dan Gunung Salak yang sangat penting. Selain itu di Dusun Cisarua juga terdapat jalan alternatif utama yang menghubungkan desa dengan Kabupaten Bogor.
Sebanyak 2 orang responden di Dusun Pandan Arum pada awalnya menggarap lahan di kawasan hutan, namun karena berbagai alasan mereka tidak
melanjutkan lagi aktivitas pertanian tersebut. Namun demikian petani-petani tersebut masih mengambil hasil hutan seperti kayu bakar untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Jarak rumah yang cukup dekat memungkinkan mereka untuk mengambil kayu bakar dari hutan untuk memasak. Kayu bakar dipilih
karena saat ini bahan bakar lain seperti minyak tanah dan gas di anggap masih terlalu mahal. Menurut keterangan beberapa orang, pengambilan kayu bakar
masih diperbolehkan asal tidak terlalu banyak dan hanya di pinggir-pinggir hutan.
2. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi.
Masyarakat desa yang pernah melakukan pertanian tumpang sari di lahan hutan dan saat ini telah meninggalkan aktivitas pertanian dan tidak mengambil
hasil hutan lainnya termasuk dalam masyarakat yang telah melakukan perubahan pola interaksi dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Terdapat 14
orang responden di Dusun Pandan Arum dan 16 responden di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Hampir sebagian besar perubahan interaksi jenis
ini terjadi pada periode 1900-an ketika lahan perkebunan mulai diambil-alih oleh masyarakat desa. Berbagai alasan yang melatar belakangi perubahan tersebut
dapat dikatakan hampir sama. Beberapa petani tumpang sari memutuskan untuk tidak meneruskan
kegiatan tumpang sari mereka atau bahkan berhenti melakukan tumpang sari sebelum kontrak selesai. Responden menyatakan bahwa mereka pernah
bertumpang sari hanya selama 2 kali musim panen padi huma atau sekitar 1 tahun. Petani-petani tersebut telah melakukan perubahan interaksi dengan hutan.
Sebab yang mendasari perubahan tersebut hampir sama untuk tiap responden. Mereka mengatakan bahwa pertanian tumpang sari tidak cukup
menguntungkan untuk dilakukan. Penyebabnya antara lain adalah tanah yang dianggap kurang subur, banyaknya gangguan binatang seperti babi dan kadang
monyet yang merusak tanaman pertanian sangat merugikan petani dan jarak yang
dianggap cukup jauh. Beberapa responden menyatakan bahwa lokasi lahan tumpang sari sangat jauh dari rumah dan untuk menempuhnya harus berjalan kaki
selama berjam-jam. Petani-petani yang tidak lagi meneruskan pertanian tumpang sari beralih menjadi petani di lahan sendiri atau di lahan sewa, menjadi buruh tani,
atau bekerja di bidang yang lain. Masyarakat yang meninggalkan pertanian dalam hutan sebagian besar
adalah mereka yang ikut dalam aktivitas pengambil-alihan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. Kondisi lahan yang lebih subur, lebih luas, dan tidak terlalu jauh dari
rumah karena terletak di dalam desa mendorong masyarakat memilih untuk meninggalkan pertanian tumpang sari dan beralih di lahan bekas perkebunan.
Interaksi dengan hutan hampir tidak ada sama sekali. Kebutuhan yang pada awalnya diambil dari hasil hutan dapat dipenuhi dari lahan baru tersebut.
Misalnya untuk kebutuhan kayu bakar, petani-petani tersebut tidak perlu lagi mengambil dari hutan karena mereka dapat mengambil di lahan pertanian sendiri
yang sebagian ditanami jenis kayu-kayuan.
3. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan