93
konsumsi responden yang cenderung jarang menkonsumsi makan sumber zat besi yang disebutkan di atas dan cenderung mengkonsumsi daging dan diiringi
dengan mengkonsumsi teh, hal ini yang meyebabkan kurangnya konsumsi zat besi kurang dan penyerapan besi terhambat.
Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 72,7 siswa yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan besi yang
kurang. Dan didapatkan bahwa 97 siswa yang memiliki status motorik kasar terganggu juga mempunyai asupan besi yang kurang. Hal tersebut diperkuat
dengan penelitian Olney et al 2007 yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat besi dengan perkembangan motorik, dimana anak yang kekurangan
zat besi memiliki skor kemampuan kasar lebih rendah. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et al 2004 bahwa terdapat dampak positif pada
suplementasi zat besi yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak. Disimpulkan bahwa kondisi asupan zat besi pada siswa PAUD wilayah
binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius yaitu terdapat 33 orang 38,8 jika dibandingkan dengan kebijakan dan
strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47 dan dari hasil uji bivariat
menujukkan bahwa asupan besi secara signifikan berhubungan dengan status motorik kasar p=0,00 p0,05 dan status motorik halus p=0,00 p0,05. Oleh
karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang
mengandung zat besi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua
94
tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan besi dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.
6.6 Gambaran Asupan Seng dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar
dan Halus
Seng adalah mineral mikro esensial baik pada manusia. Mineral ini diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga dapat tetap melihat di
kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi lambung, kesehatan kulit, pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi,
pertumbuhan janin dan sistem pusat saraf Kemenkes RI, 2014. Pangan sumber seng diantaranya adalah ikan terutama kerang dan daging sedangkan dari
tumbuhan adalah serealia. Seng dari sumber nabati umumnya rendah dibanding sumber hewani Hotz, 2004 dalam Kemenkes RI, 2014.
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi seng di bawah
kebutuhan minimal yaitu 45 orang 52,9 dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi seng di atas kebutuhan minimal yaitu 40 orang 47,1.
Hal ini sejalan dengan penelitian Ferdiansyah, dkk 2009 yang menyatakan bahwa masih tinggi defisiensi seng dimana terdapat 62 balita usia
37-60 bulan yang mengalami defisiensi seng dengan menggunakan pengukuran recall 2 x 24 jam.
Defisiensi seng dikarenakan kurangnya asupan seng, atatu kurangnya absorsi seng ke dalam tubuh. Tanda-tanda defisiensi seng meliputi rambut
rontok, luka pada kulit, diare, kehilangan jaringan tubuh dan akhirnya kematian.
95
Defisiensi seng dapat menyebabkan rusaknya organ dan fungsi penglihatan, pengecap, bau dan ingatan, gangguan pertumbuhan, luka kulit dan
perkembangan jenis kelamin yang tidak normal pada remaja laki-laki. Selain itu defisiensi seng juga dapat menyebabkan anemia, rendahnya daya tahan terhadap
infeksi, sintesis kolagen tidak normal, menurunya fungsi pencernaan dan pengecapan serta gangguan sitem otak saraf yang dapat menyebabkan
kemunduran mental Soetardjo dkk, 2011. Bedasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan asupan
zat seng kurang sebanyak 28 anak 62,2 memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31
anak 77,5 memiliki status motorik halus normal. Pada hasil uji Chi-square didapatkan bahwa status asupan besi tidak berhubungan dengan status motorik
halus pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 Pvalue 0,16.
Dan berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng kurang sebanyak 21 anak 46.7 memiliki status motorik kasar
normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28 anak 70 memiliki status motorik kasar normal. Pada hasil uji Chi-square
didapatkan bahwa status asupan seng tidak berhubungan dengan status motorik kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014 Pvalue 0,25. Hal ini Hal ini tidak sesuai dengan teori Georgieff 2001 dimana seng
berperan dalam proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak dalam
96
pelepasan neurotransmitter dimana neurotransmitter merupakan zat kimia yang ada di otak yang dipengaruhi oleh energi yang bertugas menghantarkan impuls
dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pada responden yang rendah asupan
seng memiliki asupan energi yang rendah juga. Soetardjo 2011 menjelaskan bahwa seng berperan dalam reaksi yang berkaitan dengan karbohidrat, protein,
lipida, dan asam nukleat. Dalam hal ini seng berperan sebagai katalisator energi dalam sistem neurotransmitter untuk menghasilkan gerak motorik sehingga
semakin besar asupan energi maka semakin besar pula asupan seng yang diperlukan untuk mepercepat sistem neurotransmitter.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi asupan zat seng pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi
yang serius yaitu terdapat 45 orang 52,9 jika dibandingkan dengan kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah
tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47 dan dari hasil uji bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan seng
dengan status motorik kasar p=0,25 p0,05 dan dengan status motorik halus p=0,16 p0,05. Namun dari pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi
kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang mengandung zat seng yang adekuat dan memberikan
simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan zat seng dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing
anak.
97
6.7 Gambaran Stunting dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan
Halus
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu,
dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang msuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan
manfaatnya. Penilaian status gizi secara langsung yaitu antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi Supariasa, 2002.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu Supariasa, 2002. Menurut Gibson 2005
stunting merupakan hasil dari jangka panjang pada ketidakcukupan asupan makanan, kualitas diet yang buruk, angka kematian yang meningkat atau
kombinasi dari ketiganya. Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa
paling banyak responden yang memiliki status gizi pendek stunting yaitu 49 orang 57.6 dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi
pendek stunting yaitu 36 orang 42.4.