1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya merupakan suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan, dan tidak hanya selalu bersifat fisik, tetapi
juga non fisik. Sumberdaya dalam kehidupan ini ada yang dapat berubah menjadi semakin besar maupun hilang serta ada pula sumberdaya yang tidak dapat
berubahselalu tetap. Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang dapat berubah baik dalam hal ukuran secara biologisnya maupun jumlah
spesies ataupun jumlah tiap spesiesnya. Perikanan Indonesia mempunyai potensi sumberdaya ikan laut yang besar.
Salah satu potensi perikanan laut tersebut adalah rajungan Portunus pelagicus. Rajungan merupakan salah satu jenis Crustracea yang populer di masyarakat dan
keberadaannya hampir tersebar di seluruh Perairan Indonesia. Rajungan di Indonesia sampai saat ini masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki
nilai ekonomis tinggi, terbukti dengan nilai jual rajungan yang mencapai Rp22.000 per-kg sampai dengan Rp24.000 per-kg dibandingkan dengan harga
jual ikan pari hanya sekitar Rp3.000 per-kg sampai dengan Rp4.000 per-kg dan ikan cucut hanya sekitar Rp8.000 per-kg sampai dengan Rp9.000 per-kg. Selain
itu diungkapkan saat ini permintaan rajungan dari pengusaha restoran sea food luar negeri terutama Amerika Serikat setiap bulan mencapai 450 ton, sehingga
rajungan diekspor terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60 dari total hasil tangkapan rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai negara dalam
bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam bentuk olahan dalam kaleng diekspor ke Belanda.
Nilai gizi yang dikandung dalam tubuh komoditas ini pun sangat tinggi yang meliputi, kandungan protein sebesar 65,72 dan mineral sebesar 7,5.
Keunggulan lain adalah kandungan lemak rajungan yang sangat rendah, sehingga konsumen yang memang membatasi konsumsi pangan berlemak tinggi tetap dapat
mengkonsumsi komoditas ini. Kandungan lemak rendah dapat berarti kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang rendah pula. Komoditas ini merupakan
komoditas ekspor urutan ketiga setelah udang dan ikan. Permintaan rajungan
untuk tujuan ekspor yang semakin meningkat serta nilai ekonomisnya yang tinggi, memungkinkan diperlukannya suatu metode pengelolaan yang akan berpengaruh
terhadap tingkat ketersediaan stok sumberdaya perikanan rajungan di suatu perairan.
Teluk Banten merupakan bagian dari Laut Jawa dan luas wilayah permukaan totalnya 150 km² dan kedalaman rata-ratanya 7 m. Selain itu Teluk
Banten juga termasuk ke dalam perairan semi tertutup yaitu suatu perairan yang menjadi syarat atau asumsi dalam analisis bionomi. Salah satu Pelabuhan yang
termasuk dalam wilayah Perairan Teluk Banten adalah Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Karangantu. PPP Karangantu memiliki nilai sejarah yang sangat
tinggi selain digunakan sebagai kegiatan perikanan juga dapat digunakan sebagai tempat pariwisata. Letak PPP Karangantu yang dekat dengan daerah penangkapan
fishing ground Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Sunda, dan Perairan Lampung akan memudahkan para nelayan untuk melaut. Selain itu, PPP
Karangantu juga dekat dengan ibu kota negara, jarak tempuh ke Bandara Soekarno-Hatta sekitar 1 jam, sehingga memudahkan untuk ekspor hasil
perikanan. PPP Karangantu memiliki jumlah produksi rajungan tinggi dan berfluktuatif mulai Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2008. Hal tersebut dapat
terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi rajungan dan effort per alat tangkap di PPP Karangantu Tahun
2005-2008
No. Tahun Produksi rajungan ton
Effort trip Jaring
rajungan Jaring
dogol Jaring
payang Jaring
rajungan Jaring
dogol Jaring
payang
1 2005 17,126
73,498 0,880
820 1.162 822
2 2006
7,991 0,677
1,820 601
569 502
3 2007 35,176 4,942
0,602 1.009
882 688 4 2008
20,309 7,450 0,921
1.894 1.351 270
Sumber: Laporan tahunan statistik PPP Karangantu 2005-2008
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada Tahun 2006 produksi rajungan dari alat tangkap jaring rajungan mengalami penurunan sebesar 9,135
ton atau sebesar 53,34 dari jumlah produksi sebelumnya. Hal serupa terjadi pada alat tangkap dogol yang mengalami penurunan sebesar 66,728 ton atau
sebesar 90,79 dari jumlah produksi sebelumnya. Sebaliknya, alat tangkap payang mengalami peningkatan sebesar 0,94 ton atau sebesar 51,65 dari jumlah
produksi sebelumnya. Pada Tahun 2007 produksi rajungan dari alat tangkap jaring rajungan
mengalami peningkatan kembali sebesar 27,185 ton atau sebesar 77,28 dari jumlah produksi sebelumnya. Peningkatan produksi rajungan dari alat tangkap
dogol sebesar 4,265 ton atau sebesar 86,30 dari produksi rajungan sebelumnya. Sebaliknya, alat tangkap payang mengalami penurunan sebesar 1,218 ton atau
sebesar 66,92 dari jumlah produksi sebelumnya. Pada Tahun 2008 jumlah produksi rajungan terbanyak diperoleh dari alat
tangkap jaring rajungan yaitu sebesar 20,309 ton atau 73,16 dari total produksi rajungan, sedangkan dari alat tangkap dogol sebesar 7,450 ton atau 26,84 dari
total produksi rajungan, dan dari alat tangkap payang sebesar 0,921 ton atau 0,003 dari total produksi rajungan. Selain itu, produktivitas terbesar juga terjadi
pada alat tangkap jaring rajungan, yaitu sebesar 0,011 ton per trip, sedangkan produktivitas alat tangkap dogol sebesar 0,006 ton per trip dan produktivitas alat
tangkap payang sebesar 0,0034 ton per trip. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa jaring rajungan memiliki jumlah produksi dan produktivitas tertinggi. Oleh
karena itu, dengan tingginya total produksi rajungan dan tingkat produktivitas dari alat tangkap jaring rajungan tersebut dibutuhkan suatu pengelolaan dan investasi
optimal dari alat tangkap jaring rajungan guna mendapatkan kelestarian sumberdaya rajungan khususnya di PPP Karangantu.
Sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat open access, yang menyebabkan setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai
besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang boleh ditangkap. Apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus akan
menyebabkan terkurasnya sumberdaya hayati laut dan usaha penangkapan ikan menjadi tidak efisien baik secara ekonomi maupun biologi. Secara biologi,
produksi rajungan yang diperoleh akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Secara ekonomi, penurunan kualitas dan kuantitas rajungan akan
mengurangi keuntungan usaha nelayan secara keseluruhan, karena penerimaan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Kondisi tersebut jika tidak segera dikendalikan dengan baik, cepat atau lambat dikhawatirkan akan mengancam kelestarian sumberdaya rajungan. Oleh
karena itu, diperlukan suatu tindakan pengelolaan dan kajian investasi optimal dengan melakukan penataan dan pengontrolan terhadap usaha penangkapan
rajungan dengan memperhatikan aspek biologi, teknik, dan ekonomi. Pengelolaan terhadap usaha penangkapan rajungan dapat digunakan suatu
model yang disebut dengan model bionomi. Model bionomi atau bioekonomi merupakan perpaduan antara dinamika biologi sumberdaya perikanan dan faktor
ekonomi yang mempengaruhi perikanan tangkap, sedangkan untuk aspek tekniknya berupa penyesuaian ukuran alat tangkap dengan ukuran rajungan yang
akan ditangkap dan bagaimana metode pengoperasian yang dilakukan. Kajian investasi optimal yang dilakukan berupa analisis tehadap dua kriteria investasi
yaitu NPV dan NET BC. Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka kerusakan sumberdaya rajungan dapat dicegah dan mendorong terciptanya operasi
penangkapan rajungan dengan keberhasilan yang tinggi tanpa merusak kelestarian serta memberikan hasil tangkapan dan rente ekonomi yang maksimum.
1.2 Perumusan Masalah