jumlah populasi dalam penelitian ini tidak diketahui
secara pasti karena tidak tersedia data penunjang. Jumlah responden dalam
penelitian ini adalah sebanyak 84 responden yang berasal dari dua dusun yaitu 44 responden di Dusun Cisarua dan 40 responden di Dusun Pandan Arum.
4.8 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda, dengan keterangan sebagai
berikut: 1.
Analisis tabulasi dan deskriptif : berupa tabel dan gambar dari data-data hasil kuisioner, untuk mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk perubahan pola
interaksi antara masyarakat dengan hutan. 2.
Analisis regresi linier berganda: untuk menduga besarnya pengaruh variabel- variabel sosial ekonomi terhadap luas penggunaan lahan hutan oleh
masyarakat.
4.8.1 Analisis Tabulasi dan Deskriptif
Data-data perubahan pola interaksi yang didapatkan dari hasil wawancara dan kuisioner dianalisis secara tabulasi dan deskriptif. Tampilan data berupa tabel,
yang menunjukkan bentuk-bentuk perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan di lokasi penelitian. Pengolahan data dan analisis data tersebut dilakukan
dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1.
Pemeriksaan editing data yang terkumpul untuk memastikan kesempurnaan dan pengisian dari setiap instrumen pengumpulan data meliputi lengkapnya
pengisian kuisioner, keterbacaan tulisan, kejelasan makna jawaban, kesesuaian jawaban, relevansi jawaban dan keseragaman satuan data.
2. Pemberian kode coding pada data yang terkumpul di setiap instrumen.
Pemberian kode yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut macamnya.
3. Membuat kategori untuk mengklasifikasikan jawaban yaitu menggolongkan
jawaban-jawaban ke dalam kategori tertentu. 4.
Tabulasi data dan menghitung frekuensi pada masing-masing kategori jawaban.
5. Analisis data dan penyajian data secara deskriptif.
4.8.2 Analisis Regresi Linier Berganda
Untuk menduga besarnya pengaruh variabel-variabel sosial ekonomi yang mempengaruhi luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakaat dilakukan dengan
analisis regresi linier berganda. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS 17.0. Analisis regresi linier berganda dilakukan apabila terdapat
dua atau lebih variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Variabel terikat Y adalah luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat. Variabel bebas X adalah
variabel sosial ekonomi masyarakat. Persamaan yang digunakan yaitu sebagai berikut :
Y = β + β
1
X
1i
+ β
2
X
2i
+ ……. + β
j
X
ji
Keterangan : Y
= luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat β
= intersep β
1,
β
2
,....,β
n
= kemiringanslope X
1i,
X
2i
,... X
ji
= variabel sosial ekonomi masyarakat X
1
= umur X
2
= lama bermukim di desa X
3
= luas lahan pertanian di luar hutan X
4
= lama menggarap di hutan X
5
= jumlah anggota keluarga X
6
= pendapaatan per bulan
Kriteria keputusan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut : H
: Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani tidak berpengaruh nyata terhadap luas penggunaan lahan
H
1
: Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani berpengaruh nyata terhadap luas penggunaan lahan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden
Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih dalam kepemilikan dan penguasaan lahan serta benda-benda
berharga. Heterogenitas status sosial dalam rumah tangga diduga mempengaruhi interaksinya terhadap hutan. Karakteristik responden baik secara langsung
ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh sebab itu pemahaman tentang karakteristik responden sebagai
pengelola sumberdaya alam sangat penting artinya dalam upaya mempelajari interaksinya dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.
Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data mencakup karakteristik responden seperti umur, latar belakang pendidikan, jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggungan kepala keluarga, tingkat pendapatan dan luas lahan pertanian yang digarap. Deskripsi karakteristik responden bertujuan untuk memperjelas
informasi yang didapat oleh penulis Lampiran 1.
1. Umur
Dari 44 responden di Dusun Pandan Arum yang diwawancarai dalam penelitian ini, sebanyak 39 orang atau 88,6 merupakan kategori usia produktif
berumur diantara 15 – 65 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 5 orang atau 11,4
adalah penduduk dengan usia non produktif tua atau berumur lebih dari 65 tahun. Sedangkan untuk responden di Dusun Cisarua terdapat 39 orang atau 97,5
responden yang termasuk dalam kategori usia produktif dan sisanya 1 orang atau 2,5 merupakan kategori usia non produktif tua.
Meskipun tidak semua responden berada dalam usia produktif, dalam kenyataannya semua responden sampai saat ini masih aktif dalam kegiatan
pertanian dan pengelolaan lahan di lapangan. Hanya saja intensitas dan frekuensinya lebih sedikit daripada mereka yang berada dalam usia produktif.
Meskipun usia beberapa responden tersebut sudah memasuki usia non produktif
tua atau sudah berusia di atas 65 tahun, mereka masih tetap harus menanggung beban keluarga masing-masing meskipun tidak terlalu banyak dibanding
responden yang masih dalam usia produktif. Responden dengan usia non produktif muda tidak ada karena tidak ditemui
kepala keluarga yang berumur dibawah 15 tahun. Hal ini dikarenakan saat ini sangat jarang ditemui pernikahan untuk laki-laki yang masih berusia di bawah 15
tahun di Desa Cipeuteuy. Rata-rata usia menikah laki-laki yang akan menjadi kepala keluarga baru adalah 20 tahun.
2. Pendidikan
Dari keseluruhan responden di Dusun Pandan Arum terdapat 42 kepala keluarga atau 95,4 yang berpendidikan tergolong rendah yaitu mereka yang
tidak pernah bersekolah, tidak tamat SD dan tamat SD. Sedangkan di Dusun Cisarua terdapat 36 responden atau 90 responden berpendidikan rendah.
Responden dengan pendidikan sedang yaitu lulus SMP dan SMA di Dusun Pandan Arum terdapat 2 orang 4,6 dan di Dusun Cisarua sebanyak 4 orang
10. Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan tinggi yaitu yang lulus perguruan tinggi. Dari data monografi desa tercatat jumlah lulusan
Perguruan Tinggi di Desa Cipeuteuy hanya berjumlah 32 orang atau sekitar 0,47. Hampir semua lulusan perguruan tinggi di desa, tidak menjadikan
pertanian sebagai mata pencaharian utama, sehingga dalam penelitian ini tidak ditemui responden dengan tingkat pendidikan tinggi.
3. Jumlah anggota keluarga
Secara umum jumlah anggota keluarga rumah tangga responden di Dusun Pandan Arum adalah rendah yaitu rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4-5
orang. Sebanyak 65,9 atau 29 responden di Dusun Pandan Arum termasuk dalam kategori jumlah anggota keluarga rendah. Sedangkan jumlah anggota
keluarga sedang berjumlah 5 sampai dengan 7 orang sebanyak 14 kepala keluarga atau sekitar 31,8. Sisanya sebanyak 2,3 adalah rumah tangga dengan jumlah
anggota keluarga tinggi yaitu jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang. Sedangkan responden di Dusun Cisarua lebih banyak termasuk dalam
kategori jumlah anggota keluarga sedang dengan jumlah anggota 5 sampai 7
orang. Jumlah responden kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang adalah 52,5, kemudian untuk kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga
kecil sebanyak 45, dan sisanya 2,5 adalah responden dengan jumlah anggota keluarga besar.
4. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan responden di kedua Dusun Penelitian berkisar antara Rp.300.000 sampai dengan Rp.1.500.000 tiap bulannya. Berdasarkan kisaran
tersebut maka responden dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: responden dengan pendapatan Rp.500.000 , Rp.500.000
– Rp.1.000.000, dan Rp.1.000.000. Sebanyak 54,6 responden di Dusun Pandan Arum memiliki rata-rata
pendapatan perbulan antara Rp.500.000 – Rp.1.000.000. Responden dengan
tingkat pendapatan dibawah Rp.500.000 sebanyak 20,4 dan responden dengan pendapatan lebih besar dari satu juta adalah 25. Sedangkan rata-rata pendapatan
tiap bulan responden di Dusun Pandan Arum sebesar Rp.710.227,30. Sebanyak 57,5 responden di Dusun Cisarua memiliki rata-rata pendapatan
perbulan antara Rp.500.000 – Rp.1.000.000. Responden dengan pendapatan lebih
besar dari satu juta adalah 35 dan responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp.500.000 sebanyak 7,5. Rata-rata pendapatan responden di Dusun
Cisarua adalah Rp.858.750 tiap bulan.
5. Luas Lahan Garapan
Responden di Dusun Pandan Arum sebanyak 22 orang 50 memiliki luas lahan dalam kategori sempit dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha 2500m
2
. Responden dengan luas lahan sedang antara 0,25 ha sampai dengan 0,5 ha
sebanyak 6 orang 13,6. Responden dengan luas lahan lebih dari 0,5 ha sebanyak 16 orang 36,4.
Responden di Dusun Pandan Arum sebanyak 13 orang 32,50 memiliki luas lahan dalam kategori sempit dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha 2500m
2
. Responden dengan luas lahan sedang antara 0,25 ha sampai dengan 0,5 ha
sebanyak 12 orang 30. Responden dengan luas lahan lebih dari 0,5 ha sebanyak 15 orang 37,50.
Secara umum responden di Dusun Pandan Arum menggarap lahan yang lebih sempit dibanding di Dusun Cisarua. Rata-rata luas lahan garapan responden
di Dusun Pandan Arum adalah 4.850 m
2
0,485 ha dan luas lahan garapan responden di Dusun Cisarua adalah 6.575 m
2
0,6575 ha. Sebanyak separuh responden di Dusun Pandan Arum adalah petani dengan lahan garapan seluas
kurang dari 0,25 ha.
5.1.2 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan
Sejak dulu hingga saat ini masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada produksi dan jasa hutan. Hutan sebagai sebuah ekosistem
mempunyai sumberdaya di satu sisi dan masyarakat sekitar hutan di sisi lain yang mempunyai jalinan ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan Sutaryono
2008. Masyarakat sekitar hutan semakin hari semakin terpinggirkan dan taraf
kehidupannya memprihatinkan. Terbatasnya akses pada sumberdaya hutan, terbatasnya kesuburan dan luas lahan yang dimiliki, tingkat pendidikan dan
ketrampilan yang relatif rendah yang diikuti dengan jumlah pendapatan yang rendah merupakan faktor-faktor yang menyebabkannya Sutaryono 2008.
Kondisi demikian cenderung menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian sebuah kawasan hutan.
Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan dalam penelitian ini adalah berdasarkan perubahan penggunaan lahan hutan oleh masyarakat di Dusun
Cisarua dan Pandan Arum. Terdapat tiga pola interaksi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Pola dengan penggunaan lahan: adalah penggunaan lahan oleh masyarakat
untuk keperluan tertentu yang permanenmenahun. Contoh dari pola ini adalah penggunaan lahan hutan untuk pertanian menetap dan pemukiman.
2. Pola pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan: adalah pemanfaatan lahan
hutan oleh masyarakat tanpa menggunakanmenduduki lahan hutan yang bersangkutan. Contoh dari pola ini adalah pengambilan hasil hutan kayu
atau non kayu. 3.
Pola tanpa interaksi: yaitu masyarakat tidak menggunakan lahan hutan dan tidak mengambil hasil hutan sama sekali.
Perubahan pola interaksi yang dilakukan oleh responden adalah perubahan dari satu pola ke pola lainnya. Dalam penelitian ini, perubahan pola interaksi
dibatasi hanya pada satu tahap perubahan saja, yaitu perubahan pola interaksi sebelum saat ini menjadi pola interaksi yang dilakukan saat ini. Berdasarkan hal
tersebut maka perubahan pola interaksi yang mungkin terjadi adalah 6 enam pola perubahan.
Tidak semua masyarakat mengubah interaksinya dengan lingkungan sekitar. Pada beberapa masyarakat ditemui adanya hubungan yang relatif konstan
dengan hutan. Dalam konteks penelitian ini, ditemui beberapa responden yang tidak mengalami perubahan pola interaksi. Tabel 8 berikut menyatakan besarnya
responden beserta perubahan interaksi yang dilakukannya.
Tabel 8 Perubahan pola interaksi responden di kedua dusun penelitian
Pola perubahan Cisarua
Pandan Arum Jumlah
Persentase Jumlah
Persentase Pola 1
2 4,5
Pola 2 14
31,8 16
40,0 Pola 3
6 13,7
4 10,0
Pola 4 3
7,5 Pola 5
20 45,5
13 32,5
Pola 6 Tidak berubah
2 4,5
4 10,0
Total 44
100,00 40
100,00
Keterangan : Pola perubahan interaksi adalah sebagai berikut: 1.
Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan. 2.
Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. 3.
Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan. 4.
Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi. 5.
Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi penggunaan lahan. 6.
Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi pemanfaatan hasil hutan.
Perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua tidak jauh berbeda. Terdapat dua pola perubahan yang
paling banyak dilakukan oleh responden, yaitu: pola 2 dan pola 5. Pola 2 adalah perubahan dari interaksi dengan penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi.
Sedangkan pola 5 adalah perubahan dari tanpa interaksi menjadi penggunaan
lahan. Kedua pola tersebut saling berlawanan dan paling banyak dilakukan oleh masyarakat di kedua dusun tersebut.
Di Dusun Pandan Arum terdapat 20 responden 45,5 dengan perubahan interaksi pola 5 dan 14 responden 31,8 dengan perubahan interaksi pola 2.
Sisanya adalah responden dengan perubahan pola 3 sebanyak 6 13,7, perubahan pola 1 sebanyak 2 responden 4,5 dan 2 responden yang tidak
melakukan perubahan interaksi. Di Dusun Cisarua terdapat 16 responden 40 dengan perubahan interaksi
pola 2 dan sebanyak 13 responden 32,5 yang melakukan perubahan interaksi pola 5. Sisanya adalah 4 responden 10 dengan perubahan interaksi pola 3 dan
3 responden 7,5 yang melakukan perubahan pola 4. Responden yang tidak melakukan perubahan interaksi sebanyak 4 orang atau 10 dari total responden di
Dusun Cisarua. Secara keseluruhan responden di kedua dusun paling banyak melakukan
perubahan dari pola tanpa interaksi menjadi pola penggunaan lahan yaitu pola 5. Perubahan kedua paling banyak dilakukan oleh masyarakat dikedua dusun adalah
perubahan pola 2 yakni dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Tabel 9 berikut ini menyajikan persentase jumlah responden di kedua dusun yang
melakukan perubahan pola interaksi. Tabel 9 Perubahan pola interaksi responden keseluruhan
Pola perubahan Jumlah
Persentase Pola 1
2 2,4
Pola 2 30
35,7 Pola 3
10 11,9
Pola 4 3
3,6
Pola 5 33
39,3
Pola 6 Tidak berubah
6 7,1
Total 84
100 Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan merupakan respon
masyarakat terhadap suatu perubahan yang terjadi. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Cisarua dan Pandan Arum serta Desa Cipeuteuy
umumnya merupakan respon terhadap perubahan yang terjadi pada berbagai hal
yang mempengaruhinya. Adanya perubahan pengelolaan hutan, perubahan kondisi lingkungan, dan perubahan kondisi di dalam masyarakat merupakan
beberapa hal yang mempengaruhinya. Masyarakat di Desa Cipeuteuy adalah masyarakat yang berada di
lingkungan sekitar hutan dan perkebunan. Sebagian besar masyarakatnya bergantung pada pertanian dan perkebunan. Perkebunan yang berada di desa ini
adalah perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta yang sudah bangkrut sejak sekitar tahun 1993. Pada waktu perkebunan cengkeh masih beroperasi, banyak warga
desa yang menjadi tenaga kerja di perkebunan tersebut. Selain itu Desa Cipeuteuy juga terletak tidak terlalu jauh dengan perkebunan teh PTPN VIII Kebun Cianten.
Beberapa warga desa bekerja di perkebunan teh sampai saat ini meskipun tidak terlalu banyak. Sebagian besar masyarakat yang lain bermata pencaharian di
bidang pertanian yaitu sebagai petani pemilik lahan maupun sebagai buruh tani. Tidak semua masyarakat yang bermata pencaharian petani memiliki lahan
yang cukup luas atau bahkan tidak memiliki lahan pertanian sama sekali atau tuna kisma. Sebagian besar dari petani berlahan sempit tersebut memanfaatkan lahan
kawasan hutan sebagai lahan pertanian tambahan atau lahan pertanian utama bagi petani tuna kisma. Meskipun lahan hutan tidak terlalu bagus untuk lahan
pertanian, namun masyarakat petani merasa tidak mempunyai pilihan lain selain menggarap lahan di kawasan hutan.
Interaksi masyarakat dengan hutan di Desa Cipeuteuy dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penggunaan lahannya. Interaksi yang pertama adalah
interaksi yang dilakukan tanpa menggunakan lahan hutan secara langsung. Kelompok yang termasuk dalam interaksi ini adalah pemungutan hasil hutan baik
hasil hutan kayu maupun non kayu. Sedangkan interaksi yang kedua adalah interaksi yang dilakukan dengan pemanfaatan lahan secara langsung, yaitu untuk
lahan pertanian.
Gambar 7 Lahan pertanian dan pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan TNGHS.
Berdasarkan keterangan dari responden, masyarakat Desa Cipeuteuy khususnya di Dusun Cisarua dan Pandan Arum yang berbatasan langsung dengan
kawasan hutan adalah yang paling banyak melakukan interaksi, baik interaksi dengan penggunaan lahan maupun tanpa menggunakan lahan secara langsung.
Gambar 7 menunjukkan pemukiman dan lahan pertanian warga desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Penggunaan lahan hutan untuk
pertanian dan pemanfaatan hasil hutan kayu ataupun non kayu telah dilakukan masyarakat sejak sebelum lahan hutan dikelola oleh TNGHS. Pada waktu masih
dikelola oleh Perhutani masyarakat di sekitar hutan banyak yang mengambil kayu bakar untuk keperluan sehari-hari dan memungut hasil hutan non kayu lain yaitu
sayuran dan rumput untuk pakan ternak. Mereka yang menggunakan lahan hutan untuk lahan pertanian sebagian besar adalah petani tumpang sari.
Program tumpang sari tersebut merupakan kebijaksanaan Perhutani untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Tumpang sari dilakukan
setelah ada tebangan. Masyarakat yang mengikuti program ini terbagi dalam kelompok yang terdiri dari sekumpulan petani. Blok-blok tumpang sari sudah
ditentukan oleh Perhutani di lahan bekas tebangan. Petani dapat memanfaatkan lahan hutan di sela-sela tanaman kehutanan untuk pertanian dengan kewajiban
menjaga tanaman kehutanan tersebut. Tanaman pertanian yang ditanam masyarakat antara lain padi huma, berbagai sayuran, pepaya, singkong, dan
tanaman-tanaman pangan lain. Kontrak untuk tumpang sari adalah 4 tahun dengan pertimbangan jika pada usia tersebut tanaman kehutanan sudah cukup tinggi dan
rindang sehingga pertanian tumpang sari juga sudah tidak terlalu bagus untuk dilakukan. Pada prakteknya banyak dari petani melakukan tumpang sari lebih dari
kontrak yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena petani-petani tersebut sangat membutuhkan lahan untuk bertani sebagai penopang hidup.
Petani yang telah selesai menyelesaikan kontrak tumpang sari di suatu blok dapat mengikuti lagi tumpang sari di blok lain. Dengan demikian petani-petani
tersebut melakukan tumpang sari tidak pada satu lokasi saja, namun pada beberapa lokasi yang terpisah. Meskipun banyak petani yang mengikuti tumpang
sari dalam beberapa periode, beberapa petani memutuskan untuk tidak meneruskan kegiatan tumpang sari mereka atau bahkan berhenti melakukan
tumpang sari sebelum kontrak selesai. Beberapa responden menyatakan bahwa mereka pernah bertumpang sari hanya selama 2 kali musim panen padi huma atau
sekitar 1 tahun. Petani-petani yang tidak lagi meneruskan pertanian tumpang sari beralih
menjadi petani di lahan sendiri atau di lahan sewa, menjadi buruh tani, atau bekerja di bidang yang lain. Kebanyakan dari petani tersebut sudah tidak lagi
menggunaan lahan hutan sebagai salah satu penopang hidupnya. Beberapa rumah tangga petani yang tempat tinggalnya tidak jauh dari hutan masih melakukan
interaksi dengan hutan. Mereka masih memanfaatkan hasil hutan di sekitar rumahnya untuk keperluan sehari-hari, misalnya pengambilan kayu bakar untuk
memasak. Beberapa sebab yang mendasari perubahan tersebut hampir sama untuk tiap
responden. Mereka mengatakan bahwa pertanian tumpang sari tidak cukup menguntungkan untuk dilakukan. Penyebabnya antara lain adalah tanah yang
dianggap kurang subur terlebih lagi jika tanaman kehutanan sudah mulai tinggi dan daun-daunnya menaungi tanah sehingga hasil pertanian yang didapatkan
sedikit. Banyaknya gangguan binatang seperti babi dan monyet yang merusak tanaman pertanian juga sangat merugikan petani. Faktor jarak juga menjadi salah
satu alasan mengapa para petani tumpang sari enggan meneruskan pertanian di dalam hutan. Beberapa responden menyatakan bahwa lokasi lahan tumpang sari
sangat jauh dari rumah dan untuk menempuhnya harus berjalan kaki selama dua sampai tiga jam. Periode tahun 1990-an adalah waktu ketika petani tumpang sari
banyak yang mulai berhenti seiring dengan kebangkrutan perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta dan mulai diambil-alihnya lahan perkebunan tersebut oleh
masyarakat desa. Sekitar tahun 1996
– 1997 lahan eks HGU PT. Intan Hepta mulai diambil- alih oleh masyarakat desa, tidak terkecuali para petani tumpang sari di hutan.
Sebagian dari masyarakat yang mengambil-alih dan menggarap lahan tersebut adalah mereka yang hanya memiliki lahan pertanian sempit atau bahkan tidak
memiliki lahan sama sekali. Lahan seluas 583 ha tersebut akhirnya terbagi-bagi menjadi lahan pertanian masyarakat sampai saat ini. Masyarakat yang pada
awalnya sangat tergantung dengan lahan hutan untuk pertanian mulai meninggalkan hutan dan menggarap lahan eks HGU tersebut. Para petani
mendapatkan keuntungan dari lahan tersebut karena selain relatif luas, lahan tersebut juga tidak dibebani pajak sehingga masyarakat beramai-ramai menggarap
lahan tersebut. Hal ini menjadi salah satu faktor perubahan interaksi masyarakat dengan hutan. Pada umumnya semakin luas lahan pertanian masyarakat di luar
hutan, maka ketergantungan masyarakat akan hutan juga semakin berkurang.
Gambar 8 Lahan eks HGU PT Intan Hepta yang digarap masyarakat desa.
Tidak semua masyarakat di desa ikut dalam pengambil alihan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. Seorang tokoh desa menjelaskan bahwa pada waktu itu
tidak semua orang berani untuk ikut dalam aksi tersebut. Sejumlah warga kampung yang cukup jauh dari lokasi perkebunan tidak terlalu tertarik dengan
lahan tersebut, sebagian yang lain adalah yang memang tidak kebagian karena semua lahan telah diambil-alih. Saat ini lahan tersebut masih menjadi lahan
pertanian masyarakat dan sebagian lain adalah lahan yang dikuasai oleh orang dari
luar desa. Dalam dekade terakhir ini mulai sering adanya jual beli lahan eks HGU tersebut. Banyak masyarakat yang menjual lahan garapan kepada pembeli dari
luar daerah. Hal ini menjadi sangat riskan karena lahan yang diperjual-belikan tersebut adalah tanah negara.
Meskipun sebagian besar dari petani tumpang sari meninggalkan pertanian di hutan, sebagian yang lain justru memulai untuk bertani di hutan. Mereka yang
memutuskan untuk bertani di hutan umumnya adalah warga yang tidak mempunyai lahan pertanian sendiri atau memiliki lahan namun tidak cukup luas.
Sebanyak 25 dari 33 responden atau sebesar 75,8 responden yang melakukan hal ini adalah mereka yang tergolong kepala keluarga yang relatif muda antara 20
– 45 tahun. Pada awalnya pemuda-pemuda di desa banyak yang bekerja di kota- kota besar seperti Bogor dan Jakarta. Pada saat berkeluarga, pemuda-pemuda
tersebut meninggalkan keluarganya di desa. Upah bekerja di kota yang dianggap tidak mencukupi untuk keperluan hidup dan jauhnya jarak dengan keluarga
membuat banyak dari pemuda-pemuda tersebut kembali ke desa untuk beralih mata pencaharian sebagai petani. Karena umumnya kepala keluarga muda tidak
mempunyai lahan yang luas atau bahkan tidak mempunyai lahan sama sekali, maka mereka menggarap lahan di kawasan kehutanan.
Ketika status lahan hutan beralih dari kawasan Perhutani menjadi perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak hal ini menjadi permasalahan yang harus
diperhatikan. Saat disahkan menjadi bagian TNGHS lahan hutan di Desa Cipeuteuy masih berupa lahan pertanian tumpang sari yang digarap oleh
masyarakat. Perubahan status tersebut membuat para petani khawatir dan takut jika suatu saat lahan pertanian mereka diambil oleh pihak TNGHS sedangkan
mereka sangat menggantungkan hidup dari pertanian tersebut. Sejak perluasan taman nasional sampai saat ini, banyak terjadi konflik kepentingan antara
masyarakat dan taman nasional terkait lahan hutan maupun sumberdaya hutan. Permasalahan yang muncul adalah saat lahan hutan berstatus sebagai bagian
dari kawasan TNGHS. Peraturan dalam pengelolaan kawasan taman nasional menjadi lebih ketat dari sebelumnya saat masih dikelola Perhutani. Jika sebelum
lahan hutan berstatus taman nasional masyarakat lebih leluasa untuk mengambil kayu bakar atau hasil hutan lainnya, maka saat ini hal tersebut terkadang menjadi
permasalahan dan dapat dikategorikan pelanggaran oleh pihak taman nasional. Lahan garapan tumpang sari yang digarap oleh masyarakat pun menjadi
permasalahan pelik. Di satu sisi masyarakat masih membutuhkan lahan pertanian untuk mempertahankan mata pencaharian utamanya, namun di sisi lain aktifitas
pertanian warga di dalam kawasan hutan mengancam kelestarian hutan. Gambar 9 menunjukkan salah satu areal pertanian di Dusun Pandan Arum yang beririsan
dengan kawasan TNGHS.
Gambar 9 Lahan pertanian di Dusun Pandan Arum yang beririsan dengan kawasan TNGHS.
Menurut Lier 1998 dalam Yatap 2008, pada perencanaan penggunaan lahan terdapat dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu: aspek konservasi dan
aspek ekonomi. Dari aspek konservasi, dibutuhkan perlindungan terhadap air, udara, tanah, tumbuhan, dan hewan. Tetapi, dari aspek ekonomi, dibutuhkan
peningkatan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan, yang berarti perluasan lahan pertanian, peningkatan produksi, relokasi bangunan pertanian,
dan pembuatan desa. Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan
permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi manusia, gangguan alam, atau suksesi tumbuhan Helms 1998 dalam Yatap
2008. Perubahan penutupan lahan dapat dibagi menjadi dua bentuk FAO 2000, sebagai berikut:
1. Konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain,
contohnya dari hutan menjadi padang rumput. 2.
Modifikasi dari suatu kategori, contohnya dari hutan rapat menjadi hutan jarang.
Dalam hal perubahan penutupan lahan di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua cenderung kepada bentuk kedua yakni konversi dari suatu kategori
penutupan lahan menjadi kategori yang lain. Lahan pertanian yang saat ini digarap oleh masyarakat di dalam kawasan hutan sebelumnya berupa hutan, saat ini telah
menjadi lahan pertanian yang cenderung terbuka. Pada beberapa lokasi lahan garapan masyarakat di kedua dusun tersebut terdapat beberapa tanaman
kehutanan, namun dalam jumlah yang sedikit dan umur yang relatif muda. Tabel 8 dan 9 menunjukkan bahwa perubahan pola interaksi masyarakat dan
hutan di Dusun Cisarua dan Pandan Arum tidak hanya terdapat satu perubahan saja, dari 6 perubahan yang mungkin, terdapat 5 perubahan pola interaksi yang
dilakukan oleh responden penelitian. Perubahan-perubahan tersebut tidak terjadi dalam satu waktu, namun terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan. Masing-
masing perubahan pola interaksi tersebut akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
1. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan
Masyarakat desa yang pada awalnya pernah menggarap lahan pertanian di dalam hutan dan saat ini telah meninggalkannya namun tetap memanfaatkan
beberapa hasil hutan seperti kayu bakar dan hasil hutan lain termasuk dalam masyarakat yang telah melakukan perubahan perubahan pola interaksi dari pola
penggunaan lahan menjadi pola pemanfaatan hasil hutan. Terdapat 2 orang responden di Dusun Pandan Arum yang melakukan
perubahan interaksi pola ini. Sedangkan untuk Dusun Cisarua tidak ada. Menurut seorang responden di Dusun Cisarua, saat ini pengawasan terhadap hutan di
kawasan TNGHS sangat ketat sehingga masyarakat takut untuk memasuki hutan yang bukan merupakan lahan garapan. Mereka mengatakan bahwa pengambilan
kayu bakar di dalam wilayah hutan dianggap sebagai pelanggaran dan dapat diperkarakan secara hukum. Pengawasan yang ketat tersebut dilakukan karena
hutan di sekitar daerah ini merupakan hutan koridor antara ekosistem Halimun
dan Gunung Salak yang sangat penting. Selain itu di Dusun Cisarua juga terdapat jalan alternatif utama yang menghubungkan desa dengan Kabupaten Bogor.
Sebanyak 2 orang responden di Dusun Pandan Arum pada awalnya menggarap lahan di kawasan hutan, namun karena berbagai alasan mereka tidak
melanjutkan lagi aktivitas pertanian tersebut. Namun demikian petani-petani tersebut masih mengambil hasil hutan seperti kayu bakar untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Jarak rumah yang cukup dekat memungkinkan mereka untuk mengambil kayu bakar dari hutan untuk memasak. Kayu bakar dipilih
karena saat ini bahan bakar lain seperti minyak tanah dan gas di anggap masih terlalu mahal. Menurut keterangan beberapa orang, pengambilan kayu bakar
masih diperbolehkan asal tidak terlalu banyak dan hanya di pinggir-pinggir hutan.
2. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi.
Masyarakat desa yang pernah melakukan pertanian tumpang sari di lahan hutan dan saat ini telah meninggalkan aktivitas pertanian dan tidak mengambil
hasil hutan lainnya termasuk dalam masyarakat yang telah melakukan perubahan pola interaksi dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Terdapat 14
orang responden di Dusun Pandan Arum dan 16 responden di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Hampir sebagian besar perubahan interaksi jenis
ini terjadi pada periode 1900-an ketika lahan perkebunan mulai diambil-alih oleh masyarakat desa. Berbagai alasan yang melatar belakangi perubahan tersebut
dapat dikatakan hampir sama. Beberapa petani tumpang sari memutuskan untuk tidak meneruskan
kegiatan tumpang sari mereka atau bahkan berhenti melakukan tumpang sari sebelum kontrak selesai. Responden menyatakan bahwa mereka pernah
bertumpang sari hanya selama 2 kali musim panen padi huma atau sekitar 1 tahun. Petani-petani tersebut telah melakukan perubahan interaksi dengan hutan.
Sebab yang mendasari perubahan tersebut hampir sama untuk tiap responden. Mereka mengatakan bahwa pertanian tumpang sari tidak cukup
menguntungkan untuk dilakukan. Penyebabnya antara lain adalah tanah yang dianggap kurang subur, banyaknya gangguan binatang seperti babi dan kadang
monyet yang merusak tanaman pertanian sangat merugikan petani dan jarak yang
dianggap cukup jauh. Beberapa responden menyatakan bahwa lokasi lahan tumpang sari sangat jauh dari rumah dan untuk menempuhnya harus berjalan kaki
selama berjam-jam. Petani-petani yang tidak lagi meneruskan pertanian tumpang sari beralih menjadi petani di lahan sendiri atau di lahan sewa, menjadi buruh tani,
atau bekerja di bidang yang lain. Masyarakat yang meninggalkan pertanian dalam hutan sebagian besar
adalah mereka yang ikut dalam aktivitas pengambil-alihan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. Kondisi lahan yang lebih subur, lebih luas, dan tidak terlalu jauh dari
rumah karena terletak di dalam desa mendorong masyarakat memilih untuk meninggalkan pertanian tumpang sari dan beralih di lahan bekas perkebunan.
Interaksi dengan hutan hampir tidak ada sama sekali. Kebutuhan yang pada awalnya diambil dari hasil hutan dapat dipenuhi dari lahan baru tersebut.
Misalnya untuk kebutuhan kayu bakar, petani-petani tersebut tidak perlu lagi mengambil dari hutan karena mereka dapat mengambil di lahan pertanian sendiri
yang sebagian ditanami jenis kayu-kayuan.
3. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan
Responden yang pada awalnya hanya berinteraksi dengan hutan tanpa penggunaan lahan secara langsung dan saat ini berubah menjadi menggunakan
lahan secara langsung terutama untuk pertanian termasuk dalam kelompok masyarakat yang melakukan perubahan interaksi dari pola pemanfaatan hasil
hutan menjadi penggunaan lahan. Terdapat 6 responden di Dusun Pandan Arum dan 4 orang di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini.
Sebelum bertani di lahan hutan masyarakat di sekitar hutan hanya mengambil hasil hutan seperti kayu bakar, sayuran dan hasil hutan lain untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari keterangan responden di Dusun Pandan Arum, umumnya masyarakat memulai menggunakan kawasan hutan tersebut pada
waktu setelah dilakukan tebangan tahun 1999. Warga memulai menggarap lahan bekas tebangan sekitar tahun 2000. Sebelumnya mereka hanya menggarap lahan
milik sendiri atau lahan sewa yang luasnya sangat terbatas. Pada awalnya, masyarakat tidak berani untuk menggarap lahan tersebut.
Namun karena melihat tanah tersebut kosong dan tidak terpakai maka, beberapa
masyarakat berinisiatif untuk menggarap lahan itu. Setelah beberapa orang memulai menggarap, masyarakat yang lain mengikuti menggarap lahan itu. Pihak
taman nasional saat ini sudah melarang kegiatan tersebut, namun masyarakat sampai saat ini masih menggarapnya. Hal ini dikarenakan masyarakat
membutuhkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa petani bahkan sama sekali tidak memiliki lahan milik, dan hanya mendapat
penghasilan dari bertani di lahan TNGHS. Mereka berharap bahwa pihak TN memahami kondisi mereka yang memang sangat membutuhkan lahan untuk
menyambung hidup.
4. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi
Responden yang sebelumnya berinteraksi dengan hutan tanpa penggunaan lahan seperti hanya pengambilan hasil hutan namun saat ini tidak lagi
melakukannya sama sekali termasuk dalam kelompok masyarakat yang melakukan perubahan interaksi dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa
interaksi. Terdapat 3 responden di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan di Dusun Pandan Arum tidak didapatkan responden dalam
kelompok ini. Pada awalnya masyarakat tersebut hanya memanfaatkan hasil hutan untuk
berbagai keperluan seperti kayu bakar, sayuran, atau kayu untuk membangun rumah. Saat ini mereka tidak lagi melakukan hal tersebut sejak status lahan hutan
menjadi taman nasional dengan peraturan dan pengawasan yang dianggap ketat. Masyarakat takut untuk melakukan aktifitasnya tersebut karena adanya ancaman-
ancaman hukum dari pihak taman nasional.
5. Perubahan dari pola tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan
Responden yang awalnya tidak berinteraksi sama sekali dengan hutan namun saat ini telah menggunakan lahan hutan untuk berbagai keperluan
termasuk dalam kelompok masyarakat yang telah melakukan perubahan interaksi dari pola tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan. Pola perubahan ini termasuk
yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat di kedua dusun penelitian.
Terdapat 20 responden di Dusun Pandan Arum dan 13 responden di Dusun Cisaruan yang termasuk dalam kelompok ini.
Hampir semua responden menjelaskan bahwa alasan mereka memilih pertanian di lahan hutan adalah karena tidak ada pilihan lain. Sebelum menjadi
petani sebagian besar responden bekerja di kota-kota besar terdekat seperti di Bogor ataupun Jakarta. Gaji yang kurang mencukupi dan jauh dari keluarga
merupakan salah satu penyebab mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke desa. Motif perubahan tersebut secara umum adalah karena sudah berkeluarga dan
ingin dekat dengan keluarga. Selain itu dianggap bahwa hasil kerja di kota dan di desa juga sama saja yaitu jika di kota pengeluaran besar, sedang di desa
pengeluaran hanya sedikit. Mereka yang pulang dari kota untuk bertani adalah kepala keluarga yang
cukup muda. Sebanyak 75,8 responden dengan perubahan interaksi ini memiliki usia antara 20 sampai 45 tahun. Kepala keluarga muda umumnya tidak memiliki
lahan pertanian yang luas atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali. Kepala keluarga muda yang bertani biasanya ikut menggarap lahan keluarga bersama
orang tuanya, menyewa lahan, atau ikut bertani di lahan kehutanan. Mereka yang saat ini menggarap lahan kehutanan merupakan petani yang sangat tergantung
dengan lahan hutan karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki lahan lain yang cukup untuk pertanian.
6. Interaksi yang tetap
Tidak semua responden melakukan perubahan interaksi dengan hutan. Sebanyak 7,1 responden di kedua dusun penelitian tidak merubah interaksinya
dengan hutan. Responden ini tidak terpengaruh oleh berbagai faktor-faktor pendorong perubahan yang terjadi pada sebagian responden lainnya.
Masyarakat tersebut dari sebelum kawasan dikelola oleh taman nasional sampai saat ini masih melakukan interaksi yang sama. Terdapat masyarakat yang
melakukan aktifitas pertanian di hutan dari awal sampai saat ini. Perubahan pengelolaan kawasan dan peraturan tidak mempengaruhi kegiatan pertanian yang
dilakukan. Selain itu, masyarakat yang tinggal tidak terlalu jauh dari kawasan hutan masih memanfaatkan hasil hutan dari dulu sampai saat ini. Hasil hutan yang
masih dimanfaatkan antara lain adalah kayu bakar. Tindakan-tindakan ini dimungkinkan karena pihak taman nasional sampai saat ini tidak melakukan
tindakan tegas meskipun pelarangan pertanian di dalam kawasan sudah dilakukan.
5.1.3 Hubungan Antara Variabel Sosial Ekonomi dengan Luas Penggunaan Lahan Hutan
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, didapatkan hasil bahwa masing- masing petani yang menggunakan lahan hutan untuk pertanian memiliki luas
lahan yang berbeda-beda. Dari seluruh responden di kedua dusun yakni Pandan Arum dan Cisarua terdapat sebanyak 47 responden yang menggarap lahan di
hutan. Dalam analisis hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan luas penggunaan lahan hutan yang akan digunakan adalah data masyarakat yang
menggarap lahan di hutan. Persamaan regresi yang dihasilkan dari analisis regresi linier berganda dari faktor sosial ekonomi dengan luas penggunaan lahan hutan di
TNGHS adalah sebagai berikut: Y= -540,172 + 22,87X
1
+ 30,845X
2
+ 0,145X
3
– 28,922X
4
– 47,151X
5
+ 0,001 X
6
Keterangan: Y = luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat X
1
= umur X
2
= lama bermukim di desa X
3
= luas lahan pertanian di luar hutan X
4
= lama menggarap di hutan X
5
= jumlah anggota keluarga X
6
= pendapatan per bulan Nilai P-value dari persamaan regresi tersebut adalah 0,05 yakni sebesar
0,02 yang berarti tolak H . Ini berarti secara keseluruhan faktor sosial ekonomi
masyarakat petani yang menggunakan lahan hutan berpengaruh terhadap luas penggunaan lahan pertanian pada tingkat kepercayaan 95. Besarnya pengaruh
dari faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat petani hutan terhadap luas penggunaan lahan hutan ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi R
2
sebesar 30,1 , sedangkan sisanya disebabkan oleh faktor lain di luar faktor sosial
ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui variabel peubah bebas yang terpilih dilakukan dengan metode regresi stepwise. Persamaan yang dihasilkan dari
analisis regresi dengan metode stepwise adalah sebagai berikut:
Y= 405,955 + 36,135 X
2
+ 0,143X
3
Keterangan: Y = luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat
X
2
= lama bermukim di desa X
3
= luas lahan pertanian di luar hutan Nilai P-value dari persamaan regresi tersebut adalah 0,002 yakni 0,05 yang
berarti tolak H pada tingkat kepercayaan 95. Besarnya hubungan dari faktor
sosial ekonomi dari variabel bebas terpilih dengan luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi sebesar 24,5.
Hal ini berarti bahwa luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat dipengaruhi oleh faktor lama bermukim di desa dan kepemilikan lahan pertanian di luas hutan
sebesar 24,5 , sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Jika pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
didapatkan indikasi bahwa semakin luas lahan pertanian di luar hutan maka semakin sempit lahan garapan di hutan, maka di dalam penelitian ini tidak
demikian hasilnya. Luas lahan garapan di luar hutan justru menunjukkan semakin luas pula lahan garapan di dalam hutan meski tidak terlalu besar.
Hal ini disebabkan karena terdapat responden dengan lahan garapan relatif luas di dalam hutan juga memiliki lahan garapan yang luas di luar hutan. Terdapat
dua orang responden yang memiliki lahan garapan di dalam hutan seluas 5000 m2, memiliki pula lahan garapan di luar hutan seluas lebih dari 10.000 m
2
. Rata- rata luas lahan hutan yang digarap oleh responden adalah 2113 m
2
. Mereka dengan luas lahan luas adalah warga yang mempunyai hubungan baik dengan
pengelola sebelumnya yaitu Perhutani. Mereka yang berhubungan baik dengan Perhutani sebagian besar adalah mantan pegawai di Perhutani atau orang
terpandang di desa yang pada umumnya juga memiliki lahan pertanian yang luas di luar desa. Mereka menggarap lahan hutan sudah sejak lama dan saat ini masih
diteruskan. Variabel lama mukim adalah variabel paling dominan dalam mempengaruhi luas lahan garapan masyarakat di dalam hutan. Semakin lama
seseorang tinggal di desa maka semakin luas lahan garapan di hutan. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan dari persamaan regresi tersebut
terbilang cukup kecil kurang dari 50. Hal ini berarti bahwa faktor di luar faktor sosial ekonomi terpilih yang lebih banyak berpengaruh dalam luas garapan
lahan di hutan. Dari penelitian di lapangan didapatkan bahwa luas lahan hutan
yang digarap oleh masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor lain yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah tekanan dari pihak
pengelola dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak TNGHS. Beberapa responden menerangkan bahwa pada beberapa lokasi terlebih di dekat koridor di
Dusun Cisarua, pengawasan dan penjagaan lebih ketat oleh pihak TNGHS. Pada daerah ini masyarakat yang mengerjakan lahan hutan untuk pertanian merasa
lebih tertekan oleh pihak taman nasional sehingga mereka jarang yang memperluas lahan garapan atau bahkan beberapa masyarakat mengurangi atau
meninggalkan lahan garapan mereka meskipun sebenarnya mereka merasa membutuhkannya.
5.2 Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan
Perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan merupakan respon dari suatu perubahan yang terjadi di dalam berbagai hal yang terkait dalam
hubungan interaksi itu. Dalam penelitian ini perubahan pola interaksi yang terjadi tidak hanya dalam satu pola saja. Suatu perubahan pada satu hal tidak selalu
menyebabkan satu pola perubahan saja. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan pola interaksi tersebut. Tabel 10 berikut ini menjelaskan tentang pola-
pola perubahan interaksi beserta penyebabnya masing-masing berdasarkan data yang didapatkan dari responden di kedua dusun penelitian.
Tabel 10 Perubahan pola interaksi dan penyebabnya Perubahan Pola Interaksi
Penyebab Penggunaan lahan menjadi
pemanfaatan hasil hutan a.
Lahan hutan berkurang kesuburan b.
Gangguan binatang babi dan monyet
c. Hasil panen kecil dan kurang
menguntungkan d.
Konflik dengan pihak pengelola TNGHS
e. Luas lahan pertanian di luar hutan
yang mencukupi f.
Faktor usia Penggunaan lahan menjadi tanpa
interaksi a.
Lahan hutan berkurang kesuburan b.
Gangguan binatang c.
Hasil panen kecil dan kurang menguntungkan
d. Konflik dengan pihak pengelola
TNGHS e.
Luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi
f. Mendapatkan lahan pertanian baru
yang lebih baik g.
Pendapatan yang meningkat h.
Faktor usia i.
Jarak lahan hutan yang jauh Pemanfaatan hasil hutan menjadi
penggunaan lahan a.
Lahan pertanian sempit tidak memiliki lahan pertanian
b. Kebutuhan hidup yang semakin
banyak Pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa
interaksi a.
Adanya peraturan dari pihan TNGHS yang ketat
b. Perubahan gaya hidup
c. Faktor usia
Tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan
a. Pekerjaan pertanian dianggap lebih
menguntungkan b.
Lahan pertanian sempit tidak memiliki lahan pertanian
c. Kebutuhan hidup yang semakin
banyak Faktor pendorong terjadinya perubahan interaksi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam masyarakat yaitu faktor-faktor yang
muncul dari kondisi di dalam masyarakat sendiri yang menyebabkan masyarakat secara sukarela melakukan perubahan interaksi dengan hutan di sekitarnya.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan interaksi masyarakat dengan hutan yang berasal dari luar masyarakat yang
bersangkutan.
1. Faktor internal
Beberapa faktor yang termasuk dalam faktor internal adalah sebagai berikut: 1.
Kondisi fisik lahan hutan dan gangguan alami : lahan hutan berkurang kesuburan, hasil panen kecil dan kurang menguntungkan, gangguan binatang
babi dan monyet 2.
Luas lahan pertanian di luar hutan : luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi, lahan pertanian sempit, tidak memiliki lahan pertanian
3. Faktor usia : usia sudah lanjut
4. Pendapatan : pendapatan yang meningkat, kebutuhan hidup yang semakin
banyak, pekerjaan pertanian dianggap lebih menguntungkan 5.
Jarak dari tempat tinggal : jarak yang dekat, jarak yang terlalu jauh 6.
Perubahan gaya hidup : konversi bahan bakar dari kayu menjadi gas,
2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal adalah sebagai berikut. 1.
Adanya pengambil-alihan lahan perkebunan di dalam desa 2.
Perubahan pengelola hutan yang membuat peraturan dan kebijakan baru 3.
Pengawasan dan penertiban oleh aparat pengelola
Dalam Tabel 10 terlihat bahwa penyebab untuk suatu perubahan pola interaksi tidak selalu sama satu sama lain. Satu faktor juga dapat menimbulkan
perubahan pola interaksi yang tidak sama. Suatu faktor dapat menyebabkan suatu perubahan pola interaksi pada suatu rumah tangga, namun belum tentu
mempengaruhi rumah tangga yang lain. Perubahan pola-pola interaksi tersebut adalah gabungan dari beberapa faktor pendorong.
Misalnya adalah faktor kesuburan tanah hutan yang semakin berkurang dan serangan babi yang menurunkan hasil panen dalam jumlah besar. Beberapa petani
memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pertanian di lahan hutan karena merasa
bahwa aktivitas tersebut tidak menguntungkan. Namun pada sebagian yang lain meskipun hasil pertanian kurang menguntungkan tetap melanjutkan aktivitas
tersebut karena tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Faktor kebijakan dari pengelola hutan dalam hal ini pihak TNGHS juga
mempengaruhi dalam perubahan pola interaksi terlebih bagi pengambilan hasil hutan. Sebelum peraturan taman nasional ada, banyak masyarakat yang
memanfaatkan hasil hutan, antara lain: kayu bakar, dan sayuran. Namun saat ini, aktivitas pemungutan hasil hutan hampir tidak terjadi karena masyarakat takut hal
ini termasuk dalam pelanggaran. Meskipun demikian, perubahan peraturan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap petani di dalam kawasan. Sampai saat
ini, pertanian di dalam kawasan masih berjalan aktif. Masyarakat mengetahui bahwa aktivitas pertanian merupakan sesuatu yang dianggap mengancam
kelestarian hutan dan dianggap sebagai kegiatan ilegal, namun mereka beralasan bahwa hanya pertanian di kawasan yang menjadi sumber utama penghasilannya.
Jika mereka meninggalkan lahan hutan maka mereka tidak akan bisa bertahan hidup.
Salah satu kejadian yang banyak menyebabkan masyarakat meninggalkan lahan garapan di hutan adalah diambil-alihnya lahan perkebunan PT.Intan Hepta
seluas 583 ha oleh masyarakat sekitar tahun 1996-1997. Pada waktu itu hutan masih dikelola oleh Perhutani dan banyak masyarakat yang masih menggarap
lahan hutan secara tumpang sari. Dengan adanya pengambil alihan lahan tersebut, petani-petani yang awalnya hanya memiliki lahan sempit atau tidak memiliki
lahan dapat menggarap lahan perkebunan yang cukup luas. Mereka yang pada awalnya menggarap lahan hutan akhirnya lebih memilih menggarap lahan baru
yang mereka dapatkan. Aktivitas pertanian di lahan bekas perkebunan itu masih berlangsung sampai saat penelitian ini dilakukan.
Ketidakjelasan tata batas kawasan TNGHS di lapangan, merupakan penyebab kunci dari ketidakpastian pengelolaan pada daerah perluasan TNGHS.
Pada beberapa lokasi, lahan garapan masyarakat yang semula berada pada kawasan Perhutani saat ini masih berupa lahan pertanian baik pertanian ladang
bahkan sawah.
Kondisi sosial ekonomi sering kali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan khususnya di TNGHS. Terdesak untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadikan sebagian besar masyarakat tersebut untuk memanfaatkan lahan hutan untuk pertanian. Meskipun mereka
merasa tidak terlalu diuntungkan dengan pertanian di dalam hutan, namun mereka tidak memiliki pilihan lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan.
Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian
besar penduduk desa masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait
pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di
pedesaaan Syahyuti 2006 dalam Simarmata 2009. Dalam studi oleh Pasha 2009 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan didapatkan bahwa faktor sosial
ekonomi sangat berpengaruh terhadap luas lahan hutan yang dirambah oleh masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan studi Alfiasari 2004 dalam Simarmata 2009 lahan yang digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah
lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak digunakan karena
kemiringan tidak cocok untuk tanaman teh. Tanaman yang biasa ditanam masyarakat di lahan tersebut antara lain, padi, pisang, singkong, sayuran, cabe,
kacang, dan bawang daun. Hasil pertanian tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri karena tidak terlalu menguntungkan jika dijual.
Pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah klasik yang sangat berpengaruh terhadap degradasi hutan terutama di Pulau Jawa. Situasi demikian
langsung atau tidak telah ikut memaksa penyelenggara kehutanan di Jawa berhadapan dengan persoalan sosial yang tidak sederhana, seperti kebutuhan
lahan, kayu bakar, kayu pertukangan, dan lapangan pekerjaan, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan Santoso 2004. Terdapat kecenderungan
bahwa kebutuhan masyarakat terhadap lahan garapan akan semakin bertambah. Hal ini sangat wajar, karena semakin banyak penduduk pada suatu desa, maka
akan semakin luas lahan garapan yang dibutuhkan sebagai akibat adanya pertambahan angkatan kerja. Dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan
keahlian, maka pilihan pekerjaan yang paling memungkinkan bagi masyarakat adalah petani.
5.3 Upaya Pemerintah TNGHS