Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu (Studi Kasus di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur).

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan Oleh :

AMALIA FARRA SABRINA

0964020010

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

SURABAYA

2011


(2)

Untuk memenuhi Persyaratan

Guna Menyusun Tesis

Program Studi Magister Manajemen Agribisnis

Yang diajukan :

AMALIA FARRA SABRINA

NPM : 0964020010

Telah disetujui untuk diseminarkan :

Pembimbing Utama

Prof.Dr.Ir.Syarif Imam H, MM

Tanggal :…………

Pembimbing Pendamping

Ir. Setyo Parsudi, MP

Tanggal :…………

Surabaya,……….

UPN “Veteran” Jawa Timur

Program Pascasarjana

Ka. Prodi MMA


(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Surabaya, Juli 2011


(4)

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS TEBU (Studi Kasus di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir.Syarif Imam H, MM selaku Pembimbing Utama, Ir. Setyo Parsudi, MP selaku Pembimbing Pendamping, serta Dr.Ir. Sudiyarto, MM selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis yang telah memberikan bimbingan, arahan, dorongan dan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

• Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Bapak

Prof.Dr.Ir. Teguh Soedarto, MP yang banyak memberikan masukan dan saran kepada mahasiswa Pascasarjana sebelum menyusun penulisan tesis.

• Direktur Pascasarjana Bapak Prof.Dr. Djohan Mashudi, SE, MS beserta staf,

dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, atas perhatian dan dedikasinya sehingga penulis sangat terbantu dalam menyelesaikan tesis ini.

• Anggota Dewan Penguji, yaitu Bapak Ir. Sri Tjondro Winarno, MM dan Bapak

Ir. A. Rachman Waliulu, MS yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

• Bapak Ir. Hudi Haryono, MS selaku Kepala Balai Besar Perbenihan dan

Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya, Bapak Ir. Muchtar Luthfi, selaku Kepala Bidang Proteksi, Bapak Ir. Hari Prasetijono, MS, selaku Kepala Bidang Perbenihan, yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

• Direktur PTPN X (Persero) beserta staf, dan Administratur PG Gempolkrep

beserta staf, Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi Jawa Timur, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Mojokerto yang telah membantu penulis dalam penyediaan data untuk penelitian ini.


(5)

penulis dalam menggambarkan keadaan yang sesungguhnya pelaksanaan kelembagaan agribisnis tebu di wilayah kerja PG Gempolkrep.

• Teman-teman sekantor di Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman

Perkebunan Surabaya, rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana MMA Angkatan XXI dan MM Angkatan XVIII atas persaudaraan yang terjalin.

• Sembah sujud dan rasa terimakasih kepada Papaku Drs. Untung Djaelani, SH,

MM, MH dan Mamaku Rr. Endang Sri Warsiti, Kakakku Arsa Mukti Brahmani, SH serta Kakak iparku Anies Zulailu Islam, S.Psi yang selalu mendo’akan keberhasilan penulis hingga saat ini.

• Seluruh keluargaku, terutama Omku Bapak Drs.Ec. Heru Suprihadi, MS yang

selalu memberikan masukan dan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

• Secara khusus penulis sampaikan kepada Calon Suamiku yang tersayang

Iskandar, SH, S.PdI, MM, atas kesetiaan, segala do’a dan motivasi yang terus diberikan.

Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis. Tak lupa penulis juga memohon maaf, apabila dalam penulisan tesis ini terdapat kesalahan ataupun kekurangan yang tidak berkenan bagi pembaca. Akhirnya hanya kepada Allah kembalinya segala urusan, penulis berharap semoga dapat memberikan manfaat dalam membangun keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.

Surabaya, Juli 2011


(6)

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

SUMMARY... xi

RINGKASAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 11

BAB II. TELAAH PUSTAKA ... 13

2.1 Penelitian Terdahulu ... 13

2.2 Landasan Teori ... 17

2.2.1 Tebu ... 17

2.2.2 Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu…. ... 19

2.2.3 Kondisi Gula Jawa Timur ... 22

2.2.4 Agribisnis Tebu ... 23

2.2.5 Sejarah Industri Gula Indonesia ... 27

2.2.6 Kinerja ... 30

2.2.6.1 Definisi Kinerja ... 30

2.2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja 31 2.2.6.3 Penilaian Kinerja ... 32

2.2.7 Kelembagaan ... 33

2.2.8 Ekonomi Kelembagaan ... 36

2.2.9 Peranan Kelembagaan Terhadap Agribisnis Tebu ... 39


(7)

3.4 Jenis Data………. ... 61

3.5 Definisi Operasional………. ... 62

3.6 Metode Analisis Data………. ... 64

3.7 Keabsahan Data ………. ... 65

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITAN……….. 67

4.1 Profil PG Gempolkrep Mojokerto ... 67

4.1.1 Kondisi Geografis di PG Gempolkrep ... 67

4.1.2 Sejarah PG Gempolkrep Mojokerto………. 69

4.1.3 Bentuk Badan Usaha ... 71

4.1.4 Visi, Misi dan Tujuan Perusahaan ... 71

4.1.5 Karakteristik Perusahaan ... 72

4.2 Profil Tentang InformanPenelitian ... 76

4.3 Kegiatan Budidaya Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep ... 82

4.3.1 Pengolahan Tanah ... 82

4.3.1.1 Sistem Reynoso ... 83

4.3.1.2 Sistem Bajak (Mekanisasi) ... 83

4.3.2 Persiapan Bibit ... 84

4.3.3 Penanaman ... 88

4.3.4 Pemeliharaan ... 89

4.3.5 Taksasi Produksi ... 90

4.3.6 Panen ... 90

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 95

5.1 Analisis Informan Dalam Penelitian ... 95

5.2 Mekanisme Kelembagaan Pada PG Gempolkrep ... 99

5.2.1 Mekanisme Pengajuan Sebagai Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep ... 99


(8)

5.2.4 Mekanisme Pelunasan Kredit Oleh Petani Tebu

di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…..………..…. 116 5.3 Kelembagaan Agribisnis Tebu PG Gempolkrep ... 118 5.3.1 Deskripsi Ekonomi Kelembagaan Agribisnis Tebu 118 5.3.2 Deskripsi Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu ... 121 5.3.3 Lembaga Bersifat Makro ... 126 5.3.3.1 Peranan dan Kinerja PG Gempolkrep ... 126 5.3.3.2 Peranan dan Kinerja Petani PG Gempolkrep132 5.3.3.3 Peranan dan Kinerja APTR (Asosiasi

Petani Tebu Rakyat)……….. ... 137 5.3.3.4 Peranan dan Kinerja Koperasi ... 140 5.3.3.5 Peranan dan Kinerja Bank Pelaksana/ Bank

Pemberi Kredit ... 147 5.3.3.6 Peranan Forum Temu Kemitraan (FTK) ... 149 5.3.3.7 Peranan Forum Temu Kemitraan Wilayah

(FTKW) ... 150 5.3.4 Lembaga Bersifat Mikro ... 151 5.3.4.1 Peranan dan Kinerja PTPN X (Persero) .... 151 5.3.4.2 Peranan dan Kinerja Dinas Perkebunan

Propinsi Jawa Timur ... 153 5.3.4.3 Peranan dan Kinerja Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Mojokerto ... 156 5.3.4.4 Peranan dan Kinerja Investor ... 160 5.3.4.5 Peranan dan Kinerja Distributor Pupuk .... 162 5.3.4.6 Peranan dan Kinerja Dinas Koperasi dan

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 164 5.3.4.7 Peranan dan Kinerja Dinas Perhubungan,


(9)

5.3.4.10 Peranan dan Kinerja Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya171 5.4 Rincian Ketidaksesuaian Kelembagaan Agribisnis Tebu di

PG Gempolkrep ... 173

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 183

6.1 Kesimpulan ... 183

6.2 Saran ... 184

DAFTAR PUSTAKA ... 187


(10)

Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Tebu di Indonesia Tahun

2002-2009... 5 Tabel 2. Luas Lahan dan Tonase Tebu Giling PG Gempolkrep Tahun

2006-2010 ... 8 Tabel 3. Inventarisasi Tebu Tegakan MT. 2010/2011……….…. 9 Tabel 4. Komposisi Tebu ... 19 Tabel 5. Perkembangan Luas Areal Perkebunan, Produksi, dan Produk-

tivitas Tebu Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 – 2009…..……… 21 Tabel 6. Luas Perkebunan Tebu di Kabupaten Mojokerto Tahun

2008 – 2010………. 21 Tabel 7. Produksi, Produktivitas Gula, dan Rendemen di Jawa Timur Tahun 2004 – 2009………... 23 Tabel 8. Ikhtisar Ekonomi Neoklasik dan Ekonomi Kelembagaan………. 38 Tabel 9. Data Kapasitas Giling PG Gempolkrep Tahun 2003-2010...……. 68 Tabel 10. Data Luas Lahan TS dan TR PG Gempolkrep Tahun 2003-2010.. 73 Tabel 11. Pembagian Prosentase Tebu dan Tetes Berdasarkan Perhitungan

Bagi Hasil Efektif (PBHE) Antara Petani Tebu dan PTPN X

(Persero) Tahun 2010…….………. 75 Tabel 12. Pedoman Penyelenggaraan Pembibitan dan Masa Tanam…………. 88 Tabel 13. Informasi Usia, Pengalaman/ Masa Kerja dan Latar Belakang

Pendidikan Informan………... 96 Tabel 14. Daftar KPTR Penerima Kredit PMUK Wilayah Kerja PG

Gempolkrep………...…… 103 Tabel 15. Rincian Kegiatan Pokok Program Swasembada Gula Nasional

dan Lembaga Penanggung Jawab Kegiatan……..………... 124 Tabel 16. Daftar Nama Pabrik Gula PTPN X (Persero) dan Target 2011…… 126 Tabel 17. Peranan dan Kinerja PG Gempolkrep Terhadap Lembaga Lain….. 128 Tabel 18. Data Jumlah Petani dan Kisaran Luas Lahan Petani PG Gempolkrep 132


(11)

Tabel 21. Daftar Koperasi Wilayah Kerja PG Gempolkrep………...………… 141 Tabel 22. Peranan dan Kinerja Koperasi Terhadap Lembaga Lain...………… 142 Tabel 23. Plafon Kredit dan Realisasi TR MT. 2010/2011….……...………… 147 Tabel 24. Peranan dan Kinerja Bank Pelaksana/ Bank Pemberi Kredit Terhadap Lembaga Lain……….………..……...……….. 148 Tabel 25. Peranan dan Kinerja PTPN X (Persero) Terhadap Lembaga Lain… 152 Tabel 26. Peranan dan Kinerja Disbun Prop. Jawa Timur Terhadap Lembaga Lain……… 154 Tabel 27. Daftar Nama Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Dishutbun

Kab. Mojokerto Wilayah PG Gempolkrep Tahun 2010-2011…...… 157 Tabel 28. Peranan dan Kinerja Dishutbun Kab. Mojokerto Terhadap Lembaga Lain……….... 158 Tabel 29. Peranan dan Kinerja Investor Terhadap Lembaga Lain ……… 161 Tabel 30. Proporsi Pupuk di Wilayah Kerja PG Gempolkrep..………. 163 Tabel 31. Peranan dan Kinerja Distributor Terhadap Lembaga Lain……...…. 163 Tabel 32. Peranan dan Kinerja Dinas Koperasi & UMKM Terhadap Lembaga Lain……… 165 Tabel 33. Peranan dan Kinerja Dishubkominfo Kabupaten Mojokerto Terhadap Lembaga Lain……… 167 Tabel 34. Peranan dan Kinerja P3GI Terhadap Lembaga Lain…….……...…. 168 Tabel 35. Peranan dan Kinerja LPP Terhadap Lembaga Lain…………..…… 170 Tabel 36. Peranan dan Kinerja BBP2TP Surabaya Terhadap Lembaga Lain… 171 Tabel 37. Rincian Ketidaksesuaian Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu


(12)

Gambar 1. Skema Penelitian Ertaningrum, 2007 ... 14

Gambar 2. Skema Penelitian Singgih, 2009... 15

Gambar 3. Skema Penelitian Saptana dkk, 2003 ... 17

Gambar 4. Tanaman Tebu ... 18

Gambar 5. Pertanian Sebagai Sistem Agribisnis. ... 25

Gambar 6. Keterkaitan dalam Sistem Agribisnis ... 27

Gambar 7. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian ... 58

Gambar 8. Proses Panen Tebu Giling ... 91

Gambar 9. Tebu Hasil Panen Siap Digiling ... 92

Gambar 10. Informasi Informan Berdasarkan Usia ... 97

Gambar 11. Informasi Informan Berdasarkan Pengalaman/ Masa Kerja ... 97

Gambar 12. Informasi Informan Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan .... 98

Gambar 13. Mekanisme Pengajuan Sebagai Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep……..………. 100

Gambar 14. Skema Kelembagaan Dalam Fasilitas Dana PMUK…………. 104

Gambar 15. Mekanisme Pengajuan Kredit Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 111

Gambar 16. Mekanisme Pencairan Kredit Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 113

Gambar 17. Mekanisme Pencairan Kredit Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 115

Gambar 18. Mekanisme Pelunasan Kredit Oleh Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 117

Gambar 19. Skema Model Kelembagaan Pengembangan Agribisnis Tebu di PG. Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur…..………. 120

Gambar 20. Mekanisme Pelelangan Gula dan Tetes Tebu……..…………... 146

Gambar 21. Rekomendasi Skema Kelembagaan Pengembangan Agribisnis Tebu di PG. Gempolkrep Berdasarkan Ketidaksesuaian Yang Terjadi………. 181


(13)

1 Pointer Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu ... 190

2 Uraian Kegiatan Program Swasembada Gula ... 191

3 Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara X (PERSERO) ... 197

4 Struktur Organisasi Bagian Tanaman PG Gempolkrep ... 198

5 Uraian Tugas PG Gempolkrep ... 199

6 Standar Fisik Pabrik Gula 1987 ... 206

7 Perjanjian Kerjasama Antara Kelompok Tani dengan PG Gempolkrep dan Koperasi... 207


(14)

Indonesia has long been known to have a big potency as estate crop producer. In 2006, the Government of Indonesia (GoI) has determined to direct national sugar program to achieve self sufficiency. This target was not easy to reach due to the inefficiency within the organization of sugar industries in almost all levels.

Organizational performance is indispensable in sugar agribusiness. Sugar agribusiness is basically a sugarcane based agribusiness which is carried out with the collaboration between sugar factory as the sugar manufacturer (off-farm) and the sugarcane farmers as the supplier of crude materials (on-farm). Therfore, sugar factories have all the interests in assisting the farmers on-farm to generate the off-farm continuity of crude materials for the factory.

Until 2006, Mojokerto District developed sugarcane plantation to reach the area of 10,476.6 hectare counted for 22.18% from the total potential land to be planted with estate crops. Almost all of the sugarcane produced by the district and the adjacent area (part of Jombang and Lamongan Districts) is processed in Gempolkrep Sugar Factory, which belongs to PT. Perkebunan Nusantara X Persero.

The purpose of the study is to describe and analyse the organizational performance of sugar agribusiness in Gempolkrep Sugar Factory of Mojokerto, East Java.

The result of the study described that Gempolkrep agribusiness organization as a macro organization composed of the Gempolkrep itself as sugar factory, sugarcane farmers (SF/PTR), bank as the creditor, cooperation and the association of sugarcane farmers (ASF/APTK). Micro organizations connected to these macro organizations are PT. PTPN X (Persero), Dinas Perkebunan (Disbun) of East Java Province, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) of Mojokerto District, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi of Mojokerto District, Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) of Mojokerto District, Fertilizer Distributor of KPTR of East Java, the investor as the buyer of sugar and mollases, the Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta and Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya.

The analyses of organizational performance of Gempolkrep Sugar Factory has found the inappropriateness, which is needed to be improved to achieve an effective performance through the following steps: (1) to restore the function of the cooperation as the initiator of definite plan of groups necessities (RDKK); (2) to restore the function of sugar and mollases selling authority to the ASF; (3) immidiately replacing the former ASF organizer to improve its effectiveness; (4) to restore the Partnerships Meeting (PM/FTK) organizer to the Dishutbun of Mojokerto District and (5) to improve the coordination and communication as to create a better link to conduct the government program of sustainable development and finding immidiate solution to the problems.

A good coordination and communication among the stakeholders in order to apply the ”rule of the games” are the key factors to create a better and effective agribusiness performance of Gempolkrep Sugar Factory.


(15)

Indonesia memiliki potensi menjadi produsen tanaman perkebunan. Pada tahun 2006 pemerintah memiliki tekad untuk mengarahkan pergulaan nasional melalui pendekatan swasembada gula. Tekad ini sangat sulit dicapai mengingat terjadinya ketidakefisiesian kelembagaan di hampir semua level pada industri gula.

Kelembagaan sangat dibutuhkan pada penerapan pelaksanaan agribisnis tebu. Agribisnis tebu adalah kegiatan agribisnis berbasis tanaman tebu yang diusahakan dengan cara kerja sama antara pabrik gula sebagai pengolah bahan baku tebu ( off-farm) dan petani sebagai penyedia/ pemasok bahan baku tebu (on-farm). Pabrik gula sangat berkepentingan untuk membantu petani secara on-farm sebagai jaminan adanya bahan baku tebu yang diolah dipabriknya off-farm.

Kabupaten Mojokerto pada tahun 2010 memiliki lahan yang ditanamani tebu seluas 10.478,6 Ha atau 22,18% dari total luas areal potensial perkebunan di Kabupaten Mojokerto. Tanaman tebu yang ada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya (Kotamadya Mojokerto, sebagian Kabupaten Jombang dan sebagian Kabupaten Lamongan) umumnya digiling di Pabrik Gula (PG) Gempolkrep milik PT. Perkebunan Nusantara X (Persero).

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis kinerja kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur.

Hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep, yaitu lembaga yang bersifat makro terdiri dari PG Gempolkrep sendiri, petani tebu rakyat (PTR), Bank pemberi kredit/ Bank Pelaksana, Koperasi dan APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat), sedangkan lembaga yang bersifat mikro yaitu PT. PTPN X (Persero), Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi Jawa Timur, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Mojokerto, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Mojokerto, Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kabupaten Mojokerto, Distributor Pupuk KPTR Jatim, Investor pembeli gula dan tetes, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta serta Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya.

Hasil analisis kinerja pada kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep ditemukan ketidaksesuai. Sehingga langkah yang harus dilakukan antara lain : (1) mengembalikan tugas pembuatan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) kepada koperasi agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (2) mengembalikan tugas penjualan gula dan tetes tebu kepada APTR agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (3) segera melakukan pembentukan kepengurusan APTR baru, agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (4) mengembalikan tugas penyelenggaraan FTK (Forum Temu Kemitraan) kepada Dishutbun Kabupaten Mojokerto agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (5) perbaikan dalam segi koordinasi dan komunikasi agar permasalahan dapat terselesaikan, dan program pemerintah untuk mendukung pertumbuhan perkebunan berkelanjutan benar-benar terlaksana.

Dibutuhkan koordinasi dan komunikasi yang baik antar masing-masing lembaga, sehingga rules of the game (aturan main) dapat nampak jelas diaplikasikan oleh semua lembaga dan kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep berjalan lebih efektif.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan menurut Undang-Undang No.18 Tahun 2005 adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Indonesia memiliki potensi menjadi produsen tanaman perkebunan dunia karena dukungan agroekosistem, luas lahan dan tenaga kerja. Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dim1930-ana jumlah pabrik gula y1930-ang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14,8 % dan rendemen mencapai 11,0 – 13,8 %. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Sudana dkk, 2000).


(17)

Pamor Indonesia yang pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua dunia setelah Kuba, secara berangsur menurun menjadi negara importir gula, saat ini Indonesia menjadi importir terbesar pertama di Asia dan terbesar kedua dunia setelah Rusia (Nainggolan, 2007).,

Pada tahun 2006 pemerintah mulai memiliki tekad untuk mengarahkan pergulaan nasional melalui pendekatan swasembada gula

sugar self sufficiency, berdasarkan Road Map Swasembada Gula Nasional 2006-2009. Swasembada gula adalah suatu negara yang produksi gula berbasis tebunya secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestik. Namun tekad ini sangat sulit dicapai mengingat terjadinya ketidakefisiesian kelembagaan di hampir semua level pada industri gula. Adapun salah satu faktor utama yang menyebabkan ketidakefektifan adalah aturan main (rules of the game), baik itu aturan formal (kontrak, lembaga, hukum, sistem politik, pasar), maupun aturan informal (tradisi, sistem nilai, norma) dan prosedur penegakan yang melingkupinya kurang mendukung (Ertaningrum, 2007).

Penurunan kinerja industri gula dipengaruhi oleh ketidakefektifan kinerja petani yang menyebabkan penurunan produktivitas tebu dan pada pabrik gula. Terjadinya produktivitas yang rendah dikarenakan teknologi yang digunakan oleh pabrik gula masih dikatakan konvensional karena masih ada yang menggunakan mesin-mesin dan lori-lori peninggalan Belanda yang kurang layak pakai sehingga menyebabkan ketidakefektifan (Ertaningrum, 2007).


(18)

Ketidakefektifan kinerja dapat dikurangi apabila aturan main kelembagaan yang tersedia dalam kegiatan agribisnis tebu telah berjalan efektif. Kelembagaan merupakan aturan yang dijadikan pegangan bagi setiap anggota dalam melakukan kegiatan. Salah satu kegiatan masyarakat pedesaan adalah bertani, sehingga kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat akan mencerminkan pola usahatani masyarakat tersebut (Gunawan, 1989). Sedangkan menurut Soentoro (2002), kelembagaan mengandung dua pengertian yaitu disebut institusi atau pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai organisasi lebih mudah dikenali dalam bentuk nyata seperti KUD, Bank, Pemerintah, dan sebagainya. Sedangkan pengertian kelembagaan sebagai pranata dapat dikenali melalui pemahaman unsur-unsurnya.

Kelembagaan sangat dibutuhkan pada penerapan pelaksanaan agribisnis tebu. Agribisnis tebu adalah kegiatan agribisnis berbasis tanaman tebu yang diusahakan dengan cara kerja sama antara pabrik gula sebagai pengolah bahan baku tebu (off-farm) dan petani sebagai penyedia/ pemasok bahan baku tebu (on-farm). Pabrik gula sangat berkepentingan untuk membantu petani secara on-farm sebagai jaminan adanya bahan baku tebu yang diolah dipabriknya secara off-farm.

Pemerintah memiliki kewajiban dalam membantu mewujudkan kerja sama yang baik dan saling menguntungkan diantara kedua belah pihak, baik petani tebu maupun pabrik gula. Oleh karena itu pemerintah


(19)

mengeluarkan instrumen kebijakan yang mengatur hak dan kewajiban daripada kedua belah pihak tersebut (Arifin, 2000).

Salah satu titik lemah sistem agribisnis di Indonesia adalah absennya organisasi ekonomi petani yang kokoh sebagai salah satu ciri pertanian modern. Petani cenderung berusaha sendiri-sendiri, serta bergantung pada bantuan pemerintah dan pelaku usaha lainnya seperti pabrikan, pedagang dan pemilik modal. Model individual seperti ini menjadi tidak efisien karena harus mendatangkan input dalam volume kecil, serta juga mengalami masalah dalam peningkatan produktivitas, mutu hasil, pemasaran, akses ke teknologi dan permodalan.

Berbicara mengenai gula tentu saja tidak dapat dilepaskan dari bahan baku utama pembuatnya yaitu tebu. Tanaman tebu adalah tanaman perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, artinya dari tanaman tersebut dapat diambil manfaat sebanyak mungkin, tidak hanya saripatinya yang dijadikan gula, namun masih banyak hasil sampingnya seperti : tetes, ampas, blotong, pucuk tebu yang juga memiliki nilai ekonomi (Yulistyati, 2009).

Sejak tahun 2002 luas total areal tanaman tebu di Indonesia relatif tetap sekitar 300 ribu hingga 400 ribu Ha, dimana lebih dari 60 % diantaranya berada di Pulau Jawa (Tabel 1). Tahun 2009, luas areal tebu mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini dimungkinkan karena beralih fungsinya areal potensial perkebunan menjadi pemukiman dan sebagainya.


(20)

Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Tebu di Indonesia Tahun 2002-2009.

Tahun Luas Areal (Ha)

Jawa Luar Jawa Total

2002 226.405,32 122.390,00 348.795,32 2003 208.021,93 129.158,75 337.180,68 2004 214.417,71 127.167,54 341.585,25 2005 240.036,30 142.678,40 382.714,70 2006 247.891,60 148.849,30 396.740,90 2007 274.177,70 152.033,90 426.151,50 2008 277.928,91 154.525,50 432.454,41 2009 262.917,58 146.372,99 409.290,57 Sumber : Data Primer Bagian Bidang Usaha P3GI, 2010

Pada tahun 2009 Jawa Timur merupakan propinsi penyumbang luas areal tebu terbesar di Indonesia dengan 186.025,65 Ha. Tahun 2009 sekitar 45,45% areal tebu Indonesia atau 70,75% areal tebu Jawa berada di Propinsi Jawa Timur. Jawa Timur memiliki sharing product antara 30% sampai dengan 40% terhadap total produk nasional yang dipasok dari 31 pabrik gula, yaitu PTPN X, PTPN XI, PT. RNI, PT. Candi Baru dan PT. Kebon Agung. Menurut Santoso, dkk (2006), Propinsi Jawa Timur juga memiliki permasalahan pergulaan yang tidak jauh berbeda yaitu : (1) menurunnya produktivitas tebu; (2) menurunnya kinerja pabrik gula; (3) menurunnya peran lembaga pendukung (penelitian, keuangan, distribusi agro input).

Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu wilayah perkebunan di Jawa Timur yang secara administratif terdiri atas 18 Kecamatan dan 304


(21)

Desa. Luas wilayah Kabupaten Mojokerto secara keseluruhan adalah 69.215 Ha, dengan 47.265 Ha adalah luas baku lahan sawah dan lahan tegalan yang potensial untuk tanaman perkebunan.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mojokerto komoditas perkebunan yang cocok ditanam di wilayah Kabupaten Mojokerto antara lain; Kapuk Randu, Kopi, Cengkeh, Tembakau, Kapas, Kelapa dan Tebu. Khusus luas lahan tebu pada tahun 2008 seluas 10.125,6 Ha; tahun 2009 seluas 9.896,0 Ha; dan tahun 2010 seluas 10.478,6 Ha atau 22,18% dari total luas areal potensial perkebunan di Kabupaten Mojokerto.

Tanaman tebu yang ada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya (Kotamadya Mojokerto, sebagian Kabupaten Jombang dan sebagian Kabupaten Lamongan) umumnya digiling di Pabrik Gula (PG) Gempolkrep milik PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) yang terletak di Desa Gempolkrep Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa Timur. Data Departemen Pertanian pada tahun 2009, PTPN X (Persero) memberikan kontribusi terbesar dengan 29,87% dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional di Indonesia.

Kontribusi PTPN X (Persero) yang besar menunjukkan kinerja yang telah dicapai. Pengertian kinerja menurut Anonim (2011)b, merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Sedangkan menurut Faustino Cardosa Gomes


(22)

efisiensi, serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas. Sedangkan kinerja PG Gempolkrep pada musim tanam tahun 2009/2010 memiliki target tertinggi dari beberapa pabrik gula di PTPN X yaitu seluas 12.798,127 Ha dengan tebu yang akan digiling 1.098.123,1 ton.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang “Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu (Studi Kasus di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur)”.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum permasalahan pergulaan yang dihadapi oleh industri gula sangat kompleks baik dari on-farm maupun off-farm. Disisi on-farm

masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas gula yang saat ini hanya mencapai kisaran 6 ton/Ha, serta ketersediaan lahan yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi lahan. Sedangkan pada sisi off-farm dengan bertambahnya umur pabrik terjadi penurunan efisiensi pabrik yang memerlukan penggantian peralatan yang terkendala oleh terbatasnya ketersediaan dana investasi.

Permasalahan industri gula dapat dikategorikan, menjadi : (1) Tidak efisiennya produksi pada tingkat petani tebu, (2) Tidak efisiennya produksi pada tingkat pabrik gula, (3) Struktur ekonomi dan kelembagaan yang tidak efisien pada hubungan antara petani dan pabrik gula.

Ketidakefektifan struktur ekonomi kelembagaan dapat ditunjukkan dengan masih kurangnya kemampuan dalam menggalang jaringan


(23)

kerjasama suatu kelembagaan yang solid. Tabel 2. akan menunjukkan salah satu kasus kelembagaan agribisnis, yaitu ketidakberhasilan PG Gempolkrep dalam menggiling tebu sesuai targetnya. Tebu yang digiling masih belum 100% berarti dipastikan terdapat potensi tebu petani yang masih dapat dioptimalkan untuk peningkatan produktivitas pabrik gula. Tabel 2. Luas Lahan dan Tonase Tebu Giling PG Gempolkrep Tahun 2006-2010

Tahun

Target Realisasi Selisih Tebu Yang

Digiling Dengan Target (%)

Luas (Ha) Tebu (Ton) Luas (Ha) Tebu (Ton)

2006 12.156,904 1.050.572,0 9.578,281 910.228,4 86,64 2007 12.365,442 1.034.156,8 11.791,550 1.137.295,3 109,97 2008 13.356,544 1.157.246,8 10.920,883 1.008.506,9 87,15 2009 12.068,783 1.138.872,8 10.353,887 888.970,2 78,06 2010 12.798,127 1.098.123,1 12.594,408 1.048.023,4 95,44

Rata-rata selisih tebu yang digiling dengan target (%) 91,45 Sumber : Data Primer Bagian Tanaman PG Gempolkrep, 2011

Keefisiensian kelembagaan harus dipandang sebagai instrumen strategi untuk mencapai keberhasilan. Sistem kelembagaan atau kemitraan awalnya dibangun melalui Inpres No. 9 tahun 1975 yaitu adanya hubungan bisnis antara petani dan pabrik gula yang saling menguntungkan, tetapi pada akhirnya justru menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan petani terhadap pabrik gula, demikian juga sebaliknya pabrik gula terhadap petani.

Ketidakpuasan petani terjadi pada bentuk pelayanan yang mungkin berbelit-belit, adanya rendemen yang dipermainkan, sistem bagi hasil


(24)

kurang baik, pembagian tonase tebu yang harus disetorkan dan pada gilirannya pendapatan petani yang kurang menguntungkan. Disisi lain, pabrik gula menganggap petani tidak lagi menanam tebunya dengan baku teknis, petani menanam tebu hanya sesuai keinginannya tanpa menghiraukan saran pabrik gula yang berharap banyak dari tebu yang dihasilkan petani, sehingga produktivitas dan produksi tebunya sangat rendah. Akibat selanjutnya adalah pasokan bahan baku sangat kurang, rendemen rendah tidak sesuai harapan dan pada akhirnya hari dan target tonase tebu giling tidak terpenuhi.

Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa adanya beberapa petani tegakan (petani yang belum terdaftar memiliki kontrak dengan pabrik gula) di wilayah areal PG Gempolkrep yang harusnya dapat menutupi perbedaan persentase target dan realisasi produksi tebu giling.

Tabel 3. Inventarisasi Tebu Tegakan MT. 2010/2011

No. Kecamatan Kabupaten

Petani Terdaftar Petani Tegakan Peluang Tebu Tegakan

(%) Luas (Ha) Tebu

(Ton) Luas (Ha)

Tebu (Ton)

1 Ploso Jombang 81.974 6.304,5 9.375 595,3 8,63 2 Kudu Jombang 278.589 22.100,2 27.778 1.819,5 7,61 3 Ngusikan Jombang 342.245 28.089,6 157.396 10.702,9 27,59 4 Kesamben Jombang 631.824 54.086,7 393.479 27.937,0 34,06 5 Sumobito Jombang 684.587 62.349,9 123.521 9.325,8 13,01 6 Mojoagung Jombang 500.035 44.499,7 201.757 14.829,1 24,99 7 Mantup Lamongan 744.458 52.208,4 374.534 21.723,0 29,38 8 Kebang Bahu Lamongan 428.928 32.348,7 226.335 14.145,9 30,42 9 Kemlagi Mojokerto 904.281 77.558,8 838.651 59.544,2 43,43 10 Gedeg Mojokerto 622.550 57.547,7 541.957 40.646,8 41.39 11 Sooko Mojokerto 600.000 54.990,6 84.883 6.451,1 10,50 12

Kota;

Prajurit Kulon, Magersari

Kota

Mojokerto 329.584 28.907,0 5.253 380,8 1,30 13 Mojoanyar Mojokerto 365.826 30.630,6 58.328 4.024,6 11,61 14 Jetis Mojokerto 919.723 84.221,0 554.712 42.158,1 33,36 15 Dawar Mojokerto 695.071 59.443,0 342.517 24.318,7 29,03


(25)

No. Kecamatan Kabupaten

Petani Terdaftar Petani Tegakan Peluang Tebu Tegakan

(%) Luas (Ha) Tebu

(Ton) Luas (Ha)

Tebu (Ton)

17 Jatirejo Mojokerto 705.685 55.082,1 242.619 15.648,9 22,12 18 Dlanggu Mojokerto 355.810 27.939,2 105.837 6.879,4 19,76 19 Puri Mojokerto 810.082 69.743,6 176.632 12.364,2 15,06 20 Trowulan Mojokerto 910.859 74.843,4 445.585 30.299,8 28,82

Rata-rata peluang tebu tegakan (%) 21,68

Sumber : Data Primer Bagian Tanaman PG Gempolkrep, 2011

Permasalahan petani tegakan merupakan salah satu bagian dari masalah kinerja kelembagaan agribisnis tebu. Petani memiliki kebebasan dalam memilih konsumen pembeli tebunya. Namun ketidakefektifan struktur ekonomi kelembagaan dalam menggalang jaringan kerjasama menjadikan persentase petani tegakan di wilayah areal PG Gempolkrep relatif tinggi, yaitu sebesar 21,68%. Dari uraian masalah di atas maka dibutuhkan pengembangan produksi tebu dan industri gula yang komprehensif, yang nantinya akan mendukung penataan kelembagaan yang sinergis. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji pada penelitian adalah :

Bagaimana kinerja kelembagaan agribisnis tebu dan pengaruhnya pada PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kinerja kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur.


(26)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi PG Gempolkrep agar dapat meningkatkan produktivitas, kapasitas dan kualitas teknis, serta kelembagaan dan manajerial pabrik sehingga dapat menyukseskan program swasembada gula. 2. Bagi Petani untuk memberikan informasi dan stimulus agar tetap

menanam tebu dengan input produksi dan budidaya yang tepat, sehingga memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang semakin meningkat, serta turut berperan serta menyukseskan program swasembada gula.

3. Bagi Pemerintah dan penentu kebijakan Instansi/ Lembaga lain dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam kebijakan-kebijakan pergulaan serta penataan kinerja kelembagaan agribisnis tebu, yang mengakomodasi kepentingan petani tebu, pabrik gula dan konsumen agar sama-sama tidak ada yang dirugikan.

4. Bagi pembaca dapat digunakan sebagai masukan untuk dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup upaya mempelajari industri gula di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur melalui pendekatan kelembagaan.


(27)

1. Pabrik Gula yang diteliti hanya di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur.

2. Petani yang diteliti adalah petani tebu yang memiliki kontrak dengan PG Gempolkrep yang berada di sebagian Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, sebagian Kabupaten Jombang dan sebagian Kabupaten Lamongan.

3. Komoditas yang dianalisis adalah tebu, bahan baku utama pembuatan gula.

4. Analisis Kelembagaan menggunakan Konsep Ekonomi Kelembagaan dengan pendekatan dalam arti institusi yang mengandung empat unsur pokok yaitu aturan main, pengaturan hak dan kewajiban, batas yuridikasi dan adanya sanksi.

5. Analisis Kinerja Kelembagaan menggunakan pendekatan dari tugas pokok dan fungsi lembaga yang berdasarkan visi, misi dan tujuan yang digunakan dalam pelaksanaan agribisnis tebu keterkaitannya dengan lembaga lain sesuai “Road Map Program Pemerintah Swasembada Gula 2006-2009”.


(28)

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ertaningrum (2007) dengan judul “Analisis Ekonomi Gula : Suatu Pendekatan Konsep Ekonomi Kelembagaan dan Matriks Analisis Kebijakan (Studi Kasus di PG Krebet Baru dan PG Kebon Agung, Kabupaten Malang)”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : (1) Mendeskripsikan aspek ekonomi kelembagaan pada industri gula di Malang mulai dari kelembagaan petani tebu sampai dengan pabrik gula; (2) Menganalisis perbedaan biaya usahatani dan biaya transaksi dari petani tebu kredit dan petani tebu bebas serta tingkat keunggulan komparatif dan kebijakan usahatani tebu; (3) Menganalisis biaya produksi dan biaya transaksi dari pabrik gula BUMN dan pabrik gula swasta yang terdiri dari produksi, pasar, manjerial dan biaya transaksi politik.

Hasil dari penelitian tersebut adalah sumber kredit petani tebu di Kabupaten Malang untuk petani kredit didapatkan dari koperasi atau pabrik gula, sedangkan untuk sumber dana petani bebas didapatkan dari pedagang perantara/ tengkulak dan tetangga atau keluarga. Dan pengembalian kreditnya dilakukan setelah masa panen. Biaya produksi yang dikeluarkan ada enam macam, yaitu : upah tenaga kerja, sewa traktor, bibit, pupuk, sewa lahan dan irigasi. Sedangkan biaya transaksi


(29)

pada petani tebu dapat dikategorikan sebagai berikut : pajak tanah, tebang-muat-angkut dan karung, fee Surat Perintah Tebang Angkut (SPTA), fee untuk pedagang perantara dan tengkulak, pesta adat, bunga kredit, selisih (marjin) bunga, kertas kerja, biaya korbanan dan keterlambatan kredit. Biaya transaksi yang dikeluarkan PG Krebet Baru lebih rendah daripada PG Kebon Agung, meskipun lebih rendah namun hampir 90 persen biaya transaksinya untuk manajerial. Bisa disimpulkan bahwa besarnya biaya dikarenakan sifat birokrasi Pabrik Gula BUMN masih sentralistik sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan sangat besar. Sedangkan besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan PG Kebon Agung adalah untuk biaya transaksi pasar agar pasokan bahan baku tebu berkesinambungan.

Skema penelitian :

Gambar 1. Skema Penelitian Ertaningrum, 2007 Pabrik Gula

BUMN

Pabrik Gula Swasta

Putani Tubu bubas Putani Tubu

krudit

Pabrik Gula di Malang Putani di Malang

Diduskripsikan burdasarkan aspuk ukonomi kulumbagaan

Dianalisis burdasarkan : 1. Biaya produksi 2. Biaya transaksi


(30)

Penelitian tentang kelembagaan juga dilakukan oleh Singgih (2009), dengan judul “Non Performing Loan (NPL) Pada Kredit Ketahanan Pangan (KKP) : Studi Kajian Ekonomi Kelembagaan”. Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) untuk memahami masalah-masalah kelembagaan dalam Non Performing Loan pada usahatani petani tebu dan padi; (2) untuk memahami komponen-komponen kelembagaan agar dapat mengurangi Non Performing Loan.

Penelitian tersebut dapat menyimpulkan bahwa berdasarkan temuan data di lapangan adanya lembaga penjamin dan pengawas menjadikan kelembagaan yang terdapat pada usahatani tanaman tebu lebih solid sehingga menjadikan usahatani tanaman tebu memiliki nilai Non Performing Loan yang rendah. Dan juga keterkaitan antar lembaga dalam usahatani tanaman tebu menjadikan biaya pengawasan dan penjaminan menjadi rendah sehingga transaksi yang timbul semakin efisien dan keterkaitan kelembagaan tersebut dapat mengurangi resiko kredit macet yang timbul.

Skema penelitian :

Gambar 2. Skema Penelitian Singgih, 2009 Putani Tubu Kab. Lumajang Putani Padi Kab. Lumajang

Diduskripsikan masalah-masalah kulumbagaan yang mumpungaruhi Non Performing Loan

Dianalisis fungsi puran kulumbagaan dalam munyulusaikan masalah-masalah agar mungurangi Non Performing Loan


(31)

Penelitian terdahulu mengenai kelembagaan lainnya dilakukan oleh Saptana, dkk (2003) dengan judul “Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras di Jawa Barat”. Dalam penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kinerja kelembagaan agribisnis beras dan merumuskan alternatif model kelembagaan pengembangan agribisnis beras.

Kinerja kelembagaan agribisnis beras di Jawa Barat dapat ditinjau dari : (1) Keragaan sumber daya lahan; (2) Kelembagaan pengadaan saprodi; (3) Aplikasi teknologi petani dan kelembagaan di tingkat petani; (4) Kelembagaan panen dan penanganan pasca panen; dan (5) Kelembagaan pemasaran dan distribusi.

Berdasarkan analisis keragaan dan kelembagaan agribisnis beras di Jawa Barat menunjukkan bahwa dari aspek teknik budidaya, masyarakat petani sudah melakukan budidaya dengan relatif baik. Implikasi kebijakan penting yang perlu ditempuh dalam rangka perbaikan agribisnis beras antara lain adalah (1) Meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil melalui perbaikan benih dan teknologi budidaya; (2) Membangkitkan kembali peranan kelembagaan lokal guna meningkatkan efisien dan efektivitas transfer teknologi, dalam pengadaan input serta pemasaran hasil; (3) Kebijakan insentif berupa investasi publik di tingkat pedesaan (infrastruktur irigasi, jalan usahatani, kecermatan pasca panen, infrastruktur pasar), kredit program, serta penyediaan teknologi spesifik lokasi; (4) Kebijakan tarif, sepanjang masih dalam kesepakatan GATT; (5) Reposisi dan revitalisasi kelembagaan Bulog/ Dolog; (6) Membangkitkan


(32)

lagi pasar untuk segmen PNS, TNI dan POLRI dengan semangat otonomi daerah dan nasionalisme melalui jaminan kualitas produk.

Skema penelitian :

Gambar 3. Skema Penelitian Saptana, dkk (2003)

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Tebu

Bahan baku utama untuk memproduksi gula adalah tebu. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam pembangunan sub sektor perkebunan antara lain untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor penghasil devisa negara (Anonim, 2010d).

Tebu sebagai bahan baku industri gula diharapkan dapat memenuhi persyaratan kuantitas maupun kualitasnya. Dengan lahirnya Inpres No. 5 Tahun 1998 maka penanaman tebu dengan mengikuti program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dihapuskan. Hal tersebut

Agribisnis Buras di Jawa Barat

Kuragaan Sumbur Daya

Lahan

Lumbaga Pungadaan

Saprodi

Aplikasi Tuknologi

Lumbaga Panun & Pasca Panun

Lumbaga Pumasaran & Distribusi

Diduskripsikan puran masing-masing lumbaga, guna : 1. Muningkatkan produktivitas dan kualitas hasil 2. Mumbangkitkan puran kulumbagaan guna

muningkatkan transfur tuknologi

3. Mumpurbaiki kubijakan insuntif dan kubijakan tariff 4. Mumbangkitkan pasar untuk sugmun lain


(33)

didukung oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang membebaskan petani menanam komoditi yang ingin ditanamnya maka hal ini akan mengusik pemenuhan bahan baku tebu sepanjang musim giling.

Teknologi budidaya tebu yang selalu diperbaharui merupakan pendukung tercapainya industri gula yang dapat memenuhi kebutuhan gula secara mandiri. Dalam rangkaian industri gula, proses produksi bahan baku yang akan diolah sangat menentukan industri gula tersebut sebab itu memerlukan perhatian khusus. Pemilihan varietas yang tepat khususnya untuk usahatani tebu akan sangat meningkatkan kepercayaan dan minat petani dalam membudidayakan tebu.

Pabrik gula sangat diuntungkan bila petani berminat dalam berusahatani dengan mutu bahan baku yang mampu bersaing, dipandang dari keamanan pasok bahan baku dengan memberikan jaminan kepada petani untuk mendapatkan keuntungan dari usahataninya.

Gambar 4. Tanaman Tebu

Tanaman tebu hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak


(34)

ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Daun tebu yang kering memiliki biomassa yang mempunyai nilai kalori tinggi. Biasanya digunakan sebagai bahan bakar memasak. Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses produksi dan pembangkit listrik (Anonim, 2007). Komposisi tebu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Tebu

Komponen Persentase (%)

Sabut 12,5

Nira : 87,5

a. Air 65,6-70

b. Bahan kering : 17,5-21,8

1. Bahan terlarut 3,2-4,4

2. Bahan tidak terlarut 0,4-1,1

Sumber : Anonim, 1992.

2.2.2. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu

Luas areal tanaman perkebunan tebu di Jawa Timur cenderung meningkat, namun produktivitas tebu terus menurun. Dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas tebu serta mendukung keberhasilan Program Swasembada Gula Nasional, di Jawa Timur sejak


(35)

tahun 2001 dilaksanakan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional hingga saat ini.

Secara garis besar Program Akselerasi diimplementasikan melalui tiga kegiatan, yaitu bongkar ratoon, penguatan kelembagaan, dan rehabilitasi pabrik gula. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja industri gula nasional agar mampu menghasilkan gula secara efisien serta dapat menutupi kebutuhan dalam negeri. Program yang sudah berjalan meliputi kegiatan bongkar ratoon diikuti dengan pemakaian varietas unggul baru, pengairan, penyediaan kredit ketahanan pangan untuk petani tebu, serta upaya penguatan modal usaha kelompok/ koperasi tebu rakyat.

Kegiatan program bongkar ratoon prinsipnya adalah merehabilitasi tanaman tebu yang telah dikepras berulang-ulang, keprasan maksimal yang ditoleransi adalah sebanyak 3 (tiga) kali. Bongkar ratoon diprioritaskan pada tanaman tebu yang dikepras lebih dari 3 kali. Tanaman dibongkar kemudian diganti dengan tanaman tebu baru. Bibit tanaman tebu penganti merupakan varietas unggul bersertifikat dan direkomendasikan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).

Berdasarkan program diatas Propinsi Jawa Timur masih terus berusaha untuk meningkatkan produktivitas tebu guna menyukseskan Program Swasembada Gula Nasional. Berikut ini adalah data perkembangan areal, produksi, dan produktivitas tebu di Jawa Timur dalam kurun waktu 2004 – 2009 :


(36)

Tabel 5. Perkembangan Luas Areal Perkebunan, Produksi, dan Produktivitas Tebu Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 - 2009

Tahun Luas Areal (Ha) Tebu

Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ Ha) 2004 150.132,09 12.664.376,37 84,35

2005 169.336,99 15.506.586,00 91,57 2006 173.830,14 14.968.431,00 86,11 2007 197.056,65 17.425.615,50 88,43 2008 200.821,90 16.015.546,37 79,75 2009 186.025,65 14.732.643,10 79,20

Sumber : Data Primer Disbun Propinsi Jawa Timur Bagian Usahatani, 2010 Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu wilayah perkebunan tebu di Propinsi Jawa Timur. Luas tanam perkebunan tebu di Kabupaten Mojokerto semakin tahun menunjukkan peningkatan dan dapat dilihat dalam Tabel 6.

Tabel 6. Luas Perkebunan Tebu di Kabupaten Mojokerto Tahun 2008 – 2010

No Kecamatan Tahun (Ha)

2008 2009 2010

1 Puri 934,20 848,10 1.100,40

2 Sooko 531,70 555,90 879,00

3 Trowulan 1.108,20 1.011,10 1.257,00

4 Bangsal 357,70 396,20 325,05

5 Mojoanyar 428,60 339,10 416,20

6 Gedeg 961,70 672,40 928,30

7 Kemlagi 1.194,60 890,20 1.208,70

8 Dawar Blandong 600,80 1.087,30 667,80

9 Jetis 837,80 796,00 1.262,80

10 Mojosari 142,40 193,10 183,86

11 Pungging 270,60 219,90 180,15

12 Ngoro 332,20 338,70 345,17

13 Kutorejo 185,90 202,60 197,48

14 Dlanggu 487,20 337,40 393,70

15 Pacet 124,60 339,40 129,93

16 Jatirejo 820,30 1.215,80 706,00

17 Gondang 345,20 420,40 259,60

18 Trawas 425,90 32,50 37,50

JUMLAH 10.125,60 9.896,00 10.478,635

Sumber : Data Primer Dishutbun Kab. Mojokerto Bagian Sarana Produksi, 2010


(37)

2.2.3. Kondisi Gula Jawa Timur

Rendahnya produksi gula nasional antara lain disebabkan tidak efisiennya pabrik-pabrik gula. Pada tahun 2006 telah dicanangkan Gerakan Peningkatan Rendemen Tebu di Jawa Timur untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu sehingga mampu mendukung keberhasilan Program Swasembada Gula Nasional. Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Gerakan Peningkatan Rendemen Tebu di Jawa Timur yang ditetapkan di Surabaya tanggal 28 Agustus 2006, merupakan landasan operasional bagi gerakan tersebut, dalam pelaksanaannya didasari pula pada keterpaduan dan harmonisasi pelaku praktisi gula, khususnya antara petani dan pabrik gula (PG). Upaya peningkatan rendemen tebu mencakup aspek teknis di bidang on-farm (meliputi penataan varietas, pemupukan, kontrak giling, dan monitoring perencanaan tebangan tebu dengan aplikasi pertanian terukur); Tebang Angkut; dan off-farm.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) juga memberikan gambaran bahwa upaya swasembada gula akan dicapai, walaupun hal tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Upaya untuk melakukan swasembada gula dapat dilakukan dengan cara : (1) meningkatkan efisiensi usaha tani; (2) memperbaiki sistem penyaluran sarana produksi; (3) menerapkan usaha tani terpadu; (4) membina sistem kelompok tani dan koperasi; dan (5) meningkatkan peran


(38)

serta petani dalam usaha tani tebu. Berikut data produksi, produktivitas gula, dan rendemen di Jawa Timur dapat dilihat di Tabel 7.

Tabel 7. Produksi, Produktivitas Gula, dan Rendemen di Jawa Timur Tahun 2004 - 2009

Tahun Gula Rendemen (%)

Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ Ha)

2004 921.178,00 6,14 7,27

2005 1.048.734,47 6,19 6,76

2006 1.099.186,38 6,32 7,34

2007 1.205.997,40 6,12 6,92

2008 1.245.207,69 6,20 7,77

2009 1.079.236,68 5,80 7,33

Sumber : Data Primer Disbun Propinsi Jawa Timur Bagian Usahatani, 2010

2.2.4. Agribisnis Tebu

Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu agribisnis penting di Indonesia, karena gula memegang peranan penting dalam ekonomi pangan di Indonesia.

Saragih dan Khrisnamrti dalam Mardikanto (2005) menyatakan agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengusahaan tumbuhan dan hewan (komoditas pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang berorientasi terhadap pasar (bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan pengusaha sendiri) dan perolehan nilai tambah.

Agribisnis memiliki dua konsep pokok. Pertama, agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif dan terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu: Sub sistem pengadaan sarana produksi pertanian; Sub sistem budidaya usaha tani; Sub sistem pengolahan dan


(39)

industri hasil pertanian (agroindusri); Sub sistem pemasaran hasil pertanian; dan Sub sistem kelembagaan penunjang kegiatan pertanian, seperti penelitian, penyuluhan, pembiayaan, konstruksi, transportasi, dan jasa lainnya. Sebagian sub sistem pertama dan ketiga, serta sub sistem kedua merupakan on-farm agribusiness. Kedua, agribisnis merupakan suatu konsep yang menempatkan kegiatan pertanian sebagai suatu kegiatan yang utuh dan komprehensif, sekaligus sebagai suatu konsep untuk dapat menelaah dan menjawab berbagai masalah tantangan, dan kendala yang dihadapi pembangunan pertanian sekaligus juga untuk dapat menilai keberhasilan pembangunan pertanian serta pengaruhnya terhadap pembangunan nasional secara lebih tepat. Merupakan off-farm agribusiness (Mardikanto, 2005).

Kegiatan pertanian yang dipandang sebagai suatu kegiatan agribisnis dinilai merupakan cara yang tepat dalam menghadapi berbagai perkembangan yang terjadi saat ini dan dimasa yang akan datang, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Jadi, agribisnis merupakan cara baru memandang pertanian (agribusiness as a new way to look agriculture), sehingga dalam kaitannya dengan struktur perekonomian nasional, kiranya perlu dilihat peran intersektoral dalam sistem agribisnis (khususnya pertanian, perdagangan, industri, dan lembaga keuangan) untuk mendapatkan gambaran mengenai peran sektor pertanian (Mardikanto, 2005).


(40)

Gambar 5. Pertanian Sebagai Sistem Agribisnis (Mardikanto, 2005) Agribisnis tebu merupakan kegiatan agribisnis berbasis tanaman tebu yang diusahakan dengan cara kerja sama antara pabrik gula sebagai pengolah bahan baku tebu (off-farm) dan petani sebagai penyedia/ pemasok bahan baku tebu (on-farm). Dalam rangka menjalin kerja sama tersebut pemerintah berkewajiban membantu mewujudkan kerja sama yang baik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Untuk maksud tersebut maka pemerintah mengeluarkan instrumen kebijakan yang mengatur hak dan kewajiban daripada kedua belah pihak.

Menurut Arifin (2000) tebu merupakan salah satu komoditas agribisnis Indonesia yang menghadapi permasalahan struktural sejak zaman pemerintah penjajahan Belanda sampai zaman transisi demokrasi seperti sekarang. Dominasi birokrasi terlalu banyak mewarnai kebijakan produksi dan perdagangan gula nasional, bukan prinsip-prinsip mekanisme pasar yang menjunjung tinggi asas keadilan bagi segenap pelakunya. Program pemerintah yang dituangkan dalam GBHN, ditunjang

PENGA DAAN INPUT BUDI DAYA PENGO LAHAN HASIL PEMA SARAN HASIL JASA LAIN PEMBIA YAAN TRANS POR TASI PENE LITIAN KONS TRUKSI PENYU LUHAN


(41)

dengan penerapan konsep agribisnis diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan di sektor pertanian sehingga mengimbangi pertumbuhan di sektor industri (Wijaya, 1996).

Pengertian agribisnis diberikan oleh Davis and Goldberg (1957) yaitu : agribusiness included all operations involved in the manufacture and distribution of farm supllies; production operations on the farm, the storage, processing and distribution of farm commodities made from them, trading (whosaler, retailers), consumers to it, all non farm firm and institution serving them. Sistem agribisnis yang lengkap merupakan suatu gugusan industri (industrial cluster) yang terdiri dari empat subsistem, yaitu (1) subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yakni seluruh industri yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer, seperti industri pembibitan/ perbenihan, industri agro-kimia, industri agro-otomotif, agri-mekanik, dan lain-lain; (2) subsistem agribisnis budidaya/ usahatani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang menggunakan sarana produksi untuk menghasilkan komoditas pertanian pertanian primer (farm product); (3) subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness) yakni industri yang mengolah industri primer menjadi produk olahan beserta kegiatan perdagangannya; dan (4) subsistem jasa penunjang (supporting system agribusiness) yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga subsistem di atas seperti infrastruktur, transportasi (fisik, normatif), perkreditan, penelitian dan pengembangan,


(42)

pendidikan pelatihan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain (Saptana dkk, 2003). Secara sederhana sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Keterkaitan dalam Sistem Agribisnis 2.2.5. Sejarah Industri Gula Indonesia

Departemen Pertanian (2002) menyatakan bahwa sejarah industri gula di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode. Pada periode sebelum tahun 1930, industri gula di Indonesia telah dimulai sejak abad 16 oleh penduduk keturunan Cina. Setelah dikuasai Belanda, industri gula mulai maju, namun pada abad 19 muncul penyakit sereh yang menghancurkan semua jenis tebu, dan baru bisa diatasi setelah POJ (sekarang menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula, P3GI) berhasil menemukan varietas tebu POJ 2878, industri gula pun maju pesat, dan berhasil mencapai tingkat produksi 3 juta ton pada tahun 1930 dan menjadikan Indonesia negara eksportir gula terbesar dunia setelah Kuba, ketika itu budidaya tebu dilakukan dengan total luas areal 200.000 Ha.

Tahun 1930 berlalu, terjadi resesi dunia dan peralihan penjajahan, yang diikuti perang kemerdekaan pada tahun 1940-an. Hal ini membuat

Subsistem hulu (upstream agribusiness)

Subsistem usahatani (on-farm agribusiness)

Subsistem hilir (downstream agribusiness)

Subsistem jasa penunjang (supporting system)


(43)

industri gula Indonesia terpuruk karena banyak penghentian produksi di pabrik gula, maupun kerusakan lahan pertanian termasuk lahan tebu. Tahun 1957, pemerintah RI mengambil alih seluruh aset perusahaan asing di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan gula milik Belanda.

Pada tahun 1957, tataniaga industri gula sepenuhnya ditangani oleh pemerintah RI, dan pengelolaan serta usahatani tebu ditangani Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Industri gula Indonesia pada saat itu mulai membaik. Lahan untuk budidaya tebu diperoleh dengan cara menyewa sawah petani, sehingga periode ini disebut juga Periode Sistem Sewa. Untuk mengatasi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat, pada awal tahun 1970-an dikembangkan budidaya tebu lahan kering di Pulau Jawa, dan mulai dirintis proyek pengembangan industri gula di luar Jawa.

Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 1975, menyatakan terdapat perbedaan sistem usahatani tebu semula dari sistem sewa berubah menjadi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Sistem ini bertujuan agar petani tebu menjadi wiraswasta yang mampu berusaha sendiri dan mandiri, dalam kelompok tani maupun koperasi petani dan mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat, serta meningkatkan luas areal pertanaman tebu di Indonesia dan mempengaruhi peningkatan produktivitas gula Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaannya ditunjang dengan kebijakan lainnya berupa pemberiaan kredit kepada petani peserta, sistem bagi hasil, bimbingan teknis budidaya tebu, rehabilitasi dan pembangunan


(44)

pabrik gula dan perluasan areal tebu baik di lahan sawah maupun lahan kering, baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa.

Tataniaga gula sejak tahun 1975 dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), karena gula dianggap sebagai salah satu komoditas strategis selain beras. Sedangkan untuk harga dasarnya ditetapkan oleh pemerintah berupa harga provenue. Dengan sistem tataniaga dan penentapan seperti itu, maka petani tebu dan pelaku industri gula di Indonesia akan merasa terlindungi dari pasar dunia yang distorsif.

Pada tahun 1998, BULOG tidak lagi menangani tataniaga gula. Terbitnya Inpres No. 5 Tahun 1998, sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dihapuskan, sehingga jalinan hubungan kemitraan antara petani dan pabrik gula diatur oleh masing-masing pihak dalam hubungan kemitraan tersebut. Tataniaga gula selanjutnya diserahkan pada mekanisme pasar yang fluktuatif dan cenderung berupa dumping. Sedangkan harga gula disesuaikan dengan harga dunia, karena pemerintah sudah tidak lagi menetapkan harga provenue. Pada tahun tersebut terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang tidak mendukung eksistensi industri gula Indonesia, seperti penetapan tarif bea masuk gula impor nol persen, serta pembebasan proses impor gula terhadap importir swasta.

Pemerintah mengambil langkah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.634/MPP/Kep/9/2002, menetapkan bahwa impor gula hanya dapat dilakukan pihak produsen, dengan syarat dalam proses produksinya produsen tersebut menggunakan bahan baku


(45)

lebih dari 75 % dari tebu rakyat. Impor tersebut baru dapat dilakukan setelah harga gula petani mencapai Rp. 3.100 per Kg. Berdasarkan criteria tersebut, maka produsen yang dapat melakukan impor gula atau yang mendapat ijin import gula dalam bentuk Impor Terdaftar (IT) atau yang dikenal dengan "Sembilan Samuari" di antaranya adalah PTPN IX, X, dan XI, serta PT. Rajawali Nusantara Indonesia melalui importir swasta setelah melewati proses tender. Import mulai dijalankan pada tahun 2003. 2.2.6. Kinerja

2.2.6.1. Definisi Kinerja

Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para manajer kadang tidak memperhatikan bagaimana kinerja suatu organisasi tetapi tiba-tiba menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk yang terjadi di organisasi ini merupakan peringatan adanya kinerja yang merosot.

Kinerja memiliki banyak pengertian diantaranya kinerja menurut Sulistiyani (2003) dalam Anonim (2011)a, kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya, sedangkan menurut Hasibuan (2001) dalam Anonim (2011)a, mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurut Cushway (2002) dalam Anonim (2011)a, kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja


(46)

dibandingkan dengan target yang telah ditentukan. Menurut Witmore (1997) dalam Anonim (2011)a, kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Maka kinerja kelembagaan dapat dimengerti sebagai kondisi lembaga dan keterkaitannya dengan lembaga lain dalam menerapkan tugas dan fungsinya sebagaimana yang tertuang pada visi dan misi masing-masing lembaga/ instansi.

2.2.6.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ada beberapa, yaitu menurut Mathis (2001) dalam Anonim (2011)a, terdapat faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu: 1. Kemampuan mereka; 2. Motivasi; 3. Dukungan yang diterima; 4. Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan; dan 5. Hubungan mereka dengan organisasi. Kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi. Sedangkan menurut Gibson (1987) dalam Anonim (2011)a, ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja :


(47)

1. Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang; 2. Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja; 3. Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

2.2.6.3. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan atau baik buruknya kondisi organisasi. Menurut Cascio (1992) dalam Anonim (2011)a, penilaian kinerja adalah sebuah gambaran yang sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari seseorang atau suatu kelompok. Tujuan penilaian kinerja menurut Alwi (2001) dalam Anonim (2011)a, dapat dikategorikan sebagai suatu yang bersifat evaluation dan development. Sifat evaluation karena berupa penyelesaian : 1. Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi; 2. Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision; 3. Hasil penilaian digunakan sebagai dasar mengevaluasi sistem seleksi. Sedangkan yang bersifat development penilaian berupa penyelesaian : 1. Prestasi riil yang dicapai individu; 2. Kelemahan-kelemahan individu yang menghambat kinerja; serta 3. Prestasi - pestasi yang dikembangkan.


(48)

2.2.7. Kelembagaan

Kelembagaan merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang kerangka dasar perumusan kebijakan dan pembangunan pertanian untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan yang dimaksud disini adalah suatu aturan yang dikenal, diikuti dan ditegakkan secara baik oleh anggota masyarakat, yang member naungan dan hambatan constraints bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan memberi nafas dan ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya suatu organisasi, yang sebenarnya memiliki ruh kehidupan karena suatu kelembagaan.

Kelembagaan dibuat untuk membuat lancar, terjamin, teratur, dan mengurangi ketidakefisiensinya transaksi ekonomi. Menurut Johson (1989) dalam Singgih (2009), mengemukakan bahwa sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), teknologi dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian. Keempat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan untuk mencapai pembangunan yang dikehendaki. Artinya apabila salah satu atau lebih faktor tersebut tidak dipenuhi, maka tujuan untuk mencapai keadaan tertentu tidak akan terjadi.

Mubyarto (1997) dalam Singgih (2009), mengemukakan bahwa lembaga atau kelembagaan adalah organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota


(49)

masyarakat tertentu baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya mencapai tujuan tertentu.

Soentoro (2002) dalam Singgih (2009), kelembagaan mengandung dua pengertian yaitu disebut institusi atau pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai organisasi lebih mudah dikenali dalam bentuk nyata seperti Koperasi Unit Desa (KUD), bank, pemerintah, dan sebagainya. Sedangkan pengertian kelembagaan sebagai pranata dapat dikenali melalui pemahaman unsur-unsurnya.

Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan (1989) menyatakan kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Pakpahan (1989) mengemukakan suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 hal utama : (1) Batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary); (2) Hak kepemilikan (property right), dan (3) Aturan representasi (rule of representation).

Batasan yurisdiksi berarti hak hukum atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi. Oleh karena itu dalam mengembangkan kelembagaan dalam rangka pengembangan agribisnis harus jelas batas yurisdiksinya, sebagai ilustrasi apakah petani akan dilibatkan didasarkan atas pemilihan varietas,


(50)

bagaimana penggunaan pupuk, atau dalam satu-kesatuan teknik budidaya.

Konsep property atau pemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1990). Tidak seorang pun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Hak kepemilikan juga merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya (Schmid, 1960 dalam Pakpahan, 1990). Dalam konteks ini, apakah petani yang akan diikutsertakan adalah petani pemilik, penyewa, penggarap, atau siapa-siapa yang penting berstatus sebagai petani.

Aturan representasi (rule of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Dipandang dari segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Ongkos transaksi yang tinggi dapat menyebabkan output tidak bernilai untuk berproduksi. Oleh karena itu, perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan ongkos transaksi. Pergeseran sistem panen dengan kroyokan kearah sistem tebasan ternyata menurunkan biaya. Tubbs (1984) dan Hanel (1989) menyatakan bahwa pengambilan keputusan atas dasar grup proses akan meningkatkan


(51)

loyalitas, kerjasama, motovasi, dukungan anggota pada asosiasi dan mengurangi tekanan internal serta biaya transaksi yang pada akhirnya aka meningkatkan performa kelembagaan.

Menurut Challen dalam Yustika (2010), mengungkapkan beberapa karakteristik umum dari kelembagaan, yakni :

1. Kelembagaan secara social diorganisasi dan didukung (Scott, 1989), yang biasanya kelembagaan membedakan setiap rintangan-rintangan atas perilaku manusia, misalnya halangan biologis (biological constraints) dan rintangan fisik (physical constraints).

2. Kelembagaan adalah aturan-aturan formal dan konvensi informal, serta tata perilaku (codes of behavior) (North, 1990).

3. Kelembagaan secara perlahan-lahan berubah atas kegiatan-kegiatan yang telah dipandu maupun dihalangi.

4. Kelembagaan juga mengatur larangan-larangan (prohibitions) dan persyaratan-persyaratan (conditional permissions) (North, 1990). 2.2.8. Ekonomi Kelembagaan

Ekonomi kelembagaan menyelesaikan persoalan ekonomi yang spesifik sehingga dapat menghasilkan perbaikan yang signifikan. Lebih detail, ekonomi kelembagaan peduli dengan jawaban-jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan kebijakan publik. Dalam upaya pencarian penyelesaian atas problem praktis, pendekatan ekonomi kelembagaan mencoba untuk memberi pertimbangan terhadap seluruh aspek dari masalah tersebut : ekonomi, sosial, psikologi, sejarah, hukum, politik,


(52)

administrasi, dan bahkan teknik. Meskipun ekonomi kelembagaan (atau orang-orang yang menggunakannya) tidak ahli terhadap seluruh aspek tersebut, tetapi mereka wajib untuk memahami seluruh area bidang itu, yakni dengan jalan masuk ke dalam situasi/ masalah spesifik yang menjadi perhatiannya (Whitte, 1988 dalam Yustika, 2010).

Ekonomi kelembagaan menurut Pejovich (1995) dalam Yustika (2010), melibatkan interaksi manusia pada dua level yang berbeda, pertama adalah spesifikasi dan perkembangan kelembagaan, kedua adalah interaksi manusia dalam kelembagaan yang berlaku dan organisasi (baik didalam organisasi itu sendiri ataupun antar organisasi yang berbeda). Dalam konteks agribisnis, kelembagaan adalah aturan yang mempengaruhi pengaturan produksi perusahaan, penyediaan barang dan jasa, serta mengatur hubungan yang terjalin antar perusahaan. Peraturan perusahaan terdiri dari AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga), Peraturan, Pedoman dan Instruksi Kerja (INKA), serta Standar Praktek. Standar Praktek Industri adalah standar darurat dari struktur industri yang mencerminkan keputusan operasional yang dbuat diantara perusahaan-perusahaan pendukung kelembagaan.

Ekonomi kelembagaan mencakup dua arus hubungan (two-way relationship) : antara ekonomi (economics) dan kelembagaan (institutions). Maksudnya, pendekatan ini menguliti dampak dari kelembagaan terhadap ekonomi dan sebaliknya, serta pengembangan kelembagaan untuk merespon pengalaman-pengalaman ekonomi (economic experiences)


(53)

(Kasper dan Streit, 1998). Secara praktikal, aturan main (kelembagaan) yang tersedia dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing partisipan (Yustika, 2010).

Menurut Yustika (2010), Ahli kelembagaan berupaya keras untuk membuat eksplisit saling keterhubungan dan relasi timbal balik antara satu bagian dengan lainnya dan juga dengan keseluruhan. Ciri ekonomi kelembagaan bias ditandai dari tiga karakteristik berikut (Kapp, 1988) :

1. Adanya kritik umum terhadap anggapan awal (preconceptions) dan elemen normatif yang tersembunyi dari analisis ekonomi tradisional (konvensional).

2. Pandangan umum proses ekonomi sebagai sebuah sistem terbuka dan sebagia bagian dari jaringan sosio-kultural sebuah hubungan (socio-cultural network of relationship).

3. Penerimaan umum atas prinsip aliran sebab akibat (circular causation) sebagai hipotesa utama untuk menjelaskan proses ekonomi, termasuk proses keterbelakangan dan pembangunan.

Tabel 8. Ikhtisar Ekonomi Neoklasik dan Ekonomi Kelembagaan

Elemen Ekonomi Neoklasik Ekonomi Kelembagaan

Pendekatan Msterialistik Idealistik Satuan observasi Komoditas dan harga Transaksi

Tujuan individu Diri sendiri Diri sendiri dan orang lain Hubungan dgn

ilmu-ilmu sosial lain

Hanya ilmu ekonomi Hampir semua ilmu social Konsep nilai Nilai dalam pertukaran Nilai dalam penggunaan Konsep ekonomi Mirip ilmu-ilmu alam Pendekatan budaya Falsafah Pra-Dewey Pasca-Dewey


(1)

184

1. Kegiatan pembuatan RDKK yang tidak dilakukan oleh koperasi, selama ini dilakukan oleh petugas PG Gempolkrep.

2. Kegiatan penjualan gula dan tetes tebu yang dilakukan oleh koperasi, seharusnya dilakukan oleh lembaga APTR.

3. Pembentukan kepengurusan baru APTR yang tertunda, sehingga tugas dan fungsinya menjadi overlapping oleh peran koperasi di masing-masing wilayah.

4. Penyelenggaraan FTK, dimana PG Gempolkrep memiliki double

fungsi, yaitu sebagai Ketua dan Sekertaris FTK yang berdampak kurang fokusnya fungsi yang dijalankan. Seharusnya Dishutbun Kabupaten Mojokerto bisa menjalankan fungsinya sebagai Sekertaris Forum yang mewakili pemerintah dalam pengembangan perkebunan di wilayah Kabupaten Mojokerto dan sebagai pengawal pelaksanaan program akselerasi peningkatan produktivitas gula, yang merupan

perwujudan Road Map Program Swasembada Gula Nasional

2006-2009.

5. Penyaluran subsidi pupuk yang tidak dipenuhi oleh Distributor Pupuk KPTR Jatim, sehingga tidak memudahkan petani dalam pemenuhan kebutuhan pupuk.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, maka dapat disarankan, yaitu :


(2)

• Setelah ditemukan ketidaksesuaian dalam penerapan kelembagaan

agribisnis tebu di wilayah kerja PG Gempolkrep, maka :

1. Mengembalikan tugas pembuatan RDKK kepada koperasi agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif.

2. Mengembalikan tugas penjualan gula dan tetes tebu kepada APTR agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif.

3. Segera melakukan pembentukan kepengurusan APTR baru, agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif.

4. Mengembalikan tugas penyelenggaraan FTK kepada Dishutbun Kabupaten Mojokerto agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif.

5. Perbaikan dalam segi koordinasi dan komunikasi agar permasalahan dapat terselesaikan, dan program pemerintah untuk mendukung pertumbuhan perkebunan berkelanjutan benar-benar terlaksana.

• Dibutuhkan koordinasi dan komunikasi yang baik antar masing-masing

lembaga, rules of the game (aturan main) dapat nampak jelas dan diterima oleh lembaga-lembaga yang menjalankan kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep, sehingga kelembagaan agribisnis tebu dapat berjalan lebih efektif.

• Dibutuhkan kesadaran dari lembaga dalam menerapkan Sistem

Manajemen Mutu, sehingga tugas dan fungsi lembaga tersebut sesuai dengan Visi, Misi, dan Tujuan yang telah disepakati. Hal ini dapat meningkatkan penerapan kelembagaan agribisnis tebu. Apabila


(3)

186

masing-masing telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu yang baik, maka tidak akan terjadi tumpang tindih atau overlapping pekerjaan,

karena semua kegiatan telah didokumentasikan dalam SOP (Standart

Operational Procedure).

• Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, antara lain :

terdapat beberapa lembaga yang belum dijadikan informan, sehingga kinerja lembaga tersebut diasumsikan berdasarkan tanggapan kinerja dari lembaga-lembaga lain yang bermitra; uraian tugas dan fungsi di PG Gempolkrep masih belum terdokumentasikan secara baik, sehingga menyulitkan peneliti dalam mengaitkannya dengan lembaga lain yang bermitra.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1992. Majalah Perusahaan Gula. Edisi Th. XV No.34 Desember

1992. Hal 64-67. Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula. Pasuruan.

_______.2000. Usulan Sharing Merugikan Petani Tebu.

http://www.berita2.com/daerah/jawa-timur/6344-usulan-shari merugikan-petani-tebu.html. Diakses tanggal 6 Desember 2010.

_______.2002.Pembudiyaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. PT

Penebar Swasembada. Jakarta.

_______.2004. Manajemen dan Akuntansi Koperasi Petani Tebu

Rakyat. Proyek Pengembangan Tebu Jawa Timur. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur.

_______.2007. Gula. http://www.wikipedia.com/gula.Diakses tanggal 4 Juli 2007.

_______.2010a.Bank Pertanian.

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART 8-1b.pdf. Diakses tanggal 6 Desember 2010.

_______.2010b. Koperasi Petani Tebu Rakyat KPTR Dan Kantor

Swamitra. http://wikimapia.org/6421601/id/Koperasi-Petani-Tebu-Rakyat-KPTR-dan-Kantor-Swamitra. Diakses tanggal 6 Desember 2010.

_______.2010c. Model Kemitraan Antara Petani-Pabrik Gula-Investor

Alternatif Strategi Pergulaan Nasional. Kajian Literatur.

_______.2010d. Profil Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur.

http://www.disbunjatim.go.id Diakses tanggal 6 Desember 2010. _______.2010e. Profil PTPN. http://www.kpbptpn.co.id/profile.php?lang=0

Diakses tanggal 6 Desember 2010.

_______.2011a. Kinerja. http://id.wikipedia.org/wiki/kinerja.htm. Diakses tanggal 14 Juni 2011.

_______.2011b. Pengertian Kinerja.

http://sobatbarublogspot.com/2010/03/pengertian-kinerja.html.


(5)

189

_______.2011c. Visi dan Misi Bank Mandiri.

http://www.bankmandiri.co.id/article/265805761519.asp Diakses tanggal 16 Juni 2011.

_______.2011d. Visi dan Misi Bank Rakyat Indonesia.

http://www.bri.co.id/TentangKami/VisidanMisi/tabid/60/Default.aspx

Diakses tanggal 16 Juni 2011.

_______.2011e. Visi dan Misi P3GI.

http://sugarresearch.org/index.php/profil/visi-dan-misi Diakses tanggal 16 Juni 2011.

Arifin, Bustanul, 2000, Kebijakan Produksi dan Perdagangan Gula

Nasional : Suatu Telaahan Ekonomi Politik, Prosiding Kebijakan Industri Gula Indonesia, Halaman 1 – 11, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2006. Cetak Biru Road Map Swasembada Gula

Nasional 2009. Jakarta.

Ertaningrum, Yustitita Asri. 2007. Analisis Ekonomi Gula : Suatu

Pendekatan Konsep Ekonomi Kelembagaan dan Matriks Analisis Kebijakan (Studi Kasus di PG Krebet Baru dan PG Kebon Agung, Kabupaten Malang). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Hanel, A. 1989. Organisasi Koperasi : Pokok-Pokok Pikiran Mengenai

Organisasi Koperasi dan Kebijaksanaan Pengembangannya Di Negara-Negara Berkembang.Universitas Pajajaran. Bandung.

Mardikanto, Totok, 2005. Membangun Perubahan Modern. Diterbitkan

Kerja Sama lembaga Pengembanagan Pendididkan (LPP).

Nainggolan, Kaman. 2007. Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan

Gula. Jurnal. Jakarta.

Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa

Sosial Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas Evolusi Kelembagaan Pedesaan Di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.

Pakpahan, A. 1990. Permasalahan Dan Landasan Konseptual Dalam

Rekayasa Institusi (Koperasi). Makalah Disampaikan Pada Seminar Pengkajian Masalah Perkoperasian Nasional. Badan Litbang Koperasi Di Jakarta 23 Oktober 1990. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.


(6)

Rachman, Benny, Supriyati, Supena. 2003. Ekonomi Kelembagaan Sistem Usahatani Padi Di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Santoso, Kabul. Soetriono. Adi Prasongko. 2006. Sistem Pergulaan

Jawa Timur : Optimalisasi Produk, Distribusi Dan Kelembagaan. Jurnal. Surabaya.

Saptana, Susmono, Suwarto dan M. Nur. 2003. Kinerja Kelembagaan

Agribisnis Beras Di Jawa Barat. Peneliti dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor .

Saragih, Bungaran, 2000, Menggagas Strategi Pembangunan

Pertanian Dengan Paradigma Baku, Departemen Pertanian, Jakarta.

Singgih, Setyawan. 2009. Non Perfoming Loan (NPL)Pada Kredit

Ketahanan Pangan (KKP) : Studi Kajian Ekonomi Kelembagaan. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Soentoro, Nani Indiarto. 2002. Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi

di Jawa. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit IPB. Bogor.

Sudana, W.P.Simatupang, S.Friyanto,C.Muslim, dan T.Soelistiyo. 2000.

Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Sutardjo, R.M. Edhi . 1999. Budidaya Tanaman Tebu. Penerbit Bumi

Aksara. Jakarta.

Tubbs, S,L. 1984. A System Approach To Small Group Interaction

Second Edition. Addison Wesley Publishing Company. Massa Chusetts. 338 Halaman.

Yustika, Ahmad Erani. 2010. Ekonomi Kelembagaan Definisi, Teori,

dan Strategi. Bayumedia Publishing. Malang .

Yulistyati, Bagas. 2009. Strategi Pengembangan Industri Berbasis

Tebu di JawaTimur.

http://bagasyulistyatis.wordpress.com/2009/03/10/45. Diakses tanggal 5 November 2010.