Kebijakan Ekonomi Stabilisasi Harga Gabah dan Beras

10 Gambar 6.20. : Perkembangan Harga GKP Petani, GKP Penggilingan, GKG PenggilinganKUD, Beras PIC dan beras Pedesaan, Tingkat Nasional Tahun 2000-2006 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 HARG A GKP Petani GKP Penggilingan GKG Penggilingan KUD Beras Pasar Induk Cipinang Beras Pedesaan Beras Konsumen Perkotaan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: Badan Ketahanan Pangan, 2007 Gambar 10. Perkembangan GKP, GKG dan Beras di Indonesia krisis ekonomi pada tahun 1999, Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus tunduk pada kesepakatan International Monetary Fund IMF yang tertuang dalam International Labor Organization ILO yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan hak monopoli impor beras Bulog. Pada saat dimulainya pencabutan monopoli impor oleh Perum Bulog, Indonesia tidak dapat lagi menerapkan kebijakan harga dasar yang dikenal dengan floor price policy secara teknis saat dalam globalisasi perdagangan bebas Kariyasa, 2007. HPP merupakan salah satu cara untuk memberikan insentif kepada petani yang dikenal dengan procurement price policy. Pemerintah membeli sejumlah tertentu gabah dan beras dari petani berdasarkan HPP yang relatif tinggi daripada harga pasar untuk mengangkat harga gabah dan beras di tingkat petani. Tabel 11. Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen Tahun 2004-2008 Bulan Tahun Rpkg 2004 2005 2006 2007 2008 Januari 1,230 1,230 1,730 1,730 2,000 Februari 1,230 1,230 1,730 1,730 2,000 Maret 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 April 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Mei 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Juni 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Juli 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Agustus 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 September 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Oktober 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 November 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Desember 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 Keterangan: adalah Harga Dasar Gabah HDG Sumber: Pusat Distribusi Pangan, BKP, Departemen Pertanian 2008 Implementasi kebijakan HPP adalah pemerintah hanya menetapkan harga pembelian dan tidak mempunyai kewajiban untuk membeli seluruh ekses suplai gabahberas petani sebagaimana kebijakan HDG karena keuangan pemerintah yang sangat terbatas. Simatupang et al. 2005 menyatakan bahwa salah satu kelemahan kebijakan pemerintah ini adalah tidak ada kewajiban pemerintah membeli gabah petani dan harga yang ditetapkan dalam kebijakan ini adalah di tingkat penggilingan, bukan di tingkat petani. Selama pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah diterbitkan Instruksi Presiden Inpres Nomor 13 Tahun 2005, Inpres Nomor 3 Tahun 2007, Inpres Nomor 1 Tahun 2008 dan Inpres Nomor 8 Tahun 2008 yang berisi tentang amanat pengamanan harga gabah kering panen GKP, gabah kering giling GKG dan beras yang disebut sebagai harga pembelian pemerintah HPP. Kebijakan ini berlaku umum untuk semua wilayah dan diterapkan sepanjang tahun. Pemerintah memberikan jaminan tercapainya harga dasar dengan mengelola stok yang disebut buffer stok melalui pengadaan gabah di tingkat petani pada musim panen dan penyaluran beras beras pada masa paceklik. Pengadaan dilakukan pada saat panen raya agar harga di petani meningkat dan sebaliknya dilakukan penyaluran pada saat tingkat harga terlalu tinggi. Realisasi pengadaan terutama dilakukan pada bulan Maret-Juni yang bertujuan untuk meningkatkan harga gabah petani yang mengalami tekanan akibat over supply panen raya. Tabel 12. Perkembangan Pengadaan Beras Tahun 2004-2008 Bulan Tahun 000 Ton Persen 2004 2005 2006 2007 2008 Januari 1 - 24.1 - - 0.04 Februari 44 - 8.7 - 2.4 2.12 Maret 404 116.8 187.0 - 352.7 19.25 April 596 493.2 457.2 296.7 639.5 28.43 Mei 494 514.7 342.9 641.1 548.4 23.58 Juni 260 200.8 157.9 375.8 332.8 12.42 Juli 102 115.3 62.6 220.9 339.1 4.86 Agustus 47 52.4 21.0 97.6 255.5 2.24 September 41 18.8 101.9 58.9 245.3 1.94 Oktober 63 3.6 58.0 34.2 186.3 2.99 November 28 2.3 12.7 27.6 201.5 1.33 Desember 17 11.9 0.2 13.2 102.5 0.81 Jumlah 2,097.0 1,529.7 1,434.1 1,766.0 3,205.9 100.00 Sumber: Devisi Pengadaan dan Penyaluran Perum Bulog, 2008 Tabel 13. Perkembangan Penyaluran Beras Tahun 2004-2008 Tahun Bulan Penawaran Beras Rpkg Tahun Bulan Penawaran Beras Rpkg 2004 Januari 182,032 2007 Januari 231,227 Februari 211,586 Februari 290,765 Maret 217,967 Maret 290,988 April 202,948 April 171,909 Mei 200,861 Mei 159,500 Juni 211,937 Juni 171,677 Juli 187,234 Juli 165,353 Agustus 194,112 Agustus 174,249 September 201,844 September 176,693 Oktober 215,382 Oktober 168,194 Nopember 247,581 Nopember 155,474 Desember 138,103 Desember 79,709 2005 Januari 178,694 2008 Januari 170,981 Februari 207,970 Februari 315,839 Maret 203,631 Maret 266,457 April 186,269 April 239,706 Mei 182,254 Mei 234,434 Juni 189,021 Juni 342,862 Juli 188,698 Juli 431,801 Agustus 185,463 Agustus 89,503 September 208,990 September 338,415 Oktober 213,447 Oktober 294,806 Nopember 160,612 Nopember 345,766 Desember 128,167 Desember 59,736 2006 Januari 124,421 Februari 168,169 Maret 160,556 April 156,608 Mei 178,521 Juni 178,930 Juli 185,061 Agustus 176,182 September 183,842 Oktober 188,878 Nopember 107,035 Desember 34,476 Sumber: Devisi Pengadaan dan Penyaluran Perum Bulog, 2008 Kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah dilaksanakan melalui mekanisme pengadaan oleh Perum Bulog. Pada saat panen raya akan terjadi kelebihan penawaran yang mengakibatkan anjloknya harga gabah petani. Perum Bulog membeli gabah petani sesuai dengan harga dasar yang telah ditetapkan. Upaya ini bertujuan mempersempit kisaran flukutuasi harga antara masa panen dan bukan panen sehingga petani dapat memperoleh harga gabah pada tingkat yang wajar. Kebijakan penyaluran dilakukan untuk melindungi konsumen akibat kenaikan harga beras. Kenaikan harga beras akan mengurangi daya beli masyarakat sehingga dapat mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan pokok ini terutama masyarakat miskin yang memiliki daya beli sangat rendah. Penyaluran Perum Bulog dilakukan sebagai instrumen kebijakan stabilisasi di pasar domestik yang bertujuan mengendalikan kenaikan harga beras domestik. Tabel 14. Perkembangan Stok Operasional Perum Bulog Tahun 2004-2008 Bulan Tahun 000 Ton Persen 2004 2005 2006 2007 2008 Januari 1,856 1,547 943 738 1,402 5.39 Februari 1,721 1,291 936 554 1,089 5.00 Maret 1,864 1,207 946 434 1,175 5.42 April 2,321 1,514 1,245 694 1,575 6.75 Mei 2,627 1,827 1,409 1,272 1,889 7.63 Juni 2,663 1,867 1,363 1,533 1,878 7.74 Juli 2,530 1,805 1,262 1,714 1,786 7.35 Agustus 2,362 1,686 1,110 1,747 1,952 6.87 September 2,205 1,478 1,014 1,683 1,859 6.41 Oktober 1,996 1,212 958 1,685 1,750 5.80 November 1,769 1,118 989 1,662 1,606 5.14 Desember 1,771 1,093 958 1,573 1,649 5.15 Sumber: Devisi Pengadaan dan Penyaluran Perum Bulog, 2008 Perkembangan stok beras pada penelitian ini adalah perkembangan stok yang dikuasai oleh Perum Bulog. Sepanjang periode tahun 2004-2008 besaran stok operasional Perum Bulog relatif stabil sepanjang kurun waktu satu tahun. Besaran stok pada tiga bulan awal dan tiga bulan akhir setiap tahun berkisar sebesar 5 persen dari jumlah stok komulatif sepanjang satu tahun. Jumlah terbesar stok operasional bulan terjadi mulai bulan April sebesar 6.75 persen dari stok komulatif tahunan sampai pada titik tertinggi pada bulan Agustus sebesar 7.74 persen. Hal ini terjadi karena pada periode tersebut merupakan periode panen raya dimana Perum Bulog melakukan pengadaan gabah dengan membeli gabah petani yang bertujuan untuk mencegah jatuhnya harga gabah tingkat petani pada saat panen raya.

2.3. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai penawaran dan permintaan beras telah banyak dilakukan sejak lama. Namun demikian penelitian mengenai perberasan tersebut belum mempertimbangkan adanya variasi antar waktu dan antar wilayah sehingga kesimpulan penelitian tersebut bersifat umum di level nasional. Kesimpulan tersebut tidak selalu tepat dengan fenomena riil di tingkat wilayah atau periode tertentu. Salah satu penelitian mengenai kebijakan intervensi pemerintah terhadap pasar gabah dan beras dilakukan oleh Rasahan 1983. Penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras sangat penting sehingga perkembangan harga selalu menjadi perhatian pemerintah baik harga gabah tingkat petani maupun harga beras di tingkat konsumen melalui intervensi penyediaan di pasar domestik maupun kebijakan tarif dan non tarif. Penelitian ini menegaskan pentingnya stabilisasi harga beras bahkan lebih penting daripada mendorong swasembada beras. Meskipun secara aggeregat peneliti dapat menyebutkan bahwa intervensi pemerintah sangat tergantung pada impor, namun kesimpulan tersebut tidak dapat menjelaskan perkembangan penawaran dan permintaan saat surplus pada periode panen terkait dengan pengelolaan stok. Kondisi surplus-defisit secara aggregat tahunan belum dapat menjelaskan kondisi pasar gabah dan beras dalam jangka pendek apalagi pasar gabah dan beras di tingkat wilayah yang tersegmentasi. Hal ini merupakan faktor yang mengakibatkan perbedaan kesimpulan tentang efektifitas stabilisasi harga gabah dan beras antara kondisi makro aggregat nasional dan tahunan dengan tingkat wilayah pada periode tertentu. Kesimpulan penelitian tentang keefektifan kebijakan terhadap stabilisasi harga gabah dan beras akan tidak sesuai dengan kondisi riil di tingkat wilayah dan periode tertentu. Hutauruk 1996 menggunakan model ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan dan perubahan harga dasar gabah terhadap perubahan permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa kebijakan tersebut efektif terhadap harga produsen dan konsumen nasional. Erwidodo dan Hadi 1999 melakukan penelitian proteksi dan liberalisasi perdagangan dengan menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial partial equilibrium model. Hasil penelitian ini memperlihatkan kebijakan proteksi dapat melindungi kepentingan konsumen melalui kebijakan stabilisasi harga beras yang dilakukan oleh Bulog. Kesimpulan penelitian ini juga masih bersifat nasional dan belum dapat menangkap perilaku harga di tingkat wilayah. Bahkan Feridhanustyawan dan Pangestu 2003 yang juga melakukan penelitian mengenai proteksi dan liberalisasi perdagangan menggunakan aggregat komoditi