Penentuan daur optimum produksi daun dalam satu daur panen
mengetahui berapa besar biomassa yang hilang karena rontok dan saat kapan terjadinya hal terjebut perlu kajian lebih lanjut. Pertanyaan lain adalah apakah
setelah tunas berumur 12 bulan atau lebih terjadi kecenderungan penurunan atau justru terjadi kenaikan produksi perlu penelitian lebih lanjut. Namun demikian,
berdasarkan pengamatan dari sisa tanaman kayu putih yang tidak sempat dipangkas
pada periode sebelumnya, produksi biomassa menunjukkan kencenderungan naik pada umur tunas 24 bulan dan 36 bulan.
Apabila perhitungan didasarkan pada kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI dan MMI produksi DKP, maka umur tunas optimum adalah 5 bulan karena
pada umur tersebut terjadi perpotongan kurva CMI dan MMI maksimum. CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya riap
turun secara linier sampai umut 8 bulan. Pada umur tunas 9 bulan CMI turun mendekati nol dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai
umur 5 bulan pertumbuhan mendatar sampai umur 12 bulan. Dari uraian di atas, berdasarkan kurva produksi total biomassa saat
pemangkasan berikutnya adalah 7 bulan dari pemangkasan sebelumnya. Sedang berdasarkan kurva produksi DKP saat pemangkasan optimum adalah 5 bulan.
Namun demikian, pada umur tersebut berdasarkan pengalaman di lapangan daun masih muda dan dikawatirkan rendemen dan kadar sineolnya masih rendah. Selain
itu, sampai umur tunas 8 bulan masih terjadi peningkatan walaupun tidak tajam. Oleh karena itu, berdasarkan kurva ini umur pemangkasan tunas sebaiknya
dilakukan pada umur tunas 9 bulan karena pada bulan berikutnya laju pertumbuhan sampai umur tunas 12 bulan mendekati nol. Setelah saat
pemangkasan optimum diketahui, langkah selanjutnya adalah menentukan saat kapan umur tunas mempunyai rendemen dan kualitas minyak yang tinggi.
5.2. Minyak Kayu Putih 5.2.1. Kadar minyak rendemen
Hasil penyulingan dengan destilasi yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor diperoleh kadar minyak kayu putih
rendemen yang berbeda pada setiap umur tunas. Untuk memperoleh hasil
minyak yang maksimal dilakukan penyulingan cara mengkukus daun kayu putih selama 4 jam, suhu antara 150 sd 175
C. Sehubungan jarak lokasi pengambilan sampel daun kayu putih dengan
Laboratorium Balitro Bogor sangat jauh, maka daun kayu putih yang disuling adalah daun yang telah dikeringanginkan selama 2 minggu. Maksud dari
pengeringan ini adalah daun tidak layu atau busuk., sehingga kandungan minyak dalam daun terjaga. Daun yang disuling adalah daun yang telah mempunyai umur
6 sd 12 bulan dan hanya terdiri dari daun dan ranting yang mempunyai diameter ≤ 0,5 mm. Masing-masing umur tunas dilakukan dua kali penyulingan agar
diperoleh hasil yang representatif. Seperti terlihat pada Tabel 13 bahwa rendemen minyak kayu putih terus
naik seiring dengan meningkatnya umur tunas, yaitu umur tunas 6 sd 12 bulan kecuali pada umur tunas 11 bulan rendemen lebih tinggi. Dibandingkan dengan
hasil penyulingan di pabrik yang berkisar 0,6 sd 0,9 , hasil ini relatif tinggi, dimana pada setiap umur tunas memiliki rendemen di atas 1. Hal ini dapat
dimengerti, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa daun yang disuling pada penelitian ini adalah daun yang telah dikeringkan dan hanya terdiri dari daun dan
ranting kecil saja, sedangkan daun kayu putih yang disuling di pabrik merupakan daun yang baru dipetik dan masih basah serta kandungan airnya masih tinggi.
Pada umumnya daun yang dipetik hari itu akan disuling hari itu juga, sehingga daun masih segar dan mempunyai masa yang relatif berat.
Besarnya penyusutan daun kayu putih setelah dikeringanginkan selama 2 minggu pada umur tunas 6 dan 12 relatif sama, yaitu 68. Demikian juga pada
umur tunas 7 sd 10 bulan mempunyai penyusutan masa daun yang relatif sama sebesar 64, kecuali pada umur tunas 11 bulan sebesar 53. Perbedaan besarnya
penyusutan ini mempengaruhi perhitungan rendemen. Namun demikian, setelah daun dikonversi menjadi berat basah, rendemen hasil penyulingan baik di
laboratorium maupun di pabrik relatif sama kecuali pada umur tunas 11 bulan. Rendemen pada umur tunas 9 bulan sd 12 bulan berkisar 0,58 sd 1,01
hampir sama dengan hasil penyulingan pabrik pada umur tunas yang sama, sedangkan umur tunas 11 bulan rendemennya hampir dua kali lipat, yaitu sebesar
1,58. Perbedaan rendemen yang cukup mencolok ini, kemungkinan disebabkan tercampurnya varietas lain pada contoh daun yang disuling.
Tabel 13. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam.
Umur tunas
bulan No
contoh Berat
contoh gram
Volume minyak
ml Bobot
jenis Berat
minyak gram
Rendemen daun kering
Rendemen daun basah
Rendemen daun basah
rata-rata 6
1 2000
29 0,9291
27 1,35
0,43 0,44
2 2000
30 28
1,39 0,45
7 1
1900 29
0,9086 26
1,39 0,51
0,51 2
1900 30
27 1,43
0,52 8
1 1700
29 0,9283
27 1,58
0,56 0,52
2 2200
31 29
1,31 0,47
9 1
1900 33
0,9099 30
1,58 0,58
0,58 2
2000 35
32 1,59
0,58 10
1 2200
49 0,9267
45 2,06
0,71 0,70
2 2200
48 44
2,02 0,69
11 1
2200 84
0,9237 78
3,53 1,65
1,58 2
2300 81
75 3,25
1,52 12
1 2100
72 0,9255
67 3,17
1,01 1,01
2 2200
75 69
3,16 1,01
Perbedaan penyusutan masa daun disebabkan antara lain oleh bentuk daun, ketebalan daun dan varietas kayu putih. Dilihat dari produksi minyak, varietas
kayu putih berkuncup putih menghasilkan kadar sineol rata-rata 33,3 dan rendemen minyak 1,2 lebih tinggi dibandingkan dengan kayu putih yang
berkuncup merah dengan kadar cineol 29,3 dan rendemen minyak 0,8 , sedangkan dilihat bentuk daunnya, daun berbentuk langsit lebih banyak
mengandung minyak dan daun yang berbentuk lonjong kadar sineolnya lebih tinggi LPHH, 1973 dalam Perum Perhutani, 1985.
Hasil tersebut senada dengan hasil kajian Susanto, et al. 2008, menyatakan bahwa hasil evaluasi kebun benih uji keturunan di Paliyan
menujukkan adanya keragaman pertumbuhan dan sifat minyak diantara pohon induk dan asal induk provenan. Berdasarkan data uji keturunan M. cajuputi di
Paliyan menunjukan adanya individu pohon yang mempunyai kualitas minyak yang superior yaitu rendemen minyak sampai 4,78 dan kadar sineol sampai 73
Santoso, et al., 2008.