Sejarah Industri Gula Indonesia

pendidikan pelatihan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain Saptana dkk, 2003. Secara sederhana sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Keterkaitan dalam Sistem Agribisnis

2.2.5. Sejarah Industri Gula Indonesia

Departemen Pertanian 2002 menyatakan bahwa sejarah industri gula di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode. Pada periode sebelum tahun 1930, industri gula di Indonesia telah dimulai sejak abad 16 oleh penduduk keturunan Cina. Setelah dikuasai Belanda, industri gula mulai maju, namun pada abad 19 muncul penyakit sereh yang menghancurkan semua jenis tebu, dan baru bisa diatasi setelah POJ sekarang menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula, P3GI berhasil menemukan varietas tebu POJ 2878, industri gula pun maju pesat, dan berhasil mencapai tingkat produksi 3 juta ton pada tahun 1930 dan menjadikan Indonesia negara eksportir gula terbesar dunia setelah Kuba, ketika itu budidaya tebu dilakukan dengan total luas areal 200.000 Ha. Tahun 1930 berlalu, terjadi resesi dunia dan peralihan penjajahan, yang diikuti perang kemerdekaan pada tahun 1940-an. Hal ini membuat Subsistem hulu upstream agribusiness Subsistem usahatani on-farm agribusiness Subsistem hilir downstream agribusiness Subsistem jasa penunjang supporting system Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber industri gula Indonesia terpuruk karena banyak penghentian produksi di pabrik gula, maupun kerusakan lahan pertanian termasuk lahan tebu. Tahun 1957, pemerintah RI mengambil alih seluruh aset perusahaan asing di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan gula milik Belanda. Pada tahun 1957, tataniaga industri gula sepenuhnya ditangani oleh pemerintah RI, dan pengelolaan serta usahatani tebu ditangani Perusahaan Negara Perkebunan PNP. Industri gula Indonesia pada saat itu mulai membaik. Lahan untuk budidaya tebu diperoleh dengan cara menyewa sawah petani, sehingga periode ini disebut juga Periode Sistem Sewa. Untuk mengatasi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat, pada awal tahun 1970-an dikembangkan budidaya tebu lahan kering di Pulau Jawa, dan mulai dirintis proyek pengembangan industri gula di luar Jawa. Instruksi Presiden Inpres No. 9 Tahun 1975, menyatakan terdapat perbedaan sistem usahatani tebu semula dari sistem sewa berubah menjadi Tebu Rakyat Intensifikasi TRI. Sistem ini bertujuan agar petani tebu menjadi wiraswasta yang mampu berusaha sendiri dan mandiri, dalam kelompok tani maupun koperasi petani dan mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat, serta meningkatkan luas areal pertanaman tebu di Indonesia dan mempengaruhi peningkatan produktivitas gula Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaannya ditunjang dengan kebijakan lainnya berupa pemberiaan kredit kepada petani peserta, sistem bagi hasil, bimbingan teknis budidaya tebu, rehabilitasi dan pembangunan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber pabrik gula dan perluasan areal tebu baik di lahan sawah maupun lahan kering, baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa. Tataniaga gula sejak tahun 1975 dilakukan oleh Badan Urusan Logistik BULOG, karena gula dianggap sebagai salah satu komoditas strategis selain beras. Sedangkan untuk harga dasarnya ditetapkan oleh pemerintah berupa harga provenue. Dengan sistem tataniaga dan penentapan seperti itu, maka petani tebu dan pelaku industri gula di Indonesia akan merasa terlindungi dari pasar dunia yang distorsif. Pada tahun 1998, BULOG tidak lagi menangani tataniaga gula. Terbitnya Inpres No. 5 Tahun 1998, sistem Tebu Rakyat Intensifikasi TRI dihapuskan, sehingga jalinan hubungan kemitraan antara petani dan pabrik gula diatur oleh masing-masing pihak dalam hubungan kemitraan tersebut. Tataniaga gula selanjutnya diserahkan pada mekanisme pasar yang fluktuatif dan cenderung berupa dumping. Sedangkan harga gula disesuaikan dengan harga dunia, karena pemerintah sudah tidak lagi menetapkan harga provenue. Pada tahun tersebut terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang tidak mendukung eksistensi industri gula Indonesia, seperti penetapan tarif bea masuk gula impor nol persen, serta pembebasan proses impor gula terhadap importir swasta. Pemerintah mengambil langkah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.634MPPKep92002, menetapkan bahwa impor gula hanya dapat dilakukan pihak produsen, dengan syarat dalam proses produksinya produsen tersebut menggunakan bahan baku Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber lebih dari 75 dari tebu rakyat. Impor tersebut baru dapat dilakukan setelah harga gula petani mencapai Rp. 3.100 per Kg. Berdasarkan criteria tersebut, maka produsen yang dapat melakukan impor gula atau yang mendapat ijin import gula dalam bentuk Impor Terdaftar IT atau yang dikenal dengan Sembilan Samuari di antaranya adalah PTPN IX, X, dan XI, serta PT. Rajawali Nusantara Indonesia melalui importir swasta setelah melewati proses tender. Import mulai dijalankan pada tahun 2003. 2.2.6. Kinerja 2.2.6.1. Definisi Kinerja