Latar Belakang Pengaruh CAR, NPF, FDR dan BOPO Terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah (Periode 2011-2015)
ketat, karena mulai berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN MEA dimana untuk industri perbankan hal ini tertuang dalam ASEAN Banking Integration
Framework ABIF. Semakin sengitnya persaingan di industri jasa keuangan akan berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan syariah karena masih
terkendala beberapa masalah seperti keterbatasan modal, sumber dana, SDM dan TI yang belum mumpuni.
2
Hal tersebut sangatlah memprihatinkan, ditambah pada tahun lalu pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan yang
dibarengi oleh meningkatnya risiko kredit perbankan. Iklim bisnis yang makin tak kondusif ini kemudian menyebabkan kredit bermasalah perbankan
mengalami kenaikan. Hal itu yang kini dialami oleh industri perbankan syariah. Berdasarkan statistik perbankan Indonesia SPI periode Oktober 2015 yang
dipublikasi OJK, pada 2011 posisi NPF bank syariah mencapai 2,52. Lalu NPF bank syariah meningkat kembali dari 2,22 pada 2012, menjadi 2,62
pada akhir 2013. Namun, pada 2014 posisi NPF bank syariah kembali melonjak sangat drastis menjadi 4,33, kemudian rasio pembiayaan
bermasalah perbankan ini mengalami kenaikan lagi menjadi 4,73 pada Juni 2015. Secara nominal, pembiayaan perbankan syariah yang berstatus kredit
bermasalah meningkat sebesar 28,71 dari Rp7,54 triliun menjadi Rp9,71 triliun.
3
Hal ini sangat berdampak pada kondisi capital adequacy ratio CAR karena CAR sangat tergantung pada rasio pembiayaan bermasalah karena dia
menggerus modal. Tidak ada ekspansi pembiayaan.
2
http:infobanknews.comtantangan-perbankan-syariah-di-2016. Diakses pada tanggal 10-01-2016.
3
http:infobanknews.comekonomi-melambat-npf-bank-umum-syariah-melonjak. Diakses pada tanggal 23-02-2016
Sementara hal yang menyebabkan kenaikan NPF perbankan syariah pada Februari 2015 yaitu karena pembiayaan yang melambat Mulya E Siregar.
4
Pembiayaan BUS dan UUS naik sangat tipis pada Februari 2015. Dari bulan sebelumnya pembiayaan perbankan syariah hanya naik Rp 264 miliar. “Karena
pembiayaan tidak meningkat signifikan, jadi NPF naik. Di sektor riil semua wait and see, sehingga memang terjadi perlambatan. Pada bulan yang sama
Februari 2015 BUS dan UUS menyalurkan total pembiayaan sebesar Rp 197,54 triliun. Dari jumlah tersebut sebanyak Rp 10 triliun masuk dalam
kategori pembiayaan bermasalah, naik Rp 400 miliar dari pembiayaan bermasalah Januari 2015 yang sebesar Rp 9,6 triliun. Pada Januari 2015 total
pembiayaan BUS dan UUS sebesar Rp 197,27 triliun.
5
.. Selain itu hal lain yang menyebabkan naiknya NPF yaitu karena rencana
bisnis dua bank syariah terbesar di Indonesia yang lebih mengutamakan konsolidasi sehingga mengerem laju kenaikan pembiayaan, yang mana dua
bank syariah ini menguasai hampir 50 pembiayaan, sementara kreditnya tidak jalan, sehingga angka macetnya jadi besar Mulya E Siregar. Adapun,
hingga paruh pertama tahun ini, ada dua BUS yang memiliki pangsa perbankan syariah terbesar. Per Juni 2015, PT Bank Syariah Mandiri mencatatkan nilai
aset Rp66,95 triliun atau naik tipis dari Rp66,94 triliun di akhir tahun lalu.
4
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK
5
http:mysharing.corasio-pembiayaan-bermasalah-bank-syariah-melonjak. Diakses pada tanggal 23-02-2016
Menyusul PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. tercatat memiliki aset sebesar Rp55,85 triliun, terkoreksi 10,5 dari Rp62,41 triliun pada akhir tahun lalu.
6
Selain itu pada rasio rentabilitas seperti Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional bank syariah di Indonesia masih tinggi, level BOPO
yang tinggi ini selain disebabkan oleh opex operational expenses, juga disebabkan oleh pencadangan yang terbentuk akibat pembiayaan bermasalah
non performing financingNPF, beberapa bank syariah membuat cadangan yang lebih karena di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini NPF pasti
meningkat, selain itu penyebab lainnya yaitu karena biaya investasi, terutama gaji pegawai hal ini disebabkan perbankan syariah umurnya masih relatif muda
dibandingkan perbankan konvensional Dinno Indiano: 2015.
7
Selain itu penyebab BOPO perbankan syariah masih tinggi juga diakibatkan oleh biaya
provisi Agus Sudiarto: 2015.
8
Biaya provisi masih tinggi, itu tandanya kualitas pembiayaan existing masih perlu perbaikan.
9
Adapun data SPI OJK menunjukkan, total beban operasional terhadap pendapatan operasional BOPO BUS di Tanah Air mencapai 97,30 pada
Agustus 2015, bank syariah di Indonesia masih muda dan tengah dalam tahap investasi. Hal tersebut yang membuat rasio BOPO mereka tinggi.
10
6
.http:finansial.bisnis.comread2015082890466883npf-merangkak-naik-harapan- besar-pada-2-bank-umum-syariah. Diakses pada tanggal 23-02-2015
7
Direktur Utama PT BNI Syariah
8
Direktur Utama PT Bank Syariah Mandiri
9
http:syariah.bisnis.comread20150921232474745ini-penyebab-bopo-bank-syariah- masih-tinggi. Diakses pada tanggal 23-02-2016
10
http:www.beritasatu.comekonomi322241-profitabilitas-perbankan-syariah-masih- menurun.html. Diakses pada tanggal 23-02-2016
Gambar 1.1
Grafik Rasio Keuangan BUS BMI, BSM, BMS, BNIS, BRIS dan Bank Bukopin Syariah
Grafik rasio keuangan perbankan syariah data diolah Pada grafik di atas dapat kita lihat antara garis CAR, ROA dan ROE
menunjukan adanya hubungan yang mana apabila CAR menigkat maka ROA dan ROE juga menigkat dan sebaliknya misalnya seperti data pada bank
muamalat tahun 2014 pada triwulan 1 yang mana nilai CAR 17,61 dengan nilai ROA 1,44, kemudian nilai CAR pada triwulan 2 turun menjadi 16,31
dengan nilai ROA yang ikut turun juga menjadi 1,03. Begitupun nilai CAR dan ROE, ketika nilai CAR sbesar 12,07 dengan nilai ROA 26,03 di triwulan
ke 1 2012, yang kemudian pada triwulan ke 2 mengalami penigkatan dengan nilai CAR sebesar 14,54 dengan nilai ROE yang menigkat pula yaitu sebesar
27,72. Akan tetapi hal tersebut tidaklah konsisten, karena ada juga pengaruh yang berlawanan arah antara pengaruh CAR terhadap ROA dan ROE misalnya
20 40
60 80
100 120
I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I 2011
2012 2013
2014 2015
2011 2012
2013 2014
2015 2011
2012 2013
2014 2015
2011 2012
2013 2014
2015 2011
2012 2013
2014 2015
2011 2012
2013 2014
2015 BMI
BSM BMS
BNIS BRIS
BUKOPIN SYARIAH
ROA ROE
CAR NPF
FDR BOPO
seperti pada bank muamalat di tahun 2013 triwulan 1-4 ketika nilai CAR 12,02 dengan nilai ROA 1,72 pada triwulan pertama, yang kemudian di
susul pada triwulan kedua dengan nilai CAR yang lebih meningkat dari triwulan sebelumnya yaitu 12,41 sementara ROA menurun mennjadi 1,69,
pada triwuan ketiga CAR kembali meningkat dengan nilai 12,75 sementara ROA menurun, selanjutnya triwulan ketiga CARpun kembali meningkat
dengan nilai 15,87 sementara ROA menurun dengan nilai 0,5. Begitupun pengaruh CAR dan ROE yang memiliki pengaruh terbalik ini negatif terjadi
pada bank mega syariah triwulan 1-4 2015 yang mana pada triwulan pertama nilai CAR sebesar 15,62 dengan nilai ROE 9,96, pada triwulan kedua nilai
CAR naik menjadi 16,54 namun ROE turun menjadi 5,77, triwulan ketiga nilai CAR masih tetap naik menjadi 17,81 sementara ROE masih tetap turun
dengan nilai 2,59, dan pada triwulan keempat nilai CARpun masih naik menjadi 18,74 sementara ROE masih tetap berlawanan negatif yaitu turun
menjadi 1,61. Hal ini menjadi ketidak konsistenan antara pengaruh CAR terhadap profitabilitas perbankan syariah ROA dan ROE. Dari beberapa data
yang di uraikan di atas menyebabkan adanya ketidak konsistenan antara pengaruh CAR terhadap profitabilitas, sehingga perlu dilakukan penelitian
lanjutan Pada rasio NPF dapat kita lihat bahwa penyumbang terbesar rasio NPF
terdapat pada bank Muamalat Indonesia pada tahun 2014 di triwulan ketiga sebesar 4,74 yang kemudian naik kembali pada triwulan keempat menjadi
4,76, kemudian penyumbang NPF terbesar berikutnya terdapat pada Bank
Syariah Mandiri pada tahun 2015 triwulan 2 sebesar 4,70 yang mana angka tersebut hampir mendekati angka 5 batas pengukuran tingkat rasio NPF
terhadap kesehatan bank. NPF merupakan kredit macet, sehingga apabila NPF naik maka ROA atau ROE akan turun.
Pada rasio FDR menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif pada rasio FDR terhadap profitabilitas ROA dan ROE misalnya hubungan antara
FDR terhadap ROA yang terdapat pada Bank Syariah Mandiri tahun 2013 triwulan 3 dengan nilai FDR 91,29 dan ROA 1,51, pada triwulan ke 4 nilai
FDR turun menjadi 89,37 yang diikuti dengan penurunan nilai ROA sebesar 1,53, kemudian pada 2014 triwulan 1 naik kembali nilai FDR menjadi
90,34 yang diikuti dengan kenaikan nilai ROA sebesar 1,77, selanjutnya pada triwulan ke 2 nilai FDR turun kembali menjadi 89,91 yang diikuti
dengan turunnya nilai ROA menjadi 0,66. Hal ini menunjukan adanya hubungan yang positif antara FDR terhadap ROA. Kemudian hubungan antara
FDR terhadap ROE misalnya ditunjukan pada Bank Muamalat Indonesia pada tahun 2014 triwulan pertama nilai FDR sebesar 105,4 dan nlai ROE sebesar
21,77, kemudian triwulan kedua nilai FDR mengalami penurunan menjadi 96,78 yang diikuti dengan penurunan nilai ROE menjai 15,96. Contoh lain
pada bank BNI Syariah tahun 2011 triwulan 3 yang memiliki nilai FDR sebesar 86,13 dengan nilai ROE 11,65, pada triwulan ke dua mengalami penurunan
menjadi 78,60 yang diikuti dengan penurunan ROE menjadi 6,63. Ini menunjukan bahwa hubungan antara FDR dan ROE adalah positif. Akan tetapi
hal ini tidaklah konsisten, karena masih ada beberapa yang memiliki hubungan
negatif antara FDR, ROA dan ROE. Misalnya terdapat pada Bank Muamalat Indonesia tahun 2014 triwulan kedua yang memiliki nilai FDR sebesar 96,78
dengan nilai ROA 1,03, pada triwulan ke tiga nilai FDR mnegalami peningkatan sebesar 98,81 akan tetapi ROA mengalami penurunan menjadi
0,1. Ini menunjukan adanya hubungan yang negatif antara FDR dan ROA. Pada tahun 2014 triwulan kedua nilai FDR sebesar 96,78 dengan nlai ROE
sebesar 15,96, kemudian FDR mengalami kenaikan pada triwulan ketiga menjadi 98,81 akan tetapi nilai ROE turun drastis menjadi 1,56. Ini
menunjukan adanya hubungan yang negatif antara FDR dan ROE. Dari beberapa data yang di uraikan di atas menyebabkan adanya ketidak konsistenan
antara pengaruh FDR terhadap profitabilitas, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan.
Pada rasio BOPO dapat kita lihat bahwa penyumbang terbesar rasio BOPO terdapat pada bank mega syariah BMS yang memiliki nilai BOPO
tertinngi dengan nilainya yaitu sebesar 110,53, 104,80, 102,33 dan 99,51 pada triwulan pertama sampai keempat tahun 2015, kemudian pada Bank
Rakyat Indonesia Syariah BRIS raso BOPO tertingginya sebesar 101,38 pada triwulan pertama dan triwulan kedua 100,30 tahun 2011, kemudia
pada Bank Syariah Mandiri BSM rasio BOPO tertingginya sebesar 98,46 pada triwulan keempat 2014, selanjutnya Bank Muamalat Indonesia BMI
dengan rasio tertinggi BOPO sebesar 98,32 pada triwulan ketiga 2014, kemudian Bank Bukopin Syariah memiliki nilai rasio BOPO tertinggi sebesar
97,33 pada triwulan pertama 2014, dan Bank Negara Indonesia Syariah
BNIS memiliki nilai BOPO tertinggi sebesar 92,81. Bank Indonesia menetapkan angka untuk rasio BOPO adalah di bawah 90, jika lebih dari
90 atau mendekati 100 maka bank tersebut dikategorikan tidak efisien dalam menjalankan operasinya. Rasio biaya operasional adalah perbandingan
antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam
melakukan kegiatan operasi.
11
Semakin besar BOPO menunjukan kurangnya kemampuan bank dalam menekan biaya operasionalnya yang mengakibatkan
kerugian yang di sebabkan bank kurang efisien dalam mengelola usahanya. Sementara dari data di atas masih banyak menunjukan nilai rasio BOPO yang
masih kurang efisien. Dapat kita lihat dari paparan diatas bahwa kierja perbankan syariah
masih sangat harus diperhatikan lagi terutama pada bagian manajemen perusahaan dan juga rasio-rasio keuangannya yang sering mengalami
fluktuatif, karena tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah memperoleh laba atau keuntungan maksimal, disamping hal-
hal lainnya. Dengan memperoleh laba yang maksimal seperti yang telah ditargetkan, perusahaan dapat berbuat banyak bagi kesejahteraan pemilik,
karyawan, serta meningkatkan mutu produk dan melakukan investasi baru. Oleh karena itu manajemen perusahaan dalam praktiknya dituntut harus
mampu untuk memenuhi target yang telah ditetapkan, artinya besarnya keuntungan haruslah dicapai sesuai dengan yang diharapkan dan bukan berarti
11
Lukman dendawijaya, Manajemen Perbankan Ed. 2, Bogor: Galia Indonesia, 2005, h.116
asal untung. Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan digunakan rasio keuntungan atau rasio profitabilitas yang dikenal juga dengan rasio
rentabilitas.
12
Rasio profitabilitas atau rentabilitas adalah kempuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dengan menggunakan modal yang tertanam
didalamnya.
13
Atau bisa di katakana rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga
memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi.
Intinya adalah penggunaan rasio ini menunjukan efisiensi perusahaan. Rasio profitabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara
berbagai komponen yang ada di laporan keuangan, terutama laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi. Pengukuran dapat di lakukan untuk beberapa
periode operasi. Tujuannnya adalah agar terlihat perkembangan perusahaan dalam rentang waktu tertentu, baik penurunan atau kenaikan, sekaligus mencari
penyebab perubahan tersebut.
14
Hasil pengukuran tersebut dapat dijadikan alat evaluasi kinerja manajemen selama ini, apakah mereka telah bekerja secara efektif atau tidak.
Jika berhasil mencapai target yang telah ditentukan mereka dikatakan telah berhasil mencapai target untuk periode atau beberapa periode. Namun
sebaliknya jika gagal atau tidak berhasil mencari target yang telah ditentukan,
12
Kasmir, Analisis Laporan Keuangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 196
13
Budi Rahardjo, Laporan Keuangan Perusahaan membaca, memahami, dan menganalisis, Yogyakarta: Gajah Mada University, 2003, h. 122
14
Budi Rahardjo, Laporan Keuangan Perusahaan membaca, memahami, dan menganalisis, h. 196
ini akan menjadi pelajaran bagi manajemen untuk periode kedepan. Kegagalan ini harus diselidiki, dimana letak kesalahan dan kelemahannya sehingga
kejadian tersebut tidak terulang. Kemudian, kegagalan atau keberhasilan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan laba kedepan, sekaligus
kemungkinan untuk menggantikan manajemen yang baru terutama setelah manajemen lama mengalami kegagalan. Oleh karena itu rasio ini sering diebut
sebagai salah satu alat ukur kinerja manajemen.
15
Sesuai dengan tujuannya terdapat beberapa rasio profitabilitas yang dapat digunakan. Masing-masing jenis rasio profitabilitas digunakan untuk
menilai serta mengukur posisi keuangan perusahaan dalam suatu periode tertentu atau untuk beberapa periode tertentu. Penggunaan seluruh atau
sebagian rasio profitabilitas tergantung dari kebijakan manajemen. Jelasnya, semakin lengkap jenis rasio yang digunakan, semakin besar pula hasil yang
akan dicapai. Artinya pengetahuan tentang kondisi dan posisi profitabilitas perusahaan dapat diketahui secara sempurna.
Indikator yang paling tepat digunakan untuk mengukur kinerja perbankan yaitu profitabilitas. Ukuran profitabilitas pada industri perbankan
yang digunakan pada umumnya adalah Return On Equity ROE dan Return On Asset ROA.
Return On Asset adalah rasio profitabilitas yang menunjukan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total asset bank, rasio ini
menujukan tingkat efisiensi pengelolaan asset yang dilakukan oleh bank yang
15
Budi Rahardjo, Laporan Keuangan Perusahaan membaca, memahami, dan menganalisis, h. 197
bersangkutan.
16
ROA memfokuskan
kemampuan perusahaan
untuk memperoleh earning dalam opersasinya, sedangkan Return On Equity ROE
adalah rasio profitabilitas yang menunjukan perbandingan antara laba setelah pajak dengan modal modal inti bank, rasio ini menunjukan tingkat
persentase yang dapat di hasilkan
17
. ROE hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut Siamat,
2002. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas,
dengan kinerja keuangan yang masih harus lebih diperhatikan lagi seperti angka NPF yang semakin tinggi yang mana Hal ini sangat berdampak pada
kondisi capital adequacy ratio CAR karena CAR sangat tergantung pada rasio pembiayaan bermasalah karena dia menggerus modal sehingga
mengakibatkan tidak adanya ekspansi pembiayaan, apalagi jika dilihat dari data di atas yangmenunjukan ketidak konsistenannya pengaruh CAR terhadap
profitabilitas sehingga hal ini perlu dilakukannya penelitian ulang. Kemudian ditambah lagi dengan BOPO yang masih tergolong tinggi pada beberapa
periode di bank syariah. Hal demikianlah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap suatu kinerja perbankan atau faktor-faktor
mempengaruhi profitabilitas perbankan, sehingga peneliti mengangkat judul penelitian
“Pengaruh CAR, NPF, FDR dan BOPO Terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah, Periode 2011-
2015”
16
Selamet Riyadi, Banking Assets And Liability Management, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,2006, h.156
17
Selamet Riyadi, Banking Assets And Liability Management, h. 155
Dalam penelitian terhadap faktor profitabilitas atau rentabilitas ini meliputi komponen-komponen pencapaian Return On Asset ROA dan Return
On Equity ROE sebagai variabel dependen. Untuk mengukur efisiensi tersebut digunakan rasio keuangan perbankan diantaranya: CAR capital
adequacy ratio, NPF non Performing Financing, FDR financing to deposito ratio dan BOPO biaya oprasional terhadap pendapatan oprasional
sebagai variabel independen.