dianggap cukup jauh. Beberapa responden menyatakan bahwa lokasi lahan tumpang sari sangat jauh dari rumah dan untuk menempuhnya harus berjalan kaki
selama berjam-jam. Petani-petani yang tidak lagi meneruskan pertanian tumpang sari beralih menjadi petani di lahan sendiri atau di lahan sewa, menjadi buruh tani,
atau bekerja di bidang yang lain. Masyarakat yang meninggalkan pertanian dalam hutan sebagian besar
adalah mereka yang ikut dalam aktivitas pengambil-alihan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. Kondisi lahan yang lebih subur, lebih luas, dan tidak terlalu jauh dari
rumah karena terletak di dalam desa mendorong masyarakat memilih untuk meninggalkan pertanian tumpang sari dan beralih di lahan bekas perkebunan.
Interaksi dengan hutan hampir tidak ada sama sekali. Kebutuhan yang pada awalnya diambil dari hasil hutan dapat dipenuhi dari lahan baru tersebut.
Misalnya untuk kebutuhan kayu bakar, petani-petani tersebut tidak perlu lagi mengambil dari hutan karena mereka dapat mengambil di lahan pertanian sendiri
yang sebagian ditanami jenis kayu-kayuan.
3. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan
Responden yang pada awalnya hanya berinteraksi dengan hutan tanpa penggunaan lahan secara langsung dan saat ini berubah menjadi menggunakan
lahan secara langsung terutama untuk pertanian termasuk dalam kelompok masyarakat yang melakukan perubahan interaksi dari pola pemanfaatan hasil
hutan menjadi penggunaan lahan. Terdapat 6 responden di Dusun Pandan Arum dan 4 orang di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini.
Sebelum bertani di lahan hutan masyarakat di sekitar hutan hanya mengambil hasil hutan seperti kayu bakar, sayuran dan hasil hutan lain untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari keterangan responden di Dusun Pandan Arum, umumnya masyarakat memulai menggunakan kawasan hutan tersebut pada
waktu setelah dilakukan tebangan tahun 1999. Warga memulai menggarap lahan bekas tebangan sekitar tahun 2000. Sebelumnya mereka hanya menggarap lahan
milik sendiri atau lahan sewa yang luasnya sangat terbatas. Pada awalnya, masyarakat tidak berani untuk menggarap lahan tersebut.
Namun karena melihat tanah tersebut kosong dan tidak terpakai maka, beberapa
masyarakat berinisiatif untuk menggarap lahan itu. Setelah beberapa orang memulai menggarap, masyarakat yang lain mengikuti menggarap lahan itu. Pihak
taman nasional saat ini sudah melarang kegiatan tersebut, namun masyarakat sampai saat ini masih menggarapnya. Hal ini dikarenakan masyarakat
membutuhkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa petani bahkan sama sekali tidak memiliki lahan milik, dan hanya mendapat
penghasilan dari bertani di lahan TNGHS. Mereka berharap bahwa pihak TN memahami kondisi mereka yang memang sangat membutuhkan lahan untuk
menyambung hidup.
4. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi
Responden yang sebelumnya berinteraksi dengan hutan tanpa penggunaan lahan seperti hanya pengambilan hasil hutan namun saat ini tidak lagi
melakukannya sama sekali termasuk dalam kelompok masyarakat yang melakukan perubahan interaksi dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa
interaksi. Terdapat 3 responden di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan di Dusun Pandan Arum tidak didapatkan responden dalam
kelompok ini. Pada awalnya masyarakat tersebut hanya memanfaatkan hasil hutan untuk
berbagai keperluan seperti kayu bakar, sayuran, atau kayu untuk membangun rumah. Saat ini mereka tidak lagi melakukan hal tersebut sejak status lahan hutan
menjadi taman nasional dengan peraturan dan pengawasan yang dianggap ketat. Masyarakat takut untuk melakukan aktifitasnya tersebut karena adanya ancaman-
ancaman hukum dari pihak taman nasional.
5. Perubahan dari pola tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan