28
dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting
dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun. Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al
2007 bahwa anak di daerah Zanzibari, Afrika Timur yang stunting memiliki skor Total Motor Activity TMA atau jumlah aktivitas
motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Sedangkan pada penelitian
Susanty 2012 bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat stunting dengan perkembangan motorik halus dan kasar anak
balita.
2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi Energi, Protein, Besi dan Seng dengan Status Motorik
Asupan gizi merupakan kebutuhaan anak yang berperan dalam proses tumbuh kembang terutama dalam perkembangan otak. Kemampuan anak untuk
dapat mengembangkan kemampuan saraf motoriknya adalah melalui pemberian asupan gizi yang seimbang. Pemberian asupan gizi seimbang ini sangat
berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari janin dalam kandungan, balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai dewasa Zaviera, 2008.
Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan
tubuh, dalam hal ini untuk perkembangan motorik, di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan konsumsi
atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan
29
gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi
kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit Sediaoetama, 2000. Kecukupan gizi anak meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Menurut Angka Kecukupan Gizi 2013 kecukupan anak dibedakan menjadi kelompok usia, untuk anak usia 3 tahun kecukupan energinya sebesar 1125
kkal, 26 gram untuk protein, 8 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 4 mg. Pada usia 4-6 tahun kecukupan energinya sebesar 1600 kkal, 35 gram untuk
protein, 9 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 5 mg. Namun dalam mengonsumsi makanan tidak hanya jumlah dan kualitas
makanan yang harus diperhatikan akan tetapi harus diperhatikan juga cara mengonsumsinya. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi juga untuk
menghindari interaksi yang terjadi antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh. Interaksi antar zat gizi bisa berdampak positif dan negatif. Interaksi zat gizi
dapat terjadi pada tiga tempat. Pertama, dalam bahan makanan produk pangan. Kedua, dalam saluran pencernaan dan ketiga, dalam jaringan, sistem transpor
dan jalur ekskresi tubuh. Masing-masing interaksi dapat bersifat positif, negatif dan kombinasi antara keduanya Sulistyoningsih, 2011.
1. Interaksi dalam produk pangan Zat gizi tertentu, terutama mineral dapat berinteraksi negatif dengan zat non
gizi yang terdapat dalam bahan makanan. Asam fitat dalam sayuran, serealia atau umbi-umbian dapat mengikat mineral besi, seng atau magnesium.
Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh.
30
2. Interaksi dalam saluran pencernaan Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan.
Interaksi itu dapat menguntungkan atau merugikan. Contoh yang menguntungkan adalah interaksi atara vitamin C dengan Fe. Vitamin C
dapat meningkatkan kelarutan Fe sehingga Fe lebih mudah diserap tubuh. Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan vitamin B12.
Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan penyerapan Ca dan Zn, meskipun ekskresi Zn dalam urine menjadi meningkat.
3. Interaksi dalam metabolisme Interaksi antara beberapa mineral dapat merugikan tubuh. Khususnya untuk
mineral, terdapat dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan koadaptasi. Interaksi yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat
fisik dan kimia mineral itu satu sama lain, contohnya adalah Fe dengan Zn, Fe dengan Cr, dan Zn dengan Cu. Mekanisme kompetisi terjadi karena satu
mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan menggunakan alat ranspor mineral lain sehingga akan terjadi kekurang salah satu mineral itu.
Misalnya transferrin merupakan alat transpor bagi Fe, ternyata dapat digunakan oleh Zn, Ca dan Cr. Sedangkan koadaptasi merupakan upaya
adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral tertentu. Koadaptasi dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral
tubuh rendah, maka usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan transfer satu mineral. Kedua, apabila persediaan mineral dalam tubuh
31
berlebihan, usus akan beradaptasi untuk mengurangi penyerapan mineral tersebut.
2.5.1 Energi
Energi berfungsi mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari
satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik Georgieff, 2001. Westermack et al 2000 menjelaskan neurotransmitter
merupakan pelepasan senyawa melalui sinaps dari akson ke dendrit yang berfungsi memicu rangsangan, yang berjalan menuruni dendrit ke badan
sel dan keluar melalui akson, seperti yang tertera pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.2 Gambaran Siklus
Neurotransmitter Menghasilkan Motorik
Hasil penelitian Susanty et al 2012 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik
kasar dan halus. Demikian juga penelitian Kartika 2002 menunjukkan ada hubungan antara energi dengan status motorik. Semakin rendah
asupan energi maka semakin rendah kemampuan motoriknya.