Hubungan asupan zat gizi (energi, protein, besi dan seng), stunting dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak usia 3-6 Tahun di paud wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014

(1)

STATUS MOTORIK ANAK USIA 3-6 TAHUN DI PAUD WILAYAH BINAAN PUSKESMAS KECAMATAN KEBAYORAN LAMA TAHUN 2014

SKRIPSI OLEH :

AMEILIA AMANDA 109101000071

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Ameilia Amanda

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir

: Jakarta, 6 Mei 1991

Alamat

: Komp. Taman Mangu Indah Blok B1

No. 4 RT 001 / 006 Pondok Aren

Tangerang Selatan

Telepon/Hp

: 081287553806

Email

: aameilia@ymail.com

Tahun 1997

2003

: SDN 02 Pagi Pesanggrahan Jakarta

Tahun 2003

2006

: SMPN 177 Pesanggrahan Jakarta

Tahun 2006

2009

: SMAN 86 Bintaro Jakarta

Tahun 2009

2014

: Kesehatan Masyarakat FKIK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta


(6)

Segala puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat yang tiada terkira kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam teruntuk yang tersayang Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua termasuk golongan umat yang mendapat syafaatnya. Aamiin. Skripsi yang berjudul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 tahun di PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014” ini dibuat sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempaatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Allah SWT, yang selalu memberikan segalanya dalam proses pembuatan skripsi hingga selesai.

2. Kedua orang tua, papa Syafei Arifin serta mama Mulyani Muchtar yang tanpa lelah memberikan doa dan semangat. Juga untuk kakak-kakak tersayang Marisa dan Silvi serta para sepupu yang selalu memberi semangat.

3. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D, selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

selama proses perkuliahan dan proses penyusunan laporan skripsi ini.

6. Ibu Riastuti Kusumawardani SKM, M.KM, selaku dosen pembimbing II skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran yang berharga dalam proses penyusunan laporan skripsi ini.

7. Kepala sekolah dan Guru PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan kebayoran lama yang telah membantu selama proses penelitian berlangsung. 8. Teman – teman Kesmas 2009 yang telah memberikan semangat dan bantuan

selama masa perkuliahan dan saat proses penyusunan skripsi ini terutama sahabat – sahabat terbaik yang selalu memberi semangat.

9. Teman – teman di luar kampus yang juga turut membantu dan memberi semangat dalam proses penyelesaian laporan skripsi ini.

Penulis menyadari penulisan ini masih kurang dari sempurna, sehingga sangat diharapkan saran dan masukkannya. Semoga laporan skripsi ini dapat bemanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Juli 2014


(8)

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 2014

AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071

Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Zat Besi dan Seng), Stunting Dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Di PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan kebayoran Lama Tahun 2014

xviii + 106 halaman, 24 tabel, 5 gambar, 5 lampiran ABSTRAK

Hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun 2008 diketahui 19% balita mengalami gangguan perkembangan motorik, namun sebarannya di setiap provinsi belum memiliki data yang pasti. Berdasarkan studi pendahuluan pada 30 anak secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang (11 anak) dan cukup (15 anak) sementara status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, zat besi (Fe), zat seng (Zn), stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan desain

cross sectional, dengan mengisi kuesioner. Penelitian ini dilakukan di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 85 orang.

Sebanyak 30,6% responden memiliki status motorik halus yang terganggu dan 42,4% memiliki status motorik kasar yang terganggu. 63,5% responden memiliki asupan energi kurang, 60% memiliki asupan protein kurang, 38,8% memiliki asupan zat besi kurang, 52,9% memiliki asupan seng kurang. Ada 57,6% responden yang memiliki tubuh pendek (stunting) sebanyak 9,4% menerima stimulasi baik dan 22,4% menerima stimulasi kurang dari keluarga. Dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan dengan status motorik kasar dan halus adalah asupan (energi, protein dan besi), stunting dan stimulasi psikososial sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan status motorik kasar dan halus adalah asupan seng. Maka dari pihak Puskemas wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, PAUD dan orang tua atau pengasuh sebaiknya dapat berkerjasama dengan baik dalam memperbaiki asupan, status gizi serta mengoptimalkan pemberian stimulasi psikososial kepada anak.

Kata Kunci : motorik, stunting, zat gizi, stimulasi psikososial, siswa PAUD Daftar Bacaan : (2000-2014)


(9)

MAJOR OF COMMUNITY HEALTH NUTRITION UNDERGRADUATED THESIS, 2014

AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071

The Relationship of Nutrient Intake, Stunting and Psychosocial Stimulation of Motoric Status In Early Childhood Education with the Patronage Region Kebayoran Lama Sub-District Health Centers in 2014 xviii + 106 Pages, 24 Tables, 5 Pictures, 5 Attachments

ABSTRACT

The results of the Ministry of Health survey in 2008 approximately 19% of infants known to impaired motor development, but spreading in every province does not yet have definitive data. And based on the preliminary study of 30 children randomly assigned in early childhood target area of Kebayoran Lama sub-district health centers in 2014 psychosocial stimulation given to the child's parents earned 36% less (11 children) and sufficient (15 children) while nutritional status based on H/A obtained 40% (12 children) with stunting category.

This study aims to determine the relationship of the nutrient intake of energy, protein, iron (Fe), zinc (Zn), stunting and psychosocial stimulation of the motor status of children aged 3-6 years in the early childhood area of Kebayoran Lama sub-district health center built in 2014. The study was conducted with cross-sectional design, data retrieval way to fill out a questionnaire. This research was conducted in the early childhood area of Kebayoran Lama sub-district health centers built by the number of samples are 85 people.

A total of 30.6% of respondents have impaired fine motor status and 42.4% have impaired gross motor status, 63.5% less energy intake, 60% have less protein intake, 38, 8% have less iron intake, 52.9% have less zinc intake. A total of 57.6% respondents had a short stature (stunting) and 9.4% received good stimulation and 22.4% received less stimulation from their family. We can conclude variables related to the status of gross and fine motor include intake (energy, protein and iron), stunting and psychosocial stimulation, while variables not related to the status of gross and fine motor is the intake of zinc. Therefore, from the health centers target area Kebayoran Lama sub-district health centers, early childhood education and the parents or care giver should be able to cooperate well in improving the intake and nutritional status of the


(10)

Refferences : (2000-2014)

Key Words : motoric, stunting, nutrient, psychosocial stimulation, early childhood education.


(11)

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 6

1.3Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4Tujuan Penelitian ... 9

1.5Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Perkembangan Anak Usia Dini ... 13

2.1.1Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini ... 13

2.2 Motorik ... 14

2.2.1Pengertian dan Prinsip Motorik ... 14

2.2.2Pengertian Motorik Kasar ... 15

2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar anak usia 3-6 Tahun ... 16

2.2.4Pengertian Motorik Halus ... 17

2.2.5Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun ... 18

2.2.6Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP) ... 20

2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ... 22

2.3.1 Pengertian PAUD ... 22

2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD ... . 22

2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) terhadap status motorik ... 24

2.4.1 Penilaian Status Gizi ... 24

2.4.2 Indeks Antropometri ... 24

2.4.3 Stunting ... 25

2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan Status Motorik ... 28


(12)

2.5.4 Seng (Zn) ... 34

2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam ... 35

2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik ... 37

2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik ... 37

2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial ... 39

2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) ... 39

2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak ... 41

2.7.1 Pengasuhan Anak ... 41

2.7.2 Gizi ... 41

2.7.3 Lingkungan Anak ... 42

2.8 Kerangka Teori ... 42

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ... 45

3.1 Kerangka Konsep ... 45

3.2 Definisi Operasional ... 49

3.3 Hipotesis ... 54

BAB IV METODE PENELITIAN ... 56

4.1Desain Penelitian ... 56

4.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 56

4.3Populasi dan Sampel ... 57

4.3.1 Populasi ... 57

4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling ... 57

4.4 Instrumen Penelitian ... 60

4.5Pengumpulan Data... 62

4.6 Pengolahan Data ... 63

4.6 Analisis Data ... 65

4.6.1 Analisis Univariat ... 65

4.6.2 Analisis Bivariat ... 66

BAB V HASIL PENELITIAN... 68

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 68

5.2Analisis Univariat ... 69

5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus ... 69

5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar ... 70

5.2.3 Gambaran Asupan Energi ... 70


(13)

5.2.8 Gambaran Stunting ... 73

5.3Analisis Bivariat ... 74

5.3.1 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Energi………..……… 74

5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein... 75

5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi... 76

5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Seng... 76

5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting... 77

5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi Psikososial... 78

5.3.7 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi……….. 79

5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein... 79

5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi... 80

5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Seng... 81

5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting... 81

5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial... 82

BAB VI PEMBAHASAN... ... 84

6.1. Keterbatasan Penelitian ... 84

6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar ... 84

6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status Motorik Kasar dan Halus ... 86

6.4 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status Motorik Kasar dan Halus ... 90

6.5 Gambaran dan Hubungan Asupan Zat Besi dengan Status Motorik Kasar dan Halus ... 92


(14)

Kasar dan Halus ... 98

6.8 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status Motorik Kasar dan Halus ... 100

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

7.1 Kesimpulan ... 104

7.2 Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA


(15)

Nomor Tabel

Halaman 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

TB/U... 26 3.1 Definisi Operasional... 50 4.1 Data siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama Tahun 2014... 58 4.2 Proporsi Jumlah Siswa PAUD DI Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama Tahun 2014... 61 5.1 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD Wilayah

Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...…….. 70 5.2 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD Wilayah

Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... 71 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13

Distribusi Berdasarkan Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Distribusi Berdasarkan Asupan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014……... Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Haus dengan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 ... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... ... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... 71 72 73 73 74 75 75 76 77 77 78


(16)

5.15

5.16

5.17

5.18

5.19

5.20

Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 ... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...

80

80

81

82

82


(17)

2.1 Jalur dan jenjang PAUD……... 24 2.2

2.3 2.4 3.1

Gambaran siklus neurotransmitter menghasilkan motorik .... Gambaran mekanisme kerja stimulasi………. Kerangka teori………. Kerangka konsep……….

32 40 45 49


(18)

Nomor Lampiran Judul Lampiran

1 Formulir Food Recall 24 Jam

2 3

Kuesioner HOME Inventory

Kuesioner Pra Skrining Perkembangan

4 Analisis Univariat


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hasil survei Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 diketahui sekitar 19% balita mengalami gangguan perkembangan namun sebarannya di setiap provinsi belum memiliki data yang pasti. Prevalensi tersebut apabila dibiarkan akan memberikan dampak pada status perkembangan di wilayah tersebut tidak optimal dan akan berpengaruh kepada keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) (Azwar, 2004). SDM yang berkualitas atau tidak berawal pada kualitas otak, khususnya pada anak karena otak pada anak usia prasekolah bersifat plastis dengan kata lain peka terhadap lingkungan sehingga untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan kualitasnya adalah dengan upaya kesehatan pada anak usia prasekolah (0-6 tahun) berupa mendapatkan gizi yang baik dan stimulasi yang memadai serta terjangkau (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Kekurangan akan kebutuhan gizi pada masa anak usia prasekolah selain akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan jasmaninya juga akan menyebabkan gangguan perkembangan anak, dalam hal ini adalah perkembangan motorik (Sutarta, 2008).

Perkembangan motorik berkaitan erat dengan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi (Hurlock, 2000). Menurut Herawati (2009) terdapat tiga tahapan perkembangan


(20)

sel dan jaringan saraf dalam otak. Tahap pertama, pada periode pertama sekitar masa kehamilan 32 minggu dan periode kedua sekitar berumur 15 bulan. Masa ini disebut masa kritis karena merupakan fase pesat tumbuh kembang yang terjadi pembelahan sel otak. Tahap kedua, usia 0-2 tahun dimana periode yang paling krusial paska kelahiran terjadi dimana terjadi pembesaran sel otak yang amat pesat. Tahap ketiga, usia 3-6 tahun juga merupakan masa kritis, pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan sel dan jaringan syaraf berlangsung pesat untuk melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada usia sebelumnya.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pemantauan tumbuh kembang anak adalah Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Berdasarkan data SDIDTK dimana Penyimpangan perkembangan yang dideteksi melalui Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, diperoleh motorik kasar sebanyak 41 anak, motorik halus sebanyak 17 anak, kemampuan bahasa sebanyak 5 anak dan sosialisasi kemandirian sebanyak 5 anak pada tahun 2012 sedangkan pada tahun 2013 diperoleh motorik kasar sebanyak 38 anak, motorik halus sebanyak 13 anak, kemampuan bahasa sebanyak 5 anak dan sosialisasi kemandirian sebanyak 2 anak.

Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan motorik adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum matangnya sistem syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana perkembangan motorik akan terjadi sebelum periode prenatal dan berlangsung saat sistem syaraf mengalami


(21)

perkembangan yaitu anak pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008) menjelaskan semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. Variasi siswa di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama juga pada usia 3-6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-6 tahun.

Terkait dengan kematangan sistem syaraf dan otot, hal ini berkaitan erat dengan keadaan gizi anak pada masa lampau. Dimana ketidakmampuan untuk mencapai perkembangan optimal atau stunting merupakan keadaan malnutrisi kronik yang berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum

yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001).

Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-6 tahun mengalami kemampuan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami

stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak yang

mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami gangguan perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

stunting dengan motorik kasar pada anak usia 3-6 tahun. Hal yang serupa juga

dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa di daerah Zanzibar, Afrika Timur, anak yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah


(22)

aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan.

Selain keadaan gizi masa lampau pada anak, pemberian asupan gizi yang seimbang juga harus diperhatikan karena untuk mengembangkan kemampuan saraf motoriknya (Zaviera, 2008). Menurut Gerorgieff (2001) asupan zat gizi yang berperan dalam motorik diantaranya adalah energi, protein, besi (Fe) dan seng (Zn). Dimana energi berperan dalam mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut neurotransmitter. Protein pada asam amino tirosin berkaitan dengan neurotransmitter dan serotonin berperan dalam menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak. Besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine, metabolisme energi di neuron serta mielinisasi dan seng (Zn) berperan dalam pelepasan neurotransmitter.

Pada penelitian Susanty (2012) dengan uji korelasi menunjukkan adanya hubungan asupan energi dan protein tehadap status motorik anak dengan p<0,05. Pada penelitan Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat seng (Zn) yang diberikan terhadap status motorik anak. Pada penelitian Black et al (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap status motorik anak.

Disamping pengaruh gizi, stimulasi juga berpengaruh terhadap status motorik. Melakukan stimulasi yang memadai artinya merangsang otak balita sehingga kemampuan gerak atau motorik anak berlangsung secara optimal sesuai


(23)

dengan umur anak (Depertemen Kesehatan RI, 2008). Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi psikososial merupakan rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak sehingga dapat mempengaruhi kualitas perkembangan anak.

Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada umur 3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak yang sering distimulasi psikososial yang mengalami gangguan motorik kasar hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik kasar. Pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik pada p<0.01 dan dengan derajat kepercayaan 95%.

Suyadi (2013) menjelaskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakandasar ke arah perkembangan, yaitu koordinasi motorik (halus dan kasar) sehingga lokasi penelitian adalah di PAUD. Berdasarkan wawancara dan observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5 guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, ditemukan 12 anak mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan


(24)

memegang suatu benda dan keterlambatan menulis dimana seharusnya sudah bisa dilakukan sesuai dengan tahapan usia masing-masing anak.

Disamping itu, peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap 30 anak yang dipilih secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014. Dari hasil studi pendahuluan tersebut, diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang, 43,3% (13 anak) dengan asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan zat besi kurang, 53,3% (16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan AKG (2012). Sedangkan stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang (11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4 anak), status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting dan diperoleh 43,4% (13 anak) memiliki status motorik halus dengan kategori normal dan 56,6% (17 anak) dengan kategori terganggu dan 36,7% (11 anak) memiliki status motorik kasar dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak) dengan kategori terganggu. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan wawancara dan observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5 guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014, ditemukan 12 dari anak mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan memegang suatu benda dan keterlambatan menulis. Disamping itu, peneliti juga


(25)

melakukan studi pendahuluan terhadap 30 anak yang dipilih secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama. Dari hasil studi pendahuluan tersebut, diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang, 43,3% (13 anak) dengan asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan zat besi kurang, 53,3% (16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan AKG (2012). Sedangkan stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang (11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4 anak), status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori

stunting dan diperoleh 43,4% (13 anak) memiliki status motorik halus dengan

kategori normal dan 56,6% (17 anak) dengan kategori terganggu dan 36,7% (11 anak) memiliki status motorik kasar dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak) dengan kategori terganggu. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?


(26)

4. Bagaimana gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

5. Bagaimana gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

6. Bagaimana gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

7. Bagaimana gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

8. Bagaimana gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

9. Bagaimana hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

10. Bagaimana hubungan asupan protein dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

11. Bagaimana hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

12. Bagaimana hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?


(27)

13. Bagaimana hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

14. Bagaimana hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 2. Diketahuinya gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 3. Diketahuinya gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di

PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

4. Diketahuinya gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.


(28)

5. Diketahuinya gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

6. Diketahuinya gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

7. Diketahuinya gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

8. Diketahuinya gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

9. Diketahuinya hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

10.Diketahuinya hubungan asupan protein dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

11.Diketahuinya hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

12.Diketahuinya hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.


(29)

13.Diketahuinya hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

14.Diketahuinya hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

1.5 Manfaat penelitian 1.5.1 Bagi PAUD

1. Memberikan informasi bagi PAUD tentang hubungan asupan zat gizi dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk kebijakan selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan asupan zat gizi, stimulasi psikososial dan upaya peningkatan kemampuan motorik anak.

1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih luas ruang lingkupnya.

2. Lembaga pendidikan dapat memperoleh tolak ukur proses belajar mahasiswa dengan keadaan yang nyata.

3. Memberikan informasi kepada institusi yang terkait sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk membuat kebijakan selanjutnya.


(30)

1.5.3 Bagi Peneliti Lain

1. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya. 2. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk

penelitian berikutnya. 1.5.4 Bagi Penulis

1. Merupakan suatu kesempatan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh selama di bangku kuliah.

2. Menambah pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian ilmiah di bidang gizi kesehatan masyarakat.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross

sectional dengan judul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi

Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 Tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014”. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengisian kuesioner baik untuk mengetahui variabel dependen maupun untuk mengetahui variabel independen penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni tahun 2014 dan lokasi penelitian dilakukan di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Anak Usia Dini

2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini

Terdapat hubungan yang sangat erat sekaligus perbedaan yang cukup signifikan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan lebih mengandung unsur kuantitatif, yaitu adanya penambahan ukuran fisik pada struktur tubuh. Anak menjadi lebih besar secara fisik dan organ-organ dalam juga meningkat seperti tangan, kaki, badan, otak, dan lain-lain (Suyadi, 2013).

Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ atau individu (Suyadi, 2013).

Usia dini yaitu 0-6 tahun merupakan masa perkembangan dan perttumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya atau


(32)

disebut juga masa keemasan (the golden age) sekaligus periode yang sangat kritis yang menentukan tahap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya (Suyadi, 2013).

2.2 Motorik

2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik

Perkembangan bentuk kegiatan motorik yang sejalan dengan perkembangan daerah sistem syaraf. Karena perkembangan pusat syaraf yang lebih rendah, yang bertempat dalam urat syaraf tulang belakang, pada waktu lahir berkembangnya lebih baik ketimbang pusat syaraf yang lebih tinggi yang berada dalam otak, maka gerak refleks pada waktu lahir lebih baik dikembangkan dengan sengaja ketimbang dibiarkan berkembang sendiri. Cerebellum atau otak yang lebih bawah yang mengendalikan keseimbangan, berkembang dengan cepat selama tahun awal kehidupan dan praktis mencapai ukuran kematangan pada waktu anak berusia 5 tahun. Demikian juga otak yang lebih atas atau cerebrum, khususnya ruang masuk depan yang mengendalikan gerakan terampil berkembang dalam beberapa tahun permulaan. Gerakan terampil belum dapat dikuasai sebelum mekanisme otot anak berkembang (Hurlock, 2000).

Maka, Hurlock (2000) menyimpulkan bahwa perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Pengendalian tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada pada waktu lahir. Dan menurut Rumini dan Sundari (2004) juga menyatakan


(33)

bahwa pada perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan syaraf. Motorik kasar berkembang terlebih dahulu, selanjutnya diikuti perkembangan motorik halus. Motorik kasar melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga karena itu dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sedangkan mototik halus hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot kecil karena itu tidak begitu memerlukan tenaga.

Menurut Rumini dan Sundari (2004) ada empat prinsip motorik, diantaranya adalah pertama, keterampilan motorik tergantung pada kematangan otot dan syaraf. Kedua, perkembangan motorik mengikuti pola yang dapat diramalkan. Ketiga, berdasarkan umur rata-rata suatu awal perkembangan motorik dimungkinkan untuk menentukan norma bentuk kegiatan motorik lainnya. Keempat, perbedaan individu juga mempengaruhi laju perkembangan motorik.

2.2.2 Pengertian Motorik Kasar

Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakan-gerakan seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher. Sedangkan menurut Adriana (2011) motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh. Aktivitas motorik yang mencakup keterampilan otot-otot besar seperti merangkak, berjalan, berlari, melompat atau berenang.


(34)

2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar 3-6 Tahun

Kemampuan motorik kasar yang harus dicapai anak sesuai usianya berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut:

a. Kelompok usia 36 bulan

- Dapat melempar bola lurus ke arah perut atau dada pengasuh dari jarak 1,5 meter

- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari

- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter b. Kelompok usia 42 bulan

- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter - Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau

lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari

c. Kelompok usia 48 bulan

- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter - Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau

lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari


(35)

d. Kelompok usia 54 bulan

- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

e. Kelompok usia 60 bulan

- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan f. Kelompok usia 66 bulan

- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan - Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan

menggunakan kedua tangannya g. Kelompok usia 72 bulan

- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan - Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan

menggunakan kedua tangannya

- Dapat berdiri satu kaki tanpa berpegangan dan mempertahankan keseimbangan dalam waktu minimal 11 detik

2.2.4 Pengertian Motorik Halus

Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik halus merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,


(36)

melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat misalnya kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda.

2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun

Kemampuan motorik halus yang harus dicapai anak sesuai usianya berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut:

a. Kelompok usia 36 bulan

- Dapat mencoret-coret kertas tanpa petunjuk saat diberi pensil - Dapat meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang

lain tanpa menjatuhkan kubusnya

- Dapat membuat garis lurus ke bawah sepanjang sekurang-kurangnya 2,5 cm

b. Kelompok usia 42 bulan

- Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa membantu anak dan jangan menyebut lingkaran

- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya

c. Kelompok usia 48 bulan

- Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa membantu anak dan jangan menyebut lingkaran

- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya


(37)

d. Kelompok usia 54 bulan

- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya

- Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali dengan benar

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

e. Kelompok usia 60 bulan

- Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali dengan benar

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

f. Kelompok usia 66 bulan

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

- Dapat menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh ketia

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

- Dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh ketia

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

g. Kelompok usia 72 bulan

- Dapat menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh ketika


(38)

- Dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh ketika

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP)

Departemen Kesehatan RI (2008) menjelaskan bahwa KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan) adalah alat atau instrumen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Jadwal skrining atau pemeriksaan KPSP rutin adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Cara penggunaan KPSP adalah sebagai berikut:

a. Pada waktu pemeriksaan anak harus dibawa.

b. Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun anak lahir. Bila umur ank lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan, contoh : bayi umur 3 bulan 16 hari, dibulatkan menjadi 4 bulan. Bila umur bayi 3 bulan 15 hari, dibulatkan menjadi 3 bulan. c. Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan

umur anak.

d. KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu :

1. Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak. Contoh:


(39)

2. Perintah kepada ibu/pengasuh anak atau petugas untuk

melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh: “pada

posisi bayi anda terlentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan-lahan ke posisi duduk”.

e. Baca dulu dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bila tidak jelas atau ragu-ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum melaksanakan.

f. Pertanyaan dijawab berurutan satu persatu.

g. Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK. h. Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban.

Dan setelah melakukan pemeriksaan petugas memulai penilaian hasil yang diperoleh telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan interpretasi hasil KPSP sebagai berikut:

1. Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadang-kadang).

2. Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak pernah).

3. Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan perkembangan (S).

4. Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M). 5. Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan

(P).


(40)

2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 2.3.1 Pengertian PAUD

Secara yuridis, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapam dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Suyadi, 2013).

Sedangkan secara institusional, PAUD juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak maupun kecerdasan spiritual. Oleh karena itu penyelenggaraan PAUD disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu sendiri (Suyadi, 2013).

2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan bahwa ruang lingkup lembaga-lembaga PAUD terbagi ke dalam tiga jalur, yakni formal, non formal dan informal. Ketiganya merupakan jejaring pendidikan yang diselenggarakan sebelum pendidikan dasar. Gambar berikut ini mengilustrasikan bentuk penyelenggaraan lembaga PAUD tersebut.


(41)

Gambar 2.1

Jalur dan Jenjang PAUD

Gambar di atas menjelaskan bahwa PAUD jalur pendidikan formal diselenggarakan pada Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal atau bentuk lain yang sederajat dengan rantang usia anak 4-6 tahun. Selanjutnya, pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal diselenggarakan pada kelompok bermain dengan rentang usia 2-4 tahun. Terakhir, pendidikan anak usia dini jalur pendidikan informal diselenggarakan pada tempat penitipan anak dengan rentang usia anak 3 bulan sampai dengan 2 tahun atau bentuk lain yang sederajat (Satuan PAUD Sejenis/SPS) dengan rentang usia anak 3-6 tahun. Berdasarkan penjelasan di atas, maka PAUD di wilayahbinaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama termasuk Satuan PAUD Sejenis. Dimana menurut Suyadi (2013) satuan PAUD Sejenis (SPS) adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan diluar Taman Kanak Kanak, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak dengan rentang usia anak 3-6 tahun. Contohnya: Bina Keluarga Balita (BKB), Posyandu, Pos PAUD, Taman Pendidikan Al Qur’an, Taman Pendidikan Anak Sholeh, Sekolah Minggu dan Bina Iman.

Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain

Jalur Formal

Kelompok Bermain (KB) Jalur Non Formal

Tempat Penetipan Anak (TPA) atau bentuk lain sederajat


(42)

2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) terhadap Status Motorik

2.4.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya.

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi secara langsung yaitu antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).

2.4.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Menurut WHO (2005) standar antropometri penilaian status gizi anak berdasarkan TB/U dan ambang batasnya adalah sebagai berikut:


(43)

Tabel 2.1

Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks TB/U Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Tinggi Badan/ Umur Anak

Sangat Pendek <-3 SD

Pendek -3 SD s/d <-2 SD

Normal -2 SD s/d 2 SD

Sumber: Kemenkes RI, 2011

Indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut (Supariasa, 2002):

a. Kelebihan

1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau.

2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. b. Kekurangan

1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.

2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.

3. Ketepatan umur sulit didapat. 2.4.3 Stunting

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). Menurut penjelasan Hurlock (2000) status gizi lampau yaitu stunting


(44)

perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi sehingga pengendalian tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada pada waktu lahir.

Kaitan status motorik dengan status gizi lampau juga dijelaskan oleh Georgieff (2001) dimana ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal merupakan keadaan malnutrisi kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian

cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga

koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik.

Menurut Herawati (2009) tahapan perkembangan sel dan jaringan saraf dalam otak dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah: 1. Periode pertama sekitar masa kehamilan 32 minggu dan periode

kedua sekitar anak berumur 15 bulan. Gizi yang cukup selama kehamilan akan menghasilkan bayi dengan berat otak dan jumlah sel otak yang optimal. Pada saat lahir 2/3 jumlah sel otak telah terbentuk tapi berat otak baru mencapai sepertiganya. Hal ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar pembelahan sel otak terjadi pada saat janin dalam kandungan. Dalam kandungan, sel-sel otak janin bertambah banyak dengan kecepatan sekita 250 ribu sel setiap menit. 2. Periode kedua yang paling krusial paska kelahiran terjadi pada usia dini khususnya pada usia 0-2 tahun. Pada masa ini selain terjadi


(45)

pembesaran sel otak yang amat pesat, juga masih terjadi pembelahan sel otak untuk melanjutkan 2/3 jumlah sel otak yang telah ternbentuk pada saat anak lahir.

3. Periode ketiga, Usia 3-6 tahun adalah masa kritis ketiga. Pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan juga berlangsung pesat untuk melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada usia sebelumnya.

Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan motorik adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum matangnya sistem syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana perkembangan motorik akan terjadi sebelum periode prenatal dan berlangsung saat sistem syaraf mengalami perkembangan yaitu anak pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008) menjelaskan semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. variasi siswa di PAUD wilayah Kecamatan Kebayoran Lama juga pada usia 3-6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-6 tahun.

Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-5 tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak

stunting, dimana anak yang mengalami stunting mempunyai risiko 6


(46)

dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting

dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun.

Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa anak di daerah Zanzibari, Afrika Timur yang stunting

memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Sedangkan pada penelitian Susanty (2012) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat stunting dengan perkembangan motorik halus dan kasar anak balita.

2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan Status Motorik

Asupan gizi merupakan kebutuhaan anak yang berperan dalam proses tumbuh kembang terutama dalam perkembangan otak. Kemampuan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan saraf motoriknya adalah melalui pemberian asupan gizi yang seimbang. Pemberian asupan gizi seimbang ini sangat berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari janin dalam kandungan, balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai dewasa (Zaviera, 2008).

Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh, dalam hal ini untuk perkembangan motorik, di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan konsumsi atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan


(47)

gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).

Kecukupan gizi anak meningkat seiring dengan pertambahan usia. Menurut Angka Kecukupan Gizi (2013) kecukupan anak dibedakan menjadi kelompok usia, untuk anak usia 3 tahun kecukupan energinya sebesar 1125 kkal, 26 gram untuk protein, 8 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 4 mg. Pada usia 4-6 tahun kecukupan energinya sebesar 1600 kkal, 35 gram untuk protein, 9 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 5 mg.

Namun dalam mengonsumsi makanan tidak hanya jumlah dan kualitas makanan yang harus diperhatikan akan tetapi harus diperhatikan juga cara mengonsumsinya. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi juga untuk menghindari interaksi yang terjadi antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh. Interaksi antar zat gizi bisa berdampak positif dan negatif. Interaksi zat gizi dapat terjadi pada tiga tempat. Pertama, dalam bahan makanan (produk pangan). Kedua, dalam saluran pencernaan dan ketiga, dalam jaringan, sistem transpor dan jalur ekskresi tubuh. Masing-masing interaksi dapat bersifat positif, negatif dan kombinasi antara keduanya (Sulistyoningsih, 2011).

1. Interaksi dalam produk pangan

Zat gizi tertentu, terutama mineral dapat berinteraksi negatif dengan zat non gizi yang terdapat dalam bahan makanan. Asam fitat dalam sayuran, serealia atau umbi-umbian dapat mengikat mineral besi, seng atau magnesium. Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh.


(48)

2. Interaksi dalam saluran pencernaan

Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan. Interaksi itu dapat menguntungkan atau merugikan. Contoh yang menguntungkan adalah interaksi atara vitamin C dengan Fe. Vitamin C dapat meningkatkan kelarutan Fe sehingga Fe lebih mudah diserap tubuh. Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan vitamin B12. Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan penyerapan Ca dan Zn, meskipun ekskresi Zn dalam urine menjadi meningkat.

3. Interaksi dalam metabolisme

Interaksi antara beberapa mineral dapat merugikan tubuh. Khususnya untuk mineral, terdapat dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan koadaptasi. Interaksi yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat fisik dan kimia mineral itu satu sama lain, contohnya adalah Fe dengan Zn, Fe dengan Cr, dan Zn dengan Cu. Mekanisme kompetisi terjadi karena satu mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan menggunakan alat ranspor mineral lain sehingga akan terjadi kekurang salah satu mineral itu. Misalnya transferrin merupakan alat transpor bagi Fe, ternyata dapat digunakan oleh Zn, Ca dan Cr. Sedangkan koadaptasi merupakan upaya adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral tertentu. Koadaptasi dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral tubuh rendah, maka usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan transfer satu mineral. Kedua, apabila persediaan mineral dalam tubuh


(49)

berlebihan, usus akan beradaptasi untuk mengurangi penyerapan mineral tersebut.

2.5.1 Energi

Energi berfungsi mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (Georgieff, 2001). Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter

merupakan pelepasan senyawa melalui sinaps dari akson ke dendrit yang berfungsi memicu rangsangan, yang berjalan menuruni dendrit ke badan sel dan keluar melalui akson, seperti yang tertera pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2

Gambaran Siklus Neurotransmitter Menghasilkan Motorik Hasil penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik kasar dan halus. Demikian juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan ada hubungan antara energi dengan status motorik. Semakin rendah asupan energi maka semakin rendah kemampuan motoriknya.


(50)

2.5.2 Protein

Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan prekursor untuk

neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana protein

disusun oleh asam amino yang terdiri dari esensial dan non esensial. Asam amino tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan mekanisme gerak motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter.

Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).

Georgieff (2001) juga menjelaskan fungsi otak yang baik tergantung pada kapasitas menyerap dan memproses informasi.

Neurotransmitter catecholamies dibentuk dari asam amino dan Tyrosine

dan neurotransmitter serotonin dibentuk dari Tryptophan. Serotonin

menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi, sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak.

Hasil penelitian Susanty et al (2012) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan status motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus. Demikian juga penelitian Herwan (2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan asupan protein dengan perkembangan motorik di Bengkulu pada bayi usia 6-12 bulan.


(51)

2.5.3 Besi (Fe)

Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam fungsi motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim mitokondria yang terdapat di semua bagian berhubungan dengan metabolisme aerobik dari makanan yang menghasilkan energi, dengan kata lain sebagai pusat pembangkit energi (Sadikin, 2002). Westermack et al (2000) menjelaskan bahwa energi dapat mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).

Kedua, besi berfungsi sebagai metabolisme energi di neuron

(Georgieff, 2001). Tambayong (2001) menjelaskan neuron adalah satuan fungsional susunan saraf atau biasa disebut sel saraf. Neuron berfungsi membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Neuron terdiri dua jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron sensoris berfungsi membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan organ dalam ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah neuron

yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh.

Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001).


(52)

mempercepat rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh (Tambayong, 2001).

Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000).

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Olney et al (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat besi dengan perkembangan motorik, dimana anak yang kekurangan zat besi memiliki skor kemampuan kasar lebih rendah. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak.

2.5.4 Seng

Asupan zat gizi merupakan kebutuhan anak yang berperan dalam proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak. Dimana zat seng (Zn) berperan dalam pelepasan neurotransmitter (Georgieff, 2001).

Seperti yang telah dijelaskan oleh Westermack et al (2000) bahwa

neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke

saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).

Dan Black (1998) menyatakan bahwa kekurangan zat seng akan berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan mengganggu respon tingkah laku dan emosi, yang artinya akan berakibat fatalpada perkembangan motorik juga. Demikian pada penelitian Black


(53)

(2003) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat seng dengan perkembangan motorik. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat seng yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak.

2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam

Salah satu cara untuk survei konsumsi adalah dengan recall 24 jam. Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu, pencatatan di deskripsikan secara mendetail oleh pewawancara, meliputi semua makanan dan minuman yang dikonsumsi serta cara pengolahannya, tetapi terkadang responden lupa akan apa yang telah dikonsumsinya, maka dari itu perlu dibantu dengan penjelasan waktu kegiatannya dan sebaiknya dilakukan berulang pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut), tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari (Gibson, 2005).

Menurut Gibson (2005) metode untuk menilai asupan makanan atau zat gizi dapat dilakukan berdasarkan pada tujuan dari penelitian. Metode tersebut dibagi dalam empat tingkat, diantaranya adalah:

1. Tingkat 1

Tingkat satu adalah tingkat paling sederhana. Tujuannya adalah untuk menentukan rata-rata asupan suatu kelompok yang dilakukan pengambilan recall 24 jamsebanyak 1 kali.Dimana semua hari dalam seminggu harus terepresentasi secara keseluruhan dan besar sampel ditentukan oleh tingkat presisi yang dibutuhkan.


(54)

2. Tingkat 2

Tujuannya adalah untuk menentukan proporsi suatu populasi yang beresiko ketidakcukupan asupan gizinya sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari satu hari yaitu dilakukan selama 2 hari secara tidak berurutan.

3. Tingkat 3

Tujuannya adalah untuk menentukan peringkat asupan gizi pada individu dalam suatu kelompok dan juga digunakan untuk menguhubungkan asupan makanan dengan resiko dari penyakit kronis sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari dua hari secara tidak berurutan.

4. Tingkat 4

Tujuannya adalah untuk menentukan asupan makanan atau gizi pada individu untuk konseling atau analisis korelasi dan regresi dengan pengukuran biokimia tiap individu sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari dua hari secara tidak berurutan.

Metode recall 24 jam memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut (Supariasa, 2002):

a. Kelebihan :

1. Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden. 2. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus


(55)

3. Cepat. Sehingga dapat mencakup banyak responden. 4. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf.

5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.

b. Kekurangan :

1. Tidak dapat menggambarkan asupan sehari-hari bila hanya dilakukan recall satu hari.

2. Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden.

3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang

kurus untuk melaporkan lebih banyak dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit.

4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terampil dan terlatih dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

5. Untuk mendapatkan gambaran konsumsi sehari-hari jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari pekan, dll.

2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik 2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik

Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi yang diberikan oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan semua anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan


(56)

motorik dimana Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak. Dimana perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi.

Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada umur 3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak yang sering distimulasi yang mengalami gangguan motorik kasar hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi dengan status motorik kasar, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi dengan status motorik kasar. Dan pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan perkembangan motorik pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%.

Mekanisme kerja stimulasi hingga terjadinya kontraksi atau sebuah motorik atau gerakan yaitu seperti yang dijelaskan oleh Tambayong (2001) yaitu bahwa stimulasi yang diterima dan diteruskan melalui saraf ke otak dan medulla spinalis, tempat pesan-pesan itu dianalisis, digabungkan, dibanding-bandingkan dan dikoordinasikan oleh proses yang disebut integrasi. Setelah dipilih, pesan-pesan itu diteruskan oleh saraf ke otot dan


(57)

kelenjar tubuh, menyebabkan otot berkontraksi atau relaksasi, dan kelenjar bersekresi atau tidak menyekresi produknya.

Gambar 2.3

Gambaran Mekanisme Kerja Stimulasi 2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial

Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002) adalah peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat disimpulkan bahwa stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.


(58)

2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) Latifah (2007) menjelaskan salah satu metode untuk mengukur stimulasi orang tua terhadap anaknya menggunakan kuesioner HOME

(Home Observation for Measurement of the Environment) dari Bettye M.

Caldwell dan Robert H. Bradley (1983). Chandriyani (2009) menjelaskan kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orangtua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orangtua mambu memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orangtua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dan ikut serta dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orangtua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah serta mengikuti kegiatan belajar.

Kuesioner ini dirancang untuk mengukur kuantitas dan kualitas stimulasi dan penyediaan dukungan untuk anak di lingkungan rumah. Fokusnya adalah pada anak di dalam lingkungan, anak sebagai penerima masukan dari objek, peristiwa dan interaksi yang terjadi dalam hubungan dengan lingkungan. Kuesioner ini dirancang untuk penggunaan selama masa kanak-kanak (3-6 tahun). Kuesioner ini terdiri dari 55 buah pertanyaan yang dilakukan dengan wawancara dan observasi dan terbagi menjadi 8 sub skala yaitu: stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan,


(59)

stimulasi akademik, modelling, variasi stimulasi kepada anak, dan hukuman positif (Latifah, 2007).

2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak 2.7.1 Pengasuhan Anak

Pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktikan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek atau orang lain) dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, stimulasi serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang, juga termasuk di dalamnya tentang kasih sayang dan tanggung jawab orang tua (Rumini dan Sundari, 2004).

Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah (2007) menjelaskan bagian dari cara pengasuhan terhadap anak yang menentukan kualitas motorik anak adalah stimulasi psikososial. Stimulasi psikososial tidak hanya terdiri dari stimulasi sensorik namun juga meliputi stimulasi afektif. Stimulasi sensorik yaitu berperan untuk merangsang aktivitas otot sedangkan stimulasi afektif meliputi aspek sosial dan kognitif yang berperan untuk terwujudnya perkembangan motorik secara optimal.Stimulasi psikososial merupakan stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga yang terdiri dari memberikan kehangatan, suasana penerimaan, pemberian teladan atau contoh, pemberian pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik anak.


(60)

2.7.2 Gizi

Anak yang mengalami kekurangan gizi dapat menyebabkan isolasi diri, yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak dengan mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, perilaku

eksploratori, perhatian dan motivasi. Pada keadaan ini, anak menjadi tidak

aktif, apatis, pasif dan tidak mampu bekonsentrasi. Akibatnya anak dalam melakukan kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja. Hal ini jika dibiarkan berlanjut akan menghambat perkembangan motoriknya (Rumini dan Sundari, 2004).

Keadaan kurang gizi juga berhubugan dengan keterlambatan perkembangan motorik, dalam hal ini panjang badan atau tinggi badan terhadap umur. Apabila keadaan kurang gizi diperbaiki dengan pemberian asupan makanan yang adekuat maka perkembangan motorik bertambah baik. Sebaliknya apabila keadaan kurang gizi diperparah dengan pemberian asupan makanan yag tidak adekuat maka perkembangan motorik bertambah buruk. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan motorik berhubungan erat dengan keadaan gizi (Husaini, 2002).

2.7.3 Lingkungan anak

Lingkungan anak adalah tempat dimana pengasuh mempraktikkan pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga dan masyarakat, semuanya berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak (Rumini dan Sundari, 2004).


(61)

2.8 Kerangka Teori

Berdasarkan penjelasan teori di atas, Rumini dan Sundari (2004) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak meliputi pengasuhan anak, gizi dan lingkungan anak. Penjelasan lebih lanjut oleh Georgieff (2001) mengenai hubugan asupan makanan yang cukup yaitu terdiri dari energi, protein, lemak, seng (Zn) dan zat besi (Fe), dan stunting

terhadap perkembangan motorik. Dan Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah (2007) menjelaskan stimulasi psikososial merupakan bagian dari cara pengasuhan anak. Dan juga dijelaskan lebih lanjut mengenai stimulasi psikososial oleh Depkes RI (2009) dan Hurlock (2000). Namun menurut Soetjiningsih, dkk (2002) perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, yang merupakan bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya seperti kerdil. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada bagan dibawah ini:


(62)

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Rumini dan Sundari (2004), Soetjiningsih, dkk (2002), Caldwell dan Bradley (2003) dalam Latifah (2007), Hurlock (2000) dan Georgieff (2001).

Genetik

Pengasuhan Anak Stimulasi Psikososial

Perkembangan Motorik Anak a. Motorik

Kasar (Impuls Syaraf dan Otot) b. Motorik

Halus (Impuls Syaraf dan Otot) Gizi

1. Status GiziTB/U (stunting)

2. Asupan gizi a. Energi b. Protein c. Seng (Zn)


(63)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik terdiri dari genetik, pengasuhan anak, gizi yang terdiri dari satus gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U), asupan gizi (energi, protein, besi dan seng) dan lingkungan anak.

Dalam penelitian ini ada dua variabel yang tidak diteliti, diantaranya adalah variabel genetik dan lingkungan anak. Alasannya variabel genetik tidak diteliti namun dikontrol karena keterbatasan peneliti untuk melakukan test genetik dan keterbatasan orang tua atau pengasuh dalam mengingat kejadian masa lalu yang berhubungan dengan perkembangan. Dan variabel lingkungan anak tidak diteliti karena lingkungan anak menurut Rumini dan Sundari (2004) adalah tempat dimana pengasuh mempraktikkan pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga dan masyarakat, dimana variabel tersebut sudah terwakili dengan variabel stimulasi psikososial yang mencakup pemberian kehangatan, suasana penerimaan, teladan atau contoh, pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik anak.


(1)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 30.597a 1 .000

Continuity Correctionb 28.127 1 .000 Likelihood Ratio 36.956 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 30.237 1 .000 N of Valid Casesb 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

asupan_energi (kurang / cukup)

.018 .002 .143

For cohort motorik_kasar =

sesuai .364 .252 .525 For cohort motorik_kasar =

terlambat 20.093 2.893 139.551 N of Valid Cases 85

8.

Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein

asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

Total sesuai terlambat

asupan_protein kurang Count 32 22 54 % within asupan_protein 59.3% 40.7% 100.0%

cukup Count 17 14 31

% within asupan_protein 54.8% 45.2% 100.0%


(2)

asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

Total sesuai terlambat

asupan_protein kurang Count 32 22 54 % within asupan_protein 59.3% 40.7% 100.0%

cukup Count 17 14 31

% within asupan_protein 54.8% 45.2% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_protein 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .158a 1 .691

Continuity Correctionb .029 1 .866 Likelihood Ratio .157 1 .692

Fisher's Exact Test .820 .432

Linear-by-Linear Association .156 1 .693 N of Valid Casesb 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

asupan_protein (kurang / cukup)

1.198 .491 2.922

For cohort motorik_kasar =

sesuai 1.081 .733 1.594 For cohort motorik_kasar =

terlambat .902 .545 1.493 N of Valid Cases 85


(3)

9.

Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi

asupan_besi * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

Total sesuai terlambat

asupan_besi kurang Count 1 32 33 % within asupan_besi 3.0% 97.0% 100.0%

cukup Count 48 4 52

% within asupan_besi 92.3% 7.7% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_besi 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 65.905a 1 .000

Continuity Correctionb 62.299 1 .000 Likelihood Ratio 78.673 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 65.130 1 .000 N of Valid Casesb 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.98. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for asupan_besi

(kurang / cukup) .003 .000 .024 For cohort motorik_kasar =

sesuai .033 .005 .227 For cohort motorik_kasar =

terlambat 12.606 4.907 32.383 N of Valid Cases 85


(4)

10.

Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Seng

asupan_seng * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

Total sesuai terlambat

asupan_seng kurang Count 21 24 45 % within asupan_seng 46.7% 53.3% 100.0%

cukup Count 28 12 40

% within asupan_seng 70.0% 30.0% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_seng 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 4.722a 1 .030

Continuity Correctionb 3.815 1 .051 Likelihood Ratio 4.787 1 .029

Fisher's Exact Test .047 .025

Linear-by-Linear Association 4.667 1 .031 N of Valid Casesb 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.94. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for asupan_seng

(kurang / cukup) .375 .153 .917 For cohort motorik_kasar =

sesuai .667 .459 .968 For cohort motorik_kasar =

terlambat 1.778 1.029 3.071 N of Valid Cases 85


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 34.634a 1 .000

Continuity Correctionb 32.069 1 .000 Likelihood Ratio 40.026 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 34.226 1 .000 N of Valid Casesb 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.25. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for stunting

(normal / stunting) 38.533 8.178 181.566 For cohort motorik_kasar =

sesuai 3.085 2.009 4.738 For cohort motorik_kasar =

terlambat .080 .021 .312 N of Valid Cases 85

stunting * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

Total sesuai terlambat

Stunting normal Count 34 2 36 % within stunting 94.4% 5.6% 100.0% stunting Count 15 34 49 % within stunting 30.6% 69.4% 100.0%

Total Count 49 36 85


(6)

12.

Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial

stimulasi_PsiKlp * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

Total sesuai terlambat

stimulasi_PsiKlp Stimulasi psikososial kurang Jika skor 0-29

Count 5 14 19

% within stimulasi_PsiKlp 26.3% 73.7% 100.0% Stimulasi psikososial cukup

Jika skor 30-45

Count 37 21 58

% within stimulasi_PsiKlp 63.8% 36.2% 100.0% Stimulasi psikososial baik

Jika skor 46-55

Count 7 1 8

% within stimulasi_PsiKlp 87.5% 12.5% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within stimulasi_PsiKlp 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 11.457a 2 .003 Likelihood Ratio 11.976 2 .003 Linear-by-Linear Association 11.011 1 .001 N of Valid Cases 85

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.39.

Risk Estimate

Value Odds Ratio for

stimulasi_PsiKlp (Stimulasi psikososial kurang Jika skor 0-29 / Stimulasi psikososial cukup Jika skor 30-45)

a

a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.


Dokumen yang terkait

Hubungan Asupan Protein Dan Zat Besi Dengan Status Anemia Pada Ibu Hamil Di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

10 77 94

Hubungan Pemberian Stimulasi Dengan Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 1-5 Tahun di Gampong Rantau Panyang Barat Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014

5 74 101

Hubungan antara Asupan Protein dan Status Gizi Pada Balita di Puskesmas Cikidang Kecamatan Cikidang Kabupaten Sukabumi tahun 2012

0 10 53

Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 tahun di PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014

19 85 149

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI, ASUPAN BESI DAN ASUPAN SENG TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS BAYI USIA Hubungan antara Status Gizi, Asupan Besi dan Asupan Seng Terhadap Perkembangan Motorik Halus Bayi Usia 7-11 Bulan di Desa Hargorejo Kecamatan Kokap

0 2 15

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI, ASUPAN BESI DAN ASUPAN SENG TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS BAYI USIA Hubungan antara Status Gizi, Asupan Besi dan Asupan Seng Terhadap Perkembangan Motorik Halus Bayi Usia 7-11 Bulan di Desa Hargorejo Kecamatan Kokap

0 6 17

SKRIPSI PERBEDAAN TINGKAT ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN ZAT GIZI MIKRO Perbedaan Tingkat Asupan Energi, Protein Dan Zat Gizi Mikro (Besi, Vitamin A, Seng) Antara Anak SD Stunting Dan Non Stunting Di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

0 4 18

PENDAHULUAN Perbedaan Tingkat Asupan Energi, Protein Dan Zat Gizi Mikro (Besi, Vitamin A, Seng) Antara Anak SD Stunting Dan Non Stunting Di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

0 5 7

NASKAH PUBLIKASI Perbedaan Tingkat Asupan Energi, Protein Dan Zat Gizi Mikro (Besi, Vitamin A, Seng) Antara Anak SD Stunting Dan Non Stunting Di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

0 3 15

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN ENERGI, PROTEIN, BESI, SENG DAN STATUS GIZI DENGAN STATUS IMUNITAS ANAK BALITA DI RW VII KELURAHAN SEWU, KECAMATAN JEBRES, KOTA SURAKARTA.

0 0 7