Perubahan interaksi masyarakat dengan hutan dan faktor pendorongnya harus diketahui. Hal ini penting untuk menghindari perubahan interaksi yang
negatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perubahan interaksi masyarakat dengan hutan dan faktor pendorong perubahan
tersebut. Penelitian ini akan dilakukan di Desa Cipeuteuy yang terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Desa Cipeuteuy adalah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Desa ini termasuk salah satu desa dari
1.517 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan negara Dinas Kehutanan Jawa Barat 2008. Desa Cipeuteuy merupakan salah satu dari dua desa
yang berada di koridor yang menghubungkan ekosistem Gunung Halimun dan Gunung Salak yang merupakan kawasan penting di TNGHS. Sebelum menjadi
kawasan TNGHS pada tahun 2006, kawasan hutan di sekitar desa adalah lahan tumpang sari masyarakat sekitar yang dikelola bersama dengan Perhutani
Cantika 2008. Terdapat tiga dusun di Desa Cipeuteuy yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS, yaitu: Dusun Pandan Arum, Dusun Cisarua, dan Dusun
Leuwiwaluh. Dari ketiga dusun tersebut Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua yang paling banyak terdapat masyarakat yang memanfaatkan lahan hutan untuk
pertanian. Di Desa Cipeuteuy ini dipelajari tentang perubahan pola interaksi yang terjadi pada masyarakat dengan hutan dan apa yang menyebabkan perubahan
tersebut.
1.2 Perumusan masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perubahan interaksi masyarakat terhadap hutan di sekitarnya dan faktor apakah yang
mendorong perubahan tersebut. Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap hutan akan menyebabkan masyarakat sulit untuk meninggalkan hutan, atau
dengan kata lain masyarakat akan sulit untuk mengubah interaksinya dengan hutan dalam hal meninggalkan hutan. Luas lahan garapan di dalam kawasan hutan
merupakan salah satu indikator ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap hutan. Faktor sosial ekonomi seringkali merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Penelitian ini lebih lanjut akan membahas hal-hal sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk perubahan pola interaksi antara masyarakat
dengan hutan? 2.
Bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan masyarakat di dalam hutan?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mendeskripsikan perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan. 2.
Menjelaskan faktor yang mendorong perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan.
3. Menjelaskan hubungan antara variabel sosial-ekonomi terhadap luas
penggunaan lahan hutan oleh masyarakat.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Sebagai bahan masukan kepada pengelola hutan untuk mengambil kebijakan terkait masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan.
2. Sebagai bahan acuan untuk penelitian terkait.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan
Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi Moen
1997. Interaksi manusia dengan lingkungan sekitarnya merupakan proses adaptif. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia menggunakan unsur-unsur lingkungan,
berupa tanah, air, tumbuhan dan hewan. Lingkungan bagi manusia bukan hanya sebagai ruang hidup, tetapi berfungsi pula sebagai sumberdaya Soemarwoto 1994
dalam Mulyadih 1998. Herimanto 2008 menjelaskan bahwa lingkungan mempengaruhi sikap dan
perilaku manusia, demikian pula kehidupan manusia akan mempengaruhi lingkungan tempat hidupnya. Faktor lingkungan tanah, iklim, topografi, sumber
daya alam dapat menjadi prakondisi bagi sifat dan perilaku manusia. Lingkungan menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi kehidupan manusia. Manusia
mempengaruhi lingkungan demi kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam masyarakat tradisional, pengelolaan lingkungan alam lebih ditujukan
untuk mencukupi hidup sehari-hari subsisten, sehingga pemanfaatan sumber daya alam dilakukan hanya sebatas kebutuhan. Eksploitasi alam dalam arti
ekonomi produksi hampir tidak terjadi. Namun pemeliharaan hubungan harmonis dengan alam merupakan prinsip yang paling diutamakan Wiratno 2004.
Seorang ahli filsafat dan etika dari Australia yaitu Warwick Fox dalam Widianto 2008 memilah interaksi manusia dengan lingkungannya dalam
beberapa pola. Pola interaksi pertama manusia mengeksploitasi lingkungan semaksimal mungkin. Pola kedua manusia memanfaatkan lingkungannya dengan
prinsip konservasi untuk produksi. Pola ketiga manusia memanfaatkan lingkungannya dengan prinsip protektif untuk menjaga keautentikan dari sebuah
sumberdaya alam. Fox juga mengajukan beberapa alasan yang menjelaskan pola interaksi manusia dengan lingkungan yang juga menyisakan sebidang tanah dalam
pemanfaatan lahan menjadi ladang, sebagai berikut:
1. Ruang sebagai sistem penunjang kehidupan life support system, yang
melihat bahwa bidang tanah yang masih disisakan sebagai hutan yang menjadi sistem penunjang kehidupan dalam ekosistem.
2. Sebagai sistem peringatan dini early warning system atas berbagai gejala
alam dan potensi bencana. Ada anggapan jika akan terjadi suatu gangguan bencana maka hewan burung-burung penghuni habitat di dekat ladang
akan berlarian pergi dan terbang. 3.
Sebagai gudang silo, lingkungan disini dapat dilihat sebagai tempat penyimpanan dan pemeliharaan bahan makanan, obat, bahan untuk alat-alat.
4. Sebagai lahan ruang yang disisakan karena dianggap memiliki makna
spiritual – keagamaan cathedral, contohnya Leuweng Kolot dan Leuweng
Titipan sebagai hutan keramat di daerah Gunung Halimun.
Suatu kawasan hutan pada umumnya berbatasan dengan pemukiman penduduk, lahan pertanian, perkebunan, perikanan, kegiatan perindustrian atau
kerajinan masyarakat, serta sektor kegiatan lainnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya interaksi antara potensi sumber daya alam yang terdapat di dalamnya
dengan masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Alikodra 1983. Bentuk-bentuk interaksi
masyarakat desa dengan kawasan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti mengumpulkan hasil hutan, antara lain bahan pangan, kayu
bakar, pakan ternak, umbi-umbian serta hasil dari jenis jasa hutan lainnya Ardiansyah 2009.
Menurut Birgantoro et al. 2007 secara umum interaksi masyarakat dengan hutan, tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan membentuk dua pola kegiatan, yaitu: legal kegiatan positif dan illegal kegiatan negatif. Interaksi yang negatif
jika interaksi tersebut merugikan di salah satu pihak baik bagi kelestarian hutan ataupun masyarakat itu sendiri.
Kegiatan illegal terdiri dari pencurian kayu, penggarapan liar bibrikan, pengembalaan liar dan pendudukan atau
penyerobotan lahan untuk berbagai kepentingan.
2.2 Masyarakat Sekitar Hutan