Bahan dan Alat Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Aspek Sosial Budaya

34

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah aspek biofisik kawasan, data sosial-ekonomi- budaya masyarakat, dan peta rupa bumi Indonesia dengan skala 1: 25.000 dari Badan Informasi Geospasial BIG 2007. Alat yang digunakan selama penelitian adalah komputer, kompas, kamera dijital, software ArcGIS 9.3, dan Photoshop Tabel 1. Tabel 1 Bahan dan alat penelitian Bahan dan alat Fungsi Bahan Peta rupa bumi Indonesia skala 1: 50.000, Program google earth pro berlangganan. Penetapan lokasi Alat 1. Kamera dijital, kompas, dan global positioning system 2. Komputer dan software Microsoft office, ArcGIS 9.3, Photoshop CS3, SPSS 16 Survei Analisis data, pelaporan, pengolahan data spasial, dan peta

3.3 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, memiliki satu kelurahan dan enam desa, yaitu Kelurahan Sulamu, Desa Pantulan, Desa Pitay, Desa Pantai Beringin, Desa Pariti, Desa Oeteta, dan Desa Bipolo. Kawasan ini dipilih sebagai daerah kajian karena dinilai memiliki karakter pertanian terpadu secara horizontal berdasarkan fokus komoditi, yaitu yang berbasis pada tanaman, ikan, ternak, dan agroforestri Mugnisjah 2007. Wilayah kecamatan ini memiliki beberapa land use pertanian yang telah berjalan sehingga fokus analisis yang akan dilakukan pada aspek karakteristik lanskap pertanian terpadu, aspek kualitas lingkungan, aspek potensi daya tarik wisata, aspek potensi pendukung wisata, dan aspek kesiapan masyarakat jika daerahnya menjadi tempat wisata pertanian. Kelima aspek tersebut akan diintegrasi untuk menghasilkan zona kesesuaian kawasan untuk wisata pertanian terpadu. Penetapan desa yang masuk dalam kategori sesuai sebagai kawasan wisata pertanian terpadu akan diteruskan untuk menyusun strategi pengelolan lanskap wisata pertanian bagi kawasan.

3.4 Tahapan Penelitian

Penelitian meliputi tahapan kegiatan persiapan, inventarisasi data, analisis data, serta penyusunan strategi pengelolaan lanskap. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, yaitu penilaian scoring, kuantifikasi pembobotan, dan penentuan peringkat pada tiap kriteria dan kategori yang dinilai seperti karakteristik lanskap pertanian terpadu, kualitas lingkungan, potensi daya tarik wisata, potensi pendukung wisata, dan kesiapan masyarakat. Penilaian kuantitatif tersebut juga dilakukan secara spasial untuk penentuan zona kesesuaian untuk penyusunan strategi pengelolaan. Analisis daya dukung kawasan dilakukan secara deskriptif dengan survei lapang untuk 35 melihat kemampuan kawasan mendukung kegiatan wisata. Analisis karakteristik, persepsi, dan preferensi pengunjung dilakukan dengan pemberian kuisioner untuk mengetahui kebutuhan pengunjung wisata.

3.4.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini, kegiatan dipusatkan pada penelusuran pustaka, deliniasi peta, dan penentuan lokasi penelitian pada satu kelurahan dan enam desa di Kecamatan Sulamu. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian dan strategi pengelolaan yang telah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah desa setempat. Deliniasi lokasi penelitian dilakukan berdasarkan batas administrasi kawasan dan peta rupa bumi Indonesia. Gambar 4 Tahapan Penelitian Lanskap Pertanian Kecamatan Sulamu T ahap Invent a ri sas i Aspek Biofisik Lanskap Pertanian Aspek Sosial Budaya Masyarakat Aspek Wisata Analisis Karakter Lanskap Pertanian  Keaslia     Analisis Kualitas Lingk.       Analisis Pendukung Wisata Analisis Daya Tarik Wisata        Zona Pertanian Terpadu Zona Kualitas Lingk. Zona Daya Tarik Wisata Zona Pndukung Wisata Analisis Kesiapan Masy. Zona Kesiapan Masy. T ahap A nali si s T ahap Sint esi s Analisis SWOT Strategi Pengelolaan Lanskap Wisata Pertanian Wilayah Luar Sulamu Analisis Daya Dukung Lingkungn n Analisis Karakter dan Preferensi Pengunjung Zona Kesesuaian Wisata Pertanian Terpadu 36

3.4.2 Tahap Inventarisasi Data

Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data kondisi kawasan pada saat ini. Data yang dikumpulkan sebagaimana yang dirinci pada Tabel 2 adalah sebagai berikut. a. Aspek biofisik lanskap meliputi jenis tanah, vegetasi, iklim, topografi dan kemiringan lahan, hidrologidrainase, kualitas air, dan tata guna lahan wilayah. b. Aspek sosial budaya meliputi demografi penduduk jumlah, kepadatan, tingkat pendidikan, perekonomian, pola pikir dan organisasi masyarakat, status kepemilikan lahan, aktivitas penduduk, dan pola permukiman. c. Aspek wisata meliputi daya tarik dan pendukung wisata seperti aksesibilitas, fasilitas, kualitas view, kebijakan pemerintah, produksi pertanian dan pola tanam, serta karakter dan preferensi pengunjung. Data ini dikumpulkan secara langsung di lapang dengan wawancara, pengisian kuisioner, dan observasi lapang. Wawancara dilakukan terhadap 1 pihak-pihak yang terkait dengan kawasan seperti pemilik dan pengelola kawasan, pemerintah desa dan kecamatan, dan penduduk lokal, 2 pihak dari luar kawasan seperti pengunjung, dan 3 pihak yang terkait dengan penentu kebijakan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka buku acuan, laporan-laporan, dan referensi pustaka yang mendukung penelitian.

3.4.3 Tahap Analisis

Analisis dilakukan untuk mengetahui potensi sumber daya biofisik lanskap pertanian, dan sosial budaya masyarakat, serta permasalahan yang dihadapi dalam kawasan. Jenis analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis karakter lanskap pertanian terpadu, analisis kualitas lingkungan, analisis daya tarik dan pendukung wisata, dan analisis kesiapan masyarakat. Analisis daya dukung kawasan juga dilakukan untuk mempertimbangkan kemampuan kawasan dalam mengakomodasi kegiatan wisata. 37 Tabel 2 Jenis dan data penelitian Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Kegunaan analisis Aspek fisik lanskap Lokasi letak dan luas dan kondisi geografis Deskriptif dan spasial Bappeda Posisi wilayah Jenis Tanah Deskriptif dan tabular Bappeda Kualitas lingkungan Vegetasi Tabular Survei Kualitas lingkungan Iklim a. Curah Hujan, b. Suhu c. Kelembaban d. Kecepatan angin Deskriptif dan spasial BMKG Kupang Kualitas lingkungan dan pendukung wisata Topografi dan Kemiringan Lahan Deskriptif BMG Kupang Kualitas lingkungan Hidrologi Drainase Spasial Survei Kualitas lingkungan Tata Guna Lahan Deskriptif dan spasial Bappeda, kecamatan, dan survei Karakter lanskap pertanian terpadu Kualitas air Tabular Dinas Lingkungan Hidup Kualitas lingkungan Aspek sosial budaya Demografi : Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan Mata Pencaharian Deskriptif dan tabular Kecamatan Kesiapan masyarakat Pola pikir masyarakat Deskriptif Survei dan wawancara Kesiapan masyarakat Organisasi masyarakat Deskriptif Survei dan wawancara Kesiapan masyarakat Status kepemilikan lahan Deskriptif Survei Kesiapan masyarakat Aktifitas penduduk dan Pola permukiman Deskriptif Survei dan wawancara Daya tarik wisata; karakter lanskap pertanian terpadu Sensori Lingkungan Deskriptif Survei Kesiapan masyarakat Aspek wisata Aksesibilitas Tabular Survei dan kecamatan Pendukung wisata Fasilitas Pendukung Deskriptif Survei dan spasial Pendukung wisata Pengelolaan dan pelayanan wisata Deskriptif Survei Pendukung wisata KebijakanPeraturan Pemerintah Deskriptif Deparbud dan Bappeda Pendukung wisata Kualitas view Deskriptif Survei Daya tarik wisata Produksi Pertanian, Komoditas, dan Pola Tanam Deskriptif Survei dan wawancara Daya tarik wisata Kesenian dan kerajinan Deskriptif Survei dan wawancara Daya tarik wisata Karakter dan Preferensi Pengunjung Deskriptif Survei dan kuisioner Pendukung wisata 38

3.4.3.1 Analisis Karakter Lanskap Pertanian Terpadu

Kawasan ini memiliki karakter lanskap pertanian terpadu yang berdasarkan pada tanaman, ikan, ternak, dan agroforestri. Hal ini membutuhkan analisis secara khusus mengenai kondisi karakter lanskap pertanian terpadu kawasan. Analisis ini dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan pembobotanscoring pada saat survei kawasan serta wawancara dengan cara purposive sampling terhadap pemerintah desa, petani pemilik lahan, anggota kelompok tani, dan distributor pertanian yang berjumlah sepuluh orang pada masing-masing desa. Analisis ini dirumuskan dengan merujuk pada konsep pertanian terpadu menurut Mugnisjah 2007 Tabel 3. Tabel 3 Kriteria karakteristik lanskap pertanian terpadu Sumber: Dirumuskan dari Mugnisjah 2007 Perhitungan nilai karakter pertanian terpadu adalah sebagai berikut: Pklp = [ Fh 7 �=1 + Fhd 7 �=1 + Fv 7 �=1 ] dengan Pklp = nilai karakter pertanian terpadu; Fh = faktor pertanian terpadu secara horizontal; Fhd = faktor pertanian terpadu secara horizontal berbasis wilayah desa; Fv = faktor pertanian terpadu secara vertikal; 7 �=1 = jumlah skor dari ketujuh desa. Kriteria Sub kriteria Skor Pertanian terpadu secara horizontal dengan tumpang sari a. Jenis usaha tani tanaman- ternak- ikan b. Jenis usaha tani tanaman- ternak c. Jenis usaha tani tanaman - ikan d. Jenis usaha tani ternak- ikan 4 3 2 1 Pertanian terpadu secara horizontal yang berbasis wilayah desa a. Memiliki 3 komoditas tanaman-ternak- ikan + tumpang sari b. Memiliki 2 komoditas, dengan tumpang sari c. Memiliki 3 komoditas tanaman-ternak- ikan, tanpa tumpang sari d. Memiliki 2 komoditas, tanpa tumpang sari 4 3 2 1 Pertanian terpadu secara vertikal hulu –tengah-hilir benih –produksi pertanian benihnon benih di atas lahan –pengolahan hasil. a. Memiliki 3 komoditas, pada level 2 dan 3, dengan pengolahan limbah b. Memiliki 2 komoditas, pada level 2 dan 3, dengan pengolahan limbah c. Memiliki 1 komoditas, pada level 2 dan 3, dengan pengolahan limbah d. Memiliki 1 komoditas, pada level 2 dan 3, tanpa pengolahan limbah 4 3 2 1 Bobot 30 39

3.4.3.2 Analisis Kualitas Lingkungan

Penggunaan analisis kualitas lingkungan ekologis dilakukan untuk melihat kesesuaian lingkungan ditinjau dari aspek ekologis dan fisik lanskap pertanian menurut USDA 1968 dan Gunn 1994. Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan pembobotanskoring dan dilaksanakan pada saat survei kawasan, wawancara dengan pemilik dan pengelola lahan, serta penelaahan data sekunder. Untuk analisis ini digunakan beberapa kriteria penilaian yang terdapat pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria kualitas lingkungan kawasan Sumber: Dimodifikasi dari USDA 1968 Perhitungan nilai kualitas lingkungan kawasan menggunakan rumus berikut: Pkl = [ Feko 7 �=1 + Fpl 7 �=1 + Fban 7 �=1 + Ftop 7 �=1 + Fka 7 �=1 ] Dengan Pkl = nilai kualitas lingkungan kawasan; Feko = faktor keaslian ekosistem; Fpl = faktor penutupan lahan; Fban = faktor potensi banjir; Ftop = faktor topografi; dan Fka = faktor kualitas visual air. Kriteria Sub kriteria Skor Keaslian ekosistem pendukung kawasan a. Keaslian ekosistem utuh b. Keaslian ekosistem rusak 15 c. Keaslian ekosistem rusak 15-50 d. Keaslian ekosistem rusak 50 4 3 2 1 Penutupan lahan a. Sesuai peruntukan lahan, tertata baik, dominan hijau b. Sesuai peruntukan, kurang tertata, dominan hijau c. Tidak sesuai peruntukan, kurang tertata, lahan hijau = lahan terbangun d. Tidak sesuai peruntukan, tidak tertata, dominan lahan terbangun 4 3 2 1 Potensi banjir a. Tidak Pernah b. Banjir 1x dalam 5 th c. Banjir 1x dalam 5 tahun sampai 1x per tahun d. Banjir 1x per tahun 4 3 2 1 Topografi a. 0 nilai ≤ 8 b. 8 nilai ≤ 15 c. 15 nilai ≤ 25 d. Nilai 25 4 3 2 1 Kualitas air a. Peruntukan air dapat sebagai air baku, air minum dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama b. Peruntukkan air dapat sebagai sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, menyiram tanaman dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama c. Peruntukan air dapat sebagai kebutuhan budidaya ikan air tawar, peternakan, menyiram tanaman dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama d. Peruntukan air dapat sebagai pengairan tanaman dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama PP No.822001 tentang aturan pengendalian pencemaran air 4 3 2 1 Bobot 20 40

3.4.3.3 Analisis Potensi Daya Tarik Wisata

Analisis potensi daya tarik wisata dilakukan menggunakan analisis deskriptif dan pembobotan atau scoring. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui potensi desa sebagai daerah daya tarik agrowisata, yang mengacu pada Soemarno 2008, dilakukan dengan metode penelaahan data sekunder serta pengamatan dan survei pada kawasan, dengan penilaian Tabel 5. Tabel 5 Kriteria potensi daya tarik wisata Sumber: Soemarno 2008 Perhitungan nilai daya tarik wisata adalah sebagai berikut: Pdt= [ Fla 7 �=1 + Fv 7 �=1 + Fko 7 �=1 + Fakt 7 �=1 + Fpp 7 �=1 + Fkes 7 �=1 ] dengan Pdt = nilai daya tarik wisata; Fla = faktor keragaman lanskap alami; Fv = faktor kualitas view; Fko = faktor komoditas pertanian dan pola tanam; Fakt = faktor aktivitas pertanian; Fpp = faktor permukiman penduduk; Fkes = faktor kesenian dan kerajinan budaya; Kriteria Sub kriteria Skor Keragaman lanskap alami a. Ada ≥ 2 elemen mayor dan keragaman elemen minor b. Ada 1 elemen mayor dan keragaman elemen minor c. Ada keragaman namun hanya elemen minor d. Hanya ada satu jenis homogen dan datar 4 3 2 1 Kualitas View a. Keaslian dan keunikan obyek sangat menarik, laju degradasi nilai visual sangat lambat. b. Keaslian dan keunikan obyek agak menarik, laju degradasi nilai visual agak lambat c. Keaslian dan keunikan obyek kurang menarik, laju degradasi nilai visual agak cepat. d. Keaslian dan keunikan obyek tidak menarik, laju degradasi nilai visual cepat. 4 3 2 1 Komoditas pertanian dan pola tanam a. Jenis Komoditas Tanaman- Ternak- Ikan Plus Tumpang Sari b. Jenis Komoditas Tanaman- Ternak- Ikan Tanpa Tumpang Sari c. Jenis Komoditas d. 1 Jenis komoditas 4 3 2 1 Aktivitas pertanian a. Ada, kontinyu hari atau mggu b. Ada, kontinyu musim tanam c. Ada, tidak kontinyu d. Tidak ada aktivitas 4 3 2 1 Permukiman penduduk a. Unik berpola, banyak pada kawasan b. Unikberpola, sedikit pada kawasan c. Tidak unik berpola, sedikit pada kawasan d. Tidak ada 4 3 2 1 Kesenian dan kerajinan budaya a. Ada 3, dikembangkan dengan baik b. Ada 3, kurang dikembangkan c. Ada 3, kurang dikembangkan d. Tidak ada 4 3 2 1 Bobot 20 41

3.4.3.4 Analisis Potensi Pendukung Wisata

Analisis potensi pendukung wisata dilakukan menggunakan analisis deskriptif dan pembobotan atau scoring. Analisis ini bertujuan mengetahui potensi desa sebagai daerah pendukung wisata, yang dilakukan dengan penelaahan data sekunder dan survei kawasan pengamatan dan wawancara terhadap pemilik kawasan, pihak swasta, serta pemerintah daerah kecamatan dan kabupaten. Untuk penilaian potensi pendukung wisata digunakan beberapa kriteria, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria potensi pendukung wisata Sumber: Diadaptasi dari Soemarno 2008; Kaswanto 2007 Kriteria Sub kriteria Skor Aksesibilitas a. Jalan aspal, mudah dicapai, kondisi baik, ada kendaraan umum b. Jalan berbatu, kondisi baik, kendaraan umum terbatas c. Jalan berbatu, kondisi sedang, tanpa kendaraan umum d. Tidak ada akses, tidak ada kendaraan umum 4 3 2 1 Potensi pasar a. Berdekatan dengan terminalpelabuhan, kota permukiman, dan objek wisata lain; ada citra positif b. Berdekatan dengan terminalpelabuhan dan kota permukiman, dekat dengan objek wisata lain, namun kurang dikenal c. Berdekatan jarak dengan terminalpelabuhan saja, atau berdekatan dengan permukiman kota, jauh dari objek wisata lain d. Jauh dari pintu gerbang transportasi dan kota 4 3 2 1 Pengelolaan dan Pelayanan wisata a. Ada pengelolaan dan perawatan yang layak, kemudahan informasi, keramahan b. Ada pengelolaan dan perawatan yang layak, kemudahan informasi c. Ada pengelolaan dan perawatan yang layak, kesulitan informasi d. Tidak ada pengelolaan 4 3 2 1 Iklim Suhu, kelembaban udara, dan angin a. Suhu udara 20-22 C, kelembaban 85-90, banyak vegetasi wind breaker dan filter b. Suhu udara 22-24 C, kelembaban 80-85, cukup banyak vegetasi wind breaker dan filter c. Suhu udara 24-26 C, kelembaban 75-80, ada vegetasi wind breaker dan filter d. Suhu udara 26-28 C, kelembaban 70-75, tidak ada vegetasi wind breaker dan filter 4 3 2 1 Fasilitas Wisata a. Tersedia, lengkap, kualitas baik dan terawat b. Ada, cukup terawat c. Ada, kurang terawat d. Tidak tersedia 4 3 2 1 Ketersediaan air bersih a. Jarak 500 m b. Jarak 500 m– 1 km c. Jarak 1-2 km d. Jarak 2 km 4 3 2 1 Jarak menuju objek wisata lain a. 5 km b. 5-10 km c. 10-20 km d. 20 km 4 3 2 1 Bobot 10 42 Perhitungan nilai pendukung wisata ditetapkan dengan rumus berikut: Pdw = [ Faks 7 �=1 + Fpp 7 �=1 + Fpw 7 �=1 + Fik 7 �=1 + Ffw 7 �=1 + Fair 7 �=1 + Fjol 7 �=1 ] dengan Pdw = nilai pendukung wisata; Faks = faktor aksesibilitas; Fpp = faktor potensi pasar; Fpw = faktor pengelolaan dan pelayanan wisata; Fik = faktor iklim; Ffw = faktor fasilitas wisata; Fair = faktor ketersediaan air; Fjol = faktor jarak menuju objek wisata lain; 7 �=1 = jumlah skor dari ketujuh desa.

3.4.3.5 Analisis Kesiapan masyarakat

Analisis kesiapan masyarakat dilakukan melalui analisis deskriptif dan pembobotan atau scoring. Analisis ini bermanfaat untuk mengetahui kesiapan dan kemampuan masyarakat mendukung wisata pertanian. Analisis ini dilakukan dengan metode survei, penelaahan data sekunder dari kecamatan tingkat pendidikan dan pendapatan, dan wawancara langsung terhadap pemimpin kades dan warga masyarakat 10 orang sebagai purposive sampling pada setiap desa yang diperkirakan menjadi wakil sampel sebuah desa. Penilaian potensi kesiapan masyarakat menggunakan beberapa kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kriteria potensi kesiapan masyarakat Sumber: Diadaptasi dari Yusiana 2007 Kriteria Sub kriteria Skor Pengembangan kawasan sebagai daerah agrowisata a. Setuju b. Kurang setuju c. Tidak setuju d. Tidak tahu 4 3 2 1 Keyakinan bahwa agrowisata akan meningkatkan kesejahteraan a. Yakin b. Kurang yakin c. Tidak yakin d. Tidak tahu 4 3 2 1 Partisipasi masyarakat dalam agrowisata a. Bersedia b. Kurang bersedia c. Tidak bersedia d. Tidak tahu 4 3 2 1 Organisasi yang dimiliki masyarakat a. Ada, berjalan, kerja sama dengan pemerintah b. Ada, berjalan internal c. Ada, tidak berjalan d. Tidak ada organisasi 4 3 2 1 Tingkat pendidikan masyarakat a. 50 lulusan SMA b. 50 lulusan SMA c. 50 maks lulusan SMP d. 50 lulusan SDtidak sekolah 4 3 2 1 Bobot 20 43 Perhitungan nilai kesiapan masyarakat adalah sebagai berikut: Pkm = [ Fpm 7 �=1 + Fkm 7 �=1 + Fp 7 �=1 + Fom 7 �=1 + Ftp 7 �=1 ] dengan Pkm = nilai kesiapan masyarakat; Fpm = faktor persetujuan masyarakat; Fkm = faktor keyakinan masyarakat; Fp = faktor partisipasi masyarakat; Fom = faktor organisasi masyarakat; Ftp = faktor tingkat pendidikan; 7 �=1 = jumlah skor ketujuh desa.

3.4.3.6 Analisis Penentuan Zona Kesesuaian Wisata Pertanian Terpadu

Penentuan zonasi ini dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis software ArcGIS 9.3 untuk memetakan kelima analisis yaitu analisis karakter lanskap pertanian terpadu, analisis kualitas lingkungan, analisis daya tarik wisata, analisis pendukung wisata, dan analisis kesiapan masyarakat. Pada masing-masing analisis tersebut, ditentukan selang nilai skor dengan menggunakan rumus; Selang nilai skor = Skor total tertinggi − Skor total terendah 3 kelas selang nilai skor ini akan menghasilkan tiga kelas skor yaitu a. lahan sangat sesuai dan tidak mempunyai faktor pembatas yang nyata terhadap penggunaan agrowisata secara berkelanjutan T, b. lahan cukup sesuai namun mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap penggunaan agrowisata secara berkelanjutan S, dan c. lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat danatau sulit diatasi R. Selanjutnya kelima analisis tersebut yaitu analisis karakter lanskap pertanian terpadu dengan bobot 30, analisis kualitas lingkungan dengan bobot 20, analisis daya tarik wisata dengan bobot 20, analisis pendukung wisata dengan bobot 10, dan analisis kesiapan masyarakat dengan bobot 20, akan dioverlay dengan menggunakan metode weighted overlay dengan ArcGIS 9.3 untuk mendapatkan nilai potensi kawasan atau yang disebut dengan zona integratif kesesuaian wisata pertanian yang dibagi dalam tiga kelas potensi yaitu; a. Zona berpotensi tinggi T, sangat sesuai untuk pengembangan wisata pertanian, seluruh aspek bernilai sangat potensial SP atau paling tidak minimal terdapat dua aspek yang termasuk dalam klasifikasi potensial P, tidak terdapat aspek yang termasuk kategori tidak potensial TP. b. Zona berpotensi sedang S, cukup potensial untuk pengembangan wisata pertanian, minimal terdapat satu aspek yang termasuk dalam kategori tidak potensial TP. c. Zona berpotensi rendah R, tidak potensial untuk pengembangan wisata pertanian, seluruh aspek termasuk dalam klasifikasi tidak potensial TP. 44

3.4.3.7 Analisis Daya Dukung Kawasan

Menurut Hendee et al. 1978, daya dukung suatu kawasan wisata alam adalah tingkat penggunaan sumber daya alam suatu kawasan untuk kegiatan rekreasi dengan tetap mempertahankan kualitas sumber daya alam yang digunakan. Gangguan dari pengunjung akan mempengaruhi kondisi dan kualitas sumber daya alam dan lingkungan pada kawasan wisata, umumnya akan terjadi pada; 1 vegetasi yang berupa kerusakan atau kehilangan, 2 tanah, contohnya kepadatan akibat injakan pengunjung atau erosi akibat pembukaan tanah dan lain-lain, 3 kualitas air, contohnya dengan adanya limbah atau pencemaran air, dan 4 hidupan liar, misalnya menurunnya jumlah jenis spesies lokal kawasan. Klasifikasi kepekaan vegetasi yang digunakan adalah menurut Ruhiyat 2008 yang terdapat pada Tabel 8. Tabel 8 Klasifikasi kepekaan vegetasi Tidak peka Agak peka Cukup peka Peka Sangat peka Vegetasi tidak langka Perakaran dalam tunggang Vegetasi tidak langka Perakaran tidak dalam serabut Vegetasi agak langka Perakaran tidak dalam serabut Vegetasi langka Perakaran tidak kokoh Vegetasi sangat langka Perakaran tidak kokoh Batang kokoh, berduri, dan beracun Batang mudah bertunas, tidak beracun dan tidak berduri Batang semu Batang sukulen Batang sangat menarik Toleransi tanaman tinggi terhadap gangguan Toleran tanaman tinggi terhadap gangguan Toleran tanaman kurang tinggi terhadap gangguan Toleransi tanaman rendah terhadap gangguan Toleransi sangat rendah Pertumbuhan vegetatif cepat Pertumbuhan vegetatif dan reproduktif cepat Pertumbuhan vegetatif lambat Ada faktor pembatas pertumbuhan Pertumbuhan vegetatif lambat Masa reproduktif sangat sulit Pertumbuhan vegetatif dan reproduktif sangat sulit Beraroma tidak disukai Dapat berupa semak, perdu, dan pohon Beraroma tidak disukai Dapat berupa semak, perdu, dan pohon Beraroma tidak disukai Dapat berupa semak, perdu, dan pohon Beraroma disukai 1 Dapat berupa semak, perdu, dan pohon Beraroma disukai Sumber: Ruhiyat 2008 Daya dukung tinggi Daya dukung sedang Daya dukung rendah 1 Vegetasi tertentu tidak ditentukan oleh aroma, misalnya bunga bangkai yang aromanya tidak disukai, tapi belum tentu tidak peka Konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu perubahan. Analisis daya dukung lingkungan dilakukan melalui analisis deskriptif dan spasial pada saat observasi di lapang. Melakukan analisis daya dukung kawasan terutama dilihat dari kondisi fisik 45 kawasan, yang dimaksudkan untuk menganalisis tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan. Kondisi tanah yang erat kaitannya dengan daya dukung kawasan wisata adalah tingkat kepekaannya terhadap erosi yang selanjutnya akan mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan kunjungan wisatawan. Kondisi sifat tanah yang diamati pada kawasan adalah lokasi di jalan besar dan jalan setapak yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan pengunjung yang merujuk pada kesesuaian lahan untuk jalan setapak dari USDA 1968 dan Lynch 1971 serta persyaratan jalan lokal dari Chiara dan Koppelman 1978. Ketersediaan air bersih air tawar merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan kawasan agrowisata oleh karena itu dilakukan estimasi daya dukung berdasarkan ketersediaan air bersih yang merujuk pada WTO 1981. Kondisi kunjungan yang berlebihan over capacity dari pengguna wisata dapat menyebabkan gangguan terhadap kehidupan liar, terutama pada keberadaan habitat dan perilaku satwa liar dalam kawasan. Untuk itu, pembatasan parameter satwa liar umumnya dilakukan terhadap jenis satwa langka atau yang dilindungi. Klasifikasi kelangkaan satwa dibagi dalam lima kategori, yaitu 1 satwa yang telah mendekati kepunahan, 2 satwa yang populasinya jarang atau terbatas dan mempunyai resiko untuk punah, 3 satwa yang mengalami penurunan pesat di alam, 4 satwa yang belum dapat ditetapkan tingkat kelangkaannya karena kekurangan data undeterminate, dan 5 satwa tidak langka. Kategori 1, 2, dan 3 memiliki peringkat daya dukung rendah, kategori 4 memiliki peringkat daya dukung sedang, dan kategori 5 memiliki peringkat daya dukung tinggi. Penentuan kelangkaan satwa dikonsultasikan dengan staf dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT BBKSDA 2012 dan juga merujuk pada IUCN 2013. 3.4.3.8 Analisis Karakteristik, Persepsi, dan Preferensi Pengunjung Analisis karakteristik, persepsi, dan preferensi pengunjung dilakukan terhadap pengunjung yang ditemui di ketujuh desa pada kawasan Kecamatan Sulamu yang dimintai kesediaannya mengisi kuisioner tentang karakteristik, persepsi, dan preferensi pengunjung. Jumlah pengunjung yang dapat dimintai kesediaannya mengisi kuisioner adalah 43 orang. Pengunjung adalah orang yang membeli dan menikmati wisata serta terlibat langsung dalam proses pembentukan wisata Suyitno 2001. Agar pengunjung dapat menikmati suatu wisata sesuai dengan keinginannya, dalam pengelolaan agrowisata perlu diketahui bagaimana karakteristik pengunjung kawasan dari aspek umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan, pengeluaran untuk wisata, kunjungan ke lokasi, dan asal pengunjung. Analisis persepsi tentang tujuan pengunjung ke kawasan dan pemahaman tentang agrowisata, serta preferensi pengunjung terhadap usaha pertanian sebagai bentuk kegiatan dan fasilitas agrowisata, dilakukan dengan uji pearson chi-square. Menurut Santoso 2002, uji pearson chi-square dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dua variabel tertentu atau tidak. Uji ini dilakukan dengan software SPSS 16 dengan α = 0,05. Dari uji ini diketahui nilai uji pearson chi-square. Jika nilai uji pearson chi-square 0,05, antar kategori yang diuji tidak saling terkait bebas, yang dapat diartikan bahwa besarnya frekuensi nilai profil pada suatu kategori tidak dipengaruhi profil pada kategori lainnya. Jika nilai pearson 46 chi-square 0,05, antarkategori yang diuji saling terkait, yang dapat diartikan bahwa besarnya frekuensi nilai profil pada suatu kategori dipengaruhi oleh profil pada kategori lainnya. Rumus analisis yang digunakan adalah sebagai berikut Johnson and Wichern 1998: � 2 = O ij – E ij 2 E ij dengan X 2 = khi kuadrat, O ij = jumlah pilihan jawaban pada kolom i sampai baris j, dan E ij = nilai harapan pada kolom i dan baris j. Dari uji ini didapatkan gambaran persepsi pengunjung tentang tujuan ke lokasi dan pemahaman agrowisata dan preferensi pengunjung terhadap usaha pertanian, bentuk kegiatan, dan fasilitas agrowisata yang akan dikelola.

3.4.4 Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan

Hasil analisis penentuan zona kesesuaian wisata yang berupa desa-desa dengan nilai kesesuaian wisata tinggi dan daya dukung kawasan dijadikan unsur penyusun dalam analisis SWOT untuk mendapatkan alternatif-alternatif strategi pengelolaan lanskap wisata pertanian terpadu yang sesuai dengan karakteristik lanskap kawasan. Analisis SWOT menurut Kinnear dan Taylor 1991 dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan dan peluang, tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman pada kawasan. Data primer untuk analisis SWOT diambil dengan metode survei dan wawancara untuk menetapkan faktor internal dan eksternal, penentuan bobot, serta rating Kinnear dan Taylor 1991. Analisis lingkungan internal dan eksternal dimaksudkan untuk memahami kekuatan, kelemahan, potensi, dan ancaman pada kawasan. Aspek yang dianalisis pada lingkungan internal dan eksternal ini, antara lain, adalah aspek sumber daya pertanian terpadu, kualitas lingkungan, daya tarik wisata, dan kesiapan masyarakat. Teknik pembobotan yang digunakan untuk menentukan bobot dari faktor internal dan eksternal adalah teknik pairwise comparison. Teknik ini membandingkan setiap variabel pada kolom horizontal dengan variabel pada kolom vertikal. Penentuan bobot pada setiap variabel yang dibandingkan menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4 yang menunjukkan 1. bobot 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal, 2. bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal, 3. bobot 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal, dan 4. bobot 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting jika dibandingkan dengan indikator faktor vertikal. Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari penggunaan kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang SO, penggunaan kekuatan untuk menghadapi ancaman ST, pengurangan kelemahan kawasan dengan memanfaatkan peluang WO, dan pengurangan kelemahan untuk menghadapi ancaman WT. Lalu, bobot dari alternatif strategi dijumlahkan untuk menghasilkan rating. Strategi dengan jumlah bobot atau ranking tertinggi merupakan alternatif strategi pengelolaan yang diprioritaskan untuk dilakukan pada kawasan. 47 IV HASIL 4.1 Aspek Fisik 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Sulamu terbagi menjadi Desa Bipolo, Desa Oeteta, Desa Pariti, Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan. Secara geografis Kecamatan Sulamu terletak pada 123°43‟12 BT - 123°50‟12 BT dan 9°59‟27 LS - 10°05‟14 LS, yang memiliki batas sebelah utara dan timur dengan Kecamatan Fatuleu, sebelah selatan dengan Kecamatan Kupang Timur, dan sebelah barat sebagai daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Sabu. Luas tapak dari hasil digitasi peta citra adalah 22.898 ha atau 228.9 km 2 . Nama desa dan luasan desa di Kecamatan Sulamu dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Nama dan luas desa di Kecamatan Sulamu Nama Desa Luas Desa Ha Kelurahan Sulamu 1 574 7 Desa Pantulan 3 387 15 Desa Pitay 2 444 11 Desa Pantai Beringin 1 637 7 Desa Pariti 3 256 14 Desa Oeteta 4 061 18 Desa Bipolo 6 540 29 Total 22 898 100

4.1.2 Aksesibilitas

Lokasi tapak dapat dicapai dari ibukota Kabupaten Kupang menuju pertigaan Oelamasi melewati jalan arteri primer jalan kewenangan nasional, yaitu Jalan Timor Raya sejauh 25 km, lalu mengarah ke kiri mengikuti jalan kolektor primer jalan kewenangan provinsi yang terletak sepanjang Desa Bipolo, Oeteta, dan Pariti, serta jalan lokal primer menuju Desa Pantai Beringin, Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Pantulan. Peta aksesibilitas menuju tapak dapat dilihat pada Gambar 5. Tapak dapat ditempuh dari beberapa jalur dari Kota dan Kabupaten Kupang. Jalur alternatif lain adalah dari luar Kabupaten Kupang ke Kecamatan Sulamu yang juga telah banyak digunakan sebagai jalur transportasi. Beberapa jalur transportasi darat dan laut tersebut adalah sebagai berikut: a. Bandara Eltari Kupang – Kecamatan Kupang Tengah – Oelamasi – Kecamatan Sulamu. b. Terminal Kupang – Kecamatan Kupang Tengah – Oelamasi – Kecamatan Sulamu. c. Pelabuhan Tenau – Terminal Kupang – Kecamatan Kupang Tengah – Oelamasi – Kecamatan Sulamu. 48 d. Kota Kupang – Dermaga Oeba – Dermaga Sulamu – Kecamatan Sulamu, sebagai satu-satunya jalur laut dengan lama perjalanan 20-25 menit tanda panah. Gambar 5 Peta aksesibilitas menuju tapak Bappeda Kupang 2010 Masing-masing jalur dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum yang banyak tersedia, baik angkutan perkotaan AK di Kabupaten Kupang maupun angkutan perdesaan AD ketika memasuki pertigaan Oelamasi menuju lokasi tapak dari arah timur, yang berasal dari luar Kabupaten Kupang menuju tapak, juga terdapat kondisi jalan yang relatif baik berupa jalan aspal hotmix. Kota Kupang ke Kecamatan Sulamu ditempuh jarak 30 km dan angkutan yang digunakan jalur ini adalah angkutan umum minibus berwarna kuning dan pick- up beratap dengan ijin trayek yang melayani perjalanan dari Desa Bipolo sampai Desa Pariti. Angkutan ini memfasilitasi perjalanan transportasi warga desa yang ingin membeli kebutuhan atau menjual hasil pertanian ke Pasar Oesao yang berjarak 13 km dari Desa Bipolo. Untuk menuju Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, sampai Desa Pantulan terdapat akses jalan yang buruk, belum terdapat angkutan umum. Apabila warga keempat desa tersebut memiliki keperluan ke pasar atau ke kota, cara alternatif adalah dengan menggunakan motor atau menyewa kendaraan bersama-sama. Namun, selain angkutan umum desa, di wilayah Oelamasi sampai Kecamatan Sulamu juga terdapat ojek sebagai sarana transportasi. Pelayanan ojek ini berperan cukup penting karena keterbatasan jumlah angkutan umum perdesaan yang ada Gambar 6. 49 Gambar 6 Angkutan umum di Kecamatan Sulamu Ditinjau dari status kewenangan jalan, untuk mencapai tapak terbagi tiga jenis jalan, yaitu jalan nasional, provinsi, dan kabupaten. Jalur jalan dari Kupang menuju Oelamasi adalah jalur jalan arteri primer atau jalan dengan kewenangan nasional, jalur jalan dari Oelamasi menuju Desa Pantai Beringin adalah jalan dengan kewenangan provinsi, sedangkan jalan desa dari Pantai Beringin ke Sulamu adalah jalan kewenangan kabupaten. Dilihat dari kondisinya, jaringan jalan yang menghubungkan Kupang dengan Desa Pariti adalah jalan dengan kondisi baik, sedangkan jaringan jalan yang menghubungkan Desa Pantai Beringin sampai Desa Pantulan adalah jaringan jalan dengan kondisi kurang baik, dan rusak. Kondisi jalan lokal desa pada tapak dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Kondisi jalan di Kecamatan Sulamu

4.1.3 Iklim

Berdasarkan data yang tercatat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Naibonat pada periode tahun 2007 – 2012, Kecamatan Sulamu memiliki curah hujan rata-rata tahunan 1770 mmtahun dengan rata-rata curah hujan bulanan 147.5 mmbulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari 504 mm dan terendah pada bulan Juli dan Agustus 0 mm. Jumlah hari hujan sebesar 87 haritahun. Suhu udara rata-rata bulanan sebesar 26,85 C dengan kelembaban rata-rata 76,80 . Lama penyinaran matahari rata-rata adalah 7,88 jamhari dengan kecepatan angin rata-rata 1,60 kmjam yang menurut Skala Beaufort adalah angin sepoi lemah. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, Angkutan umum Pick-up beratap Angkutan umum Colt kuning Kondisi jalan baik di Oelamasi, Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti Kondisi jalan rusak di Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan. 50 Kecamatan Sulamu tergolong tipe iklim E, yakni daerah agak kering dengan bulan basah 200 mmtahun berlangsung selama 5 bulan Desember-April dan bulan kering 100 mmtahun berlangsung selama 7 bulan Mei – November. Iklim selama lima tahun ini tidak banyak mengalami perubahan, hanya dari unsur suhu rata-rata dan kecepatan angin rata-rata yang mengalami peningkatan pada tahun 2007 dan 2008. Hal ini dapat disebabkan oleh aspek pemanasan global. Data iklim rata- rata kawasan tahun 2007 – 2012 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Data iklim rata-rata kawasan tahun 2007 - 2012 Bulan Suhu rata-rata o C Kelembaban nisbi Lama penyinaran jamhari Kecepatan angin kmjam Curah hujan mm Hari hujan hari Januari 26,60 87,20 4,70 1,11 504,00 23,00 Pebruari 26,60 89,10 5,10 1,11 271,00 13,00 Maret 26,30 87,90 6,10 0,88 177,00 12,00 April 26,70 82,30 7,30 0,56 225,00 11,00 Mei 27,10 74,70 8,90 1,41 42,00 3,00 Juni 26,40 71,50 8,70 2,42 34,00 2,00 Juli 25,70 68,40 9,20 2,70 0,00 0,00 Agustus 26,30 63,20 9,60 3,33 0,00 0,00 September 26,50 70,70 9,70 1,76 15,00 2,00 Oktober 28,5 67,70 9,20 1,91 98,00 3,00 Nopember 28,6 76,00 8,90 1,11 171,00 7,00 Desember 27,00 82,90 7,10 0,85 233,00 11,00 Jumlah 1770,00 87,00 Rata-rata 26,85 76,8 7,88 1,60 147,50 7,25

4.1.4 Jenis Tanah

Jenis tanah yang terdapat pada kawasan dilihat berdasarkan peta sistem lahan Sistem Lahan RePPProT didalam Kusnadi 2012. Jenis tanah Regosol memiliki 60 komposisi pasir dengan tekstur kasar merupakan tanah yang baru mengalami perkembangan Aluvium marin muda. Jenis tanah tersebut terletak pada daerah pantai, yaitu di pesisir pantai Teluk Kupang dan sebagian besar Kelurahan Sulamu, Pitay, dan Pantulan secara potensial tanah ini kurang baik untuk pengembangan pertanian terutama tanaman musiman. Demikian pula halnya dengan budi daya perikanan tambak. Sifatnya yang porus dan lepas sehingga sulit memegang air. Namun jenis tanah tersebut prospektif untuk pengembangan tanaman kerastahunan karena banyak dijumpai jenis tanaman yang mampu beradaptasi dengannya seperti kelapa dan lontar. Jenis tanah Gleisol berkembang dari bahan endapan yang dibawa aktivitas air sungai kemudian diendapkan pada rawa yang dekat Teluk Kupang. Tanah ini memiliki ciri hidromorfik berupa bercak berwarna coklat kemerahan. Gleisol dijumpai di sekitar pesisir Desa Bipolo yang dipengaruhi pasang surut kawasan. 51 Lahan ini berupa rawa yang sebagian telah dimanfaatkan untuk pengembangan tambak garam. Jenis tanah grumusol terletak di Desa Bipolo dan Oeteta, merupakan tanah mineral dengan kandungan liat tinggi, yang pada musim hujan akan lengket karena mengembang dan pada musim panas akan mengerut. Persebaran jenis tanah ini terdapat di daerah iklim subarid yang memiliki curah hujan kurang dari 2.500 mmth. Di kawasan studi, grumusol telah dikembangkan menjadi lahan pertanian sawah intensif dengan pola tanam padi-palawija-bera serta tanaman perkebunan seperti Jati. Peta jenis tanah Kecamatan Sulamu dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Peta jenis tanah Kecamatan Sulamu Kusnadi 2012 Kambisol adalah tanah yang ditemukan di dataran tinggi batu gamping dan daerah sekitar erosi. Tanah ini memiliki horizon A berwarna merah gelap hingga coklat gelap kemerahan dengan tekstur sedang memiliki konsistensi gembur hingga agak teguh pada keadaan lembab. Jenis tanah ini agak masam dan tersebar pada area dengan kemiringan lereng 15 . Secara genesis tanah ini merupakan tanah yang sedang berkembang karena tidak ditemukan gejala-gejala hidromorfik. Jenis tanah ini tidak sesuai sebagai daerah pertanian yang terdapat pada sebelah utara kawasan. Jenis tanah mediteran juga ditemukan di kawasan, merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk tua, yaitu batuan liat dan vulkanik di bawah rejim iklim basah dengan kandungan basa 50. Mediteran umumnya memiliki karakteristik kedalaman efektif dangkal-agak dalam, tekstur agak kasar, drainase penampang baik, KTK rendah sampai sedang, dan status kesuburan tanah rendah sampai sedang. Bentuk struktur batu di kawasan adalah batu kali yang bulat dan pipih. Pemanfaatan tanah ini umumnya berupa belukar dan lapangan rumputpadang penggembalaan. Jenis tanah rendzina atau tanah putih terdapat pada beberapa lokasi kawasan yang berkembang dari bahan kapur. Tanah ini dicirikan dengan adanya horizon yang mengandung bahan organik lebih dari 1, berwarna gelap dengan kejenuhan basa lebih dari 50. Rendzina dijumpai di wilayah perbukitan kawasan. Vegetasi pada 52 tanah ini umumnya berupa semak belukar dan tanah kosong yang ditemukan di sebelah utara kawasan Kecamatan Sulamu.

4.1.5 Topografi

Topografi kawasan adalah wilayah dataran rendah yang cukup luas, yang diapit oleh daerah pantai Teluk Kupang dan perbukitan. Daerah ini memiliki bentuk lahan yang beragam. Landform pada daerah studi disusun oleh lereng yang bervariasi mulai dari datar 0-8, landai 8-15, agak miring 15-25, curam 25-40, dan sangat curam 40 Gambar 9. Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti memiliki topografi yang datar 0- 3 sehingga sangat berpengaruh pada pemanfaatan lahan untuk pertanian lahan kering, lahan basah, dan perikanan tambak. Di wilayah utara desa memiliki topografi kawasan yang landai dan curam dengan penutupan lahan hutan dan semak belukar. Perpindahan kompleks kantor Pemerintahan Kabupaten Kupang ke Oelamasi, maka akan berpengaruh pada perubahan fungsi lahan kawasan sehingga dikhawatirkan tidak memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lahan seperti berubahnya lahan pertanian menjadi permukiman. Memasuki jalan utama desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan topografi lahan menjadi landai. Kemiringan sebesar 8-15 dapat dilihat pada kondisi jalan dan kawasan yang berbukit. Pertanian pada skala luas sebagai pemanfaatan kawasan lebih sulit ditemui pada desa-desa tersebut dan sebagian besar penduduk melakukan kegiatan pertanian lahan kering di pekarangannya. Gambar 9. Peta topografi Kecamatan Sulamu Bappeda Kupang 2010 53

4.1.6 Hidrologi, Drainase, dan Tingkat Bahaya Erosi

Jika dilihat dari kondisi hidrologi kawasan, sumber air yang ada pada tapak adalah dari sungai dan mata air tanah. Beberapa sungai yang merupakan air permukaan yang ada di Kecamatan Sulamu menurut sistem hidrologi di Kabupaten Kupang termasuk dalam daerah aliran sungai DAS Biboko yang mencakup Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, dan Kelurahan Sulamu diliputi oleh DAS Netatekok, sedangkan Desa Pantulan diliputi oleh DAS Pantulan Emilda et al. 2012. Tapak dilewati oleh beberapa sungai dari DAS Biboko. Dari survei penelitian yang dilakukan, sungai tersebut rata-rata memiliki lebar 8-15 m yang umumnya mempunyai arus yang tenang. Pola aliran sungai yang terdapat pada tapak adalah pola dendritik seperti percabangan yang tidak teratur dengan arah dan sudut yang beragam yang berkembang di batuan yang homogen. Sumber air tanah pada kawasan dipergunakan oleh penduduk desa untuk keperluan sehari-hari yaitu sebagai air minum dan kebutuhan penting lainnya. Sumber air tanah kawasan terbagi dua, yaitu sumber air tanah dangkal di Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan setengah bagian Desa Pariti, serta sumber air tanah menengah ke dalam yang terdapat di Kelurahan Sulamu, Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, dan Desa Pantulan karena memiliki relief wilayah berbukit-bukit Gambar 10. Gambar 10 Peta hidrologi Kecamatan Sulamu Bappeda Kupang 2010 Prasarana irigasi yang ada di kawasan adalah bendungan Gambar 11, embung, dan gorong-gorong yang dalam keadaan baik, sedangkan saluran primer, saluran sekunder, dan saluran tersier dalam keadaan baik dan rusak yang hanya ditemukan pada Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Pada sebagian tapak belum ada sistem drainase lingkungan yang permanen dan jika musim hujan akan terjadi genangan air. Penyebab dari genangan adalah adanya saluran irigasi yang meluap pada musim hujan. 54 Di Kecamatan Sulamu, erosi lebih sering disebabkan oleh faktor air, dengan kerusakan tanah di lokasi pada akhir perpindahan aliran permukaan yang mengangkat butir-butir tanah dengan terjadinya proses pengendapan Parker dan Bryan 1989. Tingkat bahaya erosi pada tapak sangat beragam, yaitu rawan banjir kategori buruk dan sedang serta rawan longsor kategori rawan dan sangat rawan. Data yang diperoleh dari Bappeda Kupang 2010 menunjukkan kawasan Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti terletak di daerah rawan banjir sedang, sedangkan Desa Pariti terletak di kawasan rawan longsor. Demikian pula, Desa Pantulan yang terletak di kawasan rawan banjir buruk. Kategori rawan erosi ini terjadi karena adanya pertemuan sungai dan laut daerah muara yang dipicu oleh penggunaan kayu bakau mangrove untuk kebutuhan masyarakat. Sungai Biboko Bendungan irigasi di Desa Bipolo Gambar 11 Hidrologi di Kecamatan Sulamu

4.1.7 Pola Penggunaan Lahan

Sebagai wilayah perdesaan memiliki pola penggunaan lahan kawasan hutan 31,5, hutan semak belukar 26, tanah terbuka 15,5, dan lahan pertanian 11,4 yang merupakan persentase terbesar di Kecamatan Sulamu Gambar 12 dan Tabel 11. Jenis pertanian yang dilakukan masyarakat terdiri dari pertanian padi sawah, pertanian lahan kering palawija, pekarangan, serta pertanian perikanan seperti tambak ikan, dan garam. Di Desa Bipolo, Oeteta dan Pariti, agroekosistem sawah padi memiliki persentase luas lahan terbesar dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Desa-desa di Kecamatan Sulamu adalah desa-desa yang secara perlahan telah terpengaruh oleh kehidupan kota. Hal ini dapat dilihat dari lanskap pertanian alami yang masih dikelola secara tradisional berpadu dengan permukiman penduduk yang memiliki bangunan semi permanen dan permanen, tetapi pekarangan yang luas dengan penanaman tanaman pangan dan sayuran. Permukiman penduduk yang ada pada kawasan terletak di sepanjang jalan utama desa, sedangkan lahan pertanian sawah atau kebun berada di belakang area permukiman penduduk secara mengelompok Gambar 13 dan 14. Namun, pada beberapa kawasan desa ditemukan lokasi pertanian yang berada tepat di pinggir jalan utama desa. 55 Gambar 12 Peta tata guna lahan Kecamatan Sulamu Bappeda Kupang 2010 Tabel 11. Prosentase tata guna lahan di Kecamatan Sulamu Land use Desa Kawasan Hutan Hutan Bakau Sungai Tambak Hutan Semak Per- Mukiman Perta- nian Tanah Terbuka Jumlah Sulamu 25 10 877 155 105 412 1 574 Pantulan 983 160 138 801 60,1 59 996 3 387 Pitay 378 28,8 150 1 035 56,8 80 715 2 444 P.Beringin 231 68 51 997 34 170 86 1 637 Pariti 1 258 196 143 10,5 907 215 498 28 3 256 Oeteta 1 376 232 152 20 877 313 715 376 4 061 Bipolo 3 003 305 727 600 469 126 388 922 6 540 Jumlah 7 229 1 005 1 371 630,5 5 963 959,9 2015 3 535 22 898 31,5 4,4 6 2,7 26 4,1 8,7 15,5 Gambar 13 Peta lokasi permukiman dan lahan pertanian kawasan 56 Area pertanian sawah Kebun sayuran Kebun pepaya Lahan penggembalaan Jalan lokal Area tambak Gambar 14 Pemanfaatan lahan di Kecamatan Sulamu 4.2. Aspek Biologis Berdasarkan pengamatan vegetasi, ditemukan beberapa jenis vegetasi dominan pada agroekosistem dan area hutan semak desa. Desa Bipolo, Desa Oeteta, Desa Pariti, Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Desa Sulamu, dan Desa Pantulan, hampir memiliki kesamaan vegetasi yang dominan Tabel 12. Beberapa jenis pohon buah-buahan juga ditemukan di kebun pekarangan warga Desa Bipolo, Oeteta, Pariti, dan Pantai Beringin Tabel 13. Di Desa Pitay, Desa Sulamu, dan Desa Pantulan, tanaman yang dominan adalah tanaman pangan, sedangkan tanaman buah-buahan jarang ditemukan pada lahan pekarangan warga. Hal ini berkaitan dengan kondisi ketersediaan air pada kawasan. Jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan, di antaranya, adalah tanaman pangan seperti padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Jenis tanaman hortikultura buah, antara lain berupa jambu mete, pepaya, pisang beranga, 57 mangga, kelapa, lontar, dan semangka. Jenis tanaman sayuran, antara lain, sawi, tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan bayam. Tabel 12 Jenis tanaman dominan pada kawasan di Kecamatan Sulamu Nama Lokal Nama Botani Kelompok Fungsi Gamal Gliricidia sepium Pohon kayu Makanan ternak, pagar lahan Kapuk Ceiba pentandra Pohon kayu Bahan bangunan, bahan bakar Gewang Corypha utan Palem Bahan bangunan, makanan, pakan ternak Lontar Borassus flabellifer Palem Bahan bangunan, makanan, pakan ternak Lamtoro Leucaena leucocephala Pohon kayu Pakan ternak Nyamplung Calophyllum Inophyllum Pohon kayu Konservasi pantai Jati Tectona grandis Pohon kayu Bahan bangunan, tanaman konservasi hutan Beringin Ficus benjamina Pohon kayu Tanaman konservasi KomBidara Ziziphus mauritiana Pohon kayu Tanaman konservasi Angsana Pterocarpus indicus Pohon kayu Konservasi lahan Flamboyan Delonix regia Pohon kayu Konservasi lahan Bunga kupu Bauhinia purpurea Pohon kayu Konservasi lahan Kusambi Schleichera Oleasa Pohon kayu Konservasi Turigala Sesbania grandiflora Pohon kayu Pakan ternak Bambu Bambusa vulgaris Pohon kayu Bahan bangunan Tabel 13 Jenis pohon buah di pekarangan penduduk Nama Lokal Nama Botani Kelompok Fungsi Kelapa Cocos nucifera Pohon Penghasil buah Nangka Artocarpus heterophyllus Pohon Penghasil buah Jambu mete Anacardium occidentale Pohon Penghasil buah Mangga Mangifera indica Pohon Penghasil buah Pepaya Carica papaya Pohon Penghasil buah Pisang Musa paradisiaca Pohon Penghasil buah Satwa yang diamati pada penelitian ini dibatasi pada satwa yang dibudidayakan, yaitu jenis ternak sapi, kambing, babi, ayam kampung, dan ikan. Sapi, kambing, babi, dan ayam yang diusahakan pada skala kecil biasanya ditempatkan di pekarangan rumah penduduk. Sebagian besar penduduk dalam kawasan melakukan kegiatan pemeliharaan ternak sapi dan kambing dengan cara penggembalaan pada suatu lahan ternak yang dipisahkan dengan lahan pertanian pada suatu masa tanam. Ternak babi dan ayam pada skala kecil dipelihara di dalam pekarangan warga. Selain satwa yang dibudidayakan, pada musim tertentu di kawasan ini sering terlihat burung kuntul putih Egretta intermedia, cangak australia Egretta 58 novaehollandiae dan bluwok Mycteria cinerea yang memiliki habitat di pantai, hutan bakau, dan tambak, yang sering menjadi perhatian penduduk karena menjadi hama bagi ikan tambak warga Desa Bipolo. Perikanan pada tapak umumnya diusahakan pada skala kecil di Desa Oeteta dan Desa Pariti yang menghasilkan produk perikanan yang dijual, sedangkan desa- desa lainnya di Kecamatan Sulamu tidak melakukan kegiatan budi daya perikanan. Di Desa Bipolo terdapat suatu lokasi usaha tani ikan bandeng, nila, dan mas yang diperbolehkan sebagai tempat pemancingan seluas kurang lebih 50 ha Gambar 15. Lokasi pemancingan ikan Lokasi penggembalaan ternak Gambar 15 Perikanan dan peternakan di Kecamatan Sulamu

4.3 Aspek Sosial Budaya

Jumlah penduduk Kecamatan Sulamu pada tahun 2011 adalah 14.874 jiwa dengan total penduduk laki-laki 7.386 jiwa dan perempuan 7.488 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur yang menggambarkan usia kerja dapat dilihat pada Tabel 14. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah kelompok umur tertinggi pada usia 15-49 tahun usia produktif, yaitu sebanyak 7.110 47,8 dan usia 50 tahun tidak produktif sebanyak 2.460 jiwa Tabel 14. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Sulamu 5.100 jiwa, sedangkan yang paling sedikit terdapat di Desa Pantai Beringin 576 jiwa Tabel 15. Tabel 14 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur Umur Jumlah Umur 0-14 tahun Usia belum produktif 5 304 35,7 Usia produktf 15-49 tahun 7 110 47,8 Usia tidak produktif 50 tahun 2 460 16,5 Jumlah 14 874 100 Sumber : Profil desa 2011 Pada umumnya, penduduk kawasan memiliki mata pencaharian sebagai petani selain itu sebagai peternak dan nelayan karena lokasi kawasan adalah daerah pesisir sekitar Teluk Kupang. Aktivitas masyarakat dilakukan di daratan dengan melakukan budi daya pertanian lahan kering padi gogo dan palawija dan lahan basah padi sawah pada musim hujan, yaitu di Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Di area Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan, selain sebagai 59 nelayan dengan pekerjaan sampingan sebagai petani, masyarakat juga memiliki mata pencaharian sebagai buruh bangunan di Kota Kupang. Tabel 15 Jumlah penduduk tiap desa di Kecamatan Sulamu Desa Jumlah Jiwa Kepala Keluarga Kepala Keluarga Tani L P Total Kepadatan km Sulamu 1 379 1 115 2 566 2 534 5 100 161,4 Pantulan 228 206 507 908 995 42,5 Pitay 216 169 473 449 922 34,3 P. Beringin 145 135 282 294 576 16,8 Pariti 759 759 1 501 1 624 3 125 52,7 Oeteta 554 624 1 248 1 230 2 478 58,5 Bipolo 417 374 809 869 1 678 40,5 Jumlah 3 698 3 382 7 386 7 488 14 874 Sumber : Profil desa 2011 Menurut data tingkat pendidikan masyarakat Tabel 16, tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Sulamu mayoritas berpendidikan tingkat sekolah dasar SD dengan jumlah 7.128 orang 66,5. Kelurahan Sulamu memiliki masyarakat dengan jumlah terbesar yang memiliki pendidikan SD, yaitu sebanyak 2.144 orang. Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti memiliki masyarakat dengan kesadaran untuk sekolah yang lebih tinggi, yaitu hingga tingkat perguruan tinggi, masing- masing 13, 10, dan 21 orang. Tabel 16 Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Sulamu Desa Tingkat Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah Sulamu 2 144 877 39 9 3 069 Pantulan 355 45 34 1 435 Pitay 322 97 54 2 475 Pantai Beringin 220 123 98 3 444 Pariti 1 877 566 401 13 2 857 Oeteta 1 233 565 344 10 2 152 Bipolo 977 140 155 21 1 293 Jumlah 7 128 2 413 1125 59 10 725 66,5 22,5 10,5 0,5 100 Sumber : Profil desa 2011 Penduduk desa-desa di Kecamatan Sulamu didominasi oleh Suku Timor sebagai suku asli daerah, serta Suku Rote dan Sabu sebagai suku pendatang sejak awal terbentuknya desa. Ketiga suku ini merupakan pemeluk mayoritas agama Kristen Protestan dan Katolik. Namun, di Kelurahan Sulamu, mayoritas penduduknya adalah Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi dengan pemeluk mayoritas agama Islam. 60 Data dalam profil desa di Kecamatan Sulamu Tabel 17, di daerah studi menunjukkan jumlah yang tinggi untuk kelompok masyarakat dengan mata pencaharian sebagai petani. Dua desa dengan jumlah warga yang bermatapencaharian sebagai petani terbanyak adalah Desa Oeteta 1.068 dan Desa Pariti 1.008, sekitar 50 dan 60. Desa Bipolo memiliki persentase tertinggi yaitu 977 orang atau 94 penduduk desa bermatapencaharian sebagai petani. Kelurahan Sulamu memiliki jumlah warga dengan mata pencaharian terbesar yaitu sebagai nelayan 659 orang atau 13. Tabel 17 Jenis pekerjaan masyarakat di Kecamatan Sulamu Desa Jenis Pekerjaan Petani PNS Pedagang Nelayan Buruh K. swasta Jumlah Sulamu 615 143 55 577 178 32 1 600 Pantulan 403 143 18 45 22 2 633 Pitay 281 11 21 48 35 2 398 P.Beringin 132 9 8 20 18 2 189 Pariti 1 008 46 42 117 69 9 1 291 Oeteta 1 068 41 36 55 60 11 1 271 Bipolo 748 20 29 18 33 3 851 Jumlah 4 255 413 209 880 415 61 6 233 Persentase 68,2 6,6 3,5 14,1 6,7 0,9 1 Sumber: Profil desa 2011

4.4 Analisis Karakter Lanskap Pertanian Terpadu