Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) (Studi Kasus Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan (S.Pd)

Oleh Lisnawati NIM: 1112015000014

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1438 H/2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Lisnawati (NIM : 1112015000014). Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 2016.

Persepsi masyarakat terhadap kebijakan yang ditempuh Pemerintah merupakan hal krusial. Para pengambil kebijakan harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kebijakan yang ditempuhnya agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat dicapai. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berada di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Sampel dalam penelitian ini adalah penjual dan pembeli barang elektronik di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Teknik pengambilan sampel menggunakan

accidental sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model Miles and Huberman yang terdiri dari reduksi data, data display, dan conclusion drawing.

Berdasarkan hasil wawancara dan studi dokumentasi diketahui bahwa persepsi masyarakat terhadap kebijakan penghapusan PPnBM adalah sebanyak 73 % masyarakat menyatakan setuju atau memberikan respon positif terhadap adanya kebijakan penghapusan PPnBM, 9 % masyarakat menyatakan respon negatif terhadap kebijakan penghapusan PPnBM dan sebanyak 18 % masyarakat masih mengalami kebingungan mengenai kebijakan Pemerintah menghapuskan PPnBM. Namun, setelah dihubungkan dengan jumlah penjualan pasca berlakunya PMK No. 106/PMK.010/2015, dapat dinyatakan 60 % masyarakat menyatakan kebijakan Pemerintah menghapuskan sebagian objek PPnBM diantaranya AC, lemari es, mesin cuci, TV, kamera dapat menurunkan jumlah penjualan terhadap barang tersebut, sedangkan 40 % lainnya menyatakan kebijakan tersebut tidak mempengaruhi jumlah penjualan atau dengan kata lain jumlah penjualan terhadap barang-barang yang dihapuskan pengenaan PPnBM masih standar meskipun sudah diterbitkan kebijakan penghapusan sebagian besar objek PPnBM. Dari sudut pembeli, sekitar 83 % masyarakat menyatakan kebijakan Pemerintah menghapuskan sebagian objek PPnBM diantaranya AC, lemari es, mesin cuci,TV dan kamera tidak dapat meningkatkan daya beli masyarakat terhadap barang tersebut.


(6)

ii

ABSTRACT

Lisnawati (NIM: 1112015000014). Public Perception Deletion Policy Against Sales Tax on Luxury Goods (Tax) in Pasar Ciputat, South Tangerang, Banten, 2016.

Public perception of the policies pursued by the government is crucial. Policy makers should be able to provide insight to the public about the policies which he passes for the purpose of these policies can be achieved. This study was conducted to determine how the public perception of the policy of eliminating the sales tax on luxury goods (Tax).

The method used in this study is a qualitative research method. The population in this study are all people who are in Pasar Ciputat, South Tangerang, Banten. The sample in this study is the seller and buyer of electronic goods in the market Ciputat, South Tangerang, Banten. The sampling technique uses accidental sampling. Data collection techniques used were interviews and documentation study. Data analysis technique used is the model of Miles and Huberman consisting of data reduction, a data display, and conclusion drawing.

Based on interviews and documentation study note that the public perception of policy to eliminate sales tax on luxury is as much as 73% of people agree or give a positive response to their removal policies PPnBM, 9% of people expressed a negative response to the deletion policy PPnBM and as much as 18% of the people were confused about The government policy of eliminating PPnBM. However, after being linked with a number of sales after the entry into force of PMK No. 106 / PMK.010 / 2015, it can be stated 60% of people stated Government policy takes away part of the object PPnBM including air conditioners, refrigerators, washing machines, TVs, cameras can reduce the amount of sales of goods, while 40% stated the policy does not affect the number of sales or in other words the amount of sales of the goods which abolished the imposition of sales tax on luxury is still the standard despite the published policy of eliminating most of the objects PPnBM. From the point of shoppers, about 83% of people stated Government policy takes away part of the object PPnBM including air conditioners, refrigerators, washing machines, TVs and cameras can not increase the purchasing power of goods.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat beriring salam selalu tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga yaumul akhir. Dengan semua ketentuan-Nya penulis dapat menyelesaikan skrispi dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten”. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Penasihat Akademik sekaligus sebagai Dosen Pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan bimbingan, nasehat, motivasi, dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. H. Syaripulloh, M.Si, sebagai Sekertaris Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pengampu matakuliah Teori Sosiologi yang telah memberikan ilmu, nasihat, saran, sehingga peneliti dapat memahami kajian ilmu sosiologi lebih mendalam. 4. Tri Harjawati, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing kedua yang telah

meluangkan waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan ilmu, nasehat, motivasi, arahan dan kritik membangun kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.


(8)

iv

6. Pimpinan beserta segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi penulis dalam melengkapi literatur penelitan.

7. Pimpinan beserta segenap staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi penulis dalam melengkapi literatur penelitan.

8. Segenap penjual maupun pembeli di toko barang elektronik di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, atas informasi, bantuan, dan sarannya sehingga penelitian dapat dilakukan dengan baik.

9. Kedua orang tua ku tercinta Bapak Halimi, A.Ma, dan Ibu Nunung Hadaningsih yang telah merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta, memberikan doa yang begitu tulus dan selalu dipanjatkan untuk anak-anaknya. Terlebih, dukungan yang begitu besar kepada penulis dari mulai penulis melakukan penyusunan proposal skripsi, melakukan penelitian, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Kedua adikku tersayang Muhammad Taupik yang baru saja menginjak bangku perkuliahan dan Dimas Maulana Aziz yang sedang berusaha menemukan rumus baru dan membuat komik dengan slogannya “Kecil

-Kecil Punya Karya (KPK)”. Keduanya selalu memberikan keceriaan

sehingga membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna yang menjadi alasan terbesar penulis untuk pulang ke rumah.

11. Untuk Kakek dan Nenekku, Bapak Engki dan Embu yang selalu memberikan doa dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Segenap Guru Madrasah Aliyah Negeri 1 Rangkasbitung yang telah memberikan doa, ilmu dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

13. Reza Mukhlisin, S.E., yang telah memberikan doa, dukungan dan menjadi teman diskusi cerdas yang selalu memberikan solutif maupun kritik membangun terhadap peneliti.


(9)

v

14. Seluruh sahabatku, mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial angkatan 2012 untuk setiap doa, motivasi dan kebersamaan yang tidak tergantikan.

Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini.Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya maupun pembaca pada umumnya sebagai sumber referensi.

Jakarta, 13 Oktober 2016


(10)

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Persepsi ... 8

1. Pengertian Persepsi ... 8

2. Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi ... 9

3. Skema Persepsi ... 10

4. Perubahan Persepsi ... 11

5. Persepsi dalam Pandangan Al-Qur’an ... 11


(11)

vii

1. Pengertian Masyarakat ... 12

2. Kebutuhan-kebutuhan Masyarakat ... 13

C. Kebijakan ... 14

1. Pengertian Kebijakan ... 14

2. Konsep dan Lingkup Kebijakan Piblik ... 15

3. Arti Pentingnya Studi Kebijakan Publik ... 16

4. Jenis-jenis Kebijakan ... 17

5. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan ... 18

6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan ... 23

D. Penghapusan ... 29

E. Pajak ... 29

1. Pengertian Pajak ... 29

2. Pajak di Dalam Sistematika Tata Hukum ... 30

F. Pajak Penjualan atas Barang Mewah ... 31

1. Pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah ... 31

2. Karakteristik Pajak Penjualan atas Barang Mewah .... 32

3. Kedudukan dalam UU PPN ... 33

4. Jenis Harta yang Tergolong Mewah ... 34

5. Pengenaan dan Pemungutan Pajak Pada PPnBM ... 34

G. Penelitian yang Relevan ... 35

H. Kerangka Berpikir ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

B. Metode Penelitian ... 42

C. Populasi dan Sampel ... 43

D. Teknik Pengumpulan Data ... 45

E. Instrumen Penelitian ... 46

F. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ... 53


(12)

viii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

A. Deskripsi Data ... 59

B. Temuan Hasil Penelitian ... 60

C. Analisis Data ... 69

D. Pembahasan ... 80

E. Keterbatasan ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 83


(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 2.1 Skema Persepsi ... 10 2. Gambar 2.3 Siklus Pengambilan Kebijakan ... 21 3. Gambar 2.3 Kerangka Berpikir ... 41


(14)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 2.1 Penelitian Relevan... 38

2. Tabel 3.1 Jadwal Penelitian... 42

3. Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Untuk Penjual ... 46

4. Tabel 3.3 Pedoman Wawancara Untuk Pembeli ... 50

5. Tabel 3.4 Pedoman Studi Dokumentasi ... 53

6. Tabel 4.1 Profil Penjual Barang Elektronik ... 58

7. Tabel 4.2 Profil Pembeli Barang Elektronik ... 59

8. Tabel 4.3 Kategori Barang Mewah ... 70


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Bimbingan Skripsi. 2. Surat Pengantar Penelitian. 3. Lembar Uji Referensi. 4. Instrumen Wawancara 5. Transkrip Wawancara.

6. Deskripsi Data Hasil Wawancara. 7. Persentase Jawaban Responden.

8. Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia No.570/ KMK.04/ 2000.

9. Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.39/ KMK.03/2003. 10. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.620/ PMK.03/2004. 11. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.103/ PMK.03/2009. 12. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 121/ PMK.011/2013. 13. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.011/2013. 14. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.106/PMK.010/2015. 15. Surat Keterangan Pers.

16. Tabel Realisasi Penerimaan Pajak hingga 31 Juli 2015. 17. UU Nomor 42 Tahun 2009 PPN dan PPnBM.

18. Foto-foto Selama Proses Penelitian. 19. Daftar Riwayat Hidup.


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Memasuki pertengahan 2015, tepatnya Senin, 08 Juni 2015, Pemerintah melalui Kementrian Keuangan menetapkan kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan penghapusan PPnBM tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015. Setelah melalui proses administrasi di Kemenkum HAM PMK, akhirnya kebijakan ini diundangkan di Jakarta pada 9 Juni 2015. Kebijakan penghapusan PPnBM bukan hal yang pertama kalinya dilakukan Pemerintah. Pemerintah melalui Kementrian Keuangan telah mengubah PMK PPnBM sebanyak 6 kali dalam kurun waktu ± 15 tahun. Diawali dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia No.570/ KMK.04/ 2000 pada 26 Desember 2000 tentang jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan pajak penjualan atas barang mewah, kemudian menggantinya dengan KMK No.39/ KMK.03/2003, PMK No.620/ PMK.03/2004, PMK No.103/ PMK.03/2009, PMK No. 121/ PMK.011/2013, PMK No. 130/PMK.011/2013 dan terakhir PMK No.106/PMK.010/2015.

Dua hari pasca diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 yaitu pada 11 Juni 2015, Pemerintah melalui situs resminya www.kemenkeu.go.id mengeluarkan surat keterangan pers mengenai kebijakan tersebut. Dalam surat keterangan pers tersebut dijelaskan bahwa kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.010/2015 bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah gejala pelambatan ekonomi dan untuk lebih mendorong tumbuhnya industri dalam negeri atas produk-produk yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri, serta mengurangi kecenderungan masyarakat untuk membeli barang


(17)

di luar negeri, Pemerintah menganggap perlu melakukan kebijakan penghapusan atas sebagian barang selain kendaraan bermotor dari objek PPnBM. Hal demikian perlu dilakukan mengingat sebagian besar barang yang tergolong mewah menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.011/2013, juga sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat secara luas sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Selain itu, penghapusan PPnBM atas sebagian barang yang pemenuhan kewajiban PPnBM-nya sulit untuk diawasi diharapkan juga akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Dengan meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak maka akan berdampak positif pada optimalisasi penerimaan perpajakan secara umum.

Kebijakan penghapusan PPnBM membuat publik kembali mempertanyakan keseriusan Pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan. Pasalnya, bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, kebijakan Pemerintah dalam penghapusan PPnBM kontradiktif dengan Penjelasan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2009 PPN dan PPnBM yang menyebutkan dikenakannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa :

a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi; b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.1

Kebijakan Pemerintah menghapus PPnBM bertentangan dengan poin a. Kebijakan penghapusan PPnBM dapat mencederai rasa keadilan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi, karena tujuan dikenakannya PPnBM untuk mengurangi kesenjangan tingkat pendapatan masyarakat. Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam,

1Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 2 Seri PPnBM, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. L-29.


(18)

menilai, kebijakan tersebut telah menciderai rasa keadilan masyarakat, terutama masyarakat kecil yang sudah berkorban menanggung beban kenaikan harga barang akibat dicabutnya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).2

Untuk poin b, penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) justru dapat meningkatkan perilaku konsumtif masyarakat terhadap barang mewah. Berdasarkan data riset Global Consumer Confidence Index

dari Nielsen, mengatakan bahwa secara internasional, Indonesia kembali menempati posisi ke-3 teratas di seluruh dunia yang paling optimis belanja setelah dua negara Asia lainnya yaitu India dan Filipina yang masing-masing menempati posisi pertama dan kedua.3

Komentar lain untuk menjawab poin c datang dari Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, yang mengatakan, kebijakan tersebut justru akan berdampak signifikan negatif terhadap industri domestik. Menurut Enny,

“Kalau semakin dibanjiri dengan barang-barang impor, hal ini justru malah semakin mendesak industri domestik dan mengakibatkan keterpurukan, mereka (industri domestik) tidak mampu bersaing,” kata Enny dihubungi Kompas.com, Minggu (14/6/2015). 4

Untuk poin d, kebijakan penghapusan PPnBM kontradiktif dengan data hasil realisasi penerimaan Pajak periode 31 Juli 2015 yang menujukkan bahwa kebijakan Pemerintah menghapus Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas barang-barang tertentu menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan negara dari sektor Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Dalam Negeri yakni 14,09 % atau sebesar Rp 5.325 triliun dibandingkan

2Rfq, “Anggota Dewan Kritik Kebijakan Penghapusan PPnBM,” artikel diakses pada 4 Oktober 2016 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt557fcc2825f0b/anggota-dewan-kritik-kebijakan-penghapusan-ppnbm.

3Agus Nurudin, “Indonesia Urutan Ketiga Negara Paling Optimis Sedunia,” artikel diakses pada 4 Oktober 2016 dari http://www.jakartasatu.com/2016/02/indonesia-urutan-ketiga-negara-paling-optimis-sedunia/

4Estu Suryowati, “Pajak Barang Mewah Dihapuskan, Industri Domestik Bisa Terdesak?,” artikel diakses pada 10 Oktober 2016 dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/06/15/085225826/ Pajak.Barang.Mewah.Dihapuskan.Industri.Domestik.Bisa.Terdesak.


(19)

periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 6.093 triliun. Selain itu,

keputusan Pemerintah untuk menutup kekurangan pendapatan negara akibat dihapuskannya sebagian dari objek PPnBM dengan cara menaikkan tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas impor dari 7,5 % menjadi 10 % ternyata tidak membuahkan hasil apapun. Faktanya pendapatan negara dari pemungutan PPh Pasal 22 atas Impor meskipun tarifnya sudah dinaikkan namun tetap terjadi penurunan pertumbuhan sebesar 8,52 % atau sebesar Rp 23.681,41 (dalam miliar rupiah) dibandingkan periode yang sama ditahun 2014 sebesar Rp25.886,31 (dalam miliar rupiah) (data terlampir).5

Lantas, masih sesuaikah kebijakan Pemerintah menghapus Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dengan amanat UU Nomor 42 Tahun 2009 PPN dan PPnBM tersebut? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan ini ?

Berdasarkan deskripsi di atas, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan kajian ilmiah mengenai persepsi masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah menghapuskan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas barang-barang tertentu. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)”.

5 Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, “Realisasi Penerimaan Pajak per 31 Juli 2015,” artikel diakses pada 10 Oktober 2016 dari http://www.pajak.go.id/content/realisasi-penerimaan-pajak-31-juli-2015


(20)

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka dapatlah penulis identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dapat mencederai rasa keadilan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi karena tujuan dikenakannya PPnBM untuk mengurangi kesenjangan tingkat pendapatan masyarakat.

2. Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dapat meningkatkan perilaku konsumtif masyarakat atas barang mewah tersebut.

3. Kebijakan penghapusan PPnBM berdampak signifikan negatif terhadap industri domestik.

4. Kebijakan penghapusan PPnBM atas barang-barang tertentu menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan negara dari sektor Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Dalam Negeri pada periode 31 Juli 2015 yakni 14,09% atau sebesar Rp 5,325 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 6,093 triliun.

C.

Pembatasan Masalah

Karena keterbatasan tenaga, dana, waktu dan agar hasil penelitian ini lebih terfokus, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian terhadap keseluruhan yang ada pada obyek atau situasi sosial. Penelitan ini akan difokuskan pada identifikasi masalah poin nomor 4 yaitu kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas barang-barang tertentu menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan negara dari sektor Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Dalam Negeri pada periode 31 Juli 2015 yakni 14,09% atau sebesar Rp 5,325 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 6,093 triliun. Dengan demikian, penelitian ini diberi judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan


(21)

Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) (Studi Kasus Pasar Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten)”.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah, maka yang akan difokuskan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)? (Studi Kasus Pasar Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten)”.

E.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang persepsi masyarakat terhadap kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM ) (Studi Kasus Pasar Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten).

F.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan dan pengetahuan khususnya bagi diri penulis maupun bagi masyarakat pada umumnya. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi mahasiswa, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dalam kajian ilmiah mengenai persepsi masyarakat terhadap kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

b. Bagi masyarakat, diharapkan dapat lebih peduli terhadap setiap kebijakan yang ditempuh Pemerintah.

c. Bagi Pemerintah, penelitian ini sekiranya dapat menjadi bahan masukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap


(22)

kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang telah ditempuh. Dengan mengetahui persepsi masyarakat, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pijakan bagi kebijakan yang akan dibuat dikemudian hari agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

d. Bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan


(23)

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A.

Hakikat Persepsi

1.

Pengertian Persepsi

Persepsi adalah pengalaman mengenai obyek, peristiwa, dan hubungan-hubungan yang diperoleh individu dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.1

Menurut Bimo Walgito, persepsi adalah proses kognitif dengan cara mengintegrasikan, mengenali, dan menginterpretasikan informasi yang diterima oleh sistem sensori melalui indra (eksoreseptor), sehingga individu menyadari dan mengetahui apa yang diindra sebagai bentuk respons dari individu.2 Bimo Walgito membagi persepsi berdasarkan pada objek persepsi yang terdiri dari 2 (dua) hal, yaitu :

1. Things Perception/persepsi benda/barang. Yaitu persepsi terhadap objek yang bukan manusia. 2. Social perception/persepsi sosial. Yaitu persepsi dimana objek persepsinya adalah manusia atau orang. Bimo Walgito memisahkan antara persepsi terhadap diri sendiri (self perception) dengan social perception. Persepsi sosial sendiri meliputi persepsi terhadap orang lain dan persepsi terhadap interaksi sosial (interpersonal perception).3

Hal ini menunjukkan bahwa objek persepsi tidak hanya tertuju pada benda mati tetapi juga pada manusia. Persepsi yang menempatkan objeknya adalah benda disebut sebagai thing perception, sedangkan jika objeknya adalah manusia disebut sebagai social perception.

Persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan. Studi mengenai persepsi sangat berhubungan dengan studi tentang proses kognitif, seperti ingatan dan berpikir.4

1 Ikhwan Luthfi, Gazi Saloom, dan Hamdan Yasun, Psikologi Sosial, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), Cet. 1, h. 25.

2Iriani Indri Hapsari dkk., Psikologi Faal, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h.113.

3Ikhwan Luthfi, Gazi Saloom, dan Hamdan Yasun, op. cit., h. 26.


(24)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif mengenai stimuli yang diindera oleh individu dari stimulus yang ada, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti mengenai yang diindera sebagai bentuk respons dari individu.

2.

Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi

Berikut ini beberapa faktor yang berperan dalam proses persepsi menurut Iriani :

a. Adanya objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus/rangsangan yang masuk melalui indra atau reseptor. Stimulus bisa berasal dari lingkungan maupun dari dalam diri manusia sendiri yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor, tetapi sebagian besar stimulus berasal dari luar individu.

b. Adanya alat indra (sistem sensori) dan sistem saraf pusat

Alat indra atau disebut juga eksoreseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Setelah stimulus diterima reseptor, maka stimulus selanjutnya akan dikirim ke sistem saraf pusat, yaitu otak yang merupakan pusat kesadaran melalui sel-sel saraf sensoris, sedangkan untuk menghasilkan suatu respons diperlukan adanya sel-sel saraf motoris.

c. Atensi (perhatian selektif).5

Dari berbagai stimulus yang muncul, individu hanya akan memfokuskan perhatian pada stimuli yang menarik perhatiannya. Melalui proses atensi, maka individu akan meningkatkan persepsi terhadap stimuli yang menjadi fokusnya dan mengurangi persepsi terhadap stimuli yang tidak menjadi bagian dari fokusnya. 6

5Iriani Indri Hapsari dkk, Psikologi Faal ( Bandung :PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h.113.


(25)

Sedangkan menurut Sukadji, persepsi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :

a. Diri orang yang bersangkutan. Interpretasi atau pemahaman seseorang mengenai hal yang dilihatnya dipengaruhi oleh karakteristik individual, seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan.

b. Sasaran persepsi merupakan objek yang menjadi fokus individu dapat berupa orang, benda atau peristiwa.

c. Faktor situasional, misalnya kehadiran seseorang dengan pakaian renang di tepi pantai tidak mengherankan bagi orang disekelilingnya karena merupakan hal yang wajar, tetapi bila berpakaian renang di situasi yang tidak ada hubungannya dengan berenang, maka hal tersebut akan sangat menarik perhatian, karena bukan hal yang wajar.7

3.

Skema Persepsi

Gambar 2.1 Skema Persepsi

Berdasarkan skema tersebut dapat diketahui bahwa manusia menerima informasi dan menginterpretasikannya melalui beberapa tahap, yaitu melalui sistem sensori, proses atensi dan proses persepsi.

Sistem sensori adalah proses mendeteksi keberadaan stimulus dari lingkungan luar melalui indra (eksoreseptor). Pada manusia terdapat 5 sistem sensori (penginderaan) eksoreseptor, yaitu sistem visual (penglihatan), sistem auditori (pendengaran), sistem somatosensori (perabaan), sistem olfactory (penciuman) dan sistem

7 Ikhwan Luthfi, Gazi Saloom, dan Hamdan Yasun, Psikologi Sosial, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), cet. 1, h. 26.


(26)

gustatory (pengecapan).8 Sistem sensori berfungsi sebagai penerima informasi atau stimulus, kemudian dilanjutkan dengan proses atensi untuk memfokuskan perhatian pada stimuli yang menarik perhatian individu dari stimulus yang ada. Stimuli yang menjadi fokus perhatian kemudian diintegrasikan, dikenali dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengetahui mengenai yang diindra sebagai bentuk respons dari individu.9

4.

Perubahan Persepsi

Persepsi bukan sesuatu yang statis, tetapi dapat berubah-ubah. Proses perubahan persepsi yang pertama disebabkan oleh proses faal dari sistem saraf pada indra-indra manusia. Proses perubahan kedua adalah proses psikologis. Proses perubahan persepsi secara psikologi antara lain dijumpai dalam pembentukan dan perubahan sikap. Karena sikap merupakan respons manusia yang menempatkan objek yang dipikirkan (objects of thought) ke dalam suatu dimensi pertimbangan

(dimension of judgement).10

5.

Persepsi dalam Pandangan Al-

Qur’an

Persepsi merupakan fungsi psikis yang penting yang menjadi jendela pemahaman bagi peristiwa dan realitas kehidupan yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupannya. Manusia sebagai mahluk yang diberikan amanah kekhalifahan diberikan berbagai macam keistimewaan yang salah satunya adalah proses dan fungsi persepsi yang lebih rumit dan lebih kompleks dibandingkan dengan mahluk Allah lainnya. Dalam Al-Qur’an beberapa proses dan fungsi persepsi dimulai dari proses penciptaan.11

8Iriani Indri Hapsari dkk., Psikologi Faal, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 108.

9Ibid., h. 113.

10 Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 132.


(27)

Berikut ini merupakan tafsir QS. Al-Mukminun ayat 12-14:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.

Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

B.

Masyarakat

1.

Pengertian Masyarakat

Menurut Macionis, masyarakat adalah orang-orang yang saling berinteraksi dalam suatu wilayah terbatas yang diarahkan oleh kebudayaan mereka.12

12 M.Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), h.35.


(28)

Drs. JBAF Polak menyebut masyarakat (society) adalah wadah segenap antar hubungan sosial yang terdiri atas banyak kolektiva-kolektiva serta kelompok dan tiap-tiap kelompok terdiri atas kelompok-kelompok lebih baik atau sub kelompok-kelompok.

Kemudian pendapat mengenai masyarakat dikemukakan oleh Prof. M.M Djojodiguna. Menurutnya masyarakat adalah suatu kebulatan daripada segala perkembangan dalam hidup bersama antara manusia dengan manusia.13

Dengan demikian dapat disimpulkan masyarakat adalah suatu kumpulan manusia yang memiliki kehidupan, norma-norma, dan adat-istiadat yang ditaati bersama dalam lingkungannya.

2.

Kebutuhan-kebutuhan Masyarakat

Agar dapat bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu. Kebutuhan dasar masyarakat menurut kalangan fungsionalis disebut dengan istilah prasyarat fungsional (functional prerequisites). Kebutuhan dasar tersebut diantaranya :

a. Kebutuhan subsistens. Kebutuhan subsistens adalah kebutuhan jasmaniyah atau kebutuhan primer yang harus dipenuhi demi menjaga kelangsungan hidup, seperti kebutuhan akan udara, makanan, air, kehangatan, tempat untung bernaung, dan tidur. b. Kebutuhan distribusi. Kepemilikan kekayaan subsistens itu perlu

didistribusikan ke seluruh anggota masyarakat demi menjaga kelangsungan hidup.

c. Kebutuhan reproduksi biologis. Agar masyarakat tetap eksis dan terjaga kelangsungan hidupnya maka diantara anggota masyarakatnya harus melakukan reproduksi biologis. Kebutuhan reproduksi biologis dilakukan melalui ikatan suci pernikahan.


(29)

d. Kebutuhan transmisi budaya. Masyarakat perlu mentransmisikan budaya mereka kepada anggota baru atau generasi berikutnya agar kebudayaan bisa bertahan atau berlanjut. Melalui transmisi budaya, maka suatu kebudayaan akan tetap lestari.

e. Kebutuhan perlindungan. Anggota masyarakat perlu menghindari tindakan yang bersifat destruktif satu sama lain. Masyarakat secara keseluruhan membutuhkan perlindungan dari ancaman luar.

f. Kebutuhan untuk komunikasi. Untuk memenuhi semua kebutuhan dalam hidupnya masyarakat perlu mengkomunikasikannya dengan sesama anggota lainnya.14

C.

Kebijakan

1.

Pengertian Kebijakan

Oxford English Dictionary dalam buku “Public Policy” memberikan definisi kebijakan sebagai: “Political sagacity; statecraft; prudent conduct; craftiness; course of action adopted by government,

party, etc.”15

Kebijakan adalah alat untuk mencapai tujuan dan karena itu menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan sebagai lawan dari apa yang sedang dilaksanakan.16

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak.17

Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang

14 M.Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, op,cit.,h.36.

15 Wayne Parsons, Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 14.

16 George A.Steiner dan John B. Miner, Kebijakan dan Strategi Manajemen, Cet-2 (Alih Bahasa: Ticoalu da Dharma, Ph. D), (Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama, 1997), h.22.

17 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Ed-1 (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2006), h.37.


(30)

dilakukan seorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi.

2.

Konsep dan Lingkup Kebijakan Publik

Thomas Dye mengemukakan, kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena ruang lingkup kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa:

a. kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta;

b. kebijakan publik berhubungan dengan pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk tidak membuat program baru atau tetap pada status quo, misalnya tidak menurunkan tarif pajak adalah bentuk sebuah kebijakan publik.18

Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang pembangunan, seperti kebijakan publik di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan, transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Di samping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal. Hirarki kebijakan publik yang bersifat nasional, seperti Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah.

18AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik,Cet-5 ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), h. 2-4.


(31)

3.

Arti Pentingnya Studi Kebijakan Publik

Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, diantaranya: untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan politik.

a. Pengembangan Ilmu Pengetahuan.

Ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai variabel terpengaruh atau variabel terikat (dependent variable), sehingga berusaha menentukan variabel pengaruhnya atau variabel bebas

(independent variable). Studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang dapat memengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik. Misalnya, studi untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi dikeluarkannya Undang-Undang anti terorisme di Indonesia. Sebaliknya, studi kebijakan publik dapat menempatkan kebijakan publik sebagai independent variable, sehingga berusaha mengidentifikasi apa dampak dari suatu kebijakan publik. Sebagai contoh, studi untuk menganalisis apa dampak dari kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak yang dilakukan oleh pemerintah.

b. Membantu para pengambil kebijakan dalam memecahkan masalah-masalah publik.

Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi sebagai pengambil kebijakan akan memiliki dasar teoretis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik yang telah dibuatnya. Sehingga akan lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas dan dapat menopang tujuan pembangunan.

c. Berguna untuk tujuan politik.

Kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan dukungan teori yang kuat akan memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik. Dengan demikian, kebijakan publik tersebut dapat meyakinkan lawan-lawan politiknya yang tadinya


(32)

kurang setuju terhadap kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan publik seperti itu tidak akan mudah dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.19

4.

Jenis-jenis Kebijakan

James Anderson mengelompokkan kebijakan publik ke dalam beberapa kategori, diantaranya:

a. Kebijakan substantif vs kebijakan prosedural. Kebijakan substantif adalah kebijakan yang menyangkut apa yang dilakukan oleh pemerintah, seperti kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), kebijakan Raskin (beras untuk orang miskin). Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana suatu kebijakan substantif dapat diimplementasikan. Misalnya kebijakan yang berisi kriteria orang disebut miskin dan bagaimana prosedur untuk memperoleh raskin. b. Kebijakan distributif vs kebijakan regulatori vs kebijakan

re-distributif. Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau segmen masyarakat tertentu atau individu. Sebagai contoh: kebijakan subsidi BBM dan kebijakan obat generik. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Misalnya kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), kebijakan pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor. Sedangkan kebijakan re-distribusi adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan pajak progresif, kebijakan asuransi kesehatan gratis bagi orang miskin.

c. Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumberdaya konkrit atau nyata yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh kelompok


(33)

sasaran. Misalnya kebijakan raskin. Sedangkan kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran, misalnya kebijakan libur hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. d. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods)

dan barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang, atau pelayanan publik, misalnya kebijakan membangun jalan raya, kebijakan pertahanan dan keamanan. Sedangkan kebijakan yang berhubungan dengan private goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang, atau pelayanan untuk pasar bebas, misalnya pelayanan pos, parkir umum dan perumahan.20

5.

Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan/ Keputusan

Bagaiamana suatu sistem politik dapat membuat kebijakan untuk publik sebagai alat untuk memecahkan masalah-masalah publik? Pembuatan kebijakan merupakan sebuah tahap dalam siklus hidup kebijakan.21

Ada beberapa pendapat mengenai tahap-tahap (stages) dalam siklus pembuatan kebijakan. Menurut H.A. Simon dalam bukunya yang berjudul Administrative Behaviour, 1947, tahap-tahap pengambilan kebijakan/keputusan adalah sebagai berikut :

1) Inteligensi 2) Desain 3) Pilihan

H.D. Lasswell dalam bukunya “The Decision Process”, 1956, membagi tahapan pengambilan kebijakan/ keputusan sebagai berikut :

1) Inteligensi

20AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik,Cet-5 ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), h. 19-21.

21Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h. 5.


(34)

2) Promosi 3) Preskripsi

4) Invokasi (invocation)

5) Aplikasi

6) Penghentian (termination)

7) Penilaian (appraisal)22

R. Mack dalam bukunya yang berjudul “Planning and Uncertainty” yang terbit pada 1971, mengurutkan tahapan pembuatan kebijakan, yaitu :

1) Memutuskan untuk menetapkan: pengenalan problem 2) Memutuskan alternatif dan kriteria

3) Menentukan keputusan yang tepat

4) Akibat keputusan (effectuation)

5) Koreksi dan penambahan (supplementation)

R. Rose, “Comparing Public Policy,” 1973, mengklasifikasikan urutan tahapan pembuatan kebijakan, sebagai berikut :

1) Pengakuan publik akan perlunya sebuah kebijakan 2) Bagaimana isu diletakkan diagenda kontroversi publik

3) Bentuk pemerintahan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan 4) Sumber daya dan rintangan

5) Keputusan kebijakan

6) Apa yang menentukan pilihan pemerintah 7) Pilihan dalam konteksnya

8) Implementasi 9) Output

10)Evaluasi kebijakan 11)Umpan balik (feedback)

W.Jenkins, dalam bukunya yang berjudul “Policy Analysis : A

Political and Organizational Perspectives”, 1976, membagi tahapan


(35)

pembuatan kebijakan publik, yaitu : inisiasi, informasi, pertimbangan, keputusan, implementasi, evaluasi, dan penghentian (termination). Selanjutnya, B.W. Hogwood dan L.A. Gunn, Policy Analysis for the Real World, 1984, menyatakan bahwa tahapan pembuatan kebijakan publik diantaranya : memutuskan untuk memutuskan (pencarian isu dan penentuan agenda); penyaringan isu; definisi isu; memperkirakan; menentukam tujuan dan prioritas; analisis opsi; implementasi kebijakan, monitoring dan kontrol; evaluasi dan review; dan pemeliharaan kebijakan, penggantian dan penghentian.23

Para pakar yang menganalisis suatu proses kebijakan dengan menguraikan tahap-tahap dari pembuatan kebijakan tersebut disebut kaum

stagist, sedangkan cara mengupas suatu kebijakan oleh kaum stagist

disebut pendekatan textbook”. 24

Model stagist mendapat kritik dari Sabatier dan Jenkins-Smith sebagai berikut :

 pendekatan textbook tidak dapat memberikan penjelasan kausal (hubungan sebab akibat) tentang bagaimana kebijakan berjalan dari satu tahap ke tahap berikutnya;

 pendekatan ini tidak bisa secara empiris;

 pendekatan ini menganggap ciri kebijakan publik adalah kebijakan yang bersifat“top-down”, dan gagal menjelaskan peran aktor

“jalanan” dan aktor lainnya;

 gagasan siklus kebijakan ini mengabaikan dunia nyata dalam pembuatan kebijakan yang melibatkan berbagai level pemerintahan dan siklus yang saling berinteraksi;

 gagasan ini tidak menyediakan pandangan integral dalam analisis proses kebijakan dan analisis (pengetahuan, informasi, riset) yang

23Ibid., h.81.

24Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h. 7.


(36)

dipakai dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan tidak hanya

terjadi di tahap “evaluasi”.25

Wayne Parsons dalam bukunya yang berjudul “Public Policy”

mengemukakan “tahap” dalam siklus pengambilan kebijakan/keputusan

melalui berbagai kerangka dan pendekatan yang berbeda, yaitu : Gambar 2.2 Siklus Pengambilan Kebijakan

1)

Meta Analisis

Tahapan pertama dalam siklus pengambilan kebijakan adalah meta analisis. Meta analisis adalah analisis terhadap aktivitas analisis. Meta analisis berkaitan dengan upaya memahami gagasan yang menyatakan bahwa analisis kebijakan publik dilakukan dengan menggunakan metafora: melakukan analisis dengan mendeskripsikan sesuatu dengan menggunakan istilah lain.26

Pendekatan meta analisis membahas mengenai ide kebijakan

“publik” dan menelaah arti dari gagasan tentang ruang publik (public sphere), serta bagaimana konseptualisasi ide ruang publik dan privat yang senantiasa berubah itu membentuk studi kebijakan

“publik”.

2)

Analisis Meso

Meso berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata mesos, yang berarti menengah atau intermediate. Analisis meso adalah level analisis menengah atau analisis perantara yang berfokus pada kaitan

25Wayne Parsons, Public Policy, Cet-3 (Jakarta : Kencana, 2008), h. 82.

26Ibid., h. 1.

1) Meta Analisis

2) Analisis Meso

3) Analisis Keputusan

4) Analisis Delivery


(37)

antara definisi problem, penentuan agenda, dan proses pengambilan keputusan serta implementasinya.27

Problem berkaitan dengan persepsi dan persepsi berkaitan dengan konstruksi. Analisis kebijakan dapat dikatakan sibuk mengurusi penentuan dan penataan problem untuk membantu mempermudah pemecahan masalah bagi para pembuat kebijakan. Politik muncul karena kita tidak memiliki persepsi yang sama atas hakikat dari suatu problem, atau jika kita punya persepsi yang sama, kita tak punya persepsi yang sama tentang definisi apa yang harus kita lakukan dan tidak kita lakukan. Dengan demikian, dalam menentukan suatu keputusan/ kebijakan , para pengambil kebijakan harus melibatkan persepsi masyarakat atau opini publik terhadap kebijakan yang akan ditempuhnya. Setelah suatu kebijakan diimplementasikan, para pengambil kebijakan juga harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kebijakan yang telah ditempuhnya. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat memiliki persepsi yang sama dengan para pengambil kebijakan, sehingga kebijakan publik menjadi suatu fungsi dari opini publik. Opini publik dalam pasar politik atau ruang publik mirip dengan permintaan konsumem dalam pasar ekonomi. Permintaan kebijakan akan menentukan penawaran dari sebuah kebijakan yang dibuat.28

3)

Analisis Keputusan

Analisis ketiga dalam siklus pengambilan kebijakan adalah

analisis keputusan. Analisis keputusan membahas mengenai proses bagaimana suatu keputusan diambil dan bagaimana kebijakan dibuat, serta bagaimana analisis tersebut dipakai dalam proses pengambilan keputusan. Bagian ini membahas persoalan aksi

(action) dan nonaksi (non-action), keputusan (decision) dan

27Wayne Parsons, Public Policy, Cet-3 (Jakarta : Kencana, 2008), h. 87.


(38)

nonkeputusan (non-decision). Membahas kerangka untuk menganalisis proses pembuatan keputusan dan kerangka yang dipakai sebagai bentuk analisis kebijakan rasional. Model analisis ini meliputi pembuatan keputusan yang tepat; pertimbangan dan keputusan; keterlibatan pemerintah, keterbatasan sumber daya, keputusan kebijakan, determinan pilihan pemerintah, konteks pilihan; perkiraan, penentuan tujuan dan analisis opsi.

4)

Analisis Delivery

Bagian ini akan membahas bagaimana suatu kebijakan diatur, dikelola, diimplementasikan, dievaluasi dan dihentikan. Analisis penyampaian kebijakan ini meliputi aspek akibat

(effectuation), koreksi, dan penambahan terhadap sebuah kebijakan.29

6.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor, dan masing-masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Berikut ini adalah beberapa teori implementasi kebijakan :

a.

Teori George C. Edwars III (1980)

Dalam pandangan George C.Edwars III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.30

(1) Komunikasi

29Wayne Parsons, Public Policy, Cet-3 (Jakarta : Kencana, 2008), h. 84-85.

30AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik,Cet-5 ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), h. 90-91.


(39)

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan mensyaratkan agar implementor atau praktisi sebagai pengambil kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus dapat ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi perlawanan atau resistensi dari kelompok sasaran. Sebagai contoh, keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia, disebabkan karena Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara intensif melakukan sosialisasi tujuan dan manfaat program KB terhadap pasangan usia subur (PUS) melalui berbagai media agar masyarakat mengetahui dan memahami program tersebut.

(2) Sumberdaya

Meskipun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara eksplisit dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi sebuah kebijakan tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia yang meliputi: kompetensi implementor dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting suatu kebijakan dapat diimplementasikan secara efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di atas kertas menjadi dokumen saja atau tidak dapat direalisasikan

(3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan yang baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor


(40)

memiliki sikap atau perspektif (pandangan) yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Berbagai pengalaman di negara-negara Dunia Ketiga menunjukkan bahwa tingkat komitmen dan kejujuran aparat rendah. Berbagai kasus korupsi yang muncul di negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia merupakan contoh konkrit dari rendahnya komitmen, kejujuran dan integritas aparat dalam mengimplementasikan program-program pembangunan.

(4) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi berfungsi untuk mengimplementasikan kebijakan agar memiliki pengaruh yang signifikan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi standar (standard operating procedures

atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,

yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini dapat mengakibatkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

b.

Teori Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).31

Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan atau urgensi kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups,

sebagai contoh, masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air bersih daripada menerima program kredit mobil mewah; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan untuk mengubah


(41)

sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras kepada kelompok masyarakat miskin; (4) pemilihan letak untuk implementasi sebuah program. Misalnya, saat BKKBN memiliki program peningkatan kesejahteraan keluarga dengan memberikan bantuan dana kepada keluarga prasejahtera, banyak orang menanyakan apakah letak program ini sudah tepat berada di BKKBN; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

Selain variabel isi kebijakan yang berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan, variabel lainnya adalah lingkungan implementasi. Variabel lingkungan implementasi kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

c.

Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

(1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), terdapat 3 kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu: 1) Karakteristik dari masalah (tractability of the problems);

2) Karakteristik kebijakan / undang-undang (ability of statute to structure implementation);

3) Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).32


(42)

Karakteristik Masalah :

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Di satu sisi ada beberapa masalah sosial yang secara teknis mudah untuk dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air minum bagi penduduk atau harga beras yang tiba-tiba naik. Di sisi lain terdapat masalah-masalah sosial yang relatif sulit untuk dipecahkan seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu, sifat masalah itu sendiri akan memengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.

b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah homogen.

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi.

d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.

Karakteristik kebijakan :

a. Kejelasan isi dari sebuah kebijakan. Sebuah kebijakan akan mudah diimplementasikan apabila implementor mudah untuk memahami dan menterjemahkan kebijakan yang diambilnya dalam bentuk tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi untuk lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.33


(43)

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. Dengan dukungan teoritis yang kuat, maka akan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik yang telah dibuat.

c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut. Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial. Setiap program juga memerlukan dukungan staff untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program, yang semuanya itu perlu biaya.

d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana. Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal antarinstansi yang terlibat dalam implementasi program.

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat dukungan daripada program yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi penonton terhadap program yang ada diwilayahya. Akibat dari teralienasinya masyarakat terhadap kebijakan yang telah ditempuh Pemerintah, maka akan menghambat implementasi kebijakan tersebut.

Lingkungan kebijakan:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-program pembaharuan


(44)

dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional.34

b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapat dukungan publik. Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-insentif, seperti kenaikan harga BBM atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan publik. Dengan demikian, para pengambil kebijakan harus dapat menjelaskan isi dari kebijakan yang ditempuhnya agar masyarakat memahami dan mendukung implementasi dari kebijakan tersebut.

c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat memengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain: (1) Kelompok pemilih dapat melakukan intervensi atau campur tangan terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan; (2) Kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk memengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.

d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

D.

Penghapusan

Penghapusan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

/peng: ha: pus: an/ n adalah proses, cara, perbuatan menghapuskan; peniadaan; pembatalan dan sebagainya.35

34Ibid., h. 98.


(45)

E.

Pengertian Pajak

Pembangunan ekonomi selalu berkaitan dengan kebijakan di bidang perpajakan, baik pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak memiliki banyak arti. Namun, pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama. Berikut ini pengertian pajak menurut para ahli, yaitu :

1. Nightingale menyatakan bahwa pajak adalah :

A Compulsory contribution, imposed by Government, and while tax payers many receive nothing identifiable in return for their contribution, they nevertheless have the benefit of living in a relative by educated, healthy and save society.36

2. Prof. DR. P.J.A. Andriani menyatakan Pajak merupakan iuran kepada negara yang bersifat memaksa yang terutang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung dapat ditunjuk dan digunkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.

3. Prof D.R. Rochmat Soemitro, S.H., menyatakan Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan pada undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat kontraprestasi langsung dapa ditunjuk dan digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum.37

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara yang diatur oleh undang-undang dan bersifat memaksa untuk membiayai pengeluaran negara yang ditujukan demi kesejahteraan rakyat dengan tidak mendapat kontraprestasi secara langsung.

F.

Pajak di Dalam Sistematika Tata Hukum

Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat tentang subjek, objek, dan tarif pajak untuk setiap jenis pajak. Hukum pajak formal

36 Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 2 Seri PPnBM, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 1.


(46)

ialah hukum pajak yang memuat mengenai cara melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut, sehingga hukum pajak material dapat dioperasionalkan secara baik. Dengan adanya kedua hukum pajak tersebut, maka diharapkan dapat memberikan kepastian, baik dari segi Wajib Pajak maupun bagi otoritas fiskal yaitu Direktorat Jenderal Pajak yang berperan sebagai Administrator Pajak.38

Gambar 2.3 Sistematika Hukum Pajak

Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat Wajib Pajak dalam mencari keadilan (justice) dibidang perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, maka berdirilah Peradilan Pajak sebagai kelanjutan dari Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Dengan berdirinya peradilan pajak, Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum berupa banding atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh

38 Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 2 Seri PPnBM, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 3.

Hukum Pajak Hukum Pajak Material Undang-undang Pajak Penghasilan Undang-Undang Pajak PPN dan PPnBM Undang -undang PBB Undang-undang BPHTB Undang-Undang Bea Materai Hukum Pajak Formal Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa


(47)

Direktorat Jenderal Pajak dan juga upaya hukum berupa gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak.39

G.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah

1.

Pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak

yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean Indonesia dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dan impor BKP yang tergolong mewah.40

Pengenaan dan pemungutan PPnBM yang berlaku di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah 3 kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Berdasarkan Penjelasan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2009 PPN dan PPnBM yang menyebutkan dikenakannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan:

a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi; b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.41

2.

Karakteristik Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) memiliki karakteristik sebagai berikut :

39Ibid., h.4.

40Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Material (Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif pajak dan Cara Perhitungan Pajak) (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) h. 5.

41 Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 2 Seri PPnBM, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. L-29.


(48)

 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dipungut untuk mengurangi sifat regresif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak objektif yang tidak memperhatikan kemampuan atau keadaan pihak yang melakukan konsumsi, sehingga siapa pun yang mengkonsumsi BKP/JKP akan dibebani pajak yang sama. Oleh karena itu, BKP tergolong mewah yang pada umumnya dikonsumsi oleh golongan tertentu dengan kemampuan ekonomi yang cukup tinggi dikenakan beban pajak tambahan berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

 PPnBM dikenakan hanya satu kali pada tingkat barang yang tergolong mewah tersebut dihasilkan atau pada saat impor barang mewah tersebut. Barang yang tergolong mewah yang dihasilkan di dalam negeri wajib dipungut PPnBM oleh PKP produsen yang bersangkutan. Barang yang tergolong mewah yang dihasilkan di luar negeri dan diimpor, maka PPnBM yang terutang wajib dipungut dan disetor oleh pihak yang melakukan impor.

 PPnBM merupakan unsur harga beli atau harga penjualan, sehingga tidak dapat dikreditkan sebagaimana Pajak Pertambahan Nilai.

 Jenis BKP yang tergolong mewah ditetapkan oleh UU PPN beserta peraturan pelaksanaannya.

 BKP yang tergolong barang mewah akan terutang PPN dan PPnBM. Apabila BKP tersebut bukan kategori barang mewah, maka transaksinya tersebut hanya terutang PPN saja.42

3.

Kedudukan dalam UU PPN

PPN mempunyai sifat regresif karena tidak memperhatikan kemampuan atau daya beli konsumen, sehingga Barang Kena Pajak yang pada umumnya dikonsumsi oleh pihak yang mempunyai

42Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 2 Seri PPnBM (Jakarta : Salemba Humanika, 2012) h. 6-7.


(49)

kemampuan tinggi dibebankan tambahan berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).43

BKP yang pada umumnya dikonsumsi pihak yang berkemampuan tinggi adalah BKP tergolong barang mewah, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) menetapkan kelompok dan jenis BKP yang tergolong mewah.

4.

Jenis Harta yang Tergolong Mewah

Kelompok barang yang tergolong mewah tersebut dijabarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.011/2013 yang telah diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK. 010/2015 pada 8 Juni 2015. Bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK. 010/2015 (terlampir), Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan pula surat keterangan untuk pers mengenai kebijakan perpajakan atas terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK. 010/2015 pada 11 Juni 2015 (terlampir).

5.

Pengenaan dan Pemungutan Pajak Pada PPnBM

Pengenaan PPnBM dilakukan berdasarkan asas stelsel riil. PPnBM merupakan jenis pajak objektif yang dikenakan secara insidentil. Pengenaan secara insidentil yaitu pada saat terjadinya penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah atau atas impor barang kena pajak yang tergolong mewah. Besarnya nilai PPnBM terutang didasarkan pada jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung


(50)

pajak yang terutang, yang pada dasarnya merupakan nilai riil dari barang kena pajak yang tergolong mewah yang diserahkan atau diimpor. Dengan menggunakan stelsel riil, besarnya PPnBM yang terutang didasarkan pada nilai objek pajak (barang kena pajak yang tergolong mewah) yang benar-benar diperoleh atau diimpor oleh pengusaha, konsumen akhir, atau importir.

Sistem pemungutan pajak pada PPnBM menggunakan

withholding system. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme pemungutan PPnBM yang memberikan kewenangan kepada pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah untuk melakukan pemungutan PPnBM dari pihak yang menerima penyerahan tersebut. Khusus untuk impor barang kena pajak yang tergolong mewah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ditunjuk untuk melakukan pemungutan PPnBM dari importir pada saat impor dilakukan pada barang tersebut.44

H.

Penelitian yang Relevan

Berikut ini beberapa penelitian yang relevan, diantaranya:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mayang Liandhika Wuri, Fakultas

Ekonomi dan Ilmu Sosial, Jurusan Akuntansi, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan Judul “Analisis Pengaruh

Penghapusan PPnBM Elektronik dan Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Penjualan Pada Tingkat Pedagang Eceran Wilayah Kramat Jati Dengan Harga Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus: Penjualan TV 21-29 inch dan Mesin Cuci dengan Kapasitas Linen di bawah 10 Kg)”.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat pengaruh langsung (pengaruh X terhadap Y) penghapusan PPnBM dan Fluktuasi Kurs Rupiah terhadap Penjualan, juga untuk menguji pengaruh tidak


(51)

langsung (pengaruh X terhadap Y dengan penghubung variabel intervening) dari harga sebagai variabel intervening terhadap penjualan pedagang eceran wilayah Kramat Jati. Populasi penelitian ini adalah pedagang eceran elektronik di wilayah Kelurahan Kramat Jati dengan menggunakan simple random sampling untuk menentukan sampel penelitian. Sampel yang diuji dalam penelitian ini adalah pedagang eceran elektronik yang berada di wilayah Kramat Jati melalui penyebaran kuesioner atau angket.

Berdasarkan hasil analisis jalur menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara penghapusan PPnBM Elektronik terhadap penjualan yaitu sebesar 0, 565. Sedangkan fluktuasi kurs rupah juga memiliki pengaruh terhadap penjualan yaitu sebesar 0,426. Harga bukan merupakan variabel intervening antara fluktuasi kurs rupiah dan penghapusan PPnBM terhadap penjualan karena memiliki nilai lebih kecil dari variabel independen yang memiliki pengaruh langsung terhadap variabel dependen (penjualan).45

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Mayang dapat disimpulkan adanya pengaruh antara penghapusan PPnBM Elektronik terhadap penjualan yaitu sebesar 0,565. Dari hasil penelitian tersebut,

peneliti ingin mengkaji secara langsung “Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan PPnBM”. Penelitian yang dilakukan Mayang

memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu

“Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan PPnBM”.

Keduanya mengkaji kebijakan Pemerintah menghapuskan PPnBM. Meskipun memiliki kesamaan, fokus penelitian tersebut berbeda. Pada penelitian yang dilakukan Mayang berfokus pada penjualan TV 21-29 inch dan Mesin Cuci dengan kapasitas Linen di bawah 10 Kg.

45

Mayang Liandhika Wuri, “Analisis Pengaruh Penghapusan PPnBM Elektronik dan Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Penjualan Pada Tingkat Pedagang Eceran Wilayah Kramat Jati Dengan Harga Sebagai Variabel Intervening,” skripsi diakses pada 10 Oktober 2016 dari http;/repository.uinjkt.ac.id/ dspace/bitstream/123456789/21620/1MAYANG%LIANDHIKA% WURI-FEB.pdf


(52)

Sedangakan dalam kajian “Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan PPnBM”, penelitian berfokus pada kelompok barang

peralatan elektronik yang dihapuskan pengenaan PPnBM diantaranya AC, lemari es, mesin cuci, TV dan kamera. Berbeda dengan penelitian Mayang yang menggunakan pendekatan kuantitatif, penelitian mengenai

“Persepsi Masyarakat terhadap Kebijakan Penghapusan PPnBM”

menggunakan pendekatan kualitatif. Selanjutnya, dalam penelitian, Mayang menggunakan simple random sampling dalam penentuan sampel. Sedangkan peneliti menggunakan accidental sampling untuk mempermudah peneliti ketika melakukan penelitian.

2. Jurnal yang ditulis oleh Raja Abdurrahman, Fakultas Ekonomi,

Program Studi Akuntansi, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dengan Judul “Analisis Pengaruh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Terhadap Daya Beli Konsumen Pada Kendaraan Bermotor (Studi Empiris pada Konsumen Kendaraan Bermotor Roda Empat diwilayah Kota Tanjungpinang)”.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap Daya Beli Konsumen. Populasi dalam penelitian ini merupakan konsumen kendaraan bermotor di wilayah Kota Tanjungpinang. Penelitian ini menggunakan metode Purpossive Sampling atau pengambilan sampel dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti sesuai tujuan penelitian sebelum melakukan penelitian. Sampel yang diuji adalah konsumen kendaraan bermotor roda empat di beberapa perusahaan penjualan kendaraan bermotor roda empat maupun konsumen diluar kriteria perusahaan tersebut yang memiliki kriteria sebagai sampel di wilayah Kota Tanjungpinang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan uji statistik yaitu model regresi berganda.


(53)

Hasil penelitian menunjukkan terdapat atau ada pengaruh positif dan signifikan Variabel PPN maupun PPnBM terhadap variabel daya beli konsumen. Hasil Kooefisien Determinasi sebesar 0,441 , berarti kemampuan variabel independen menjelaskan variabel devenden 44,1% sedangkan sisanya 55,9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dan tidak termasuk dalam model regresi yang digunakan. 46

Penelitian Raja Abdurrahaman yaitu “Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap Daya Beli Konsumen” memiliki kesamaan dengan penelitian selanjutnya yaitu “Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Penghapusan PPnBM”. Bentuk kesamaan tersebut yaitu keduanya mengkaji mengenai implementasi dari sebuah kebijakan Pemerintah yaitu menghapuskan PPnBM. Perbedaanya adalah penelitian Raja Abdurrahman berfokus pada dampak PPnBM terhadap daya beli konsumen, maka peneliti berfokus pada persepsi atau tanggapan masyarakat terhadap kebijakan penghapusan PPnBM. Penelitian Raja Abdurrahman menggunakan analisis kuantitatif sedangkan penelitian selanjutnya mengenai persepsi masyarakat terhadap kebijakan penghapusan PPnBM menggunakan analisis kualitatif. Penelitian yang dilakukan Raja menggunakan purpossive sampling, sedangkan peneliti menggunakan accidental sampling.

Berikut ini merupakan rangkuman dari penelitian yang relevan:

Tabel 2.1 Penelitian Relevan Penelitian Relevan

No Nama Peneliti

Judul Penelitian Metode Penelitian

Hasil Penelitian

Persamaan dengan Penelitian Selanjutnya

Perbedaan dengan Penelitian Selanjutnya

46 Abdurrahman, “Analisis Pengaruh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Terhadap Daya Beli Konsumen Pada Kendaraan Bermotor”, jurnal

diakses pada 10 Oktober 2016 dari http://jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-


(54)

1. Mayang Liandhika Wuri Analisis Pengaruh Penghapusan PPnBM Elektronik dan Fluktuasi Kurs Rupiah Terhadap Penjualan Pada Tingkat Pedagang Eceran Wilayah Kramat Jati Dengan Harga Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus: Penjualan TV 21-29 inch dan Mesin Cuci dengan

Kapasitas Linen di bawah 10 Kg). Kuantitatif . Terdapat pengaruh antara penghapusan PPnBM Elektronik terhadap penjualan yaitu sebesar 0, 565. Keduanya mengkaji kebijakan Pemerintah menghapus kan objek PPnBM. Penelitian Mayang berfokus pada penjualan TV 21-29 inch dan Mesin Cuci dengan kapasitas Linen di bawah 10 Kg. Sedangkan penelitian selanjutnya, berfokus AC, lemari es, mesin cuci, TV dan kamera.

2. Raja Abdurrah man

Analisis

Pengaruh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Terhadap Daya Beli Konsumen Pada Kendaraan Bermotor (Studi Empiris pada Konsumen Kendaraan Bermotor Roda Empat diwilayah Kota Tanjungpinang). Kuantitatif . Terdapat pengaruh positif dan signifikan Variabel PPN maupun PPnBM terhadap variabel daya beli konsumen. Keduanya mengkaji mengenai implementa si dari sebuah kebijakan Pemerintah yaitu menghapus kan PPnBM. Perbedaannya adalah penelitian Raja Abdurrahman berfokus pada dampak PPnBM terhadap daya beli konsumen, maka peneliti berfokus pada persepsi masyarakat terhadap kebijakan penghapusan PPnBM.


(1)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN Bea Materai SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Bea Materai

506 507

yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.

Penjelasan Pasal 13 Cukup jelas

Pasal 14

(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.

Penjelasan Pasal 14 Ayat (1)

Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tanpa izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya.

Ayat (2) Cukup jelas

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15

(1) Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya yang

dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku, bea meterainya tetap terhutang berdasarkan aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921).

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 15 Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 16

Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.

Penjelasan Pasal 16 Cukup jelas

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 17

Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


(2)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN Bea Materai

508

Penjelasan Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Penjelasan Pasal 18 Cukup jelas


(3)

Foto selama proses wawancara belangsung :

Bapak Agus


(4)

Ibu Mursiyani


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.

IDENTITAS PRIBADI

1.

Nama

: Lisnawati

2.

Tempat dan Tanggal Lahir

: Lebak, 13 Oktober 1994

3.

Alamat

: Jl. KH. Atim II, Kp.Kebon Kopi, RT. 01/ 03

Rangkasbitung, Lebak, Banten

4.

Telp

: 087773705031

5.

Email

: lisnaglisna@yahoo.co.id

II.

PENDIDIKAN

1.

SD (2000

2006)

2.

MI (2001

2005)

: SDN Komplek Multatuli Rangkasbitung

: MI Nurul Barokah Rangkasbitung

3.

SMP (2006

2009)

: SMPN 01 Rangkasbitung

4.

MA (2009

2012)

5.

English Course (2012)

: MAN 01 Rangkasbitung

: English Course Rangkasbitung

6.

S1 (2012

2016)

: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

III.

PENGALAMAN KERJA

1.

Feb’16 –

Jun’16

:Mengajar di Kelas X MA Pembangunan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

IV.

LATAR BELAKANG KELUARGA

1.

Ayah

a.

Nama

: Halimi, A.Ma

b.

Tempat dan Tanggal Lahir : Lebak, 04 November 1950

c.

Telp

: 087773715941

d.

Pekerjaan

: PNS

2.

Ibu

a.

Nama

: Nunung Hadaningsih

b.

Tempat dan Tanggal Lahir : Lebak, 03 April 1968

c.

Telp

: 087772688460

d.

Pekerjaan

: Wiraswasta


(6)

a.

Nama

: Muhammad Taupik

b.

Tempat dan Tanggal Lahir : Lebak, 06 Desember 1999

c.

Telp

: 085777768987

d.

Pekerjaan

: Mahasiswa UPI Serang

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Jurusan PGSD Semester I

e.

Email

: muhammad.taupik@gmail.com

4.

Adik

a.

Nama

: Dimas Maulana Aziz

b.

Tempat dan Tanggal Lahir : Lebak, 25 April 2005

c.

Telp

: 087773705031

d.

Pekerjaan

:Siswa SDN Komp. Multatuli Rangkasbitung


Dokumen yang terkait

Analisis pengaruh penghapusan pajak pertambahan nilai atas barang mewah elektronik (PPnBM) dan flukuasi kurs rupiah terhadap penjualan pada tingkat pedagang eceran wilayah Kramat Jati Dengan harga sebagai variabel intervening; studi kasus: penjualan TV 21

1 7 101

Analisis Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM) terhadap Daya Beli Konsumen pada Barang Elektronika (Studi Empiris pada Konsumen Barang Elektronika di Glodok Jakarta Kota)

10 103 127

Analisis pengaruh pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualanatas barang mewah (PPNBM) terhadap daya beli konsumen pada barang elektronika : studi empiris pada konsumen barang elektronikka di wilayah tangerang selatan

1 21 105

Pengaruh penerapan PMK NO-121/PMK.011/2013 atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM) terhadap daya beli konsumen pada barang elektronika: studi empiris konsumen barang elektronika di Wilayah DKI Jakarta

3 13 134

Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta

0 0 18

206 PMK.010 2015 Perubahan PPnBM atas Penjualan Barang Mewah selain kendaraan

0 0 4

KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

0 0 10

Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

0 0 49

Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah

0 0 40

PENERIMAAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN APBN Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 88