lain: ikan kalang Padang, ikan maut Gayo, Aceh, ikan pintet Kalimantan Selatan, ikan keling Makasar, ikan cepi Bugis, ikan lele atau lindi Jawa
Tengah. Sedang di negara lain dikenal dengan nama mali Afrika, plamond Thailand, ikan keli Malaysia, gura magura Srilangka, ca tre trang Jepang.
Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish Prihatman 2000.
Ikan lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang
air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat
gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan Prihatman 2000. Olayemi et al. 2011 melaporkan bahwa ikan lele dumbo Clarias
gariepinus segar dengan ukuran rata-rata 332,48 gram mempunyai kandungan air 78,7; protein 16,24; lemak 0,5; abu 1,33 dan karbohidrat 0,92. Ikan lele
ini termasuk dalam kategori berprotein tinggi 15-20 dan berlemak rendah 5.
2.2 Struktur Daging Ikan
Daging ikan dibagi menjadi tiga tipe yaitu daging yang bergaris melintanglurik, daging polos dan otot jantung. Daging ikan hampir seluruhnya
terdiri dari daging bergaris melintang yang dibentuk oleh serabut-serabut daging. Daging ikan bergaris melintang dibagi menjadi dua berdasarkan warnanya yaitu
daging putih dan daging merah Adawayah 2008. Warna merah pada daging ikan disebabkan adanya gurat sisi lateral line
yang padat saraf. Saraf tersebut dilapisi dengan lemak dan dialiri pembuluh- pembuluh darah dan banyak mengandung lemak serta mioglobin. Perbedaan
warna pada daging ikan disebabkan adanya kandungan pigmen daging yang dikenal dengan mioglobin Adawayah 2008.
Ototdaging yang terletak di bagian punggung dan perut, merupakan jaringan pengikat yang terbanyak, dan tersusun oleh segmen-segmen yang disebut
miomer atau miotoma yang tampak seperti garis-garis zigzag. Miotoma sebenarnya merupakan jaringan pengikat, sedangkan miosepta adalah jaringan
pengikat yang lebih besar ukurannya, yang merupakan kumpulan-kumpulan
miotoma-miotoma. Penyusun miotoma adalah satu bendel daging yaitu endomiosin yang merupakan sel ototdaging ikan. Satu sel daging ikan tersusun
oleh benang-benang halus yang disebut miofibril. Antara miofibril satu dengan lainnya terdapat cairan sel yang disebut sarkoplasma Hadiwiyoto 1993.
2.3 Protein Ikan
Protein ikan, misal kebanyakan otot daging bahan pangan lainnya diklasifikasikan menjadi tipe sarkoplasma, miofibril, dan stroma.
Protein sarkoplasma, terutama albumin menyusun kira-kira 30 dari total protein otot.
Proporsi sarkoplasma yang besar tersebut tersususun atas haemoprotein. Daging anjing laut terdiri dari 10 mioglobin dan haemoglobin, akibatnya dagingnya
berwarna sangat gelap. Protein miofibril dalam daging terdiri dari miosin, aktin, aktomiosin dan troponin dan berjumlah 40-60 dari kandungan total protein ikan.
Protein otot yang terakhir adalah stroma yang merupakan penyusun bahan kolagen Shahidi dan Botta 1994.
2.3.1 Sarkoplasma
Protein sarkoplasma terdiri dari protein larut air yang disebut miogen. Protein ini dapat diperoleh dengan cara yang sederhana yaitu dengan melakukan
pressing pada daging ikan atau melalui ekstraksi dengan larutan garam berkekuatan ion rendah. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan bervariasi
tergantung pada spesies ikan, tetapi pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis misalnya sarden dan mackerel, dan rendah pada ikan demersal misal ikan kakap
Suzuki 1981. Keberadaan jumlah mioglobin, haemoglobin, dan cytochrome C yang lebih besar pada daging merah menyebabkan kecenderungan daging
berwarna lebih gelap. Lebih jauh lagi, spesies ikan dari perairanlaut dingin mengandung protein dengan karakteristik tertentu yang berfungsi sebagai protein
antibeku antifreeze protein dan glikoprotein yang termasuk dalam grup sarkoplasma Shahidi dan Botta 1994.
Protein sarkoplasma kebanyakan mempunyai berat molekul yang rendah, pH isoelektrik yang tinggi dan struktur yang globular. Karakteristik fisik tersebut
kemungkinan bertanggung jawab terhadap kelarutan protein yang tinggi pada air dan larutan garam Nakai dan Modler 2000. Enzim pada sarkoplasma
bertanggung jawab terhadap proses pembusukan ikan setelah mati. Enzim ini terdiri dari golongan enzim glikolisis dan hidrolisis. Berbagai enzim proteinase
ditemukan pada fraksi sarkoplasma yang mungkin bertindak sebagai katalisator dalam degradasi komponen nitrogen jaringan daging. Aktivitas enzim ini
tergantung pada spesies ikan, tipe jaringan otot, faktor musim, dan lingkungan Shahidi dan Botta 1994.
Konformasi, denaturasi termal, dan sifat reologi dinamis protein sarkoplasma sangat dipengaruhi oleh pH.
Protein sarkoplasma ikan patin mengalami unfolding dan terkena residu hidrofobik lebih besar pada pH yang
sangat basa 10-12 dibandingkan pada pH asam pH 2-3. Interaksi hidrofobik protein sarkoplasma meningkat pada pH sangat asam pH 2-4. Selain itu,
pembentukan ikatan disulfida sangat baik pada kondisi asam pH 2-4 maupun basa pH 10-12. Denaturasi panas protein sarkoplasma pada pH 7,0 terjadi pada
suhu yang relatif tinggi 67,7 dan 85,8 °C Tadpitchayangkoon 2010.
2.3.2 Protein miofibrilar
Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari miosin, aktin dan protein regulasi misal tropomiosin, troponin dan aktinin
Suzuki 1981. Menurut Nakai dan Modler 2000, berdasarkan peranannya dalam fisiologis dan struktur jaringan hidup, protein miofibril dapat dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: 1
Protein kontraktil utama, termasuk di dalamnya adalah miosin dan aktin yang bertanggung jawab secara langsung pada kontraksi otot dan sebagai
rangkakekuatan bagi protein miofibril. 2
Protein regulasi, terdiri dari tropomiosin, troponin kompleks dan beberapa protein minor lainnya yang terlibat dalam inisiasi dan kontrol pada kontraksi.
3 Protein sitoskeletalrangka, termasuk diantaranya titin atau konektin,
C-protein, desmin dan beberapa komponen minor lainnya, protein ini menyediakan struktur pendukung dan bisa berfungsi untuk menjaga deretan
miofibril. Kandungan potein miofibrilar sebesar 66-77 dari total protein daging
ikan dan berperan penting dalam pembentukan gel dan koagulasi ketika daging ikan diproses atau diolah. Daging ikan mengandung protein miofibrilar yang
lebih tinggi dibandingkan daging mamalia Suzuki 1981. Protein ini dapat diekstrak dari ikan dengan menggunakan larutan garam dengan kekuatan ion
0,3-1 Debye. Protein miofibrilar mengalami perubahan selama proses rigor mortis, resolusi rigor mortis dan penyimpanan beku dalam waktu yang lama.
Tekstur produk perikanan dan kemampuan pembentukan gel pada daging lumat dan surimi juga dipengaruhi oleh kondisi tersebut Shahidi dan Botta 1994.
Protein miofibril terutama terdiri dari miosin rantai berat myosin heavy chain MHC
200 kDa dan aktin 42 kDa serta protein kecil lainnya, misalnya α- aktinin 100 kDa dan tropomiosin 34 kDa Cao et al. 2006.
2.3.2.1 Miosin
Miosin adalah fraksi protein miofibril yang paling besar pada daging ikan dan memberi kontribusi sebesar 50-60 dari jumlah total. Molekul miosin
terdiri dari 2 rantai berat heavy chains 200 dan 240 kD yang berhubungan secara non kovalen dengan 2 pasang rantai ringan light chains 16-28 kD
Shahidi dan Botta 1994. Setengah karboksil terminal dari rantai berat terdiri dari kumparan
melingkar-urutan yang membentuk homodimerizes untuk membentuk batang yang panjang yang biasanya diakhiri dengan segmen non-heliks pendek Hodge
et al. 1992 diacu dalam Wang 2011 dan memiliki dua kepala globular yang terpasang pada salah satu terminal yang terbentuk oleh amino-terminal MHCs
myosin heavy chains dan MyLCs myosin light chains Wang 2011. Gambar 2 menjelaskan molekul miosin yang terdiri dari rantai ringan LMM light
meromyosin dan rantai berat HMM heavy meromyosin.
Gambar 2 Molekul miosin King 2011.
Pemecahan myosin heavy chain MHC diketahui sebagai penyebab utama fenomena modori degradasi gel pada produk jeli ikan yang disebabkan oleh suhu
sekitar 55 °C. Myiosin heavy chain berperan penting dalam pembentukan gel. Degradasi MHC biasanya disebabkan oleh enzim endogenous proteinase.
Myiosin heavy chain lebih mudah terdegradasi oleh endogenous proteinase dibandingkan protein miofibril yang lain Cao et al. 2006.
2.3.2.2 Aktin
Aktin menyusun kurang lebih 22 dari massa miofibril dengan berat molekul 42.000 dalton. Biasanya, dalam jaringan otot aktin dikaitkan dengan
troponin dan tropomiosin kompleks. Protein miofibrilar ini juga terdiri dari
sebuah sisi pengikat miosin miosin binding site, yang memungkinkan untuk membentuk kompleks miosin yang bersifat sementara selama kontraksi otot atau
kompleks aktin miosin yang permanen selama rigor mortis di dalam post mortem Xiong 1997 diacu dalam Balange 2009. Bentuk monomer aktin disebut G-aktin
dan setelah polimerisasi, filamen aktin terbentuk dan disebut sebagai F-aktin. Dua F-aktin dalam bentuk heliks disebut super heliks Foegeding et al. 1996 diacu
dalam Balange 2009. Di dalam otot, aktomiosin berada dalam bentuk aktin dan miosin. Aktin
dan miosin mudah diekstrak dari daging ikan dengan larutan garam karena keduanya bergabung membentuk aktomiosin di dalam larutan Suzuki 1981.
Yongsawatdigul dan Sinsuwan 2007 melaporkan bahwa gelasi aktomiosin ikan nila dipengaruhi oleh ion Ca
2+
melalui 2 cara yang berbeda. Pertama, Ca
2+
mengaktifkan endogenous TGase yang mendorong pembentukan ikatan silang ε-γ-glutamillisin. Kedua, Ca
2+
menyebabkan struktur aktomiosin terbuka unfolding myosin dan mengakibatkan meningkatnya permukaan hidrofobik.
Keduanya berperan penting dalam pembentukan gel pada suhu seting 40 °C dan
meningkatkan tekstur gel pada ikan.
2.3.3 Stroma
Sebagaimana protein miofibrilar, protein stroma juga merupakan protein struktural dan terdiri dari jaringan yang menghubungkan sel otot, bundel serat dan
otot. Protein ini juga menyediakan struktur pendukung dalam pembentukan
tulang, ligamen dan tendon Nakai dan Modler 2000.
Residu dari ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril adalah stroma yang terdiri dari kolagen dan elastin pada jaringan ikat. Stroma larut dalam larutan HCl
dan NaOH dan memberi kontribusi 10 dari protein kasar crude muscle protein. Shahidi dan Botta 1994. Stroma ini sering disebut protein jaringan pengikat
yang banyak terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang terdapat pada sarkolema atau bagian-bagian tubuh yang lain tapi jumlahnya tidak
banyak. Kolagen dan elastin merupakan protein jaringan pengikat yang berguna untuk mempertahankan struktur fisik. Jika kolagen dipanaskan dalam air, maka
kolagen dapat berubah menjadi gelatin. Penyusun kolagen adalah asam-asam amino penyusun protein, tetapi tidak mengandung triptopan, sistin dan sistein.
Meskipun demikian protein stroma tidak larut walaupun dalam cairan berkekuatan ion tinggi. Protein stroma banyak terdapat pada daging merah daripada daging
putih Hadiwiyoto 1993. Kandungan kolagen tergantung pada spesies, kebiasaan makan dan tingkat
kematangan ikan. Pada umumnya, daging ikan terdiri dari 0,2 sampai 2,2 kolagen Sato et al. 1986 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994. Meskipun
kandungan kolagen yang lebih tinggi akan memberi kontribusi pada kekerasan daging, namun pada ikan tidak cukup berarti. Akan tetapi, pada beberapa spesies
cumi-cumi dapat meningkatkan tekstur keras dan kenyal pada proses pemanasan Shahidi dan Botta 1994.
2.4 Sifat Fungsional Protein
Protein adalah komponen fungsional dasar dari berbagai produk olahan makanan yang berprotein tinggi dan menentukan sifat tekstur, sensorik dan nutrisi
bahan pangan. Bahan pangan menghasilkan berbagai jenis protein yang berbeda struktur, sifat fisik, kimia dan fungsionalnya serta derajat sensitifnya terhadap
panas dan perlakuan lainnya. Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein yang mempengaruhi perilaku di dalam sistem bahan pangan selama
persiapan, proses, penyimpanan, konsumsi dan menyumbangkan sifat kualitas dan sensorik pada sistem bahan pangan. Sifat fungsional protein yang paling penting
dalam aplikasi pangan adalah hidrofilik, contohnya kelarutan protein, swelling dan kapasitas retensi air, foaming properties dan kemampuan pembentukan gel
gelling capacity; hidrofilik-hidrofobik, contohnya emulsifikasi dan foaming; hidrofobik, contohnya fat binding properties Zayas 1997.
Sifat fungsional protein dapat diartikan sebagai sifat fisikokimia protein selama proses yang mempengaruhi kualitas dan stabilitas produk akhir makanan.
Pada proses pengolahan daging, fungsionalitas protein biasanya dijelaskan dalam istilah hidrasi, sifat permukaan, ikatan dan kinerja rheologi.
Sifat fungsional protein ini ditentukan oleh interaksi antara protein, lemak, air dan komponen
makanan lainnya atau oleh faktor lingkungan. Kemampuan untuk membentuk gel yang kompak dan untuk mengemulsi lemak adalah dua hal terpenting dalam sifat
fungsional protein pada proses pengolahan makanan yang berbahan baku daging Nakai dan Modler 2000.
2.4.1 Pembentukan gelgelasi gelation
Kemampuan pembentukan gel gelling capacity protein bahan pangan merupakan sebuah atribut fungsional yang penting dalam produksi makanan.
Gelling capacity adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein makanan. Karakteristik dari beberapa bahan pangan khususnya tekstur
dan juiciness ditentukan oleh kemampuan pembentukan gel gelling capacity dari protein Zayas 1997.
Pembentukan struktur gel protein dapat terjadi di bawah kondisi yang mengganggu struktur protein alami yang tersedia dimana konsentrasi protein,
kondisi termodinamika dan kondisi lainnya optimal untuk pembentukan matriks tersier. Teknik proses pangan yang paling penting berhubungan dengan gelasi
protein melibatkan kation divalent kalsium dan atau perlakuan panas. Gel akan terbentuk ketika sebagian dari protein terbukatidak terlipat unfolded menjadi
ruas-ruas polipeptida yang tidak berbelit uncoiled kemudian bereaksi pada titik tertentu membentuk sebuah jaringan ikatan silang tiga dimensi. Sebagian protein
yang tidak berlipat unfolding dengan sedikit perubahan struktur sekunder diperlukan untuk pembentukan gelgelasi.
Terbentuknya bagian yang tidak terlipat dari struktur alaminya bisa berhubungan dengan beberapa faktor,
pemanasan dan perlakuan asam, basa dan urea Zayas 1997. Gelasi protein adalah proses fisikokimia yang terjadi karena interaksi
protein dengan protein yang tersusun secara teratur sehingga terbentuk atau
dihasilkan jaringan tiga dimensi viskoelastis yang mampu menahan air dalam jumlah besar. Gelasi protein daging biasanya disebabkan oleh panas, sebagai
contoh terjadi pada proses pengolahan daging selama pemasakan dan didahului dengan pendinginan. Pembentukan matriks gel hasil dari ikatan silang atau
agregasi dari polipeptida yang tidak terlipat melalui interaksi hidrofobik dan elektrostatik, jembatanikatan disulfida dan ikatan hidrogen Nakai dan Modler
2000. Proses gelasi tergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein
sebagai hasil interaksi antara protein dengan protein dan protein dengan pelarut solvent. Interaksi dan gelasi ini dipercepat pada konsentrasi protein yang tinggi
karena kontak intermolekuler lebih kuat. Gel dengan kekuatan dan stabilitas yang tinggi dapat dibentuk sebagai hasil ikatan silang yang memberikan sifat fluiditas,
elastisitas dan aliran gel. Pembentukan gel adalah sebuah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ionik, kekuatan Van der Waals dan ikatan
kovalen disulfida Zayas 1997. Struktur gel protein bertanggung jawab pada pola pemecahan yang disebut
sebagai tekstur makanan. Misalnya, kekerasan hardness, dianggap sebagai kekuatan menggigit yang diperlukan untuk menyebabkan suatu bahan menjadi
patah merupakan atribut sensorik umum pada makanan dengan struktur gel, misal keju, makanan penutup berbahan gelatin, tahu dan daging olahan surimi, sosis
dan lain-lain. Fungsionalitas protein untuk gelasi terdiri dari a kondisi untuk gelasi termasuk konsentrasi protein dan faktor-faktor untuk meningkatkan
interaksi antarmolekul; b interaksi protein dengan komponen lain misal polimer di atas atau di bawah binodal; dan c interaksi protein dan protein yang mengarah
ke fase mikro atau sistem fase tunggal. Kondisi tersebut tergantung pada ukuran dan bentuk protein, titik isoelektrik, jenis interaksi antarmolekul dan distribusi
struktural bermuatan, asam amino hidrofobik dan lainnya, serta kondisi pelarut Foegeding dan Davis 2011.
Gelasi adalah
sifat fungsional penting dari
protein ikan yang
mempengaruhi sifat rheologi dan tekstur produk perikanan. Pembentukan gel melibatkan denaturasi parsial protein diikuti dengan agregasi ireversibel yang
menghasilkan jaringan tiga dimensi. Miosin jumlahnya berlimpah pada protein
otot dan berperan penting dalam pembentukan gel pada ikan dan produk daging. Selama pemanasan pada kecepatan 1 °Cmenit, miosin
silver carp
Hypophthalmichthys molitrix membentuk gel hanya pada pH 5,5-7,5, tetapi tidak pada pH 8,0 dan pH 9,0. Ketika pH dinaikkan, kecepatan gelasi dan
kekuatan gel menurun dan WHC meningkat. Pemanasan menyebabkan
transformasi α-heliks menjadi β-sheet dan β-turn. Transformasi berperan penting
dalam proses gelasi. Gel kompak dan seragam diperoleh pada pH 7,0 sementara terjadi penurunan dalam susunan tiga dimensi ketika pH diubah Liu et al. 2010.
2.4.2 Water holding capacity WHC
Water holding capacity WHC atau kapasitas mengikat air pada makanan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menahan air yang ada di
dalam makanan tersebut maupun yang ditambahkan selama aplikasi gaya, tekanan, sentrifugasi atau panas. Water holding capacity merupakan sifat fisik dan
kemampuan suatu struktur makanan untuk mencegah air terlepas dari struktur tiga dimensi protein dan merupakan kemampuan protein menahan air dalam melawan
gaya berat secara fisika maupun fisikokimia Zayas 1997. Mekanisme WHC berpusat pada protein dan struktur yang mengikat dan
memerangkap air, khususnya protein miofibril. Terdapat bukti nyata yang
menunjukkan efek langsung dari pH, kekuatan ionik, dan oksidasi pada kemampuan protein miofibril dan sel-sel otot untuk menahan air. Secara bebas,
jelas bahwa faktor yang sama penurunan pH, kekuatan ionik, oksidasi juga mempengaruhi proteolitis protein sitoskeletal kunci dalam post mortem otot.
Variasi WHC pada pH dan suhu penyimpanan sebagian disebabkan oleh variasi proteolisis dan berakibat pada penyusutan sel otot serta mobilisasi air ke ruang
ekstraseluler Lonergan dan Lonergan 2005.
2.5 Surimi
Surimi adalah daging ikan yang dihilangkan kulit, tulang dan isi perut secara mekanis yang dicuci dengan air atau larutan garam pada suhu 5-10 °C dan
dengan penambahan cryoprotectant Lee 1984 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994.
Pembuangan protein larut air termasuk enzim, haemoprotein dan komponen nitrogen non protein NPN lainnya menghasilkan rendemen sebesar
50-60. Kandungan bahan kolagen sebagaimana protein miofibril kandungannya lebih besar pada surimi dibandingkan pada daging ikan. Meskipun demikian,
komposisi asam amino surimi yang dihasilkan kemungkinan sama dengan bahan awal sebagaimana dilaporkan pada surimi dari anjing laut Synowiecki et al. 1992
diacu dalam Shahidi dan Botta 1994. Surimi dapat diproduksi dari ikan air laut maupun ikan air tawar,
termasuk daging putih maupun daging merah misalnya Alaska pollock, blue whiting, croaker, beloso, sardin, nila dan mata besar. Biasanya spesies tertentu
yang digunakan karena alasan mudah penangkapannya dan murah harganya. Penggunaan spesies alternatif untuk memperoleh surimi dengan kualitas
pembentukan gel yang baik merupakan salah satu tujuan industri perikanan Nopianti et al. 2011.
Industri surimi dunia terutama menggunakan ikan Alaska pollock untuk produksi surimi, yang mencapai 50-60 produksi total surimi dunia, tetapi
proporsi tersebut secara berkelanjutan berkurang. Sejak tahun 1991, usaha untuk menggunakan spesies lain telah sukses dilakukan dengan pengembangan teknik
dan pemasaran di Jepang. Sekarang ini, sejumlah spesies yang berbeda telah digunakan dalam produksi surimi secara komersial. Spesies ikan yang paling
cocok untuk pembuatan surimi adalah ikan daging putih dengan kandungan lemak rendah Park dan Morrissey 2000.
Permintaan dunia akan protein ikan meningkat lebih cepat dibandingkan persediaan sumberdaya yang ada. Permintaan tersebut menyebabkan overfishing,
terlebih pada spesies yang biasa digunakan sebagai bahan baku surimi oleh sebab itu dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mencegah eksploitasi berlebihan
spesies tersebut. Spesies ikan daging merah mencapai 40-50 dari total
tangkapan dunia. Hal tersebut menimbulkan ketertarikan untuk menggunakan spesies ini yang jumlahnya cukup besar, harganya murah, berlemak dan
merupakan ikan pelagik yang cukup tersedia untuk pangan manusia. Namun
demikian diperlukan cara dan biaya yang efektif untuk meningkatkan kualitas bahan Park dan Morrissey 2000.
Metode pembuatan surimi beku menurut Suzuki 1981 terdiri dari pemilihan bahan baku, penyimpanan dan penanganan bahan baku, pengumpulan
daging ikan, pencucian dengan air dan pembuangan air, penyaringan dan pelumatan, penambahan anti denaturasi, pengemasan, pembekuan dan
penyimpanan. Teknologi surimi telah berkembang secara luas. Berbagai usaha nyata
telah dilakukan untuk mengembangkan produk baru, misalnya teknologi baru untuk penanganan air limbah; penggunaan spesies lain; pengawetan produk
berbasis surimi; penggunaan berbagai cryoprotectant dan peningkatan
pembentukan gel Nopianti et al. 2011.
2.5.1 Standar kualitas surimi
Kualitas produk surimi terjamin oleh standar praktis masing-masing perusahaan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan konsumenpelanggan.
Produsen dan konsumen bekerja sama untuk memastikan kualitas surimi yang diinginkan. Banyak pelanggan melakukan inspeksi dan audit
langsung pada pemasok. Praktek ini rutin dilakukan dalam industri dan termasuk fokus pada
traceability dari semua produk Anonim 2012. Dari berbagai review yang telah dipublikasikan menunjukkan kriteria
mutu surimi diantara perusahaan di Jepang tidak seragam. Terdapat dua asosiasi besar di Jepang yang mempunyai standar surimi berbeda yaitu All-Japan Frozen
Fish Meat Association AJFFMA dan Hokaido Surimi Association HSA. All- Japan Frozen Fish Meat Association AJFFMA membagi mutu surimi menjadi
6 kelas sedangkan HSA 4 kelas. Kadar air surimi yang ditetapkan oleh standar AJFFMA adalah 79-82, sedangkan HSA 75-78. Alasan perbedaan kadar air
tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan jumlah cryoprotectant yang ditambahkan yaitu 5 untuk skala AJFFMA dan 10 untuk skala HSA Lanier
1992. Kriteria untuk penentuan kelas mutu surimi yang diproduksi di laut
maupun di darat telah ditetapkan oleh Surimi Workshop di Seattle pada tahun 1984. Tingkatan standar mutu kualitas surimi berdasar pengujian kamaboko
dengan atau tanpa penambahan pati dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1 Standar mutu surimi berdasar pengujian kamaboko
Tingkatan Mutu
Grade Dengan penambahan pati
Tanpa penambahan pati Kekuatan
gel gcm Nilai
uji gigit
Derajat putih
Kekuatan gel gcm
Nilai uji
gigit Derajat
putih 1
900 10
60 680
10 46
2 900
10 59
680 10
45 3
850 8,5
58 640
8,5 43
4 700
7,5 55
520 7,5
38 5
600 7,0
52 440
7,0 35
6 450
6,5 50
310 6,5
32
Sumber : Lanier 1992 Spesifikasi mutu surimi beku di Indonesia ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional BSN dengan menyusun Standar Nasional Indonesia tentang surimi beku SNI 01-2694.1-2006
yang merupakan revisi SNI 01-2694-1992. Penyusunan standar tersebut dalam rangka memberikan jaminan mutu dan
keamanan pangan komoditas ikan segar yang akan dipasarkan di dalam dan di luar negeri BSN 2006a. Spesifikasi standar surimi beku SNI 01-2694.1-2006
tidak menetapkan kekuatan gel sebagai salah satu jenis uji dalam persyaratan mutu. Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku berdasarkan
SNI 01-2694.1-2006 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku
Jenis uji Satuan
Persyaratan a. Organoleptik
Angka 1-10 minimal 7
b. Cemaran mikroba - ALT
- Escherichia coli - Salmonella
- Vibrio cholerae - Vibrio parahaemolyticus
Kanagawa positif Kolonig
APMg APMg
APMg APMg
maksimal 5,0 x 10
5
maksimal 2 negatif
negatif maksimal 3
c. Cemaran kimia - Raksa Hg
- Timbal Pb - Histamin
- Cadmium Cd mgkg
mgkg mgkg
mgkg maksimal 1
maksimal 0,4 maksimal 100
maksimal 0,1 d. Kadar air
80-82 e. Fisika
- Suhu pusat °C
maksimal -18 f. Filth
potong 80-82
Catatan Bila diperlukan Sumber : BSN 2006a
2.6 Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Surimi 2.6.1 Spesies
Sifat fungsional dan komposisi surimi sangat beragam tergantung pada spesies yang digunakan. Sifat fungsional surimi tergantung dari komposisi tetapi
tidak dapat secara umum diprediksi melalui analisis komposisi. Oleh sebab itu pengolah harus memahami hubungan antara fungsi fisikokimia ikan dan sifat
fungsional dan komposisi surimi Park dan Morrissey 2000. Surimi dari beberapa ikan tropis misalnya threadfin bream Nemipterus
bleekeri, big eye snapper Priacanthus tayenus, baracuda Sphyraena jello dan bigeye croacker Pennahai macrophthalamus mempunyai sifat gel yang berbeda
ketika dilakukan setting pada suhu medium Benjakul et al. 2003. Surimi dari ikan berdaging merah atau berlemak tinggi misalnya sarden,
kembung dan salmon memerlukan tahapan tertentu untuk menghilangkan pengaruh minyak dan hemeprotein mioglobin dan hemoglobin. Pada pembuatan
surimi dari daging merah dianjurkan menambahkan NaHCO
3
0,1-0,5 pada proses awal pencucian Park dan Morrissey 2000.
Fukuda et al. 2001 melaporkan surimi dari ikan air tawar antara lain silver carp Hypopthalmichthys molitri, big head carp Aristichthys nobilis, grass carp
Ctenopharyngodon idellus, common carp Cyprinus carpio, blunt snout bream Megalobrama amblycephala, chinnese snake head Ophicephalus argus dan
nila Tilapia nilotica mempunyai nilai kekuatan gel yang berbeda.
2.6.2 Kematangan seksual atau musim
Komposisi kimia ikan bervariasi terhadap perubahan musim penangkapan. Alaskan Fisheries Development diacu dalam Park dan Morrissey 2000
melaporkan bahwa komposisi ikan Alaska pollock bervariasi berdasarkan musim. Hasil pengamatan menunjukkan kandungan protein tertinggi 19 terjadi pada
bulan November dan terendah 16 di bulan Mei, sementara kandungan air tertinggi 82,3 di bulan Juli dan terendah 80,2 di bulan November.
Demikian pula terjadi pada spesies ikan yang lain misalnya Pacific waiting dengan kandungan air tertinggi 84,5 di bulan April dan terendah 80-82 di
akhir bulan Oktober. Protein terendah 14-15 terekam pada bulan April kemudian naik dan relatif stabil 15,5-16,5 setelah bulan Juni. Kandungan
lemak cenderung stabil 0,5-1,5 sampai bulan Agustus dan mulai meningkat 1,5-2,5 di bulan Oktober Park dan Morrissey 2000.
Secara umum, ikan yang dipanen selama periode mencari makan menghasilkan kualitas surimi tertinggi. Selama musim tersebut daging ikan
mengandung air dan pH terendah namun kandungan protein tertinggi, sedangkan ikan yang dipanen selama atau sesudah masa pemijahan menghasilkan surimi
dengan kualitas terendah. Pada musim tersebut kandungan pH lebih tinggi dan cenderung mempertahankan lebih banyak air. Sebagai konsekuensinya, sukar
menghilangkan air berlebih pada proses pencucian daging. Untuk memudahkan penghilangan air berlebih tersebut, karakteristik jaringan otot harus diubah dengan
menurunkan nilai pH atau meningkatkan salinitas pada pencucian akhir Park dan Morrissey 2000.
2.6.3 Kesegaran atau rigor
Kekuatan pembentukan gel surimi utamanya tergantung pada spesies dan kesegaran ikan yang akan diproses dan keduanya saling berkaitan. Kemampuan
pembentukan gel beberapa spesies ikan menurun dengan mudah seiring dengan penurunan kesegaran ikan bahkan tidak terbentuk gel segera setelah proses rigor
berakhir Chen et al. 2001. Perubahan biokimia dan biofisika selama perkembangan rigor mortis
menyebabkan perubahan yang nyata pada sifat fungsional protein otot. Ikan sebaiknya segera diproses sesegera mungkin setelah melalui rigor. Sebelum
melewati fase ini, kurang dari 5 jam pada kasus surimi Alaska pollock sukar menghilangkan bau amis, beberapa membran dan kontaminan lainnya yang
akhirnya berpengaruh pada kualitas produk Pigot 1986 diacu dalam Park dan Morrissey 2000.
Kesegaran ikan dianggap sebagai faktor penting yang menentukan kualitas surimi Benjakul et al. 2002; MacDonald et al. 1990 diacu dalam Benjakul et al.
2005. Ikan segar atau yang disimpan dengan es biasanya digunakan untuk produksi surimi di seluruh dunia. Akibat sebagai eksploitasi sumberdaya yang
berlebih, armada perikanan harus melakukan perjalanan jarak jauh, yang menyebabkan bahan baku yang diperoleh berkualitas lebih rendah.
Tanpa penanganan pasca panen yang tepat, ikan secara drastis mengalami penurunan,
terkait dengan degradasi dan denaturasi protein miofibril. Sebagai akibatnya, kualitas surimi yang diperoleh rendah Benjakul et al. 2002; Benjakul et al. 2003
diacu dalam Benjakul et al. 2005. Chen et al. 2001 melaporkan bahwa surimi ikan silver carp dengan
beberapa variasi kesegaran yang dipanaskan pada suhu 60 °C selama 10 menit,
breaking strength gel mencapai maksimum, namun nilainya menurun seiring dengan penurunan kualitas kesegaran ikan.
2.6.4 Faktor pengolahan
Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kualitas surimi menurut Park dan Morrissey 2000 antara lain: pemanenan dan penanganan ikan, air, waktu dan
temperatur pencucian, siklus pencucian dan rasio air pencucian, pH, dan salinitas. Beberapa faktor di dalam penangkapan ikan dapat pula berpengaruh pada
kualitas produk akhir, termasuk kondisi cuaca di laut, metode penangkapan, ukuran alat tangkap, pemberian garam dan temperatur ikan setelah penangkapan.
Faktor-faktor tersebut
saling berkaitan
dan terkadang
susah untuk
mempertimbangkan pentingnya setiap faktor secara terpisah Park dan Morrissey 2000.
Secara teoritis air dengan kesadahan rendah mengandung mineral dalam jumlah minimal misalnya Ca
2+
, Mg
2+
, Fe
2+
dan Mn
2+
direkomendasikan untuk pencucian surimi. Air dengan kesadahan tinggi dapat menyebabkan kerusakan
kualitas tekstur dan warna selama penyimpanan beku. Mineral Ca
2+
dan Mg
2+
bertanggung jawab pada perubahan tekstur sementara Fe
2+
dan Mn
2+
berpengaruh terhadap perubahan warna Park dan Morrissey 2000.
2.7 Bahan Penguat Gel pada Surimi
Sifat fungsional utama surimi dari seafood adalah warna, rasa dan tekstur. Pengendalian warna dan rasa relatif lebih mudah, sementara penambahan aditif
yang berpengaruh terhadap sifat tekstur produk kebanyakan tidak linear, oleh karena
itu lebih
susah mengendalikan
tekstur dibanding
lainnya. Konsekuensinya, terdapat kisaran yang luas pada sifat tekstur ini. Bahan aditif
utama yang digunakan untuk mengembangkan dan memodifikasi karakteristik tekstur surimi dari seafood antara lain: air, pati, aditif protein dan hidrokoloid
Park 2000.
2.7.1 Air
Penambahan air pada surimi dibutuhkan untuk menjaga penerimaan tekstur dan meminimalkan biaya bahan baku. Sifat polar dari air menyokong gugus
residu hidrofobik di dalam rantai polipeptida yang terlipat untuk meminimalkan entropi sebagai hasil dari terpaparnya residu hidrofobik dengan air di permukaan.
Air juga memberi kontribusi pada stabilitas konformasional molekul protein sebelum pemanasan dan bisa menjadi dasar untuk ikatan intermolekul ketika sisi
hidrofobik pada molekul protein yang berdekatan terpapar pada permukaan selama proses pemanasan. Dengan demikian air berfungsi untuk menyebarkan
molekul protein miofibril, sehingga memungkinkan jaringan yang lebih diperluas untuk memperkuat bentuk ikatan protein-protein selama pemanasan Park 2000.
Air sering kali tidak dianggap sebagai sebuah bahan makanan di beberapa negara. Oleh karena itu, di negara-negara Asia tidak ditemukan air terdaftar
sebagai bahan di dalam label makanan. Namun di kebanyakan negara barat, air adalah bahan terbesar kedua di dalam surimi seafood Park 2000.
2.7.2 Pati
Pati berperan penting dalam pembentukan struktur jaringan gel surimi-pati dan oleh karena itu pati merupakan bahan aditif fungsional penting di dalam
surimi seafood. Sumber pati yang paling umum digunakan adalah terigu, jagung, kentang, maizena jagung dan tapioka. Fungsi pati-pati tersebut berbeda. Pati
dengan amilose tinggi misalnya jagung, terigu dan kentang, membentuk gel yang agak rapuh, sedangkan pati dengan kandungan amilopektin yang tinggi misalnya
tapioka dan maizena membentuk gel yang lekat dan kompak Park 2000. Pati biasa ditambahkan pada surimi untuk meningkatkan sifat tekstur dari
gel ikan. Selama gelatinisasi pati, beberapa perubahan terjadi. Perubahan ini termasuk pembengkakan granula, pemisahan daerah kristal, meningkatnya
viskositas dan pemisahan granul. Gelatinisasi pati di dalam surimi selama proses pemanasan telah dilaporkan dapat meningkatkan elastisitas gel. Gel daging ikan
dengan tambahan pati 0,5 menunjukkan nilai modulus yang lebih tinggi pada suhu 80
°C dibanding pada suhu 90 °C Kong et al. 1999.
Cueto et al. 2007 melaporkan bahwa penambahan modifikasi pati singkong pada surimi menghasilkan produk burger ikan dengan karakter keras,
lekat dan kenyal berdasarkan instrumen. Evaluasi sensorik menunjukkan
penambahan pati singkong modifikasi menghasilakan produk yang keras dan kenyal.
2.7.3 Protein aditif
Protein aditif merupakan protein globular, sedangkan surimi merupakan protein fibrillar. Sehubungan dengan sifat fungsional protein aditif, interaksi
protein-air, protein-protein dan protein-lemak-air adalah penting untuk formulasi struktur jaringan gel yang stabil Park 2000. Park 1994 diacu dalam Park
2000 mengevaluasi 7 protein aditif yang tersedia secara komersial 1 berat kering untuk meneliti interaksinya dengan gel surimi yang ditambah garam 2.
Putih telur beku, putih telur kering, plasma protein sapi bertindak sebagai pengikat, sedangkan gluten gandum, isolat protein kedelai, konsentrat whey
protein dan isolat whey protein berfungsi sebagai pengisi. Pengikat fungsional meningkatkan nilai shear stress dan shear strain gel surimi, sementara pengisi
fungsional menaikkan nilai shear stress namun menurunkan nilai shear strain. Protein aditif dapat pula berfungsi sebagai inhibitor proteinase. Inkubasi
surimi silver carp yang ditambah isolat protein kedelai 10 pada temperatur 50 °C selama 60 menit, diikuti dengan pemasakan pada 85
°C selama 30 menit, menghasilkan kekuatan gel lebih besar dibandingkan kontrol.
Hasil ini menunjukkan bahwa isolat protein kedelai menurunkan pembentukan modori
pada surimi silver carp. Isolat protein kedelai menunjukkan aktivitas
penghambatan terhadap proteinase yang menyebabkan modori pada silver carp Luo et al. 2008.
Eakpetch et al. 2008 melaporkan bahwa putih telur, konsentrat whey protein dan protein plasma sapi pada jumlah yang tepat secara efektif
meningkatkan kekuatan gel surimi udang putih. Pada umumnya jumlah aditif protein yang berlebihan menyebabkan penurunan kekuatan gel. Protein plasma
sapi pada konsentrasi 0,5 bb menunjukkan aktivitas penghambatan tertinggi terhadap autolisis gel udang putih, namun menunjukkan efek buruk pada rasa dan
warna gel.
2.7.4 Hidrokoloid
Sifat protein miofibril dapat diubah dengan menggunakan aditif yang berbeda. Hidrokoloid tumbuhan atau hewan, misal tepung, pati, gum atau protein
dapat mempengaruhi pembentukan matriks kontinu dari otot selama pembentukan pasta atau selama gelasi akibat panas. Beberapa aditif berinteraksi dengan protein
untuk membentuk sistem yang lebih terstruktur, sementara yang lain bertindak sebagai pengisi yang hanya mengikat air dan memodifikasi viskositas dari sistem.
Hidrokoloid tumbuhan biasanya ditambahkan ke dalam produk turunan daging, unggas dan ikan untuk meningkatkan sifat fungsional mereka Urest et al. 2003.
Karagenan dan konjak adalah hidrokoloid yang sering digunakan dalam industri surimi. Karagenan merupakan agen pembentuk gel yang diekstrak dari
alga merah spesies tertentu. Iota karagenan dapat meningkatkan kekuatan dan stabilitas gel pada surimi Atlantic pollock dan Alaska pollock Park 2000.
Penambahan konjak glukomanan dengan konsentrasi 1 dapat mencegah denaturasi protein pada surimi grass carp selama penyimpanan beku -18 °C
Xiong et al. 2009.
2.7.5 Senyawa kimia food grade
Zat pengoksidasi secara umum digunakan di dalam adonan roti untuk meningkatkan sifat teksturnya dengan pembentukan ikatan S-S melalui oksidasi
grup sulfhydril -SH Park 2000. Zat pengoksidasi anorganik KBrO
3
terbukti mampu meningkatkan kekuatan gel surimi walleye pollack melalui polimerisasi
MHC dengan oksidasi grup sulfhidril khususnya selama proses pengadukan dan setting dibandingkan pada proses pemanasan Banlue et al. 2010.
Senyawa kalsium berperan penting hanya ketika zat ini ditambahkan pada pencampuran pasta surimi dan pada proses setting. Kalsium dapat berakibat
negatif apabila ditambahkan pada surimi kemudian disimpan beku. Penambahan senyawa kalsium selama produksi surimi tidak dianjurkan tetapi dapat digunakan
ketika surimi diproduksi dengan proses setting Park 2000. Fosfat telah secara luas diterima sebagai aditif potensial pada ikan dan
makanan laut untuk meningkatkan sifat fungsional produk dengan meningkatkan retensi air pada ikan segar dan mengurangi hilangnya air ikan beku pada proses
pencairan Chang dan Regenstein 1997 diacu dalam Julavittayanuku et al. 2006.
Fosfat biasanya ditambahkan pada surimi dikombinasikan dengan cryoprotectants misal gula atau sorbitol
Sultanbawa dan Li-Chan 2001 diacu dalam Julavittayanuku et al. 2006. Jenis dan konsentrasi senyawa fosfat memiliki
berbagai pengaruh pada gel surim ikan mata besar. Peningkatan konsentrasi fosfat pada umumnya menunjukkan efek merugikan pada pembentukan gel,
kemungkinan karena mengkelat ion kalsium yang diperlukan bagi endogen TGase. Natrium pirofosfat memberikan pengaruh baik terhadap gel surimi ikan
mata besar, sedangkan natrium hexametaphosphate HMP menunjukkan efek merugikan pada gelasi surimi. Penggunaan natrium pirofosfat yang dikombinasi
dengan CaCl
2
pada tingkat yang tepat dapat meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi secara efektif Julavittayanuku et al. 2006.
2.8 Texture Profile Analysis
Sifat tekstur makanan merupakan komponen penting untuk memberikan persepsi kualitas dan penerimaan makanan. Dalam rangka untuk merancang
tekstur tertentu dengan prediksi atribut sensoris, diperlukan pemahaman struktur molekul makanan dan tekstur yang sesuai. Metode rheologi fundamental adalah
sangat penting untuk mengetahui mekanisme struktural yang berdasarkan pada teori fisika dan kimia, dan ketika digabungkan dengan analisis deskriptif sensorik,
hubungan fungsional struktur dapat ditentukan Barrangou 2005. Tekstur adalah manifestasi sensorik dan fungsional dari sifat mekanik, struktur dan permukaan
makanan yang terdeteksi melalui indera penglihatan, pendengaran, sentuhan dan kinestetik Szczesniak 2002.
Tekstur merupakan komponen utama dalam menentukan karakteristik funsional dari bahan baku surimi yang sangat berpengaruh pada proses
pengolahan dan kualitas produk akhir dari surimi. Protein miofibril ikan adalah unsur utama dalam surimi yang memiliki kemampuam untuk melakukan “setting”
ke dalam bentuk gel dengan kohesivitas tinggi pada suhu rendah 0-40 °C dan membentuk gel yang keras ketika diproses dengan temperatur tinggi setelah
proses setting. Sifat gel surimi ini sangat berpengaruh terhadap pasar berkaitan dengan penerimaan tekstur produk. Upaya untuk mengukur tekstur makanan
dengan menggunakan instrument telah menghasilkan 3 klasifikasi pengujian
rheologi, yaitu pengujian dan tiruan imitative test
Beberapa metode dikembangkan, namun
dan tidak sepenuhnya 2003. Menyadari keterbatasan
disimulasikan menggunakan bertujuan mengukur
parameter tekstur dari analysis berbagai bahan
roti dan daging telah termasuk dalam kategori
Test imitativetiruan menirukan kondisi dimana
geraham. Profil tekstur dihubungkan dengan
Kim dan Park 2000. Texture profile
mempelajari sifat mek TPA instrumental dikembangkan
Center Mochizuki 2001 yang dihasilkan berkorelasi
sama Mochizuki 2001 Gambar 3.
Gambar 3. Kurva pengujian mendasar fundamental test, empiris
test Kim dan Park 2000. Beberapa metode yang bertujuan memprediksi tekstur
namun biasanya mengandalkan pengukuran parameter sepenuhnya meniru kompleksitas gerakan mengunyah
Menyadari keterbatasan ini, proses mekanis pengunyahan menggunakan texture profile analysis TPA. Metode
kekuatan kompresi dari probe dan dihubungkan dari makanan uji selama dua siklus deformasi.
berbagai bahan makanan termasuk produk-produk buah-buahan, telah dilaporkan Caine et al. 2003. Texture
kategori tes imitative dalam pengujian rheologi bahan tiruan merupakan metode yang menggunakan peralatan
kondisi dimana makanan dikunyah di dalam mulut atau tekstur mengukur karakteristik khusus yang bisa secara
dengan keseluruhan penerimaan dan tingkat kesukaan .
rofile analysis dikembangkan pada awal 1960 sifat mekanik makanan dan hubungannya dengan tekstur
l dikembangkan oleh General Foods Corporation 2001. Parameter yang diperoleh dari kurva gaya
berkorelasi baik dengan evaluasi sensorik dari parameter 2001. Kurva TPA dari GF Texturometer
. Kurva Texture Profile Analysis GF Texturometer Bourne 27
empiris empirical test tekstur daging telah
pengukuran parameter tunggal mengunyah Caine et al.
pengunyahan telah TPA. Metode obyektif ini
dihubungkan dengan deformasi. Texture profile
buahan, sayuran, exture profile analysis
rheologi bahan makanan. menggunakan peralatan untuk
mulut atau dengan gigi bisa secara langsung
tingkat kesukaan hedonik awal 1960-an untuk
dengan tekstur makanan. Corporation Technical
rva gaya dan waktu dari parameter yang
Texturometer disajikan pada
Bourne 2002.
Barrangou 2005 menyatakan teksturometer dirancang untuk meniru aksi rahang selama gigitan pertama pada produk makanan. Instrumen tersebut
menggunakan plunger silinder kecil datar untuk melakukan kompresi dengan dua siklus gigitan makanan biasanya 1,2 cm
3
sampai 25 dari tinggi aslinya. Gaya dan perpindahan waktu data yang dihasilkan serta analisis kurva gaya-waktu
menghasilkan tujuh parameter tekstur makanan padat atau semi-padat, lima diantaranya merupakan hasil yang terukur, dan dua parameter dihitung dari
parameter yang terukur. 1. Kekerasan hardness diukur dari kurva gaya dan waktu pada ketinggian
puncak kompresi pertama mengunyah. 2. Kohesivitas Cohesiveness diukur sebagai rasio luas di bawah puncak
kompresi kedua A2 dan area di bawah puncak kompresi pertama A1. 3. Elastisitas Springiness, diukur sebagai C-B, dimana B adalah jarak waktu
dari kontak sampel awal terhadap kontak kedua pada gigitan pertama dan C adalah pengukuran yang sama pada saat bahan baku sepenuhnya inelastis
seperti tanah liatpada gigitan kedua 4. Kelekatan Adhesiveness diukur sebagai daerah puncak negatif di bawah
dasar dari kurva gaya dan waktu A3 5. Kerapuhan Fracturability, diukur sebagai ketinggian pada saat istirahat
dalam pengunyahan pertama. 6. Chewiness, dihitung dari hasil perkalian kekerasan, kohesivitas dan elastisitas
7. Gumminess, dihitung sebagai produk dari kekerasan dan kohesivitas. Dalam deskripsi asli chewiness dari TPA didefinisikan sebagai energi yang
dibutuhkan untuk mengunyah produk makanan padat dan gumminess sebagai energi yang dibutuhkan untuk menghancurkan makanan semipadat ke keadaan
siap untuk ditelan Bourne 2002. Bourne 2002 menunjukkan bahwa perbedaan tersebut sering diabaikan, gumminess dan chewiness satu sama lain saling
terpisah. Oleh karena itu, dalam pengukuran TPA pelaporan ada yang harus melaporkan chewiness atau gumminess tetapi keduanya tidak bisa dilaporkan pada
makanan yang sama.
2.9 Senyawa Fenolik