Strategi Konflik Kognitif Landasan Teori

32 pertentangan antara struktur kognitif yang lama dengan struktur kognitif yang baru yang sedang dipelajari atau yang dihadapi. 3 Kwon mengemukakan dengan Konflik kognitif, yaitu konflik antara struktur kognitif yang baru menyangkut materi yang baru dipelajari dengan lingkungan yang dapat dijelaskan tetapi penjelasan itu mengacu pada struktur kognitif awal yang dimiliki oleh individu. Interaksi antara struktur kognitif dan lingkungan dalam memunculkan konflik digambarkan oleh Kwon Kwon Lee, 2001 dalam bentuk Gambar 2.1. Gambar 2.1 Model Konflik Kognitif dari Kwon Gambar 2.1 menjelaskan tentang struktur kognitif yang terdiri dari C1 dan C2, sedangkan R1 dan R2 menggambarkan tentang stimulus lingkungan. C1 menggambarkan konsep awal yang ada pada diri siswa yang sangat mungkin merupakan miskonsepsi siswa. C2 merupakan konsep yang akan dipelajari. R1 menyatakan lingkungan yang dapat dijelaskan oleh C1, dan R2 menjelaskan lingkungan yang dapat dijelaskan oleh C2. 33 Konflik 1 merupakan jenis konflik yang dikemukakan oleh Piaget, yakni antara C1 dan R2 atau antara konsep awal siswa dengan lingkungan yang dapat dijelaskan dengan konsep yang akan dipelajari. Konflik 2 dikemukakan oleh Kwon, yakni antara apa yang akan dipelajari oleh siswa dengan lingkungan yang dapat dijelaskan oleh konsep awal siswa. Adapun konflik 3 dijelaskan oleh Hasweh, yakni konflik antara konsep awal siswa dengan apa yang akan dipelajari oleh siswa. Menurut Piaget Ismaimuza, 2010 suatu struktur kognitif selalu berintegrasi dengan lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi. Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas dengan lingkungannya bebas konflik, maka struktur kognitif dalam keadaan ekuilibrium dengan lingkungannya. Namun, jika hal ini tidak terjadi pada seseorang, maka seseorang tersebut dikatakan dalam keadaan tidak seimbang atau disequilibrium. Bilamana seseorang berada atau mengalami ketidakseimbangan, maka dia akan merespon keadaan tersebut dan mencari keseimbangan yang baru dengan lingkungannya. Lebih lanjut Piaget mengatakan bahwa ada tiga tahapan atau level proses konflik kognitif, yakni level rendah, level menengah, dan level lebih tinggi. Pada level rendah, keseimbangan kognitif terjadi, sehingga tidak terjadi konflik kognitif meskipun terjadi asimilasi dan akomodasi. Pada level ini informasi baru diasimilasi dan diakomodasi dengan baik sesuai dengan skemata yang telah ada dalam pikiran. Pada level menengah, terjadi ketidakseimbangan kognitif atau terjadi konflik. Hal in terjadi karena kurangnya data yang ada dalam pikiran, 34 sehingga informasi yang diperoleh tidak cocok dengan pengetahuan atau struktur kognitif skemata yang dimiliki. Artinya informasi yang ada tidak dapat diasimilasi, akibatnya proses akomodasipun tidak terjadi terhadap informasi tersebut. Untuk itulah pada level ini, perlu adanya scaffolding baik oleh guru, maupun oleh teman sebaya yang tidak mengalami konflik kognitif. Pada level lebih tinggi, terjadi reequilibrium akibat adanya rekonseptualisasi terhadap informasi, sehingga terjadi keseimbangan baru dari apa yang sebelumnya bertentangan konflik. Pada level ini keseimbangan terjadi akibat adanya intervensi atau scaffolding yang dilakukan sengaja oleh guru atau sumber sumber lain, sehingga proses asimilasi dan akomodasi berlangsung dengan lancar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidakseimbangan kognitif atau konflik kognitif dapat dan perlu dikondisikan agar terjadi keseimbangan pada tingkat yang lebih tinggi daripada keseimbangan sebelumnya.

2.1.6 PBL Pendekatan Kontekstual Strategi Konflik Kognitif

Problem Based Learning dengan Pendekatan Kontekstual dan Strategi Konflik Kognitif PBLKK merupakan pembelajaran yang berdasarkan masalah dimana pada masalah yang dikemukakan terdapat fakta, keadaan, dan situasi yang mempertentangkan antara struktur kognisi siswa dengan sumber – sumber belajar sehingga siswa dapat memahami konsep dengan benar. Selama proses pembelajaran guru menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan 35 situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Integrasi pendekatan kontekstual dan strategi konflik kognitif pada penerapan Problem Based Learning disajikan pada Tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3 Integrasi Pendekatan Kontekstual dan Strategi Konflik Kognitif pada Langkah-Langkah PBL Fase-Fase Perilaku Guru Pendekatan Kontekstual Strategi Konflik Kognitif Fase 1 Orientasi peserta didik kepada masalah Guru membahas tujuan pelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah Guru mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari Fase 2 Mengorganis asikan siswa untuk meneliti Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya Guru mengorganisasikan tugas belajar yang berkaitan dengan permasalahan kontekstual Guru menyajikan permasalahan yang bersifat konflik kognitif Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi Guru membimbing siswa untuk melakukan penyelidikan terkait permasalahan yang bersifat kontekstual Fase 4 Mengembang kan dan menyajikan hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model- model, dan membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan 36

2.1.7 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

2.1.7.1 Pengertian Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah yang didefinisikan oleh Polya, sebagaimana dikutip dalam Hudojo 2003:87, adalah usaha untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Pemecahan masalah merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap individu karena dalam hidup pasti akan dihadapkan oleh suatu masalah. Pendidikan yang dijalani oleh anak merupakan suatu proses yang mana anak itu diajarkan untuk menanggulangi masalah-masalah dan sebagai bekal untuk kehidupan mereka kelak dengan ilmu yang mereka dapatkan. Pemecahan masalah merupakan aspek utama yang menjadi sasaran matematika. Soal pemecahan masalah memiliki kriteria soal yang sudah memuat masalah kompleks, bukan hanya pengaplikasian konsep saja tapi bagaimana memecahkan masalah itu melalui konsep-konsep yang sudah diajarkan. Soal pemecahan masalah memuat penyelesaian soal secara non-rutin yang memiliki beberapa kemungkinan cara penyelesaian sedangkan soal yang rutin bukan termasuk pemecahan masalah.

2.1.7.2 Proses Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah matematika merupakan proses penyelesaian masalah yang menggunakan konsep matematika yang dikerjakan melalui langkah-langkah atau prosedur hingga ditemukan solusi matematiknya. Menurut Polya sebagaimana yang dikutip oleh Herman 2000:1 terdapat empat langkah fase penyelesaian masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian,