Leaves production model on kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell) plantation

(1)

MODEL PRODUKSI DAUN PADA HUTAN TANAMAN

KAYU PUTIH (

Melaleuca cajuputi

subsp.

cajuputi

Powell)

PUDJA MARDI UTOMO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Produksi Daun Pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Pudja Mardi Utomo NRP E161070061


(3)

ABSTRACT

PUDJA MARDI UTOMO. Leaves Production Model on Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell) Plantation. Supervised by Endang Suhendang, Wasrin Syafii and Bintang CH Simangunsong.

Cajuput oil is one of important non-timber forest product in Indonesia, which is resulted from processing of kayu putih (Melaleuca cajuputi Subsp. cajuputi Powell) leaves. Perum Perhutani now managed about 24,000 hectars of kayu putih plantation in Java and 10 units of leaves processing mills with installed capacity of 53,760 tonnes per year. However, these mill were underutilized due to low leaves kayu putih production.

The objective of this study were: (1) to develop kayu putih leaves production model, for one leaves harvesting rotation, and (2) to determine a silviculture rotation age of kayu putih stand. Subject to field condition, number of tree, stand density, and biomass by part of tree from 36 temporary sample plot (TSP) of Age Class II at BKPH Sukun were them measured to develop kayu putih leaves production model and from 24 TSP of all Age Class (Age Class I – VIII) at BKPH Sukun were measured to determine a silviculture rotation age. Anaysis of oil and and sineol contens as well as some characteristics of cajuput oil were also conducted.

The result show that Morgan-Mercer-Flodin (MMF) equation was found as the best model in representing kayu putih leaves production model, with option sprout age of 7 months. A silviculture rotation age was estimated around 25 years (with Age Class V) using as stand maximum productivity as a proxy.


(4)

Putih (Melaleuca cajuputisubsp. cajuputi Powell). Di bawah bimbingan Endang Suhendang, Wasrin Syafii and Bintang CH Simangunsong.

Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang penting di Indonesia. Hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha areal produktif jenis ini dan memiliki 10 pabrik pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Namun Pengelolaannya belum optimal karena sampai saat ini produksi daun kayu putih masih jauh dari kapasitas terpasang pabrik, yaitu sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun.

Tujuan penelitian adalah: (1). Mengetahui model produksi daun tanaman kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan (2). Mengetahui model produktivitas daun tanaman kayu putih dalam satu daur silvikultur. Untuk mendukung tujuan tersebut juga dilakukan analisis kandungan minyak, kualitas minyak dan beberapa sifat minyak pada umur tuans 6-12 bulan. Selanjutnya hasil model yang diperoleh digunakan untuk menentukan saat kapan daun dipanen dan saat kapan tanaman kayu putih diganti dengan tanaman baru.

Cara pengambilan data adalah survey, yaitu: pengamatan langsung di lapangan melalui pengukuran plot-plot ukur sementara (PUS). Plot ukur untuk pembuatan model dalam satu daur panen dibuat sebanyak 36 PUS dan 24 PUS untuk pembuatan model dalam satu daur silvikultur. Model produksi daun kayu putih terbaik dalam satu daur panen adalah Morgan-Mercer-Flodin model (MMF) dan pemangkasan optimum adalah pada umur tunas 7 bulan, dimana kurva laju pertumbuhan rata-rata bulanan maksimum berpotongan dengan kurva pertumbuhan bulan berjalan. Model produktivitas dalam satu daur silvikulktur adalah model polinomial. Daur silvikultur, yaitu umur tegakan kayu putih pada saat tanaman harus diganti dengan tanaman baru diperkirakan pada umur 25 tahun (KU V), oleh karena pada periode umur ini produktivitas daun tertinggi.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB


(6)

PUDJA MARDI UTOMO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(7)

Penguji luar komisi pada ujian tertutup: 1. Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc 2. Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc

Penguji luar komisi pada ujian terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS 2. Dr. Ir. Mahfudz, MP


(8)

Nama : Pudja Mardi Utomo

NIM : E161070061

Disetujui

Ketua Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS Ketua

Ir. Bintang CH Simangunsong, MS, Ph.D Anggota

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir Hariadi Kartodiharjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2011 ini adalah Model Produksi Daun Pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell).

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS, Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii, M.Agr, Ir.Bintang CH Siamangunsong, MS,Ph.D atas bimbingan, kesabaran, dukungan moril, kritik dan saran yang sangat besar perannya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini. Semoga semua sumbangsih kepada penulis menjadi amal ibadah bagi mereka.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc dan Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr.Ir. Budi Kuncahyo, MS, selaku wakil Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS, selaku Wakil Dekan Fakultas kehutanan IPB Bogor yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini pada ujian tertutup. Prof.Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Dr.Ir. Mahfudz, MP selaku penguji luar komisi, Prof.Dr.Ir. Bambang Hero S, M.Agr selaku wakil Rektor IPB dan Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc F selaku wakil Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini pada ujian terbuka.

Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun beserta staf, Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukun beserta staf, Kepala Pabrik Kayu Putih Sukun dan staf, Pak mandor Sugeng Wiyani dan Sugito, dan para pesanggem (pak Kawuk dan keluarga, pak Saikun dan keluarga, Sunaryo dan keluarga), Staf Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor, dan para pihak yang telah membantu dalam proses penelitian.

Ucapan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan dan jajarannya yang telah memberikan beasiswa dan bantuan penelitian. Balai Penelitian Kehutanan


(10)

penelitian.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada ibunda Siti Kustiyah dan Clerry Mogonta, istri Fitri dan anak-anaku Nisa dan Sultan tercinta, Mas Heru dan Tono beserta keluarga, Dik Kembaran, Nurni, Rudi dan Giri beserta keluarga, paklik dan bulik Sardjono dan keluarga besar di Manado, atas doa dan dukungannya yang tiada henti. Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungan dalam penyelesaian studi penulis.

Semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang telah diberikan dibalas Allah SWT dengan yang lebih baik dan lebih besar. Amin.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi umat manusia.

Bogor, Agustus 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 11 Mei 1964 sebagai anak ketiga dari pasangan Soemarno dan Siti Kustiyah. Penulis menikah dengan Liedya Nur Fitri Panambunan dan dianugerahi seorang putri Rahmadianisa Papuana dan seorang putra Sultan Achmad Foretsatrio. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor lulus pada tahun 1991. Pada bulan September tahun 1999 penulis diterima di Program Magister pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan menyelesaikannya pada bulan Januari tahun 2002. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan melanjutkan ke jenjang Program Doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas beasiswa dari Kementerian Kehutanan.

Penulis bekerja sejak tahun 1992 sebagai Staf Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Papua Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tugas yang diemban adalah peneliti pada bidang silvikultur.


(12)

i

Teks Halaman

DAFTAR ISI………..………... i

DAFTAR TABEL…………..………... iii

DAFTAR GAMBAR………..………... v

1. PENDAHULUAN

……….………. 1

1.1. Latar Belakang………….………... 1

1.2. Perumusan Masalah………..………... 4

1.3. Kerangka Pemikiran……… 6

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 8

1.5. Novelty……….... 8

1.6. Hipotesis………..……….... 9

1.7. Batasan dan Asumsi………. 10

2. TINJAUAN PUSTAKA...

11

2.1. Tegakan Hutan Tanaman Seumur dan Sejenis……….... 11

2.2. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan………. 11

2.3. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Seumur…...…………. 12

2.4. Riap dan Etat... 14

2.5. Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan... 16

2.6. Pemodelan di Bidang Kehutanan... 18

2.7. Kayu Putih (Melaleluca cajuputisubsp. CajuputiPowell)... 21

2.8. Aspek Silvikultur Kayu Putih... 24

2.9. Minyak Kayu Putih... 31

2.10 Hasil-hasil penelitian sebelumnya... 32

3. METODOLOGI...

41

3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu... 41

3.2. Batasan dan Istilah... 42

3.3.Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 3.4. Analisis Data... 44 52

4. HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH BKPH SUKUN... 59

4.1. Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan...

4.2. Keadaan Fisik... 4.3. Keadaan Sosial dan Ekonomi... 4.4. Tata Guna Lahan... 4.5. Tumpangsari dan Agroforestri... 4.6. Sarana dan Prasarana...

59 61 65 68 68 70


(13)

ii

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

.

... 73

5.1. Model Produksi Daun dalam Satu Daur Panen... 74

5.2 Minyak Kayu Putih... 86

5.3 Hubungan Rendemen Minyak dan Produksi Optimal Daun………. 92

5.4 Model Produksi Daun dalam Satu Daur Silvikultur... 94

6.

KESIMPULAN DAN SARAN………

103

6.1 Kesimpulan………. 103

6.2 Saran………... 103

DAFTAR PUSTAKA...

105


(14)

iii

No Teks Halaman

1 Pengaruh perlakuan pemberian pupuk (npk), afval daun (a) dan gebrus (g) terhadap produksi daun kayu putih pada plot percobaan

seluas 0,1 ha………. 27

2 Produksi daun kayu putih per pohon berdasarkan umur dan diameter

pohon……… 28

3. Produksi daun kayu putih rata-rata (kg/ha) berdasarkan kelompok umur (ku) dan derajat kesempurnaan tegakan (dkn)………. 28

4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih………... 33

5 Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil………... 36

6

7..

Jenis dan sumber data serta metode pengolahan data untuk analisis………. .

Keadaan kelas hutan kayu putih di bkph sukun pada jangka 2006-2010 dan jangka 2011-2015………..

49

63

8. Kondisi penduduk berdasarkan dewasa dan anak-anak serta jenis kelamin………... 66

9. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan ……… 75

10 Rekapitulasi hasil pengukuran biomasa tunas kayu putih di BKPH

Sukun ……….. 77

11 Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan

Logistik……… 78

12 Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman kayu putih berdasarkan model MMF………. 82

13 Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam………... 88

14. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan setelah dikonversi ke berat basah………. 89


(15)

iv 15. Kadar sineol minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan

12 bulan penyulingan selama 4 jam………. 90

16 Beberapa sifat minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan penyulingan selama 4 jam……... 92

17. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII ………... 94

18. Rekapitulasi hasil pengukuran biomasa tegakan kayu putih di

BKPH Sukun……… 95

19. Nilai konstanta, Se dan R2persamaan model hasil pengukuran dan hasil perhitungan kumulatif ……… 96

20 Nilai koefisien, Se dan R2 kurva model polinomial derajat dua hubungan biomasa, cabang dan daun dengan umur tegakan……….. 97


(16)

v

No Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan

Hutan Tanaman Kayu Putih Sistem Pemangkasan Tunas ... 7

2. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI)... 15

3. Peta lokasi penelitian di Ponorogo, Jawa Timur………. 41

4. Daerah Produksi Daun Kayu Putih Optimum……… 48

5. Alur Pengambilan Data……….. 54

6. Alur Analisis Data……….. 57

7a. Kurva hubungan antara produksi biomasa dan umur tunas model Logistik ……… ………. 79

7b. Kurva hubungan antara produksi biomasa dan umur tunas model Logistik Morgan-Mercer-Flodin …………..…………... 80

8. Hubungan kurva produksi biomasa dan produksi DKP selama satu daur panen……… 81

9. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) (a) biomasa dan (b) DKP tanaman kayu putih berdasarkan model MMF……… 83

10a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum produksi total biomassa ………. . 84 10b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum (a) produksi biomasa (b) produksi DKP………. . 85 11 Kurva (a) periode optimum biomasa dan (b) kurva rendemen (diarsir periode optimum berdasarkan rendemen ≥ 0,7%)……. 93

12 Kurva hubungan produktivitas biomasa dan umur tegakan dengan model Polinomial derajat 3………. 97

13 Kurva model polinomial derajat dua hubungan biomasa, cabang dan daun dengan umur tegakan………. 98


(17)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) atau dalam literatur lama sering juga disebut Melaleuca leucadendronmerupakan salah satu jenis pohon dari famili Myrtaceae merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting bagi industri minyak atsiri. Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (pulau Buru, Seram, Nusa Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di Jawa Timur (Ponorogo, Kediri, Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka) (Gunn, et al., 1996; Mulyadi, 2005; Perum Perhutani, 2005).

Potensi tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha jenis ini dan memiliki 10 pabrik pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Pabrik yang dimiliki Perum Perhutani tersebar di Pulau Jawa, yaitu, 5 unit di Jawa Timur, 4 unit di Jawa Barat dan satu unit di Jawa Tengah. Kapasitas terpasang pabrik total kesepuluh PMKP tersebut sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun. Tanaman jenis ini di Pulau Jawa sudah dibudidayakan secara komersial dengan produksi minyak mencapai 300 ton/tahun (Rimbawanto, et al. 2009).

Potensi dan kapasitas pabrik yang besar ini belum bisa dimanfaatkan dengan maksimal`dimana Indonesia hingga saat ini masih kekurangan pasokan minyak kayu putih. Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak kayu putih karena Perum Perhutani hanya mampu menyediakan kurang dari sepertiganya saja (Perum Perhutani, 2010a). Dilihat dari segi kualitas tegakan tanaman kayu putih dan rendemen minyak juga masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya derajat kesempurnaan tegakan (Dkn) lebih kecil dari 0,8. Sebagai gambaran, hasil kajian Utomo (2001) hutan tanaman kayu putih di BKPH Sukun hanya memiliki Dkn rata-rata 0,68 dengan produksi daun kayu putih kurang dari 5.000 ton/tahun, dan rendemen minyak dari tegakan kurang dari 1,0%. Oleh karena itu perlu dicari terobosan untuk meningkatkan produktivitas


(18)

hutan tanaman kayu putih. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rekayasa genetika dalam pembuatan tanaman, manipulasi tempat tumbuh dan rekayasa pengelolaan hutan.

Rekayasa genetika atau pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh bibit tanaman kayu putih unggul, yaitu tanaman yang mempunyai produksi daun tinggi, kadar sineol tinggi, rendemen minyak kayu putih tinggi dan keunggulan lainnya. Melalui rangkaian kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan CSIRO Forestry and Forest Product Australia sejak tahun 1995 telah diperoleh hasil yang cukup memuaskan. Hasil seleksi famili dari uji keturunan yang dilakukan mendapatkan rendemen minyak sebesar 2% yang lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan biasa antara 0,6-1,0% (Susanto et al., 2003). Lebih lanjut Susanto et al. (2008) menunjukkan bahwa pada uji keturunan M. cajuputidi Paliyan dapat meningkatkan rendemen dan kadar sineol antara 10%-21% dan pertumbuhan antara 15%-20% dari rata-rata setelah seleksi pertama. Waktu yang diperlukan untuk pencapaian peningkatan genetik tersebut adalah kurang dari 4 tahun.

Cara kedua adalah melalui manipulasi tempat tumbuh tanaman kayu putih, seperti pengolahan tanah, pemupukan, perlindungan terhadap gulma, penambahan bahan organik sekaligus pemulsaan dengan afval daun kayu putih dari pabrik, tumpangsari dan sebagainya. Pemberian pupuk (NPK dan Afval) dan penggebrusan atau kedua-duanya memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan plot yang tidak mendapat perlakuan. Plot yang mendapat pemeliharaan dengan penambahan afval daun sebanyak 2.600 kg dan pupuk NPK 100 kg serta gebrus pada plot percobaan memberikan hasil lebih baik terhadap produksi daun kayu putih yaitu 1,44 kg/pohon dibanding tanpa perlakuan 1,13kg/pohon (Perum Perhutani, 1984).

Sambil menunggu hasil kedua cara di atas, cara ketiga, yaitu meningkatkan produktivitas hutan secara keseluruhan melalui rekayasa pengelolaan hutan kayu putih. Guna mencapai tujuan pengusahaan yang ditetapkan, diperlukan strategi pengelolaan yang baik, yakni strategi pengelolaan yang memadukan pengetahuan biologi jenis yang diusahakan dengan pertimbangan ekonomi dan teknik pengelolaan yang lazim dilakukan pada hutan tanaman. Penentuan strategi


(19)

3

pengelolaan tegakan hutan yang demikian itu dipermudah dengan adanya konsep-konsep tujuan pengusahaan hutan produksi yang dapat dikuantifikasikan, diprediksi dan diterjemahkan dalam struktur tegakan hutan.

Fenomena dinamika pertumbuhan tegakan selalu dihadapi pihak pengelola dalam pengelolaan tegakan. Dinamika pertumbuhan tegakan tidak selalu memenuhi harapan-harapan pengusahaan. Praktik-praktik pengelolaan tegakan di Indonesia selama ini masih dikategorikan belum intensif. Beragamnya kegunaan jenis pohon menyebabkan beragamnya pula tujuan pengusahaan. Pengaturan tegakan hutan yang diusahakan untuk menyediakan bahan baku kertas tidak seketat jika ditujukan untuk penyediaan bahan baku industri kayu pertukangan. Demikian juga dengan pengaturan tegakan hutan untuk penyediaan bahan baku minyak atsiri hanya diarahkan untuk mencapai volume biomassa daun yang maksimum, sedangkan ukuran pohon tidak menjadi faktor pertimbangan utama. Dengan demikian dalam praktik pengelolaan tegakan perlu memperhatikan tujuan pengusahaan dan melibatkan kegiatan pengaturan dinamika pertumbuhan tegakan. Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputisubsp. cajuputi) sistem pemanenan pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih.

Selama ini praktik pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa dilakukan dengan sistem pangkas tunas, dimana pohon kayu putih pada semua kelas umur dipangkas tunasnya setelah berumur 6 bulan ke atas dengan asumsi pada umur tersebut kualitas dan rendemen minyak kayu putih sudah layak. Pengaturan hasilnya belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas, secara umum hanya berdasarkan luas total tanaman kayu putih dibagi 10, yang merupakan jumlah bulan dalam setahun dikurangi 2 bulan untuk perbaikan dan perawatan alat penyulingan. Konsep pengaturan hasil berdasarkan pendugaan hasil sebaiknya dilakukan berdasarkan pada data dan informasi akhir dari sumberdaya serta pendugaan nilai maksimum pemanenan lestari (Vanclay, 1995)


(20)

Permasalahan yang ada dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan khususnya pada hutan tanaman kayu putih adalah belum ditemukan cara yang tepat terutama kaitannya dengan pengaturan hasil. Salah satu hal penting dalam menyusun pengaturan hasil adalah informasi pertumbuhan dan hasil yang dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas daun kayu putih.

Sehubungan dengan informasi tentang pertumbuhan dan hasil tanaman kayu putih belum tersedia, maka perlu dilakukan pembuatan model produksi daun kayu putih. Melalui cara tersebut diharapkan diperoleh produktivitas daun kayu putih tinggi dan kualitas minyak kayu putih yang baik.

1.2. Perumusan Masalah

Perum Perhutani (2010a) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu importir minyak kayu putih. Berdasarkan data statistik, kebutuhan domestik minyak kayu putih sebesar 1.500 ton per tahun tetapi kemampuan produksi minyak Indonesia hanya 500 ton per tahun, 300 ton diantaranya adalah produksi Perum Perhutani. Padahal seperti telah disebutkan di atas potensi hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, yaitu 24.000 ha, yang sampai dengan saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daun kayu putih sesuai dengan kapasitas terpasang pabrik sebesar 53.760 ton/tahun.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa belum optimum, dimana derajat kerapatan normal tegakan kurang dari 80%, produktivitas rata-rata daun kayu putih antara tahun 2006-2010 hanya 1,8 kg per pohon dan rendemen rata-rata 0,8% (Perum Perhutani, 2010b). Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar agar produktivitas daun kayu putih meningkat. Sambil menunggu hasil penelitian pembuatan tanaman melalui rekayasa genetika dan manipulasi tempat tumbuh, perlu disusun rencana pengaturan hasil yang optimum dari tegakan tanaman kayu putih yang ada saat ini. Selama ini praktek pengelolaan hutan tanaman kayu putih di P. Jawa dilakukan dengan sistem pemangkasan tunas dan belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas, sehingga produksi daun kayu putih tidak maksimal.


(21)

5

Salah satu informasi penting dalam pengaturan hasil adalah model pertumbuhan dan hasil. Namun demikian, berdasarkan hasil penelusuran pustaka baik jurnal maupun karya ilmiah yang tidak diterbitkan (thesis dan disertasi) model pertumbuhan dan hasil tanaman kayu putih dengan sistem pangkas tunas belum diketahui, padahal ini sangat diperlukan. Informasi pertumbuhan pada setiap periode tumbuh dan berkembang tanaman kayu putih dapat digunakan untuk mengetahui saat kapan produksi daun kayu putih maksimal untuk dipungut. Selain itu, informasi ini juga dapat dipakai untuk mengetahui kapan umur tunas mempunyai kualitas dan rendemen yang tinggi.

Berdasarkan informasi dari model pertumbuhan dan hasil dapat dibuat skenario pemanenan melalui penjadwalan pemangkasan pada umur tunas berapa daun kayu putih mempunyai produktivitas dan kualitas minyak tertinggi atau kombinasi antara produktivitas daun dan kualitas minyak tertinggi dalam satu periode panen. Untuk mencapai hasil yang diharapkan maka perlu dilakukan kajian ilmiah tentang model pertumbuhan dan hasil tunas daun kayu putih yang dapat digunakan sebagai alat dalam pengaturan hasil sebagai dasar penyusunan model pengelolaan hutan yang mampu mengatasi masalah produksi daun kayu putih.

Salah satu cara untuk menentukan preskripsi pemangkasan (intensitas pangkasan dan lama rotasi) yang optimum adalah dengan memaksimumkan daun kayu putih atau disingkat DKP (merupakan campuran antara daun, ranting dan cabang yang berdiameter < 0,5 cm) melalui model pertumbuhan tunas optimum. Dengan mengetahui model ini akan diperoleh kurva pertumbuhan total tunas maksimum, riap rata-rata bulanan tunas dan riap bulan berjalan. Selain itu juga akan diperoleh informasi saat kapan daun kayu mempunyai kualitas dan rendemen minyak yang tinggi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah Dapatkah rotasi pemanenan pangkas tunas dan daur silvikultur untuk tegakan kayu putih ditentukan berdasarkan model pertumbuhan daun kayu putih pada sistem pemangkasan tunas pada pengelolaan hutan tanaman kayu putih? Untuk dapat menjawab permasalahan utama dalam


(22)

penelitian ini, selanjutnya permasalahan tersebut perlu diperinci ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun pada tegakan kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi pemangkasan daun?

2. Pada umur berapakah rotasi pemangkasan tunas berdasarkan persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih tersebut? 3. Bagaimanakah bentuk persamaan matematika untuk kurva laju pertumbuhan

daun pada tegakan kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam beberapa rotasi pemangkasan daun?

4. Pada umur berapakah daur silvikultur tegakan kayu putih berdasarkan persamaan matematika laju pertumbuhan daun tegakan kayu putih tersebut?

1.3. Kerangka Pemikiran

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah masalah model, yaitu menggambarkan keadaan pertumbuhan kayu putih sistem tunas akan datang berdasarkan keadaan tunas pada saat dilakukan penelitian. Adapun alat yang dipakai sebagai dasar untuk prediksi ini adalah kurva produksi daun tegakan hutan tanaman kayu putih yang diperoleh dari model. Kurva tersebut merupakan hubungan peubah umur tunas dan produksi biomassa.

Model yang diperoleh tersebut sangat penting bagi kelestarian pengelolaan hutan. Rencana pemanenan yang efisien memerlukan prediksi tentang kapan, dimana dan seberapa banyak biomassa yang dapat dipanen. Dugaan kelestarian hanya dapat dibuat jika dapat mengantisipasi kapan pemanenan berikutnya dapat dilakukan. Secara jelas, prediksi-prediksi hasil adalah unsur penting untuk efisiensi pengelolaan pembangunan hutan kembali baik di dalam formulasi kebijakan, maupun di dalam perencanaan strategis dan dalam operasional pengelolaannya.

Karakteristik penting dari model simulasi yang dibangun adalah preskripsi pemangkasan optimum dan panjang rotasi pangkas tidak ditentukan, melainkan merupakan luaran dari model yang dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku


(23)

7

dari tegakan hutan tanaman setempat. Sedangkan informasi mengenai pertumbuhan dan hasil (growth & yield) yang diperlukan sebagai input simulasi diperoleh berdasarkan data petak ukur permanen dan petak ukur sementara.

Hasil simulasi selanjutnya diuji, apakah menjamin kelestarian produksi daun dan mempunyai kualitas minyak yang optimum? Dengan melakukan simulasi dapat diperoleh preskripsi pengaturan hasil yang paling tepat bagi unit pengelolaan hutan tanaman kayu putih bersangkutan. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Kayu Putih Sistem Pemanenan Pangkas Tunas


(24)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum adalah mengetahui model produksi daun kayu putih sistem pangkas tunas pada hutan tanaman kayu putih. Sedangkan tujuan khusus adalah: 1. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun

tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan daun berdasarkan persamaan tersebut.

2. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva laju pertumbuhan daun tanaman kayu putih dalam satu daur silvikultur dan memperoleh umur daur silvikultur optimal berdasarkan persamaan tersebut.

3. Mendapatkan informasi rendemen, kualitas dan sifat-sifat minyak kayu putih pada periode optimum.

1.4.2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah:

1. Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berperan pada pengembangan teori pertumbuhan dan hasil, khususnya tanaman kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas.

2. Pada aspek pengelolaan hutan, akan berperan pada bentuk pengelolaan hutan yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhan tanaman kayu putih.

3. Model yang diperoleh nantinya bisa dipertimbangkan dalam menjawab permasalahan pengelolaan hutan untuk mendapatkan model pengelolaan tanaman kayu putih.

4. Membantu Perum Perhutani dalam menentukan saat yang tepat dalam memanen dan saat tepat mengganti tanaman baru serta menjamin terwujudnya produksi daun kayu putih secara berkelanjutan.

1.5. Novelty

Penelitian disertasi yang dilaksanakan dengan judul ” Model Produksi Daun pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)” sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan


(25)

9

judul, tujuan dan permasalahan yang sama. Penelitian dapat disebut memiliki novelty (kebaruan) jika memiliki tiga kriteria, yaitu fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah (scholar). Kriteria pertama, fokus penelitian ini adalah merumuskan model produksi daun kayu putih sistem pemangkasan tunas. Kedua, berdasarkan reviewhasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di beberapa jurnal luar negeri dan dalam negeri, penelusuran hasil penelitian yang tidak dipublikasikan dalam bentuk Thesis maupun Disertasi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor, serta penelusuran jurnal penelitian dalam website, belum ada penelitian mengenai Model Produksi Daun pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell). Ketiga, proses penelitian ini menggunakan metode ilmiah, menggunakan teori-teori pertumbuhan dan hasil yang lazim di hutan tanaman. Namun demikian beberapa penelitian dengan permasalahan yang hampir sama telah dilakukan tetapi obyek komoditas tanamannya berbeda atau sebaliknya jenis komoditas tanaman yang sama tetapi metode, lokasi dan fokus penelitian yang berbeda. Disamping itu kajian pengelolaan hutan tanaman kayu putih berdasar model produksi daun kayu putih dan dikaitkan dengan rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan merupakan kekhasan dan keaslian dari penelitian ini. Beberapa penelitian yang menjadi sumber acuan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

1.6. Hipotesis

1. Bentuk kurva pertumbuhan daun kayu putih pada tegakan hutan tanaman kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas berbentuk sigmoid, mendekati bentuk kurva pertumbuhan ideal untuk organisme hidup.

2. Persamaan matematika kurva pertumbuhan untuk daun kayu putih dalam satu siklus panen akan dapat dipergunakan untuk menentukan siklus (rotasi) pemanenan daun, sedangkan persamaan matematika untuk laju pertumbuhan daun kayu putih dalam beberapa siklus panen akan dapat dipergunakan untuk menentukan daur silvikultur tegakan kayu putih.


(26)

1.7. Batasan dan Asumsi

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini bersifat umum dalam arti berlaku di setiap unit pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Indonesia, khususnya P. Jawa. Sehubungan faktor eksternal yang dihadapi cukup kompleks, maka cakupan penelitian ini dibatasi bahwa model yang dihasilkan hanya berlaku untuk areal penelitian, namun dapat pula diterapkan pada areal hutan tanaman kayu putih lain yang memiliki kondisi tempat tumbuh dan karakteristik tegakan yang sama dengan lokasi penelitian.


(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tegakan Hutan Tanaman Seumur dan Sejenis

Tegakan hutan dapat dipandang sebagai suatu unit analisis apabila tegakan hutan adalah suatu unit hutan yang keadaannya seragam, baik seragam dalam umur, jenis, struktur maupun kualitas tempat tumbuhnya, sedemikian rupa sehingga dengan mudah dapat dibedakan dengan unuit hutan lainnya (Daniel et al., 1979).

Tegakan hutan tanaman yang sejenis dan seumur adalah keadaan hutan paling sederhana dan mudah dikenali. Karena pertimbangan kemudahan teknis dan admiunistrasi pengelolaan, umumnya tegakan hutan tanaman yang sejenis dan seumur diusahakan pada tempat tumbuh tanah yang mempunyai kualitas relatif seragam. Adanya istilah umur mengindikasikan bahwa tegakan bersifat dinamis. Kedinamisan sistem tegakan hutan selama pengusahaan ditunjukan dengan perkembangan struktur tegakan yang disebabkan proses pertumbuhan dan perlakuan silvikultur terhadap pohon-pohonnya. Pertumbuhan pohon-pohon didalam tegakan sangat dipengaruhi oleh respon jenis terhadap kerapatan tegakan, iklim dan tanah tempat tumbuhnya (Daniel et al., 1979).

Dalam pustaka-pustaka kehutanan keadaan hutan suatu saat sering digambarkan sebagai struktur tegakan hutan. Umumnya hal ini dinyatakan dalam bentuk daftar frekuensi dari salah satu atau beberapa ciri pohon. Ciri-ciri pohon yang sering digunakan adalah yang mudah diukur dan berguna dalam kegiatan perencanaan hutan. Ciri-ciri pohon yang bersifat demikian adalah diameter dan tinggi pohon. Sehubungan dengan digunakannya kedua peubah tersebut maka pohon-pohon di dalam tegakan hutan tanaman yang sejenis dan seumur dapat dipandang sebagai populasi peubah ganda atau bivariate (Schreuder dan Hafley, 1977).

2.2. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan

Dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan pengertian pertumbuhan tegakan dan hasil tegakan. Perbedaan pertumbuhan dan hasil adalah konsepsinya, yaitu produksi biologis untuk pertumbuhan dan pemanenan untuk


(28)

hasil. Selanjutnya menurut Davis dan Johnson (1987), pertumbuhan tegakan adalah perubahan dimensi tegakan yang terjadi selama periode waktu tertentu. Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan dalam waktu tertentu atau jumlah kumulatif dalam waktu tertentu. Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil, apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus. Secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu, sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu tersebut.

Sedangkan menurut Manan (1976), pertumbuhan adalah pertambahan ukuran secara perlahan-lahan dari organisme, populasi atau obyek selama kurun waktu tertentu. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan perbedaan ukuran pada akhir dan awal, pertumbuhan juga merupakan ekspresi ekologi, dimana pertumbuhan pohon dipengaruhi kemampuan genetik dari jenis-jenis yang saling berinteraksi dengan lingkungan pohon tumbuh. Faktor-faktor pengaruh lingkungan seperti, iklim, edafis, topografi, persaingan dengan organisme lain, semuanya merupakan indikator kualitas tempat tumbuh. Pertumbuhan tanaman lebih baik terjadi pada tanah yang subur dalam hal fisik, kimia dan biologi daripada pada tanah yang kurang subur.

2.3. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Seumur

Ada dua pengertian yang berkaitan dengan istilah hasil dalam bidang kehutanan. Pertama, istilah hasil digunakan untuk menunjukan aliran produksi hutan baik yang diukur dalam bentuk volume atau dari besaran yang lain yang diperoleh dari kegiatan ekploitasi suatu hutan pada waktu atau periode tertentu waktu tertentu. Kedua, istilah hasil digunakan untuk menunjukan volume atau besaran-besaran yang lain yang dicapai oleh suatu tegakan pada waktu atau periode waktu tertentu tanpa memperhatikan apakah hal itu sebagai perolehan dari kegiatan eksploitasi tegakan yang bersangkutan atau tegakan hutan masih berdiri (Davis, 1966).


(29)

13

Menurut Spurr (1952) hasil suatu tegakan merupakan akumulasi riap dari tegakan yang bersangkutan selama peiode tumbuhnya atau sampai pada waktu tertentu. Sedangkan pertumbuhan tegakan adalah pertambahan (riap) dari suatu besaran (contoh: volume, luas bidang dasar, rata-rata diameter, tinggi pohon ) dalam periuode tertentu. Dengan demikian antara pertumbuhan dan hasil tegakan mempunyai keterkaitan satu sama lain.

Selanjutnya Spurr (1952) menyatakan bahwa untuk mendapatkan fungsi hasil tegakan ada dua pendekatan, yaitu pendekatan langsung dan tak langsung. Pendekatan tak langsung, fungsi pertumbuhan tegakan ditentukan terlebih dahulu kemudian berdasarkan integrasi fungsi tersebut diperoleh fungsi hasil tegakan. Sedangkan dalam pendekatan langsung dilakukan proses sebaliknya.

Pada awal abad 19 studi-studi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman sejenis dan seumur di Eropa telah dimulai jauh sebelum ilmu statistik berkembang. Metode yang digunakan pada saat itu adalah metode grafik. Dalam metode tersebut digunakan dua peubah bebas, yaitu umur tegakan dan bonita tempat tumbuh. Sejalan dengan perkembanganm ilmu statistika dan komputer studi-studi pertumbuhan dan hasil berkembang dengan pesat. Analisis regresi linear berdasarkan metode kuadrat terkecil dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat, meskipun harus melibatkan peubah bebas yang banyak. Seleksi peubah bebas berdasarkan seleksi bertahap dapat dilakukan dengan mudah. Analisis regresi tidak linear pun dapat diselesaikan dengan mudah.

Menurut Revilla (1974) pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman sejenis dan seumur dipengaruhi oleh umur, kualitas tempat tumbuh, kerapatan tegakan dan intensitas penjarangan. Secara fungsional hal ini dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut:

G = f { A, SJ, SD, M } (1)

Y = g { A, SJ, SD, M } (2)

Dimana: G = pertumbuhan tegakan Y = hasil tegakan

A = umur tegakan


(30)

SD= kerapatan tegakan

M = intensitas penjarangan

F {...} dan g {...} menyatakan funsi dari

Jika fungsi pertumbuhan tegakan diketahui, maka hasil tegakan pada umur n tahun dapat diduga berdasarkan rumus

Y =

n

0

f { A, SJ, SD, M }A (3)

Atau dengan pendekatan Clutter (1963) :

Y =

n

i 0

G (4)

Sebaliknya jika fungsi hasil tegakan diketahui, maka pertumbuhan tahunan dapat diduga berdasarkan rumus:

G = g { A, SJ, SD, M } / A (5)

atau dengan pendekatan Clutter (1963) : G = Yn - Yn-1

=

n

i 0

G -

  1 0 n i G (6)

Selanjutnya Revilla (1974) menunjukan pengaruh umur dan kerapatan (jumlah pohon per hektar), ketiga kurva hasil tegakan per hektar bergerak naik hingga ketigannya konvergen, yaitu pada saat tegakan sudah mencapai kapasitas daya dukung tempat tumbuhnya, kemudian setelah itu bergerak asismtotik sesuai dengan kapasitas tersebut. Gerak kenaikan masing-masing kurva tersebut pada dasarnya mulai umur muda sampai tua dapat dibagi menjadi tiga segmen kenaikan , yaitu: berturut-turut segmen kenaikan yang meningkat, tetap dan menurun.

2.4. Riap dan Etat

Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lain-lain dalam satuan waktu tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996) pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan (curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata-rata (mean annual increment=MAI). CAI menunjukkan pertumbuhan tanaman setiap tahun,


(31)

15

sedangkan MAI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan. Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI)

Riap tegakan dibentuk oleh pohon yang masih hidup di dalam tegakan, tetapi penjumlahan dari riap pohon tidak akan sama dengan riap tegakannya, oleh karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan itu dapat saja mati, busuk atau oleh sebab lainnya atau mungkin ditebang (Davis, et al. 2001).

Menurut Prodan (1968), riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, disingkat CAI), riap periodik (Periodict Increment, disingkat PI) dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, disingkat MAI). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, PI adalah riap dalam satu periode waktu tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu. Ketiga bentuk riap tersebut, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

a. CAI =

Vt /

t = Vt’ (7)

b. PI t1-2 = Vt2 - Vt1 / t2-t (8)

c. MAI = Vt/ t (9)

dimana Vt adalah pertumbuhan kumulatif tegakan sampai umur t

Akumulasi pertumbuhan

CAI

Pertumbuhan

MAI

Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3


(32)

2.5. Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan

Menurut van Laar & Akca (1997) model pertumbuhan dan hasil berdasarkan pendekatan pembuatannya dapat dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu model empiris (empirical models), model analitis (analytical models) dan model proses (process models). Model empiris merupakan model yang disusun sedemikian rupa dari sekumpulan peubah yang dipandang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan atau hasil, sehingga menghasilkan suatu hubungan yang selaras antara hasil dugaan dengan hasil sebenarnya. Model ini kurang mempertimbangkan kerealistisan secara biologi. Oleh karena itu model tersebut secara substansi tidak banyak memberikan tambahan pemahaman tentang proses biologisnya. Model analitis merupakan model yang dibuat berdasarkan pengujian hipotesis-hipotesis dan pertimbangan- pertimbangan biologis yang sangat kuat. Model proses merupakan model yang sangat kompleks, karena model ini mencakup berbagai pengaruh lingkungan, perlakuan silvikultur, perubahan cuaca dan umur terhadap proses biologis seperti laju fotosintesis, mortalitas dan pertumbuhan. Model-model empiris dan model analitis merupakan model yang lebih banyak ditujukan untuk tujuan prediksi sedangkan model proses lebih banyak ditujukan sebagai model untuk pemahaman (Vanclay, 1994).

Suhendang (1990) menyatakan bahwa pola pertumbuhan tegakan antara lain dapat dinyatakan dalam bentuk kurva pertumbuhan yang merupakan hubungan fungsional antara sifat tertentu tegakan, antara lain volume, tinggi, bidang dasar, biomnassa dan diameter dengan umur tegakan. Bentuk kurva pertumbuhan tegakan yang ideal akan mengikuti bentuk ideal pertumbuhan organisme, termasuk tumbuhan, yaitu berbentuk sigmoid. Bidwel (1979) menyatakan bahwa bentuk umum kurva pertumbuhan kumulatif tumbuh-tumbuhan akan memiliki tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan eksponensial, tahap pertumbuhan mendekati linear dan pertumbuhan asimtotis. Bentuk kurva pertumbuhan ini sebenarnya merupakan suatu rincian dari bentuk kurva sigmoid yang dicirikan oleh adanya titik belok dan garis asimtot dari kurva.

Hasil inventarisasi Wiroatmodjo (1984) dalam Suhendang (1990), model-model matematika yang disarankan beberapa peneliti dapat dikelompokkan


(33)

17

menjadi dua, yaitu model yang tidak mempunyai asimtot dan model yang berasimtot.

a. Model yang tidak mempunyai asimtot ialah:

Y = β0 + β1A + β2A2+ β3A3+…. (10)

Y = β0exp (β1 A) (11)

Y = β0A2 (12)

Y = exp (-β1 A) (13)

Y = (β0A2) exp (-β1 A) (14)

Dimana :Y adalah dimensi tegakan, yaitu : volume, tinggi pohon ,

diameter rata-rata, biomassa, dll, pada umur A; A merupakan Umur tegakan; exp = 2,71828 dan β0, β1, β2 adalah konstanta. Model 10. merupakan bentuk

kurva polinomial untuk pertumbuhan dan riap yang disarankan oleh Prodan (1968) dan diakuinya sebagai model yang tidak cocok untuk menggambarkan proses pertumbuhan secara lengkap. Model 11. sebenarnya merupakan kurva eksponensial yang hanya baik untuk menyatakan pertumbuhan pada tahap awal saja dari kurva pertumbuhan seluruhnya. Model 14. merupakan hasil perkalian antara 12. dan 13. Model Huggershoff yang mengembangkan model ini dalam Prodan (1968), menyatakan bahwa kurva pada tahap pertumbuhan awal dapat dinyatakan dengan model parabola berderajat 2 (12.), sedangkan tahap berikutnya dapat diterangkan oleh model kurva eksponensial negative (model 10.), sehingga kurva riap totalnya dapat diterangkan oleh model 14. Jadi model 14. adalah model untuk laju pertumbuhan yang akan mencapa titik nol pada saat A=0 dan A = ~.

b. Model yang mempunyai asimtot ialah:

Y = β0 + β1/ A (15)

Y = β0 + (β1/ (A) β2) (16)

Y = β0 + (β1) /A) +( β2/A2) (17)

Model 15, 16, 17 dikemukakan oleh Hossfeld pada tahun 1822 dan sampai saat ini masih dipakai dalam menganalisis data pertumbuhan dan hasil tegakan hutan (Prodan, 1968; Munez, 1981). Nilai

β

0pada ketiga persamaan itu biasanya


(34)

positip, sedangkan nilai

β

1negatip dan nilai

β

2 (pada persamaan 11 dan 12 juga negatif.

Selain model-model di atas, beberapa fungsi pertumbuhan yang sering digunakan dalam pemodelan fenomena-fenomena biologi antara lain: fungsi Logistic(18), Gompertz(19), Log-logistic(20), Morgan-Mercer-Flodin(21), Chapman-Richards (22), bentuk bentuk persamaan tersebut sebagai berikut:

Y = β0 / ( 1 + β1 exp (-β2 A)) (18)

Y = β0exp (-β1 exp (-β2 A)) (19)

Y = β0 / [ 1 -β1 exp (-β2 ln A) ] (20)

Y = (β1*β2+ β0Aβ3) / (β2 + Aβ3) (21)

Y = β0( 1 -β1 exp (-β2 A) A / (1 –β3)) (22)

Dimana Y adalah dimensi tegakan, A merupakan umur tegakan; exp = 2,71828 dan β0, β1, β2, β3 adalah konstanta. Menurut Khamis (2005) model Logistic (18) (Nelder, 1961; Oliver, 1964), model Gompertz (19), dan Chapman-Richards (22) dikemukakan oleh Draper dan Smith (1981). Tsoularis dan Wallace (2002) mengemukakan model Log Logistic (20) . Model 21 dikembangkan oleh Morgan, Mercer dan Flodin (1975) dan Seber & Wild (1989) dan disebut model Morgan - Mercer –Flodin.

2.6. Pemodelan di Bidang Kehutanan

Menurut Davis, 1966, pertumbuhan dan hasil secara matematis dapat digambarkan sebagai perubahan dimensi atribut-atribut atau karaktersitik-karakteristik hutan dalam satuan waktu tertentu. Semua atribut tersebut memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan dan hasil ditentukan oleh tapak (site) dan stocking. Kualitas tapak mencerminkan kapasitas suatu bidang lahan untuk menumbuhkan pohon atau vegetasi lain diatasnya, sehingga tapak dapat dianggap sebagai penyedia sumberdaya bagi pertumbuhan dan perkembangan individu pohon/vegetasi diatasnya. Sedangkan stocking mencerminkan realisasi kapasitas produksi yang dapat digunakan oleh pertumbuhan pohon pada waktu tertentu, sehingga stocking merupakan ukuran relatif hasil aktual dengan kapasitas produksi maksimumnya.


(35)

19

Berbagai macam model pertumbuhan dan hasil tegakan dapat dikelompokkan menjadi (1) Model tegakan, (2) Model kelas diameter dan (3) Model individual pohon (Davis et al.,2001). Hasil tegakan per satuan unit luas dapat dihasilkan secara langsung oleh model (1), tetapi hasil tersebut juga dapat dihasilkan oleh model (2) dan (3) melalui penjumlahan hasil setiap kelas diameter maupun setiap individu pohon. Model tegakan terdiri dari dua tipe, yaitu : model tanpa menyertakan variabel kepadatan tegakan(density-free models) dan model dengan variable kepadatan (density variable models).

Model tanpa variabel kepadatan tegakan mengasumsikan bahwa pertumbuhan dan hasil tegakan suatu jenis pada kualitas tapak dan lokasi tertentu hanya merupakan fungsi dari umur. Model-model seperti ini biasa ditampilkan dalam bentuk tabulasi, yang dikenal dengan istilah table hasil atau dalam bentuk grafis (Davis, 1966). Tabel hasil merupakan model statis dan umumnya digunakan dalam konsep tegakan normal atau fully stocked, atau level biomassa yang diharapkan (Clutter et al.,1983; Davis et al .,2001).

Model tegakan dengan kepadatan tegakan merupakan model yang banyak digunakan didalam praktek pengelolaan saat ini. Berdasarkan luaran yang dihasilkannya, dapat dibedakan kedalam dua jenis model, yaitu: model eksplisit dan model implisit (Clutter et. al., 1983). Model-model eksplisit menyediakan estimasi pertumbuhan dan hasil tegakan secara simultan sebagai suatu fungsi dari atribut-atribut tegakan seperti umur, indeks tapak (site index) atau peninggi, dan kepadatan tegakan (jumlah batang persatuan luas atau luas bidang dasar) serta interaksi ketiga atribut tadi. Kepadatan tegakan dapat dipandang sebagai fungsi dari umur, kualitas tegakan dan kerapatan awal. Kualitas tapak diekspresikan berdasarkan indeks tapak, yang dapat diperoleh dari pengembangan hubungan tinggi pohon dominan dengan umurnya. Semua itu nampak dengan jelas bahwa model pertumbuhan dan hasil tegakan hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem interdependen berdasarkan porses pertumbuhan. Di dalam sistem demikian, setiap persamaan menggambarkan hubungan-hubungan yang berbeda dari berbagai variable yang ada didalam sistemnya, tetapi semua hubungan tersebut terikat secara simultan (Palahi et. al.,2003). Clutter et. al . (1983) memberikan perhatian tentang pentingnya kompatibilitas di dalam persamaan pertumbuhan dan hasil,


(36)

bahwa bentuk aljabar model hasil harus dapat diturunkan secara matematis melalui integrasi dari model pertumbuhannya. Sullivan dan Clutter (1972) dalam Clutter et .al. (1983) memperluas konsep tersebut dengan menggabungkan secara simultan pendugaan hasil dan kumulatif pertumbuhan sebagai fungsi dari umur awal, luas bidang dasar awal, indeks tapak dan umur yang akan datang.

Kelemahan utama dari model tegakan ini adalah tidak dapat memberikan informasi tambahan mengenai struktur tegakan atau informasi khusus mengenai individu pohon. Sehingga, model ini hanya sesuai digunakan pada kondisi dimana hasil dan nilai ekonomi produk tidak tergantung ukuran pohon, contohnya tegakan untuk tujuan kayu serpih.

Realitasnya, walaupun nilai jual produk tidak ditentukan oleh ukuran pohon, tetapi biaya produksi sangat ditentukan oleh ukuran pohon, terutama dalam operasional penebangan, semakin besar ukuran pohon maka biaya akan semakin rendah. Hakkila (1994) telah mendemonstrasikan hasil penelitiannya dimana ukuran batang memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas pemanenan tiga sistem penebangan. Pengaruh yang sangat signifikan terlihat jelas pada sistem penebangan mekanis (system forwarder dan system timber jack). Oleh karena itu, model tegakan berbasis sebaran diameter (model implisit) menjadi lebih sesuai untuk digunakan, karena selain mampu memrediksi pertumbuhan dan hasil tegakan secara total, juga mampu mendeskripsikan struktur ukuran individu pohon didalamnya. Selain itu, model implisit ini dapat digunakan baik untuk menggambarkan status pertumbuhan dan hasil tegakan saat ini maupun tegakan dimasa yang akan datang.

Model tegakan berbasis sebaran diameter banyak digunakan dengan tujuan untuk lebih memperjelas hasil model tegakan pada setiap umur dengan menambahkan informasi mengenai struktur kelas diameternya. Tinggi, volume dan karaktersitik tegakan lainnya dapat dimasukan pada setiap kelas diameter. Sehingga, model ini lebih bermanfaat bagi analisis ekonomi yang berhubungan dengan analisis finansial pemanenan dan nilai kayu pada berbagai ukuran diameter (Davis et. al., 2001).


(37)

21

2.7. Kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputiPowell)

Kayu putih (Melaleuca cajuputisubsp. cajuputi) salah satu jenis dari famili Myrtaceae dan tergolong keluarga Melaleuca, yang menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak kayu putih. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama Gelam, tetapi nama tersebut jarang digunakan. Jenis ini merupakan sumber bahan baku industri minyak kayu putih di Indonesia. Hutan tanaman jenis ini yang terpusat di Pulau Jawa sudah diketahui dan dibudidayakan secara komersial dan mempunyai luasan lebih dari 24.000 ha, dengan produksi minyak tahunan mencapai 300 ton (Rimbawanto,et al.. 2009).

Tanaman kayu putih yang ada di P. Jawa, yaitu Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi diduga berasal dari benih yang didatangkan oleh penjajah Belanda dari Pulau Buru pada abad 18 (Gunn,et al. 1996). Minyak kayu putih yang didapat hasil penyulingan dari jenis tanaman tersebut dikelola oleh Perum Perhutani. Selain itu di luar Jawa juga terdapat industri rumah tangga penyulingan yang berada di Maluku yang diusahakan oleh rakyat dan menggantungkan sumber daunnya pada tegakan alam yang tersebar di P. Buru, P. Seram, P. Ambon , P. Aru dan P. Tanimbar.

2.7.1. Sifat Botani

Batang kayu putih terbungkus kulit yang tebal, berlapis-lapis putih kekuning-kuningan warnanya, dan dapat dilepas dengan mudah tanpa menggangu batang atau pohonnya. Kulit berlapis-lapis ini kering dan mempunyai sifat sebagai gabus. Batang kayu putih tidak dapat digunakan sebagai bahan kontruksi karena kayunya relatif kecil dan mudah lapuk. Batang kayu putih mudah dibelah dan mudah retak, banyak digunakan untuk kayu bakar.

Bunga kayu putih terdapat di pucuk ranting-ranting tangkai pohon dan hampir tiap-tiap pucuk ranting terdapat bunga. Bunga berwarna putih, bentuk buah bulat berlubang yang tua berwarna merah tua keabu-abuan. Dalam buah terdapat beberapa biji yang sangat halus dan ringan. Waktu yang dibutuhkan proses perkembangan organ generatif pada M. cajuputisubsp. cajuputidari tahap inisiasi bunga hingga buah masak adalah 277 hari (Baskorowati, et al., 2008).


(38)

Kayu putih mempunyai daun yang sempit, tipis, permukaan rata, tangkai pendek. kuat, mempunyai lebar antara 0,5 1,5 inchi dan panjang daun antara 2 -4 inchi. Bentuk daun berbeda-beda walaupun satu jenis. Ada tiga macam bentuk daun yaitu lonjong, lansit dan oval. Dilihat dari warna kuncup daunnya, kayu putih mempunyai variasi warna merah, putih dan kuning. Daun jika diremas mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri atau lebih dikenal minyak kayu putih (Kasmudjo, 1992).

2.7.2. Sistematika

Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) atau dalam literatur lama sering juga disebut Melaleuca leucadendron (Doran dan Turnbull, 1997) merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting bagi industri minyak atsiri. Dalam Rimbawanto et al. (2009) jenis ini dibagi menjadi tiga subspecies, yaitu: 1) subsp.cajuputi Powell tumbuh di bagian barat daya Australia dan bagian timur Indonesia (Kepulauan Maluku dan Timor). 2). Subsp. Cuminggiana Barlow tumbuh di bagian barat Indonesia (Sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan bagian selatan), malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam dan 3). Subsp.platyphylla Barlow tumbuh di bagian utara Queensland/Australia, bagian barat laut Papua New Guenia, bagian selatan papua, Kep. Aru dan Kep. Tanimbar (Craven dan Barlow, 1997)

Menurut Core dalam Djumantoro (1973), sistematika tanaman kayu putih adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatopyta

Sub Divisi : Angiospremae

Klas : Dycotyledoneae

Sub Klas : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Melaleuca

Species : Melaleuca cajuputi, dalam literatur lama sering disebut Melaleuca leucadendron


(39)

23

Menurut Djumantoro (1973), species yang dapat menghasilkan minyak kayu putih masih belum jelas, namun ada beberapa species yang sudah diketahui dapat menghasilkan minyak kayu putih dan telah dibudidayakan manusia diantaranya adalah Melaleuca leucadendron LINN., dengan ciri daun kecil, Melaleuca cajaputi ROXB., dengan ciri daun lebar dan Melaleuca viridiflora CORN., Dari ketiga jenis ini yang banyak digunakan untuk industri minyak kayu putih adalah M. leucadendron LINN. Tanaman ini dapat dikembangkan dengan stek akar batang maupun biji.

2.7.2. Penyebaran

Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi tumbuh didataran rendah dan rawa tapi jarang ditemukan didaerah pegunungan. Menurut Bailey (1963) dalam Ketaren dan Djatmiko (1978), pohon kayu putih tumbuh baik didaerah air yang bergaram,angin bertiup kencang berhawa panas dan sedikit dingin. Pohon kayu putih paling baik tumbuh di daerah yang mempunyai ketinggian tempat kurang dari 400 meter dari permukaan laut (Kasmudjo,1992).

Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (pulau Buru, Seram, Nusa Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di Jawa Timur (Ponorogo, Kediri, Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka).

Soetrisno (1990), menyebutkan bahwa pulau Buru merupakan sumber tanaman kayu putih, tumbuh dalam bentuk belukar yang bergerombol dengan diselingi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Belukar itu sendiri tumbuh dari tunas-tunas yang tingginya tidak lebih dari 30 sampai 40 cm. Hal ini terjadi karena perladangan yang berpindah-pindah sehingga merupakan hutan sekunder.

2.7.3. Sifat-sifat Silvikultur

Tanaman kayu putih di alam tumbuh dengan subur, tidak pernah tercampur dengan tanaman hutan lainnya kecuali rumput dan macam paku-pakuan yang merambat (Djumantoro, 1973), tanaman kayu putih juga dapat tumbuh di atas


(40)

tanah yang kurang subur atau tandus yang tidak memerlukan syarat tumbuh yang baik mengenai tanahnya,dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang bersifat buruk, sehingga dapat disebut jenis pioner. Pohon ini mudah bertunas dari tonggak-tonggak, oleh karena itu meskipun hutan sering mengalami kerusakan karena api, pohon ini akan segera tumbuh kembali.

2.8. Aspek Silvikultur Kayu Putih

Pengelolaan tegakan merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan hutan secara keseluruhan, pabrik yang modern tidak akan ada artinya kalau bahan bakunya tidak terjamin dan berkesinambungan sepanjang waktu. Sebenarnya kapasitas terpasang pabrik dapat terpenuhi apabila penanganan tegakan kayu putih dilakukan dengan baik yaitu mulai persiapan lapangan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemungutan daun dilakukan sesuai dengan waktu dan kondisi wilayah saat itu. Aspek budidaya dan pengolahan daun kayu putih yang berkaitan dengan hal tersebut secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:

2.8.1. Penanaman

Pembuatan tanaman merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan hutan yang berdasarkan asas kelestarian. Tegakan kayu putih yang baik dengan Dkn (derajat kesempurnaan tegakan) tinggi akan menjamin produksi daun kayu putih yang berkesinambungan dan lestari. Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan tanaman adalah gebrus dan pembibitan. Pelaksanaan gebrus yang tepat adalah pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau dimana tanah tidak lengket dan tanah mudah dicangkul karena sudah ada air walapun sedikit. Pembuatan bibit di persemaian juga harus dilakukan dengan cermat melalui pemilihan bibit unggul, penggunaan media yang tidak mudah pecah dan rusak serta umur semai telah cukup. Pengangkutan bibit ke lapangan penanaman juga harus diperhatikan dengan serius karena kalau bibit sampai terganggu akan mengakibatkan kegagalan tanaman.

Pembuatan tanaman kayu putih di lapangan berupa tanaman baris dengan sistem tumpangsari dan diantaranya digunakan tanaman sela lamtoro (Leucaena


(41)

25

glauca). Dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) disebutkan bahwa jarak tanamnya adalah 3 m x 1 m dengan tujuan selain meningkatkan produksi daun juga memberi peluang yang lebih untuk kegiatan tumpangsari.

Dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan (Utomo, 2001) memperlihatkan bahwa tanaman kayu putih dengan jarak jarang penampilan diameter dan tinggi tajuk lebih baik dibandingkan dengan tanaman dengan jarak agak rapat. Pohon contoh kayu putih sebanyak 18 pohon dengan jarak antara 3 - 4 meter memiliki diameter tajuk rata-rata 136,4 cm dan tinggi tajuk rata-rata 159,1 cm sedangkan tanaman kayu putih dengan jarak antar pohon 1 - 2 meter memiliki diameter tajuk 110,5 cm dan tinggi tajuk 126,1 cm.

Namun demikian penanaman kayu putih dengan jarak rapat masih dimungkinkan karena dari hasil penggukuran diameter tajuk siap dipungut atau telah berumur 9 bulan terbesar hanya mencapai 183 cm, sehingga penanaman dengan jarak 1 m masih bisa dilakukan. Berkaitan dengan jarak tanam tersebut perlu dikaji lebih jauh, apakah jarak tanam ini diperoleh Dkn yang tinggi dan mampu menjamin produktivitas daun yang tinggi pula. Selain itu untuk memperoleh Dkn yang tinggi perlu dilakukan penyulaman atau penanaman kembali pada areal-areal yang kosong atau bertumbuhan kurang.

Untuk melaksanakan kegiatan penanaman kembali pada tanah kosong dan tanaman gagal atau areal tanaman kayu putih bertumbuhan kurang menggunakan sistem tumpangsari seperti halnya pada sistem pembuatan tanaman baru. Sistem tumpangsari sendiri adalah cara penanaman tanaman kehutanan yang dicampur dengan tanaman pertanian yang dikerjakan dengan menggunakan tenaga penduduk sekitar hutan atau sering disebut pesanggem. Sistem ini sangat menguntungkan perusahaan karena biaya pembuatan tanaman menjadi lebih murah. Jangka waktu penggarapan tumpangsari ini sebelumnya hanya 2 tahun dan sekarang lama penggarapan diserahkan kepada pesanggem selama daur dengan syarat tanaman pokok kayu putih dipelihara dan dijaga. Jangka waktu penggarapan yang lama (selama daur) juga harus dikaji dengan cermat, apakah keadaan ini dapat menguntungkan perusahaan dan pesanggem serta terjaganya lingkungan antara lain: kesuburan tanah dan erosi.


(42)

2.8.2. Pemeliharaan

Selain kegiatan pembuatan tanaman, bagian lain yang penting agar pembangunan hutan berhasil adalah pemeliharaan hutan. Maksud dari pemeliharan hutan adalah untuk memperoleh tanaman kayu putih yang berproduktivitas tinggi pada saat pemungutan daun serta menjaga kesuburan tanah dan erosi. Kegiatan-kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain: penyulaman, pengkayaan, penyiangan, pendangiran, pengebrusan, pemupukan dan tumpangsari.

Penyulaman biasanya dilakukan sejak penanaman tahun berjalan sampai dengan tanaman umur lima tahun menggunakan bibit yang telah disemaikan terlebih dahulu. Sedangkan untuk tegakan yang umurnya lebih dari 5 tahun pada lokasi-lokasi dengan jumlah pohon tidak standar dilakukan pengkayaan untuk mempertahankan jumlah pohon per hektar tetap tinggi. Pemeliharaan dengan penyulaman dan pengkayaan ini dilakukan sebagai usaha penanaman kembali untuk menganti tanaman yang mati, sehingga jumlah tanaman setiap hektarnya merata dan jumlah pohon sesuai standar yaitu Dkn = 1.

Untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik perlu dilakukan pendangiran dan penyiangan /pengendalian gulma terhadap tanaman kayu putih. Gulma yang tumbuh disekitar tanaman mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan produksi akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan pertumbuhan dan menghalangi sasaran produksi tanaman pada umumnya. Tujuan dari pendangiran dan penyiangan itu sendiri adalah untuk mengemburkan tanah, merangsang pertumbuhan tanaman dan memudahkan pemeliharaan.

Setelah adanya pendangiran, penyiangan dan gebrus dilakukan pemberian pupuk sesuai dengan keperluan, dengan adanya perawatan ini diharapkan pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik. Pemupukan bertujuan untuk memelihara dan memelihara kesuburan tanah dengan memberikan unsur hara ke dalam tanah secara langsung maupun tidak langsung dapat menyumbangkan bahan makanan pada tanaman. Suriatna (1992) menyatakan bahwa pemupukan akan memperbaiki pH tanah dan memperbaiki lingkungan tanah sebagai tempat tumbuh tanaman.


(43)

27

Pemberian pupuk dan gebrus menurut hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa semua plot yang telah mendapatkan perawatan pemupukan (NPK dan Afval ) dan penggebrusan atau kedua-duanya memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan plot yang tidak mendapat perlakuan. Pengaruh pemupukan dan gebrus terhadap produksi daun kayu putih dapat dilihat pada Tabel 1, dimana plot yang mendapat pemeliharaan dengan penambahan afval daun sebanyak 2.600 kg dan pupuk NPK 100 kg serta gebrus pada plot percobaan memberikan hasil yang signifikan terhadap produksi daun kayu putih yaitu 1,44 kg/pohon. Namun demikian penambahan afval daun sebanyak 2500 kg tanpa pemberian pupuk juga menjadi pilihan yang baik jika harga pupuk lebih tinggi daripada tambahan produksi daun. Sebaliknya pemberian pupuk lebih banyak, pada perlakuan 4 dan 5, ternyata tidak diikuti produksi daun yang tinggi, sebaliknya hasilnya lebih kecil. Sedangkan adanya gebrus menunjukan hasil yang sangat baik dibandingkan dengan tanpa gebrus. Pemeliharaan hutan dengan perlakuan tersebut diharapkan jumlah pohon sesuai dengan standar yaitu Dkn = 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan pemberian pupuk (NPK), afval daun dan gebrus terhadap produksi daun kayu putih pada plot percobaan seluas 0,1 ha.

No. Perlakuan Jumlah

pohon

Produksi DKP

(kg)

Produksi DKP rata-rata/ pohon

(kg)

1. Kontrol 457 511,33 1,13

2. G+A 2500 kg 430 548,66 1,22

3. G+A 2600 kg+NPK 100 kg 430 621,33 1,44

4 G+A 2600 kg+NPK 200 kg 440 630,00 1,43

5. G+A 3000 kg+NPK 300 kg 435 617,66 1,43

Sumber: RPKH Tahun 1984 s/d 1988 KPH Madiun Perum Perhutani Unit II 2.8.3. Produksi Daun Kayu Putih

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman, termasuk produksi daun bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekstern. Tanaman kayu putih jenis atau varietas yang sama akan memberikan hasil yang berbeda apabila sumber benih berbeda. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, antara lain sinar matahari, suhu, air, tanah dan unsur hara.


(44)

Selain hal tersebut di atas, pada Tabel 2 terlihat bahwa produksi daun kayu putih juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan diameter batang. Umumnya kayu putih dengan diameter besar akan memproduksi daun yang tinggi pula, kecuali pada pohon yang sudah tua (lebih dari 30 tahun). Sedangkan produksi daun optimum terjadi pada umur 15 tahun, yaitu 2,3 kg/pohon.

Tabel 2. Produksi daun kayu putih per pohon berdasarkan umur dan diameter pohon.

No. Umur Keliling rata-rata (cm)

Diameter Rata-rata (cm)

Berat daun rata-rata per pohon (kg)

1. 8 25,5 8,1 2,13

2. 15 30,6 9,8 2,38

3. 27 29,5 9,4 2,21

4. 33 23,9 7,6 2,19

5. 36 32,3 10,3 2,02

Sumber: Diolah dari Data Pengukuran SPH II Madiun Tahun 2000

Hasil penelitian Perum Perhutani (1982) dalam Sukirno (1994) yang tertera pada Tabel 3, menunjukan bahwa derajat kesempurnaan tegakan (Dkn) juga menentukan besarnya produksi daun per hektar, semakin tinggi Dkn semakin tinggi pula produksi daunnya.

Tabel 3. Produksi daun kayu putih rata-rata (kg/ha) berdasarkan kelompok umur (KU) dan derajat kesempurnaan tegakan (Dkn)

KU Dkn (Derajat Kesempurnaan Tegakan)

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0

I - - -

-II - - - - 2055,0 1633,3 1458,0 - 2459,0

-III - - - - 1638,5 1476,5 - 2233,0 -

-IV - - 1587,0 1362,7 1590,5 1798,3 1659,0 - -

-V - - 1336,0 1707,0 1420,0 1517,9 - - -

-VI - - 1112,0 1204,0 1510,6 2057,6 1312,5 - -

-VII - - - 1593,0 1457,5 2244,5 - - -

-VIII - - -

-Rata-rata 1345,0 1466,7 1612,0 1788,0 1476,6 2233,0 2459,0

Sumber: Buku Rencana Pengusahaan Hutan BKPH Sukun Tahun 1982.

Dilihat dari produksi minyak, varietas kayu putih berkuncup putih menghasilkan kadar cineol rata-rata 33,3 % dan rendemen minyak 1,2 % lebih tinggi dibandingkan dengan kayu putih yang berkuncup merah dengan kadar cineol 29,3 % dan rendemen minyak 0,8 %, sedangkan dilihat bentuk daunnya,


(45)

29

daun berbentuk langsit lebih banyak mengandung minyak dan daun yang berbentuk lonjong kadar cineolnya lebih tinggi (LPHH, 1973 dalam Perum Perhutani, 1985).

2.8.4. Pemungutan Daun Kayu Putih

Pada dasarnya teknik pemungutan daun kayu putih bisa dilaksanakan dengan tiga cara yakni: (a) Cara Pangkas, (b) Cara Urutan, dan (c) Cara Rimbas (Mulyadi, 2005). Untuk lebih jelasnya ketiga cara tersebut diuraikan di bawah ini.

2.8.4.1. Cara Pangkas

Cara pangkas dilaksanakan pada tegakan kayu putih untuk produksi daun yang pertama atau pada tegakan yang tunas-tunasnya sudah terlalu tinggi sehingga tidak bisa dijangkau tangan. Pangkasan pertama dilaksanakan setelah tanaman berumur lima tahun.

1. Waktu Pangkas

Waktu pangkas dilaksanakan pada awal atau menjelang musim penghujan guna menghasilkan tunas-tunas yang baik dan sehat.

2. Teknik Pangkasan

 Tinggi pangkasan 110 cm dari permukaan tanah, untuk pangkasan berikutnya pada ketinggian 3-5 cm dari pangkasan yang lama.

 Apabila batang sudah benjol-benjol serta tidak bertunas lagi dipotong 10 cm di bawahnya.

 Alat yang digunakan pada pangkasan adalah tongkat sepanjang 110 cm dan gergaji potong untuk memperoleh hasil pangkasan yang rapi dan tidak pecah.

 Permukaan pangkasan agak miring yang disesuaikan dengan arah tebang atau larikan.

 Pelaksanaan pangkasan hanya dibenarkan pada areal dengan kemiringan 0 s/d 30%, jika kemiringan lebih dari 30% dilaksanakan dengan cara urut atau dipertahankan uintuk perlindungan hutan.


(46)

2.8.4.2. Cara Urutan

Cara urutan adalah pemungutan daun kayu putih dengan meninggalkan kuncup atau daun muda dengan cara diplurut dari ujung ke pangkal ranting. Tanaman dapat diurut setelah umur empat tahun.

1. Waktu Urutan

 Urutan bisa dilaksanakan setiap saat, tidak tergantung musim

 Jeda waktu antara urutan pertama dan selanjutnya tiap dua tahun sekali, sehingga ada waktu satu tahun untuk istirahat guna pembentukan daun yang memenuhi syarat untuk diurut.

2. Teknis Urutan

 Daun yang sudah tua diurut, dimulai dari ujung ranting, disisakan daun muda lebih kurang seperempat bagian diurut sampai pangkal ranting.

 Ranting yang diurut tidak boleh rusak atau patah. 2.8.4.3. Cara Rimbas

Cara rimbas adalah pemungutan daun dengan mengikutsertakan ranting sampai kuncup daun dengan cara memotong cabang atau ranting yang berdiameter maksimal 1 cm. Cara rimbas merupakan kelanjutan dari cara pangkasan . Setelah dua tahun dari pelaksanaan pangkasan, pohon telah bertunas membentuk cabang dan ranting daun, maka pemungutan dapat dilakukan dengan cara rimbas.

1. Waktu Rimbas

 Rimbas dapat dilakukan setiap waktu tidak tergantung musim.

 Cara rimbas bisa dilaksanakan setiap tahun sekali, karena setelah dirimbas tanaman kayu putih cepat bertunas terutama pada tanah yang subur. Namun untuk tanah yang kurang subur sebaliknya dilakukan setiap dua tahun sekali seperti pada cara urut.

2. Teknis Rimbas

 Besar ranting yang dipotong berdiameter 0,5 s/d 1,0 cm, dengan alat parang yang tajam. Ranting dan daun tersebut digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak di pabrik.


(47)

31

 Untuk rimbas berikutnya cabang atau ranting yang dipotong adalah 3 s/d 5 cm di atas pemotongan sebelumnya.

 Bagian pangkal cabang atau ranting tidak boleh rusak, agar tunas tumbuh kembali dengan baik.

3. Keuntungan-keuntungan Cara Rimbas

 Cara rimbas dapat dilakukan setahun sekali, sehingga produksi daunnya lebih tinggi dari cara urut yang hanya biasa dilakukan dua tahun sekali.

 Hasil percobaan penyulinagn daun kayu putih yang berasal dari cara rimbas remdemen lebih tinggi dibanding cara urut.

 Cara rimbas lebih praktis dan cepat dibanding cara urut dalam pemangkasan daun.

2.9. Minyak kayu putih

M. cajuputi merupakan salah satu dari berbagai jenis spesies Melaleuca yang menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih. M. cajuputi banyak digunakan untuk industri farmasi karena mengandung bahan yang sangat berharga, yaitu sineol, yang merupakan salah satu jenis monoterpenes dari jenis monocyclic, dalam jumlah besar (15-60%) (Brophy dan Doran, 1996, Rimbawanto, et al. (2009).

Minyak kayu putih yang dikeluarkan dari daun diperoleh melalui proses penyulingan (destilasi). Menurut Ketaren (1985) dalam industri pengolahan minyak atsiri dikenal tiga macam sistem penyulinagan. yaitu (a) penyulingan dengan direbus (water distillation), (b) penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation) dan (c) penyulingan dengan uap (steam distillation).

Minyak kayu putih yang diperoleh dari proses penyulingan daun M. cajuputi subsp. cajuputi terdiri dari komponen 1,8-cineole (3%-60%), dan sesquiterpene alcohols globulol (trace-9%), viridiflorol (trace-16%) dan spathulenol (trace-30%). Komponen minyak lainnya yang ditemukan dalam jumlah cukup tinggi adalah limonene (trace-5%), β-caryophyllene (trace-4%), humulene (trace-2%), viridflorene (0,5%-9%), α-terpinol (1%-8%), α- dan β -selinene (masing-masing (0%-3%) dan caryophyllene oxide (tarce-7%). Rendemen minyak bervariasi antara 0,4% sampai 1,2% (W/W %, berat basah).


(48)

Sedangkan kedua subspecies lainnya cumingiana dan platyphylla menghasilkan minyak dengan kadar cineole rendah (Rimbawanto,et al. 2009).

Komposisi minyak kayu putih sangat beragam. Nampaknya masing-masing daerah sebaran alami jenis ini mempunyai komposisi minyak yang berbeda-beda dan hal ini sejalan dengan keragaman morfologi yang ditemukan (Doran, 1999).

Sedangkan menurut Kasmudjo (1992) menyatakan bahwa minyak kayu putih yang dikeluarkan dari daun diperoleh melalui proses penyulingan (distilasi). Minyak kayu putih tersebut mempunyai kandungan antara lain Sineol (kayu putol). Sineoldalam minyak ini dapat diperoleh pada suhu didih 1740 C - 1770 C, sedangkan pada suhu dibawahnya akan diperoleh Pinenen(1560 C - 1600 C) dan pada suhu di atasnya akan diperoleh Benzildehid (179,90 C), Terpinol (2180 C) dan Sesqueterpen pada suhu antara 2300 C dan 2770 C.

2.10. Hasil-hasil penelitian sebelumnya

Untuk mendukung penelitian dan menghindari duplikasi penelitian maka dilakukan review hasil-hasil penelitian yang telah ada dan dipublikasikan di beberapa jurnal luar negeri dan dalam negeri. Selain itu juga dilakukan penelusuran hasil penelitian yang tidak dipublikasikan dalam bentuk Thesis maupun Disertasi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor, serta penelusuran jurnal penelitian dalam webside. Adapun yang direview dan ditelusuri adalah penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) dan tentang pemodelan pertumbuhan dan hasil. Beberapa penelitian yang menjadi sumber acuan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.


(1)

umur tunas 1 s/d 12 bulan

Umur tunas (bulan)

Plot ukur sementara

Jumlah pohon Per hektar

Kerapatan (%)

Berat per plot ukur (kg/ha)

Biomasa Cabang DKP

1 1 1584 0,99 8,16 0,00 8,16

2 1552 0,97 7,10 0,00 7,10

3 1600 1,00 9,66 0,00 9,66

Rata-rata 1578 0,99 8,31 0,00 8,31

2 1 1600 1,00 33,25 0,00 33,25

2 1600 1,00 35,00 0,00 35,00

3 1568 0,98 37,02 0,00 37,02

Rata-rata 1589 0,99 35,09 0,00 35,09

3 1 1584 0,99 103,44 0,00 103,44

2 1568 0,98 124,60 0,00 124,60

3 1600 1,00 106,70 0,00 106,70

Rata-rata 1584 0,99 111,58 0,00 111,58

4 1 1600 1,00 223,32 17,51 205,81

2 1552 0,97 305,24 22,68 282,56

3 1600 1,00 295,60 22,48 273,12

Rata-rata 1584 0.99 274,72 20,89 253,83

5 1 1600 1,00 312,37 51,45 260,92

2 1584 0,99 345,66 54,78 290,88

3 1600 1,00 333,85 57,71 276,14

Rata-rata 1595 1,00 330,63 54,65 275,98

6 1 1584 0,99 325,93 37,08 288,85

2 1600 1,00 375,56 74,02 301,54

3 1568 0,98 374,91 77,97 296,94

Rata-rata 1584 0,99 358,80 63,02 295,78

7 1 1584 0,99 452,85 116,68 336,17

2 1568 0,98 448,18 121,38 326,80

3 1584 0,99 470,11 135,51 334,39

Rata-rata 1578 0,99 457,05 124,52 332,45

8 1 1568 0,98 480,64 142,83 337,81

2 1600 1,00 482,26 137,90 344,36

3 1600 1,00 484,75 141,71 343,04


(2)

Lanjutan…

Lampiran 3c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan

Umur tunas (bulan)

Plot ukur sementara

Jumlah pohon Per hektar

Kerapatan (%)

Berat per plot ukur (kg/ha)

Biomasa Cabang DKP

9 1 1584 0,99 507,90 166,65 341,25

2 1600 1,00 510,04 158,59 351,45

3 1568 0,98 515,30 163,78 351,52

Rata-rata 1584 0,99 511,08 163,01 348,07

10 1 1568 0,98 583,15 215,14 368,01

2 1600 1,00 593,29 235,79 357,50

3 1552 0,97 605,01 235,29 369,72

Rata-rata 1573 0,98 593,82 228,74 365,08

11 1 1584 0,99 632,56 239,50 393,06

2 1600 1,00 689,47 247,65 441,82

3 1584 0,99 577,74 210,78 366,96

Rata-rata 1589 0,99 633,26 232,64 400,61

12 1 1584 0,99 588,14 231,93 356,21

2 1600 1,00 614,17 241,42 372,75

3 1568 0,98 558,23 216,91 341,32


(3)

No Kelompok umur tegakan

Umur tegakan

Kerapatan tegakan

(%)

Berat per plot ukur (kg)

Berat per pohon (kg) Biomasa

(kg)

Cabang (kg)

DKP (kg)

Biomasa (kg)

Cabang (kg)

DKP (kg)

1 I

5 0,98 8623,15 3417,01 5206,13 5,56 2,20 3,35

2 II

8 0,94 11068,37 4576,85 6491,52 7,36 3,04 4,31

3 III

13 0,69 12184,64 4263,25 7921,39 5,53 1,94 3,59

4 IV

17 0,77 16673,44 5609,653 11063,79 6,77 2,28 4,49

5 V

22 0,45 15812,80 6830,03 8982,77 7,07 3,05 4,02

6 VI

26 0,33 12726,56 6690,83 6035,73 7,45 3,91 3,54

7 VII

34 0,35 11543,52 4204,21 7339,31 6,65 2,43 4,22 8 VIII


(4)

Lampiran 5a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII

Kelompok Umur

Plot ukur sementara

Jumlah pohon Per plot

Kerapatan (%)

Berat per plot ukur (kg/ha)

Biomasa Cabang DKP

I 1 96 0,96 514,04 202,57 311,47

2 97 0,97 567,50 224,82 342,68

3 98 0,98 535,30 213,30 322,00

Rata-rata 97 0,97 538,95 213,56 325,38

II 1 95 0,95 767,87 303,53 464,34

2 94 0,94 630,48 258,83 371,65

3 93 0,93 676,97 295,80 381,17

Rata-rata 94 0,94 691,77 286,05 405,72

III 1 134 0,67 898,32 351,79 546,53

2 137 0,69 741,44 237,35 504,09

3 144 0,72 644,86 210,22 434,64

Rata-rata 138 0,69 761,54 266,45 495,09

IV 1 157 0,79 1032,23 353,87 678,36

2 153 0,76 1111,64 370,51 741,13

3 152 0,76 982,40 327,43 654,97

Rata-rata 154 0,77 1042,09 350,60 691,49

V 1 137 0,44 848,56 363,21 485,35

2 142 0,46 972,63 441,91 530,72

3 140 0,45 1143,71 475,51 668,20

Rata-rata 140 0,45 988,30 426,88 561,42

VI 1 112 0,36 779,08 440,77 338,31

2 105 0,33 774,02 389,01 385,01

3 104 0,33 833,13 424,75 408,38

Rata-rata 107 0,34 795,41 418,18 377,23

VII 1 108 0,35 922,73 327,37 595,36

2 101 0,32 504,84 209,66 295,18

3 115 0,37 736,84 251,26 485,58

Rata-rata 108 0,35 523,02 352,09 260,25

VIII 1 159 0,51 418,97 102,67 316,30

2 161 0,52 464,49 145,94 318,55

3 163 0,52 416,13 130,78 285,35

Rata-rata 161 0,52 433,20 126,46 306,73

Lampiran 5b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII


(5)

Kelompok Umur

Plot ukur sementara

Jumlah pohon Per plot

Kerapatan (%)

Berat per hektar (kg/ha)

Biomasa Cabang DKP

I 1 96 0,96 8224,64 3241,12 4983,52

2 97 0,97 9080,00 3597,12 5482,88

3 98 0,98 8564,80 3412,80 5152,00

Rata-rata 97 0,97 8623,15 3417,01 5206,13

II 1 95 0,95 12285,92 4856,48 7429,44

2 94 0,94 10087,68 4141,28 5946,40

3 93 0,93 10831,52 4732,80 6098,72

Rata-rata 94 0,94 11068,37 4576,85 6491,52

III 1 134 0,67 14373,12 5628,64 8744,48

2 137 0,69 11863,04 3797,60 8065,44

3 144 0,72 10317,76 3363,52 6954,24

Rata-rata 138 0,69 12184,64 4263,25 7921,39

IV 1 157 0,79 16515,68 5661,92 10853,76

2 153 0,76 17786,24 5928,16 11858,08

3 152 0,76 15718,4 5238,88 10479,52

Rata-rata 154 0,77 16673,44 5609,653 11063,79

V 1 137 0,44 13576,96 5811,36 7765,60

2 142 0,46 15562,08 7070,56 8491,52

3 140 0,45 18299,36 7608,16 10691,20

Rata-rata 140 0,45 15812,80 6830,03 8982,77

VI 1 112 0,36 12465,28 7052,32 5412,96

2 105 0,33 12384,32 6224,16 6160,16

3 104 0,33 13330,08 6796,00 6534,08

Rata-rata 107 0,34 12726,56 6690,83 6035,73

VII 1 108 0,35 5237,92 9525,76

2 101 0,32 8077,44 3354,56 4722,88

3 115 0,37 11789,44 4020,16 7769,28

Rata-rata 108 0,35 11543,52 4204,21 7339,31

VIII 1 159 0,51 6703,52 1642,72 5060,80

2 161 0,52 7431,84 2335,04 5096,80

3 163 0,52 6658,08 2092,48 4565,60


(6)

Lampiran 5c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII

Kelompok Umur

Plot ukur sementara

Jumlah pohon Per plot

Kerapatan (%)

Berat per pohon (kg/ha)

Biomasa Cabang DKP

I 1 96 0,96 5,35 2,11 3,24

2 97 0,97 5,85 2,32 3,53

3 98 0,98 5,46 2,18 3,29

Rata-rata 97 0,97 5,56 2,20 3,35

II 1 95 0,95 8,08 3,20 4,89

2 94 0,94 6,71 2,75 3,95

3 93 0,93 7,28 3,18 4,10

Rata-rata 94 0,94 7,36 3,04 4,31

III 1 134 0,67 6,70 2,63 4,08

2 137 0,69 5,41 1,73 3,68

3 144 0,72 4,48 1,46 3,02

Rata-rata 138 0,69 5,53 1,94 3,59

IV 1 157 0,79 6,57 2,25 4,32

2 153 0,76 7,27 2,42 4,84

3 152 0,76 6,46 2,15 4,31

Rata-rata 154 0,77 6,77 2,28 4,49

V 1 137 0,44 6,19 2,65 3,54

2 142 0,46 6,85 3,11 3,74

3 140 0,45 8,17 3,40 4,77

Rata-rata 140 0,45 7,07 3,05 4,02

VI 1 112 0,36 6,96 3,94 3,02

2 105 0,33 7,37 3,70 3,67

3 104 0,33 8,01 4,08 3,93

Rata-rata 107 0,34 7,45 3,91 3,54

VII 1 108 0,35 8,54 3,03 5,51

2 101 0,32 5,00 2,08 2,92

3 115 0,37 6,41 2,18 4,22

Rata-rata 108 0,35 6,65 2,43 4,22

VIII 1 159 0,51 2,64 0,65 1,99

2 161 0,52 2,89 0,91 1,98

3 163 0,52 2,55 0,80 1,75


Dokumen yang terkait

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TUMBUH DAN KONSENTRASI LARUTAN GIBBERELLIN ACID (GA3) TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi L.) UMUR 3 BULAN

0 5 1

PENGARUH KONSENTRASI HORMON GIBBERELLIN (GA3) DAN KOMPOSISI MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Linn)

0 7 1

Laju aliran dan erosi permukaan di lahan hutan tanaman kayu putih (melaleuca cajuputi roxb) dengan berbagai tindakan konservasi tanah dan air (studi kasus rph sukun, bkph sukun, kph madiun perum perhutani unit II Jawa Timur)

4 15 63

EFEK ANALGETIKA EKSTRAK ETANOLDAUN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron L) EFEK ANALGETIKA EKSTRAK ETANOL DAUN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron L) PADA MENCIT JANTAN.

0 1 22

EFEK ANALGETIKA EKSTRAK ETANOLDAUN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron L) EFEK ANALGETIKA EKSTRAK ETANOL DAUN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron L) PADA MENCIT JANTAN.

1 7 101

Pemberian Pupuk Organik dan Pupuk ZA terhadap Pertumbuhan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi) di Kawasan Hutan Produksi RPH Sumberklampok Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng.

0 0 9

FORDA - Jurnal

0 0 6

The Optimum Dose of Nitrogen, Phosporus, and Potassium to Improve Soybean (Glycine max (L) Merr) Productivity on Kayu Putih (Melaleuca cajuputi) Stands | Jati | Ilmu Pertanian (Agricultural Science) 17991 61572 1 PB

0 0 8

KAJIAN SIFAT FISIK TANAH PADA BERBAGAI UMUR TANAMAN KAYU PUTIH ( Melaleuca cajuputi) DI LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA PT BUKIT ASAM (PERSERO)

2 4 8

PENDUGAAN POTENSI PRODUKSI HHBK KAYU PUTIH ( Melaleuca cajuputi ) DI BKPH RINJANI BARAT PELANGAN TASTURA (POTENTIAL PRODUCATION ESTIMATION 0F CAJUPUT NON TIMBER FOREST PRODUCT (Melaleuca cajuputi) IN BKPH RINJANI BARAT PELANGAN TASTURA) - Repository UNRAM

0 0 11