a. Return On Asset ROA atau variabel independen ini digunakan
untuk mengukur efisiensi dan efektifitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang
dimilikinya. Return On Asset ROA merupakan rasio antara laba sebelum pajak terhadap total asset. Semakin besar Return On Asset
ROA menunjukkan kinerja yang semakin baik, karena tingkat kembalian return semakin besar. Apabila Return On Asset ROA
meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang
saham Husnan, 1998. Secara matematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut :
ROA x 100
b. Return on Equity ROE atau variabel dependen ini merupakan rasio
unutk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola capital yang ada untuk mendapatkan net income.
15
Rasio ini juga merupakan indikator yang amat penting bagi para pemegang saham
dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen.
Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaika laba bersih dari bank yang bersangkutan. Selanjutnya kenaikan tesebut akan menyebabkan
kenaikan harga saham bank Ishmah Wati: 2010. ROE =
x 100
15
Kasmir, Manajemen Perbankan, PT RajaGrafindo Persada, 2003, h. 280
c. Capital Adequacy Ratio CAR atau variabel independen ini adalah
rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung risiko kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan
pada bank lain ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank PBI 2008.
CAR merupakan salah satu indicator kesehatan permodalan bank. Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan
modal bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko dimasa mendatang
16
. Rasio kecukupan modal ini merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk
menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang beresiko Dendawijaya, 2003.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa semakin tinggi CAR, maka semakin tinggi pula ROA. Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia
No.610PBI2010 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, semakin tinggi nilai CAR menunjukkan semakin sehat bank
tersebut. Adapun penilaian rasio CAR berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.12 11 DPNP tanggal 31 Maret 201, Kriteria Hasil Rasio
CAR dikatakan sehat apabila CAR ≥8, dan apabila 8 maka digolongkan Tidak Sehat. Setiap bank yang beroperasi di Indonesia
diwajibkan untuk memelihara Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
16
Lukman Setiawan, Pengaruh Rasio Camel Terhadap Kinerja Keuangan Perbankan Yang Diukur Dengan Return On Assets Studi Kasus Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar
Di BEI Tahun 2009-2013, Jurnal Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Pandanaran Semarang, 2013, h. 4
KPPM sekurang-kurangnya 8, minimum CAR ini, dari waktu kewaktu akan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
perbankan yang terjadi, dengan tetap mengacu pada standar internasional, yaitu Banking For International Settelment BIS yang
berpusat di Geneva
17
Semakin tinggi rasio ini maka semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit aktiva produktif
yang beresiko, begitupun sebaliknya, Desi Ariyani 2009. Hal ini sesuai dengan penelitian Mahardian 2008 yang menunjukkan bahwa
CAR yang semakin meningkat berpengaruh pada ROA yang semakin meningkat pula. Namun, CAR yang terlalu tinggi berarti bahwa
terdapat dana yang menganggur idle fund. Sehingga, kesempatan bank untuk memperoleh laba akan menurun, akibatnya akan
menurunkan profitabilitas bank. CAR =
d. Non performing Finance NPFNPL atau variabel independen.
Ismah Wati
2012 NPF
adalah tingkat
pengembalian kreditpembiayaan yang diberikan deposan kepada bank, dengan kata
lain NPFNPL merupakan tingkat kredit macet pada bank tersebut. Apabila NPF semakin rendah, maka bank tersebut akan semakin
mengalami keuntungan, sebaliknya bila tingkat NPF tinggi maka bank tersebut akan mengalami kerugian yang diakibatkan tingkat
17
Selamet Riyadi, Banking Assets And Liability Management, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006, h. 171
pengembalian pembiayaan macet. Bank Indonesia telah menetapkan batas NPF sebesar 5. Apabila NPF bank dapat ditekan dibawah 5
maka potensi keuntungan yang diperoleh akan semakin besar karena bank dapat menghemat uang yang digunakan untuk membentuk
cadangan kerugian kredit bermasalah atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif PPAP. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin
besar rasio NPF ini maka semakin besar pula resiko yang ditanggung perusahaan dan nantinya juga akan berpengaruh negatif pada
profitabilitas. NPF =
e. Financing to Deposit Ratio FDR atau Loan to Deposit Ratio LDR
atau variabel independen ini adalah perbandingan antara jumlah pembiayaan yang disalurkan dengan total deposit yang dihimpun oleh
bank. FDR akan menunjukan tingkat kemampuan bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank yang
bersangkutan. Besarnya LDRFDR menurut peraturan pemerintah maksimum adalah 110.
18
FDR =
f. Biaya Oprasional terhadap Pendapatan Oprasional BOPO atau
variabel independen ini menurut kamus keuangan adalah kelompok rasio yang mengukur efisiensi dan efektivitas operasional suatu
perusahaan dengan jalur membadingkan satu terhadap lainnya.
18
Kasmir, Manajeme Perbankan, PT.RanjaGrafindo Persada: Jakarta, 2003, h. 272
Berbagai angka pendapatan dan pengeluaran dari laporan rugi laba dan terhadap angka-angka dalam neraca. Rasio biaya operasional
adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur
tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasi.
19
BOPO = F.
Pengaruh Antar Variabel a.
Pengaruh CAR terhadap profitabilitas
Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia No.610PBI2010 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, semakin tinggi nilai
CAR menunjukkan semakin sehat bank tersebut. Adapun penilaian rasio CAR berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.12 11 DPNP tanggal
31 Maret 2010, Kriteria Hasil Rasio CAR dikatakan sehat apabila CAR ≥8, dan apabila 8 maka digolongkan Tidak Sehat.
CAR mencerminkan modal sendiri perusahaan, semakin tinggi rasio ini maka semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk
menanggung risiko dari setiap kredit aktiva produktif yang beresiko, begitupun sebaliknya Desi Ariyani 2009. Dengan kata lain semakin
besar CAR maka semakin besar kesempatan bank dalam menghasilkan laba, karena dengan modal yang besar, manajemen bank sangat leluasa
dalam menempatkan dananya kedalam aktivitas investasi yang
19
Lukman dendawijaya, Manajemen Perbankan Ed. 2, Galia Indonesia: Bogor, 2005, h.116
menguntungkan, CAR yang semakin rendah akan menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat, karena salah satu fungsi modal adalah untuk
menjaga kepercayaan masyarakat terutama masyarakat peminjam. Semakin tinggi CAR maka semakin tinggi pula ROA karena keuntungan
bank akan semakin tinggi sehingga manajemen bank perlu untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai CAR sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia 8 Ishmah Wati: 2010. Dengan demikian CAR berpengaruh positif terhadap ROA.
b. Pengaruh NPF terhadap profitabilitas
NPF adalah tingkat pengembalian kreditpembiayaan yang diberikan deposan kepada bank, dengan kata lain NPFNPL merupakan
tingkat kredit macet pada bank tersebut. Apabila NPF semakin rendah, maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntungan, sebaliknya bila
tingkat NPF tinggi maka bank tersebut akan mengalami kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian pembiayaan macet. Jadi semakin
rendah NPF maka ROA menjadi tinggi, sebaliknya jika NPF tinggi maka ROA rendah, karena hilangnya kesempatan bank dalam memperoleh
laba.
c. Pengaruh FDR terhadap profitabilitas
FDR merupakan perbandingan antara jumlah pembiayaan yang disalurkan dengan total deposit yang dihimpun oleh bank. FDR
digunakan untuk mengukur sebserapa besar kemampuan bank dalam memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan.
Standar yang digunakan Bank Indonesia untuk FDR adalah 80 - 110, jika angka rasio FDR dibawah 80 misalkan 70 maka dapat
disimpulkan bahwa bank tersebut hanya dapat menyalurkan sebesar 70 dari seluruh dana yang berhasil dihimpun, sehingga bank kehilangan
kesempatan untuk memeperoleh laba. Semakin tinggi FDR menunjukan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah FDR
menunjukan kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan kredit sehingga hilangnya kesempatan bank untuk memperoleh laba.
Dana yang disalurkan inilah yang akan menghasilkan keuntungan bagi bank, jika semakin besar dana yang disalurkan dalam bentuk
pembiayaan, maka keuntungan yang diperolehpun akan tinggi, dengan memnigkatnya laba, maka akan berpengaruh terhadap profitabilitas bank
tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa rasio FDR memiliki hubungan yang positif dengan profitabilitas, yang artinya apabila FDR meniggkat
maka profitabilitas menigkat, begitupun sebaliknya apabila FDR menurun maka profitabiliaspun menurun atau rendah. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Thyas Rafelia, Moh. Didik Ardiyanto 2013 dalam penelitiannya menyatakan bahwa FDR memiliki pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap profitabilitas ROE perbankan syariah, serta pada penelitian Ishmah Wati 2012 dalam penelitiannya
yang menyatakan bahwa FDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas ROA. Serta Aluisius Wishnu Nugroho dalam
penelitiannya menyatakan bahwa FDR berpengaruh positif terhadap profitabilitas ROA.
d. Pengaruh BOPO terhadap profitabilitas
BOPO merupakan kelompok rasio yang mengukur efisiensi dan efektivitas operasional suatu perusahaan dengan jalur membadingkan satu
terhadap lainnya. Semakin besar BOPO menunjukan kurangnya kemampuan bank dalam nenekan biaya operasionalnya
yang mengakibatkan kerugian yang disebabkan bank kurang efisien dalam
mengelola usahanya. Bank Indonesia menetapkan angka untuk rasio BOPO adalah di bawah 90, jika lebih dari 90 atau mendekati 100
maka bank tersebut dikategorikan tidak efisien dalam menjalankan operasinya. Sehingga dapat di simpulkan bahwa rasio BOPO berpengaruh
negatif terhadap kinerja perbankan yang diproksikan dengan ROA dan ROE.
56
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini yaitu bank umum syariah yang telah menyajikan publikasi laporan keuangan periode Maret 2011
– Desember 2015, diantaranya yaitu: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah
Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Negara Indonesai Syariah, Bank Rakyat Indonesia Syariah dan Bank Syariah Bukopin.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini berjenis data kuantitatif yang berupa data rasio keuangan triwulan BMI, BSM, BMS, BNIS, BRIS dan
Bank Syariah Bukopin yang mana berdasarkan sumbernya penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari publikasi website Bank
Indonesia, website Otoritas Jasa Keuangan, dan website masing-masing bank objek penelitian mulai dari periode Maret 2011
– Desember 2015 berdasarkan data triwulan yang telah dipublikasikan, serta dengan
menggunakan metode studi pustaka yang dilakukan dengan cara membaca sumber-sumber seperti artikel, jurnal, serta penelitian terdahulu.
C. Populasi dan sampel
Pada penelitian ini menggunakan populasi bank umum syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia BMI, Bank Syariah Mandiri BSM, Bank
Mega Syariah BMS, Bank Negara Indonesia Syariah BNIS, Bank Rakyat Indonesia Syariah BRIS dan Bank Bukopin Syariah. Dari
populasi pada penelitian ini digunakan metode pusposif sample karena keterbatasan akses data dari peneliti sehingga tidak semua data bank dapat
diakses. Syarat bank yang akan dijadikan sampel adalah:
1. Bank umum syariah yang memiliki rasio-rasio keuangan seperti ROA, ROE, CAR, NPF, FDR dan BOPO
2. Bank umum sayariah yang telah menyajikan publikasi laporan keuangan 2011-2015.
Berdasarkan syarat bank yang akan dijadikan sampel, perusahaan- perusahaan perbankan yang memenuhi syarat di atas untuk dijadikan
penelitian yaitu Bank Muamalat Indonesia BMI, Bank Syariah Mandiri BSM, Bank Mega Syariah BMS, Bank Negara Indonesia Syariah
BNIS, Bank Rakyat Indonesia BRIS dan Bank Bukopin Syariah.
D. Operasional Variabel Penelitian
a. Return On Asset ROA
Return On Asset ROA atau variabel independen ini digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektifitas perusahaan didalam menghasilkan
keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return On Asset ROA merupakan rasio antara laba sebelum pajak terhadap total
asset. Semakin besar Return On Asset ROA menunjukkan kinerja yang semakin baik, karena tingkat kembalian return semakin besar. Apabila
Return On Asset ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah profitabilitas yang dinikmati
oleh pemegang saham Husnan, 1998.
Secara matematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut : ROA
x 100
b. Return on Equity ROE
Return on Equity ROE atau variabel dependen ini merupakan rasio unutk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola
capital yang ada untuk mendapatkan net income.
1
Rasio ini juga merupakan indikator yang amat penting bagi para pemegang saham dan
calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen. Kenaikan dalam rasio
ini berarti terjadi kenaika laba bersih dari bank yang bersangkutan. Selanjutnya kenaikan tesebut akan menyebabkan kenaikan harga saham
bank Ishmah Wati: 2010. ROE =
x 100
c. Capital Adequacy Ratio CAR
Capital Adequacy Ratio CAR atau variabel independen ini adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank
yang mengandung risiko kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-
dana dari sumber-sumber diluar bank PBI 2008. Lukman Setiawan 2013 CAR merupakan salah satu indikator
kesehatan permodalan bank. Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini
1
Kasmir, Manajemen Perbankan, PT RajaGrafindo Persada, 2003, h. 280