Tabel 10 Perubahan pola interaksi dan penyebabnya Perubahan Pola Interaksi
Penyebab Penggunaan lahan menjadi
pemanfaatan hasil hutan a.
Lahan hutan berkurang kesuburan b.
Gangguan binatang babi dan monyet
c. Hasil panen kecil dan kurang
menguntungkan d.
Konflik dengan pihak pengelola TNGHS
e. Luas lahan pertanian di luar hutan
yang mencukupi f.
Faktor usia Penggunaan lahan menjadi tanpa
interaksi a.
Lahan hutan berkurang kesuburan b.
Gangguan binatang c.
Hasil panen kecil dan kurang menguntungkan
d. Konflik dengan pihak pengelola
TNGHS e.
Luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi
f. Mendapatkan lahan pertanian baru
yang lebih baik g.
Pendapatan yang meningkat h.
Faktor usia i.
Jarak lahan hutan yang jauh Pemanfaatan hasil hutan menjadi
penggunaan lahan a.
Lahan pertanian sempit tidak memiliki lahan pertanian
b. Kebutuhan hidup yang semakin
banyak Pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa
interaksi a.
Adanya peraturan dari pihan TNGHS yang ketat
b. Perubahan gaya hidup
c. Faktor usia
Tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan
a. Pekerjaan pertanian dianggap lebih
menguntungkan b.
Lahan pertanian sempit tidak memiliki lahan pertanian
c. Kebutuhan hidup yang semakin
banyak Faktor pendorong terjadinya perubahan interaksi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam masyarakat yaitu faktor-faktor yang
muncul dari kondisi di dalam masyarakat sendiri yang menyebabkan masyarakat secara sukarela melakukan perubahan interaksi dengan hutan di sekitarnya.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan interaksi masyarakat dengan hutan yang berasal dari luar masyarakat yang
bersangkutan.
1. Faktor internal
Beberapa faktor yang termasuk dalam faktor internal adalah sebagai berikut: 1.
Kondisi fisik lahan hutan dan gangguan alami : lahan hutan berkurang kesuburan, hasil panen kecil dan kurang menguntungkan, gangguan binatang
babi dan monyet 2.
Luas lahan pertanian di luar hutan : luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi, lahan pertanian sempit, tidak memiliki lahan pertanian
3. Faktor usia : usia sudah lanjut
4. Pendapatan : pendapatan yang meningkat, kebutuhan hidup yang semakin
banyak, pekerjaan pertanian dianggap lebih menguntungkan 5.
Jarak dari tempat tinggal : jarak yang dekat, jarak yang terlalu jauh 6.
Perubahan gaya hidup : konversi bahan bakar dari kayu menjadi gas,
2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal adalah sebagai berikut. 1.
Adanya pengambil-alihan lahan perkebunan di dalam desa 2.
Perubahan pengelola hutan yang membuat peraturan dan kebijakan baru 3.
Pengawasan dan penertiban oleh aparat pengelola
Dalam Tabel 10 terlihat bahwa penyebab untuk suatu perubahan pola interaksi tidak selalu sama satu sama lain. Satu faktor juga dapat menimbulkan
perubahan pola interaksi yang tidak sama. Suatu faktor dapat menyebabkan suatu perubahan pola interaksi pada suatu rumah tangga, namun belum tentu
mempengaruhi rumah tangga yang lain. Perubahan pola-pola interaksi tersebut adalah gabungan dari beberapa faktor pendorong.
Misalnya adalah faktor kesuburan tanah hutan yang semakin berkurang dan serangan babi yang menurunkan hasil panen dalam jumlah besar. Beberapa petani
memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pertanian di lahan hutan karena merasa
bahwa aktivitas tersebut tidak menguntungkan. Namun pada sebagian yang lain meskipun hasil pertanian kurang menguntungkan tetap melanjutkan aktivitas
tersebut karena tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Faktor kebijakan dari pengelola hutan dalam hal ini pihak TNGHS juga
mempengaruhi dalam perubahan pola interaksi terlebih bagi pengambilan hasil hutan. Sebelum peraturan taman nasional ada, banyak masyarakat yang
memanfaatkan hasil hutan, antara lain: kayu bakar, dan sayuran. Namun saat ini, aktivitas pemungutan hasil hutan hampir tidak terjadi karena masyarakat takut hal
ini termasuk dalam pelanggaran. Meskipun demikian, perubahan peraturan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap petani di dalam kawasan. Sampai saat
ini, pertanian di dalam kawasan masih berjalan aktif. Masyarakat mengetahui bahwa aktivitas pertanian merupakan sesuatu yang dianggap mengancam
kelestarian hutan dan dianggap sebagai kegiatan ilegal, namun mereka beralasan bahwa hanya pertanian di kawasan yang menjadi sumber utama penghasilannya.
Jika mereka meninggalkan lahan hutan maka mereka tidak akan bisa bertahan hidup.
Salah satu kejadian yang banyak menyebabkan masyarakat meninggalkan lahan garapan di hutan adalah diambil-alihnya lahan perkebunan PT.Intan Hepta
seluas 583 ha oleh masyarakat sekitar tahun 1996-1997. Pada waktu itu hutan masih dikelola oleh Perhutani dan banyak masyarakat yang masih menggarap
lahan hutan secara tumpang sari. Dengan adanya pengambil alihan lahan tersebut, petani-petani yang awalnya hanya memiliki lahan sempit atau tidak memiliki
lahan dapat menggarap lahan perkebunan yang cukup luas. Mereka yang pada awalnya menggarap lahan hutan akhirnya lebih memilih menggarap lahan baru
yang mereka dapatkan. Aktivitas pertanian di lahan bekas perkebunan itu masih berlangsung sampai saat penelitian ini dilakukan.
Ketidakjelasan tata batas kawasan TNGHS di lapangan, merupakan penyebab kunci dari ketidakpastian pengelolaan pada daerah perluasan TNGHS.
Pada beberapa lokasi, lahan garapan masyarakat yang semula berada pada kawasan Perhutani saat ini masih berupa lahan pertanian baik pertanian ladang
bahkan sawah.
Kondisi sosial ekonomi sering kali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan khususnya di TNGHS. Terdesak untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadikan sebagian besar masyarakat tersebut untuk memanfaatkan lahan hutan untuk pertanian. Meskipun mereka
merasa tidak terlalu diuntungkan dengan pertanian di dalam hutan, namun mereka tidak memiliki pilihan lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan.
Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian
besar penduduk desa masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait
pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di
pedesaaan Syahyuti 2006 dalam Simarmata 2009. Dalam studi oleh Pasha 2009 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan didapatkan bahwa faktor sosial
ekonomi sangat berpengaruh terhadap luas lahan hutan yang dirambah oleh masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan studi Alfiasari 2004 dalam Simarmata 2009 lahan yang digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah
lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak digunakan karena
kemiringan tidak cocok untuk tanaman teh. Tanaman yang biasa ditanam masyarakat di lahan tersebut antara lain, padi, pisang, singkong, sayuran, cabe,
kacang, dan bawang daun. Hasil pertanian tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri karena tidak terlalu menguntungkan jika dijual.
Pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah klasik yang sangat berpengaruh terhadap degradasi hutan terutama di Pulau Jawa. Situasi demikian
langsung atau tidak telah ikut memaksa penyelenggara kehutanan di Jawa berhadapan dengan persoalan sosial yang tidak sederhana, seperti kebutuhan
lahan, kayu bakar, kayu pertukangan, dan lapangan pekerjaan, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan Santoso 2004. Terdapat kecenderungan
bahwa kebutuhan masyarakat terhadap lahan garapan akan semakin bertambah. Hal ini sangat wajar, karena semakin banyak penduduk pada suatu desa, maka
akan semakin luas lahan garapan yang dibutuhkan sebagai akibat adanya pertambahan angkatan kerja. Dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan
keahlian, maka pilihan pekerjaan yang paling memungkinkan bagi masyarakat adalah petani.
5.3 Upaya Pemerintah TNGHS
Pemerintah telah
menetapkan bentuk-bentuk
pemanfaatan yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada kawasan taman nasional. Hal-hal yang tidak diperbolehkan pada kawasan taman nasional seperti yang disebutkan
dalam PP No. 68 Tahun 1998 adalah melakukan kegiatan yang dapat mengubah fungsi kawasan, antara lain: merusak kekhasan potensi, merusak keindahan alam
dan gejala alam, mengurangi luas kawasan, serta melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah
mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang Departemen Kehutanan 1998.
Sebagai wujud pelaksanaan dari berbagai peraturan perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, pihak pengelola taman nasional telah melakukan
pengawasan dan pembinaan secara terus menerus terhadap berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini terutama
dilakukan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan TNGHS. Pengawasan dan
pembinaan tersebut dimaksudkan untuk menjaga ekosistem asli kawasan taman nasional dari kerusakan.
Namun upaya pihak TNGHS seringkali mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan pihak
pengelola taman nasional. Usaha pelestarian dan perlindungan kawasan taman nasional oleh pengelola seringkali berhadapan dengan kebutuhan hidup
masyarakat yang tergantung dari pemanfaatan hutan dan hasil hutan. Diperlukan sebuah komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pihak taman nasional
agar fungsi kawasan tetap maksimal, dan di sisi lain kesejahteraan masyarakat terpenuhi.
Berbagai gangguan di taman nasional antara lain perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Hal ini telah terjadi sejak masyarakat merasa
kekurangan akan lahan pertanian, terutama saat akhir tahun 90an. Kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian semakin lama semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah kebutuhan lahan masyarakat yang berpotensi menjadi ancaman bagi kelestarian hutan di masa depan. Berbagai
upaya yang telah dilakukan oleh taman nasional untuk mencegah perluasan lahan pertanian di dalam hutan telah dilakukan. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
petugas dalam mengatasi gangguan terhadap kawasan adalah, sebagai berikut Kurniawan 1999:
1. Dalam mengatasai pencurian kayu dan perburuan liar, petugas melaksanakan
patroli rutin. 2.
Dalam mengatasi perambahan kawasan, petugas melaksanakan patroli rutin agar lahan yang sudah terlanjur digarap tidak semakin meluas.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh petugas terhadap para pelaku pelanggaran selama ini:
1. Terhadap para pelaku pencurian kayu dan perburuan liar, dilakukan penyitaan
tergantung kondisi kemudian diberikan pengarahan baik di tempat kejadian langsung maupun di pos jaga.
2. Terhadap para pelaku perambahan hutan, dilakukan usaha pedesaan tetapi
belum merata, selain itu diberikan pengarahan dan peringatan kepada para pelaku untuk tidak memperluas lahan garapannya.
Meskipun upaya-upaya penanganan gangguan hutan seperti perambahan dan pencurian dilakukan terus-menerus, hal ini akan tetap mengalami kendala
selama masyarakat di sekitar hutan belum sejahtera dan masih berada di dalam kondisi kemiskinan. Sehingga berbagai upaya penyelesaian masalah gangguan
hutan yang disebabkan oleh masyarakat di sekitarnya tidak hanya pada sisi pengamanan hutan secara fisik, namun juga peningkatan kesejahteraan dan taraf
hidup masyarakat serta kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya keberadaan suatu kawasan hutan yang lestari.
Salah satu upaya pihak TNGHS untuk mengatasi permasalahan yang terkait masyarakat adalah dengan membentuk konsep Model Kampung Konservasi
MKK. Program ini dilakukan oleh pihak TNGHS bersama dengan JICA Japan