Tinjauan Penelitian Sebelumnya TINJAUAN PUSTAKA
Meskipun secara aggeregat peneliti dapat menyebutkan bahwa intervensi pemerintah sangat tergantung pada impor, namun kesimpulan tersebut tidak dapat
menjelaskan perkembangan penawaran dan permintaan saat surplus pada periode panen terkait dengan pengelolaan stok. Kondisi surplus-defisit secara aggregat
tahunan belum dapat menjelaskan kondisi pasar gabah dan beras dalam jangka pendek apalagi pasar gabah dan beras di tingkat wilayah yang tersegmentasi. Hal
ini merupakan faktor yang mengakibatkan perbedaan kesimpulan tentang efektifitas stabilisasi harga gabah dan beras antara kondisi makro aggregat
nasional dan tahunan dengan tingkat wilayah pada periode tertentu. Kesimpulan penelitian tentang keefektifan kebijakan terhadap stabilisasi harga gabah dan beras
akan tidak sesuai dengan kondisi riil di tingkat wilayah dan periode tertentu. Hutauruk 1996 menggunakan model ekonometrika persamaan simultan
untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan dan perubahan harga dasar gabah terhadap perubahan permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Hasil
penelitian ini juga menyebutkan bahwa kebijakan tersebut efektif terhadap harga produsen dan konsumen nasional.
Erwidodo dan Hadi 1999 melakukan penelitian proteksi dan liberalisasi perdagangan dengan menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial
partial equilibrium model. Hasil penelitian ini memperlihatkan kebijakan proteksi dapat melindungi kepentingan konsumen melalui kebijakan stabilisasi
harga beras yang dilakukan oleh Bulog. Kesimpulan penelitian ini juga masih bersifat nasional dan belum dapat menangkap perilaku harga di tingkat wilayah.
Bahkan Feridhanustyawan dan Pangestu 2003 yang juga melakukan penelitian mengenai proteksi dan liberalisasi perdagangan menggunakan aggregat komoditi
serealia. Penelitian ini mengunakan pendekatan model keseimbangan umum general equilibrium model.
Dampak kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras nasional yang berlangsung efektif juga dinyatakan oleh penelitian Hadi dan Wiryono 2005.
Penelitian Hadi dan Wiryono tersebut menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial partial equilibrium model. Penelitian Mulyana 1998 dan
Karo-Karo Sitepu 2001 juga menyatakan bahwa kebijakan harga dasar efektif terhadap harga produsen nasional. Penelitian Departemen Pertanian 2007
memperkuat kesimpulan yang sama dan menyatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga melalui pembelian gabahberas petani dan pengelolaan stok berlangsung
efektif terhadap kepentingan produsen dan konsumen. Namun demikian kesimpulan yang berbeda terhadap efektifitas stabilisasi
harga juga banyak dikemukan oleh beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras sulit dan tidak efektif untuk
dilaksanakan. Malian et al. 2007 menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras di pasar domestik adalah nilai tukar riil, harga jagung
pipilan di pasar domestik, dan harga dasar gabah. Kebijakan harga dasar tidak efektif karena tidak diikuti kebijakan pendukung yang compatible. Kebijakan
harga dasar yang tidak efektif dan penghapusan subsidi pupuk telah menurunkan pendapatan petani produsen.
Gunjal 1990 dalam Ashraf 2008 mengatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga tidak efektif karena keterbatasan teori limitations in the theory,
ketidaksempurnaan pasar dan ketidakmampuan produsen memperoleh keuntungan dari tingginya harga di pasar bebas. Penelitian ini menggunakan pengembangan
model Hayami 1982 dengan menggunakan model yang terdiri dari disaggregat pasar bebas domestik dan pasar intervensi pemerintah.
Selain itu, perbedaan pengaruh dan efektifitas kebijakan harga dasar di tingkat wilayah berbeda-beda. Mulayana 1998, menyatakan bahwa harga gabah
berpengaruh nyata terhadap harga gabah secara nasional, Jawa dan Bali, dan Sulawesi. Pengaruh harga dasar tidak nyata terhadap harga gabah Sumatera dan
Kalimantan. Mulyana membangun model persamaan simultan keragaan penawaran dan permintaan beras Indonesia dan wilayah Sumatera, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi dan wilayah sisa. Instrumen-instrumen kebijakan intervensi pemerintah merupakan peubah endogen. Respon harga dasar di wilayah
menunjukkan bahwa meskipun secara nasional harga dasar nyata berpengaruh terhadap harga gabah tetapi harga dasar tidak menunjukkan efektivitas yang sama
terhadap harga gabah wilayah. Pengaruh intervensi pemerintah terhadap harga beras juga menghasilkan dampak yang berbeda antar wilayah. Harga beras
nasional, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dipengaruhi secara nyata oleh intervensi pemerintah sedangkan harga beras Jawa dan Bali tidak nyata
dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Namun penelitian ini belum mempertimbangkan kondisi variasi pola panen sehingga belum dapat menangkap
variasi dampak kebijakan harga gabah dan beras di wilayah pada periode tertentu. Perbedaan kesimpulan dari beberapa penelitian di atas terjadi karena belum
mempertimbangkan adanya kondisi variasi antar wilayah dan antar musim menurut siklus produksi padi. Perbedaan kondisi wilayah penelitian dan
penggunaan data aggregat nasional dan tahunan dapat mengakibatkan perbedaan kesimpulan tentang efektifitas kebijakan harga gabah dan beras di tingkat nasional
dan wilayah. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan menggunakan data
disaggregasi wilayah menurut pulau terbesar di Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi seperti pada penelitian
Mulyana 1998 serta mempertimbangkan kondisi variasi pola panen menurut siklus produksi padi di tingkat nasional dan wilayah. Pengembangan model
tersebut dapat digunakan baik untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga di tingkat produsen dan konsumen maupun menganalisis
dampak kebijakan intervensi pemerintah terhadap produsen dan konsumen di tingkat wilayah. Perbedaan variasi pola panen antar wilayah kemudian
dikembangkan dalam penelitian ini mengacu pada modifikasi model penelitian Mulyana yang menggunakan disaggregasi wilayah dan mempertimbangkan
variasi pola panen sehingga digunakan data disaggregasi bulanan wilayah dan nasional.