Tumpangsari dan Agroforestry HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH BKPH SUKUN
diperkenankan menanam tanaman pangan diantara larikan kayu putih dengan peraturan yang ditetapkan oleh Perum Perhutani.
Sistem tumpangsari ini diangap berhasil baik karena dapat memecahkan masalah pembuatan permudaan dengan biaya yang murah. Sistem tersebut tidak
hanya memecahkan masalah permudaan hutan kayu putih saja tetapi juga memberi sumbangan untuk menyediakan lahan garapan bagi petani miskin sekitar
hutan. Namun demikian, untuk tanah-tanah yang kurus hasil tumpangsari sering tidak memuaskan. Kelemahan sistem ini adalah erosi karena pengerjaan tanah
yang intensif dan pengurasan nutrisi oleh tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan penanaman tanaman sela jenis lamtoro. Setelah itu sistem
tumpangsari menjadi sistem permudaan hutan kayu putih yang penting dan dipakai sampai sekarang dengan beberapa modifikasi.
Sistem tumpangsari di BKPH Sukun sejak tahun 2003 mulai dilakukan pelebaran jarak tanam, yaitu jarak tanam diperlebar dari 1 x 3 m menjadi 1 x 6 m.
Adapun alasan pelebaran jarak tanam diharapkan dapat meningkatkan produktivitas daun per satuan pohon, karena larikan tanaman pokok selebar 2
meter terbebas dari tanaman tumpangsari. Sebenarnya tujuan utama tumpangsari adalah untuk meningkatkan produktivitas daun kayu putih dan pendapatan
pesanggem dengan hasil tanaman pangan seperti: jagung, ketela pohon, kacang- kacangan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kegiatan tumpangsari di BKPH
Sukun dilakukan sepanjang tahun, karena antara tanaman pokok kayu putih dan tanaman tumpangsari hampir tidak terjadi persaingan dalam memperoleh sinar
matahari. Namun demikian berdasarkan pengamatan, adanya tanaman tumpangsari belum berhasil meningkatkan produktivitas daun karena para
pesanggem tetap tidak disiplin. Para pesanggem tetap menganggu dan membuat kerusakan terhadap tanaman pokok kayu putih Perum Perhutani, 2010b.
Akhirnya mulai tahun 2011 jarak tanam kayu putih dipertahankan ke jarak tanam 1 x 3 m.
Menurut definisi Lundgren dan Raintree 1982 dalam Nair 1993 kegiatan tumpangsari di BKPH Sukun termasuk praktik agroforestry. Agroforestry adalah
suatu nama kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan dimana tanaman perenial berkayu pohon, perdu, bambu yang secara
sengaja ditanam di lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau peternakan dalam suatu pengaturan spatial atau temporal, dan terdapat interaksi
baik secara ekonomis maupun ekologis antara komponen-komponen yang berbeda.
Penggunaan teknik agroforestry telah dikenal luas dan dapat diterima sebagai teknik yang dapat dipakai untuk intensifikasi di bidang kehutanan.
Penerapan teknik ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas lahan hutan, tidak hanya produksi daun kayu putih tetapi juga hasil pangan, pakan ternak,
kesempatan kerja dan kayu bakar.