34
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah aspek biofisik kawasan, data sosial-ekonomi- budaya masyarakat, dan peta rupa bumi Indonesia dengan skala 1: 25.000 dari Badan
Informasi Geospasial BIG 2007. Alat yang digunakan selama penelitian adalah komputer, kompas, kamera dijital, software ArcGIS 9.3, dan Photoshop Tabel 1.
Tabel 1 Bahan dan alat penelitian Bahan dan alat
Fungsi Bahan
Peta rupa bumi Indonesia skala 1: 50.000, Program google earth pro berlangganan.
Penetapan lokasi Alat
1. Kamera dijital, kompas, dan global
positioning system 2.
Komputer dan software Microsoft office, ArcGIS 9.3, Photoshop CS3, SPSS 16
Survei Analisis data, pelaporan,
pengolahan data spasial, dan peta
3.3 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, memiliki satu kelurahan dan enam desa, yaitu Kelurahan Sulamu, Desa Pantulan, Desa Pitay, Desa Pantai Beringin,
Desa Pariti, Desa Oeteta, dan Desa Bipolo. Kawasan ini dipilih sebagai daerah kajian karena dinilai memiliki karakter pertanian terpadu secara horizontal berdasarkan
fokus komoditi, yaitu yang berbasis pada tanaman, ikan, ternak, dan agroforestri Mugnisjah 2007.
Wilayah kecamatan ini memiliki beberapa land use pertanian yang telah berjalan sehingga fokus analisis yang akan dilakukan pada aspek karakteristik
lanskap pertanian terpadu, aspek kualitas lingkungan, aspek potensi daya tarik wisata, aspek potensi pendukung wisata, dan aspek kesiapan masyarakat jika
daerahnya menjadi tempat wisata pertanian. Kelima aspek tersebut akan diintegrasi untuk menghasilkan zona kesesuaian kawasan untuk wisata pertanian terpadu.
Penetapan desa yang masuk dalam kategori sesuai sebagai kawasan wisata pertanian terpadu akan diteruskan untuk menyusun strategi pengelolan lanskap wisata
pertanian bagi kawasan.
3.4 Tahapan Penelitian
Penelitian meliputi tahapan kegiatan persiapan, inventarisasi data, analisis data, serta penyusunan strategi pengelolaan lanskap. Tahapan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, yaitu penilaian scoring, kuantifikasi pembobotan, dan penentuan peringkat pada
tiap kriteria dan kategori yang dinilai seperti karakteristik lanskap pertanian terpadu, kualitas lingkungan, potensi daya tarik wisata, potensi pendukung wisata, dan
kesiapan masyarakat. Penilaian kuantitatif tersebut juga dilakukan secara spasial untuk penentuan zona kesesuaian untuk penyusunan strategi pengelolaan. Analisis
daya dukung kawasan dilakukan secara deskriptif dengan survei lapang untuk
35
melihat kemampuan kawasan mendukung kegiatan wisata. Analisis karakteristik, persepsi, dan preferensi pengunjung dilakukan dengan pemberian kuisioner untuk
mengetahui kebutuhan pengunjung wisata.
3.4.1 Tahap Persiapan
Pada tahap ini, kegiatan dipusatkan pada penelusuran pustaka, deliniasi peta, dan penentuan lokasi penelitian pada satu kelurahan dan enam desa di Kecamatan
Sulamu. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian dan strategi pengelolaan yang telah
dilakukan sebelumnya oleh pemerintah desa setempat. Deliniasi lokasi penelitian dilakukan berdasarkan batas administrasi kawasan dan peta rupa bumi Indonesia.
Gambar 4 Tahapan Penelitian
Lanskap Pertanian Kecamatan Sulamu
T ahap
Invent a
ri sas
i
Aspek Biofisik
Lanskap
Pertanian
Aspek Sosial Budaya
Masyarakat
Aspek Wisata
Analisis Karakter
Lanskap Pertanian
Keaslia
Analisis Kualitas
Lingk.
Analisis Pendukung
Wisata Analisis
Daya Tarik
Wisata
Zona Pertanian
Terpadu Zona
Kualitas Lingk.
Zona Daya
Tarik Wisata
Zona Pndukung
Wisata Analisis
Kesiapan Masy.
Zona Kesiapan
Masy.
T ahap
A nali
si s
T ahap
Sint esi
s Analisis SWOT
Strategi Pengelolaan Lanskap Wisata Pertanian
Wilayah Luar Sulamu
Analisis Daya
Dukung Lingkungn
n Analisis
Karakter dan Preferensi
Pengunjung
Zona Kesesuaian Wisata Pertanian Terpadu
36
3.4.2 Tahap Inventarisasi Data
Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data kondisi kawasan pada saat ini. Data yang dikumpulkan sebagaimana yang dirinci pada Tabel 2 adalah
sebagai berikut. a.
Aspek biofisik lanskap meliputi jenis tanah, vegetasi, iklim, topografi dan kemiringan lahan, hidrologidrainase, kualitas air, dan tata guna lahan wilayah.
b. Aspek sosial budaya meliputi demografi penduduk jumlah, kepadatan, tingkat
pendidikan, perekonomian, pola pikir dan organisasi masyarakat, status kepemilikan lahan, aktivitas penduduk, dan pola permukiman.
c. Aspek wisata meliputi daya tarik dan pendukung wisata seperti aksesibilitas,
fasilitas, kualitas view, kebijakan pemerintah, produksi pertanian dan pola tanam, serta karakter dan preferensi pengunjung.
Data ini dikumpulkan secara langsung di lapang dengan wawancara, pengisian kuisioner, dan observasi lapang. Wawancara dilakukan terhadap 1 pihak-pihak yang terkait
dengan kawasan seperti pemilik dan pengelola kawasan, pemerintah desa dan kecamatan, dan penduduk lokal, 2 pihak dari luar kawasan seperti pengunjung, dan 3 pihak yang
terkait dengan penentu kebijakan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka buku acuan, laporan-laporan, dan referensi pustaka yang mendukung penelitian.
3.4.3 Tahap Analisis
Analisis dilakukan untuk mengetahui potensi sumber daya biofisik lanskap pertanian, dan sosial budaya masyarakat, serta permasalahan yang dihadapi dalam
kawasan. Jenis analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis karakter lanskap pertanian terpadu, analisis kualitas lingkungan, analisis daya tarik dan
pendukung wisata, dan analisis kesiapan masyarakat. Analisis daya dukung kawasan juga
dilakukan untuk
mempertimbangkan kemampuan
kawasan dalam
mengakomodasi kegiatan wisata.
37
Tabel 2 Jenis dan data penelitian
Jenis Data Bentuk Data
Sumber Data Kegunaan analisis
Aspek fisik lanskap
Lokasi letak dan luas dan kondisi geografis
Deskriptif dan spasial
Bappeda Posisi wilayah
Jenis Tanah Deskriptif dan
tabular Bappeda
Kualitas lingkungan Vegetasi
Tabular Survei
Kualitas lingkungan Iklim
a. Curah Hujan, b. Suhu
c. Kelembaban d. Kecepatan angin
Deskriptif dan spasial
BMKG Kupang Kualitas lingkungan
dan pendukung wisata
Topografi dan Kemiringan Lahan
Deskriptif BMG Kupang
Kualitas lingkungan Hidrologi Drainase
Spasial Survei
Kualitas lingkungan Tata Guna Lahan
Deskriptif dan spasial
Bappeda, kecamatan, dan
survei Karakter lanskap
pertanian terpadu Kualitas air
Tabular Dinas Lingkungan
Hidup Kualitas lingkungan
Aspek sosial budaya
Demografi : Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan
Mata Pencaharian Deskriptif dan
tabular Kecamatan
Kesiapan masyarakat
Pola pikir masyarakat Deskriptif
Survei dan wawancara
Kesiapan masyarakat Organisasi masyarakat
Deskriptif Survei dan
wawancara Kesiapan masyarakat
Status kepemilikan lahan Deskriptif Survei
Kesiapan masyarakat Aktifitas penduduk dan
Pola permukiman Deskriptif
Survei dan wawancara
Daya tarik wisata; karakter lanskap
pertanian terpadu Sensori Lingkungan
Deskriptif Survei
Kesiapan masyarakat
Aspek wisata Aksesibilitas
Tabular Survei dan
kecamatan Pendukung wisata
Fasilitas Pendukung Deskriptif
Survei dan spasial Pendukung wisata
Pengelolaan dan pelayanan wisata
Deskriptif Survei
Pendukung wisata KebijakanPeraturan
Pemerintah Deskriptif
Deparbud dan Bappeda
Pendukung wisata Kualitas view
Deskriptif Survei
Daya tarik wisata Produksi Pertanian,
Komoditas, dan Pola Tanam
Deskriptif Survei dan
wawancara Daya tarik wisata
Kesenian dan kerajinan Deskriptif
Survei dan wawancara
Daya tarik wisata Karakter dan Preferensi
Pengunjung Deskriptif
Survei dan kuisioner Pendukung wisata
38
3.4.3.1 Analisis Karakter Lanskap Pertanian Terpadu
Kawasan ini memiliki karakter lanskap pertanian terpadu yang berdasarkan pada tanaman, ikan, ternak, dan agroforestri. Hal ini membutuhkan
analisis secara khusus mengenai kondisi karakter lanskap pertanian terpadu kawasan.
Analisis ini dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan pembobotanscoring pada saat survei
kawasan serta wawancara dengan cara purposive sampling terhadap pemerintah desa, petani pemilik lahan, anggota kelompok tani, dan distributor pertanian yang
berjumlah sepuluh orang pada masing-masing desa. Analisis ini dirumuskan dengan merujuk pada konsep pertanian terpadu menurut Mugnisjah 2007 Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria karakteristik lanskap pertanian terpadu
Sumber: Dirumuskan dari Mugnisjah 2007 Perhitungan nilai karakter pertanian terpadu adalah sebagai berikut:
Pklp
= [ Fh
7 �=1
+ Fhd
7 �=1
+ Fv
7 �=1
] dengan
Pklp = nilai karakter pertanian terpadu;
Fh = faktor pertanian terpadu secara horizontal;
Fhd = faktor pertanian terpadu secara horizontal berbasis wilayah desa;
Fv = faktor pertanian terpadu secara vertikal;
7 �=1
= jumlah skor dari ketujuh desa.
Kriteria Sub kriteria
Skor
Pertanian terpadu secara horizontal dengan tumpang
sari a.
Jenis usaha tani tanaman- ternak- ikan b.
Jenis usaha tani tanaman- ternak c.
Jenis usaha tani tanaman - ikan d.
Jenis usaha tani ternak- ikan 4
3 2
1 Pertanian terpadu secara
horizontal yang berbasis wilayah desa
a. Memiliki 3 komoditas tanaman-ternak-
ikan + tumpang sari b.
Memiliki 2 komoditas, dengan tumpang sari
c. Memiliki 3 komoditas tanaman-ternak-
ikan, tanpa tumpang sari d.
Memiliki 2 komoditas, tanpa tumpang sari 4
3 2
1 Pertanian terpadu secara
vertikal hulu –tengah-hilir
benih –produksi pertanian
benihnon benih di atas lahan
–pengolahan hasil. a.
Memiliki 3 komoditas, pada level 2 dan 3, dengan pengolahan limbah
b. Memiliki 2 komoditas, pada level 2 dan 3,
dengan pengolahan limbah c.
Memiliki 1 komoditas, pada level 2 dan 3, dengan pengolahan limbah
d. Memiliki 1 komoditas, pada level 2 dan 3,
tanpa pengolahan limbah 4
3 2
1 Bobot 30
39
3.4.3.2 Analisis Kualitas Lingkungan
Penggunaan analisis kualitas lingkungan ekologis dilakukan untuk melihat kesesuaian lingkungan ditinjau dari aspek ekologis dan fisik lanskap pertanian
menurut USDA 1968 dan Gunn 1994. Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan pembobotanskoring dan dilaksanakan pada saat survei kawasan, wawancara
dengan pemilik dan pengelola lahan, serta penelaahan data sekunder. Untuk analisis ini digunakan beberapa kriteria penilaian yang terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kriteria kualitas lingkungan kawasan
Sumber: Dimodifikasi dari USDA 1968 Perhitungan nilai kualitas lingkungan kawasan menggunakan rumus berikut:
Pkl = [
Feko
7 �=1
+ Fpl
7 �=1
+ Fban
7 �=1
+ Ftop
7 �=1
+ Fka
7 �=1
] Dengan
Pkl = nilai kualitas lingkungan kawasan;
Feko = faktor keaslian ekosistem; Fpl
= faktor penutupan lahan; Fban = faktor potensi banjir;
Ftop = faktor topografi; dan
Fka = faktor kualitas visual air.
Kriteria Sub kriteria
Skor Keaslian ekosistem
pendukung kawasan a.
Keaslian ekosistem utuh b.
Keaslian ekosistem rusak 15 c.
Keaslian ekosistem rusak 15-50 d.
Keaslian ekosistem rusak 50 4
3 2
1
Penutupan lahan a.
Sesuai peruntukan lahan, tertata baik, dominan hijau
b. Sesuai peruntukan, kurang tertata, dominan hijau
c. Tidak sesuai peruntukan, kurang tertata, lahan
hijau = lahan terbangun d.
Tidak sesuai peruntukan, tidak tertata, dominan lahan terbangun
4 3
2 1
Potensi banjir a.
Tidak Pernah b.
Banjir 1x dalam 5 th c.
Banjir 1x dalam 5 tahun sampai 1x per tahun d.
Banjir 1x per tahun 4
3 2
1
Topografi a.
0 nilai ≤ 8 b.
8 nilai ≤ 15 c.
15 nilai ≤ 25 d.
Nilai 25 4
3 2
1
Kualitas air a.
Peruntukan air dapat sebagai air baku, air minum dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama
b. Peruntukkan air dapat sebagai sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, menyiram
tanaman dan
lainnya yang
mensyaratkan mutu air sama c.
Peruntukan air dapat sebagai kebutuhan budidaya ikan air tawar, peternakan, menyiram tanaman
dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama d.
Peruntukan air dapat sebagai pengairan tanaman dan lainnya yang mensyaratkan mutu air sama
PP No.822001 tentang aturan pengendalian pencemaran air
4 3
2 1
Bobot 20
40
3.4.3.3 Analisis Potensi Daya Tarik Wisata
Analisis potensi daya tarik wisata dilakukan menggunakan analisis deskriptif dan pembobotan atau scoring. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui potensi desa
sebagai daerah daya tarik agrowisata, yang mengacu pada Soemarno 2008, dilakukan dengan metode penelaahan data sekunder serta pengamatan dan survei
pada kawasan, dengan penilaian Tabel 5.
Tabel 5 Kriteria potensi daya tarik wisata
Sumber: Soemarno 2008 Perhitungan nilai daya tarik wisata adalah sebagai berikut:
Pdt= [
Fla
7 �=1
+ Fv
7 �=1
+ Fko
7 �=1
+ Fakt
7 �=1
+ Fpp
7 �=1
+ Fkes
7 �=1
] dengan
Pdt = nilai daya tarik wisata;
Fla = faktor keragaman lanskap alami;
Fv = faktor kualitas view;
Fko = faktor komoditas pertanian dan pola tanam;
Fakt = faktor aktivitas pertanian;
Fpp = faktor permukiman penduduk;
Fkes = faktor kesenian dan kerajinan budaya;
Kriteria Sub kriteria
Skor
Keragaman lanskap alami a.
Ada ≥ 2 elemen mayor dan keragaman elemen minor
b. Ada 1 elemen mayor dan keragaman elemen minor
c. Ada keragaman namun hanya elemen minor
d. Hanya ada satu jenis homogen dan datar
4 3
2 1
Kualitas View a.
Keaslian dan keunikan obyek sangat menarik, laju degradasi nilai visual sangat lambat.
b. Keaslian dan keunikan obyek agak menarik, laju
degradasi nilai visual agak lambat c.
Keaslian dan keunikan obyek kurang menarik, laju degradasi nilai visual agak cepat.
d. Keaslian dan keunikan obyek tidak menarik, laju
degradasi nilai visual cepat. 4
3 2
1 Komoditas pertanian dan
pola tanam a.
Jenis Komoditas Tanaman- Ternak- Ikan Plus Tumpang Sari
b. Jenis Komoditas Tanaman- Ternak- Ikan Tanpa
Tumpang Sari c.
Jenis Komoditas d.
1 Jenis komoditas 4
3 2
1 Aktivitas pertanian
a. Ada, kontinyu hari atau mggu
b. Ada, kontinyu musim tanam
c. Ada, tidak kontinyu
d. Tidak ada aktivitas
4 3
2 1
Permukiman penduduk a.
Unik berpola, banyak pada kawasan b.
Unikberpola, sedikit pada kawasan c.
Tidak unik berpola, sedikit pada kawasan d.
Tidak ada 4
3 2
1
Kesenian dan kerajinan budaya
a. Ada 3, dikembangkan dengan baik
b. Ada 3, kurang dikembangkan
c. Ada 3, kurang dikembangkan
d. Tidak ada
4 3
2 1
Bobot 20
41
3.4.3.4 Analisis Potensi Pendukung Wisata
Analisis potensi pendukung wisata dilakukan menggunakan analisis deskriptif dan pembobotan atau scoring. Analisis ini bertujuan mengetahui potensi
desa sebagai daerah pendukung wisata, yang dilakukan dengan penelaahan data sekunder dan survei kawasan pengamatan dan wawancara terhadap pemilik
kawasan, pihak swasta, serta pemerintah daerah kecamatan dan kabupaten. Untuk penilaian potensi pendukung wisata digunakan beberapa kriteria, sebagaimana yang
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kriteria potensi pendukung wisata
Sumber: Diadaptasi dari Soemarno 2008; Kaswanto 2007
Kriteria Sub kriteria
Skor
Aksesibilitas a.
Jalan aspal, mudah dicapai, kondisi baik, ada kendaraan umum
b. Jalan berbatu, kondisi baik, kendaraan umum terbatas
c. Jalan berbatu, kondisi sedang, tanpa kendaraan umum
d. Tidak ada akses, tidak ada kendaraan umum
4 3
2 1
Potensi pasar a.
Berdekatan dengan terminalpelabuhan, kota permukiman, dan objek wisata lain; ada citra positif
b. Berdekatan dengan terminalpelabuhan dan kota
permukiman, dekat dengan objek wisata lain, namun kurang dikenal
c. Berdekatan jarak dengan terminalpelabuhan saja,
atau berdekatan dengan permukiman kota, jauh dari objek wisata lain
d. Jauh dari pintu gerbang transportasi dan kota
4 3
2 1
Pengelolaan dan Pelayanan wisata
a. Ada pengelolaan dan perawatan yang layak,
kemudahan informasi, keramahan b.
Ada pengelolaan dan perawatan yang layak, kemudahan informasi
c. Ada pengelolaan dan perawatan yang layak, kesulitan
informasi d.
Tidak ada pengelolaan 4
3 2
1 Iklim Suhu, kelembaban
udara, dan angin a.
Suhu udara 20-22 C, kelembaban 85-90, banyak
vegetasi wind breaker dan filter b.
Suhu udara 22-24 C, kelembaban 80-85, cukup
banyak vegetasi wind breaker dan filter c.
Suhu udara 24-26 C, kelembaban 75-80, ada
vegetasi wind breaker dan filter d.
Suhu udara 26-28 C, kelembaban 70-75, tidak ada
vegetasi wind breaker dan filter 4
3 2
1 Fasilitas Wisata
a. Tersedia, lengkap, kualitas baik dan terawat
b. Ada, cukup terawat
c. Ada, kurang terawat
d. Tidak tersedia
4 3
2 1
Ketersediaan air bersih a.
Jarak 500 m b.
Jarak 500 m– 1 km c.
Jarak 1-2 km d.
Jarak 2 km 4
3 2
1
Jarak menuju objek wisata lain
a. 5 km
b. 5-10 km
c. 10-20 km
d. 20 km
4 3
2 1
Bobot 10
42
Perhitungan nilai pendukung wisata ditetapkan dengan rumus berikut: Pdw
= [ Faks
7 �=1
+ Fpp
7 �=1
+ Fpw
7 �=1
+ Fik
7 �=1
+ Ffw
7 �=1
+ Fair
7 �=1
+ Fjol
7 �=1
] dengan
Pdw = nilai pendukung wisata; Faks = faktor aksesibilitas;
Fpp
= faktor potensi pasar; Fpw
= faktor pengelolaan dan pelayanan wisata; Fik
= faktor iklim; Ffw
= faktor fasilitas wisata; Fair
= faktor ketersediaan air; Fjol
= faktor jarak menuju objek wisata lain;
7 �=1
= jumlah skor dari ketujuh desa.
3.4.3.5 Analisis Kesiapan masyarakat
Analisis kesiapan masyarakat dilakukan melalui analisis deskriptif dan pembobotan atau scoring. Analisis ini bermanfaat untuk mengetahui kesiapan dan
kemampuan masyarakat mendukung wisata pertanian. Analisis ini dilakukan dengan metode survei, penelaahan data sekunder dari kecamatan tingkat pendidikan dan
pendapatan, dan wawancara langsung terhadap pemimpin kades dan warga masyarakat 10 orang sebagai purposive sampling pada setiap desa yang
diperkirakan menjadi wakil sampel sebuah desa. Penilaian potensi kesiapan masyarakat menggunakan beberapa kriteria yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Kriteria potensi kesiapan masyarakat
Sumber: Diadaptasi dari Yusiana 2007
Kriteria Sub kriteria
Skor
Pengembangan kawasan sebagai daerah agrowisata
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
d. Tidak tahu
4 3
2 1
Keyakinan bahwa agrowisata akan
meningkatkan kesejahteraan
a. Yakin
b. Kurang yakin
c. Tidak yakin
d. Tidak tahu
4 3
2 1
Partisipasi masyarakat dalam agrowisata
a. Bersedia
b. Kurang bersedia
c. Tidak bersedia
d. Tidak tahu
4 3
2 1
Organisasi yang dimiliki masyarakat
a. Ada, berjalan, kerja sama dengan pemerintah
b. Ada, berjalan internal
c. Ada, tidak berjalan
d. Tidak ada organisasi
4 3
2 1
Tingkat pendidikan masyarakat
a. 50 lulusan SMA
b. 50 lulusan SMA
c. 50 maks lulusan SMP
d. 50 lulusan SDtidak sekolah
4 3
2 1
Bobot 20
43
Perhitungan nilai kesiapan masyarakat adalah sebagai berikut: Pkm
= [ Fpm
7 �=1
+ Fkm
7 �=1
+ Fp
7 �=1
+ Fom
7 �=1
+ Ftp
7 �=1
] dengan
Pkm = nilai kesiapan masyarakat;
Fpm = faktor persetujuan masyarakat;
Fkm = faktor keyakinan masyarakat;
Fp = faktor partisipasi masyarakat;
Fom = faktor organisasi masyarakat;
Ftp = faktor tingkat pendidikan;
7 �=1
= jumlah skor ketujuh desa.
3.4.3.6 Analisis Penentuan Zona Kesesuaian Wisata Pertanian Terpadu
Penentuan zonasi ini dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis software ArcGIS 9.3 untuk memetakan kelima analisis yaitu analisis
karakter lanskap pertanian terpadu, analisis kualitas lingkungan, analisis daya tarik wisata, analisis pendukung wisata, dan analisis kesiapan masyarakat.
Pada masing-masing analisis tersebut, ditentukan selang nilai skor dengan menggunakan rumus;
Selang nilai skor =
Skor total tertinggi − Skor total terendah
3 kelas
selang nilai skor ini akan menghasilkan tiga kelas skor yaitu a.
lahan sangat sesuai dan tidak mempunyai faktor pembatas yang nyata terhadap penggunaan agrowisata secara berkelanjutan T,
b. lahan cukup sesuai namun mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini
akan berpengaruh terhadap penggunaan agrowisata secara berkelanjutan S, dan c.
lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat danatau sulit diatasi R.
Selanjutnya kelima analisis tersebut yaitu analisis karakter lanskap pertanian terpadu dengan bobot 30, analisis kualitas lingkungan dengan bobot 20, analisis
daya tarik wisata dengan bobot 20, analisis pendukung wisata dengan bobot 10, dan analisis kesiapan masyarakat dengan bobot 20, akan dioverlay dengan
menggunakan metode weighted overlay dengan ArcGIS 9.3 untuk mendapatkan nilai potensi kawasan atau yang disebut dengan zona integratif kesesuaian wisata
pertanian yang dibagi dalam tiga kelas potensi yaitu;
a. Zona berpotensi tinggi T, sangat sesuai untuk pengembangan wisata pertanian,
seluruh aspek bernilai sangat potensial SP atau paling tidak minimal terdapat dua aspek yang termasuk dalam klasifikasi potensial P, tidak terdapat aspek
yang termasuk kategori tidak potensial TP.
b. Zona berpotensi sedang S, cukup potensial untuk pengembangan wisata
pertanian, minimal terdapat satu aspek yang termasuk dalam kategori tidak potensial TP.
c. Zona berpotensi rendah R, tidak potensial untuk pengembangan wisata
pertanian, seluruh aspek termasuk dalam klasifikasi tidak potensial TP.
44
3.4.3.7 Analisis Daya Dukung Kawasan
Menurut Hendee et al. 1978, daya dukung suatu kawasan wisata alam adalah tingkat penggunaan sumber daya alam suatu kawasan untuk kegiatan rekreasi
dengan tetap mempertahankan kualitas sumber daya alam yang digunakan. Gangguan dari pengunjung akan mempengaruhi kondisi dan kualitas sumber daya
alam dan lingkungan pada kawasan wisata, umumnya akan terjadi pada; 1 vegetasi yang berupa kerusakan atau kehilangan, 2 tanah, contohnya kepadatan akibat
injakan pengunjung atau erosi akibat pembukaan tanah dan lain-lain, 3 kualitas air, contohnya dengan adanya limbah atau pencemaran air, dan 4 hidupan liar, misalnya
menurunnya jumlah jenis spesies lokal kawasan. Klasifikasi kepekaan vegetasi yang digunakan adalah menurut Ruhiyat 2008 yang terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8 Klasifikasi kepekaan vegetasi
Tidak peka Agak peka
Cukup peka Peka
Sangat peka Vegetasi tidak
langka Perakaran
dalam tunggang
Vegetasi tidak langka
Perakaran tidak dalam serabut
Vegetasi agak langka
Perakaran tidak dalam serabut
Vegetasi langka Perakaran tidak
kokoh Vegetasi sangat
langka Perakaran tidak
kokoh
Batang kokoh, berduri, dan
beracun Batang mudah
bertunas, tidak beracun dan
tidak berduri Batang semu
Batang sukulen Batang sangat
menarik
Toleransi tanaman tinggi
terhadap gangguan
Toleran tanaman tinggi
terhadap gangguan
Toleran tanaman kurang tinggi
terhadap gangguan Toleransi tanaman
rendah terhadap gangguan
Toleransi sangat rendah
Pertumbuhan vegetatif cepat
Pertumbuhan vegetatif dan
reproduktif cepat
Pertumbuhan vegetatif lambat
Ada faktor pembatas
pertumbuhan Pertumbuhan
vegetatif lambat Masa reproduktif
sangat sulit Pertumbuhan
vegetatif dan reproduktif
sangat sulit
Beraroma tidak disukai
Dapat berupa semak, perdu,
dan pohon Beraroma tidak
disukai Dapat berupa
semak, perdu, dan pohon
Beraroma tidak disukai
Dapat berupa semak, perdu, dan
pohon Beraroma
disukai
1
Dapat berupa semak, perdu, dan
pohon Beraroma
disukai
Sumber: Ruhiyat 2008 Daya dukung tinggi
Daya dukung sedang Daya dukung rendah
1 Vegetasi tertentu tidak ditentukan oleh aroma, misalnya bunga bangkai
yang aromanya tidak disukai, tapi belum tentu tidak peka Konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki
kapasitas maksimum untuk mendukung suatu perubahan. Analisis daya dukung lingkungan dilakukan melalui analisis deskriptif dan spasial pada saat observasi di
lapang. Melakukan analisis daya dukung kawasan terutama dilihat dari kondisi fisik
45
kawasan, yang dimaksudkan untuk menganalisis tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan.
Kondisi tanah yang erat kaitannya dengan daya dukung kawasan wisata adalah tingkat kepekaannya terhadap erosi yang selanjutnya akan mempercepat
terjadinya kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan kunjungan wisatawan. Kondisi sifat tanah yang diamati pada kawasan adalah lokasi di jalan besar dan jalan
setapak yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan pengunjung yang merujuk pada kesesuaian lahan untuk jalan setapak dari USDA 1968 dan Lynch 1971 serta
persyaratan jalan lokal dari Chiara dan Koppelman 1978.
Ketersediaan air bersih air tawar merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan kawasan agrowisata oleh karena itu dilakukan estimasi daya
dukung berdasarkan ketersediaan air bersih yang merujuk pada WTO 1981. Kondisi kunjungan yang berlebihan over capacity dari pengguna wisata
dapat menyebabkan gangguan terhadap kehidupan liar, terutama pada keberadaan habitat dan perilaku satwa liar dalam kawasan. Untuk itu, pembatasan parameter
satwa liar umumnya dilakukan terhadap jenis satwa langka atau yang dilindungi. Klasifikasi kelangkaan satwa dibagi dalam lima kategori, yaitu 1 satwa yang telah
mendekati kepunahan, 2 satwa yang populasinya jarang atau terbatas dan mempunyai resiko untuk punah, 3 satwa yang mengalami penurunan pesat di alam,
4 satwa yang belum dapat ditetapkan tingkat kelangkaannya karena kekurangan data undeterminate, dan 5 satwa tidak langka. Kategori 1, 2, dan 3 memiliki
peringkat daya dukung rendah, kategori 4 memiliki peringkat daya dukung sedang, dan kategori 5 memiliki peringkat daya dukung tinggi. Penentuan kelangkaan satwa
dikonsultasikan dengan staf dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT BBKSDA 2012 dan juga merujuk pada IUCN 2013.
3.4.3.8
Analisis Karakteristik, Persepsi, dan Preferensi Pengunjung
Analisis karakteristik, persepsi, dan preferensi pengunjung dilakukan terhadap pengunjung yang ditemui di ketujuh desa pada kawasan Kecamatan Sulamu
yang dimintai kesediaannya mengisi kuisioner tentang karakteristik, persepsi, dan preferensi pengunjung. Jumlah pengunjung yang dapat dimintai kesediaannya
mengisi kuisioner adalah 43 orang.
Pengunjung adalah orang yang membeli dan menikmati wisata serta terlibat langsung dalam proses pembentukan wisata Suyitno 2001. Agar pengunjung dapat
menikmati suatu wisata sesuai dengan keinginannya, dalam pengelolaan agrowisata perlu diketahui bagaimana karakteristik pengunjung kawasan dari aspek umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan, pengeluaran untuk wisata, kunjungan ke lokasi, dan asal pengunjung.
Analisis persepsi tentang tujuan pengunjung ke kawasan dan pemahaman tentang agrowisata, serta preferensi pengunjung terhadap usaha pertanian sebagai
bentuk kegiatan dan fasilitas agrowisata, dilakukan dengan uji pearson chi-square. Menurut Santoso 2002, uji pearson chi-square dilakukan untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara dua variabel tertentu atau tidak. Uji ini dilakukan dengan software SPSS 16
dengan α = 0,05. Dari uji ini diketahui nilai uji pearson chi-square. Jika nilai uji pearson chi-square 0,05, antar kategori yang diuji tidak
saling terkait bebas, yang dapat diartikan bahwa besarnya frekuensi nilai profil pada suatu kategori tidak dipengaruhi profil pada kategori lainnya. Jika nilai pearson
46
chi-square 0,05, antarkategori yang diuji saling terkait, yang dapat diartikan bahwa besarnya frekuensi nilai profil pada suatu kategori dipengaruhi oleh profil pada
kategori lainnya. Rumus analisis yang digunakan adalah sebagai berikut Johnson and Wichern 1998:
�
2
= O
ij
– E
ij 2
E
ij
dengan X
2
= khi kuadrat, O
ij
= jumlah pilihan jawaban pada kolom i sampai baris j, dan E
ij
= nilai harapan pada kolom i dan baris j. Dari uji ini didapatkan gambaran persepsi pengunjung tentang tujuan ke lokasi
dan pemahaman agrowisata dan preferensi pengunjung terhadap usaha pertanian, bentuk kegiatan, dan fasilitas agrowisata yang akan dikelola.
3.4.4 Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan
Hasil analisis penentuan zona kesesuaian wisata yang berupa desa-desa dengan nilai kesesuaian wisata tinggi dan daya dukung kawasan dijadikan unsur
penyusun dalam analisis SWOT untuk mendapatkan alternatif-alternatif strategi pengelolaan lanskap wisata pertanian terpadu yang sesuai dengan karakteristik
lanskap kawasan. Analisis SWOT menurut Kinnear dan Taylor 1991 dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan dan peluang, tetapi secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman pada kawasan.
Data primer untuk analisis SWOT diambil dengan metode survei dan wawancara untuk menetapkan faktor internal dan eksternal, penentuan bobot, serta
rating Kinnear dan Taylor 1991. Analisis lingkungan internal dan eksternal dimaksudkan untuk memahami kekuatan, kelemahan, potensi, dan ancaman pada
kawasan. Aspek yang dianalisis pada lingkungan internal dan eksternal ini, antara lain, adalah aspek sumber daya pertanian terpadu, kualitas lingkungan, daya tarik
wisata, dan kesiapan masyarakat. Teknik pembobotan yang digunakan untuk menentukan bobot dari faktor internal dan eksternal adalah teknik pairwise
comparison. Teknik ini membandingkan setiap variabel pada kolom horizontal dengan variabel pada kolom vertikal. Penentuan bobot pada setiap variabel yang
dibandingkan menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4 yang menunjukkan
1. bobot 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator
faktor vertikal, 2.
bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal,
3. bobot 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor
vertikal, dan 4.
bobot 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting jika dibandingkan dengan indikator faktor vertikal.
Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari penggunaan kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang SO, penggunaan
kekuatan untuk menghadapi ancaman ST, pengurangan kelemahan kawasan dengan memanfaatkan peluang WO, dan pengurangan kelemahan untuk menghadapi
ancaman WT. Lalu, bobot dari alternatif strategi dijumlahkan untuk menghasilkan rating. Strategi dengan jumlah bobot atau ranking tertinggi merupakan alternatif
strategi pengelolaan yang diprioritaskan untuk dilakukan pada kawasan.
47
IV
HASIL
4.1 Aspek Fisik 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Sulamu terbagi menjadi Desa Bipolo,
Desa Oeteta, Desa Pariti, Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan. Secara geografis Kecamatan Sulamu terletak pada
123°43‟12 BT - 123°50‟12 BT dan 9°59‟27 LS - 10°05‟14 LS, yang memiliki batas sebelah utara dan
timur dengan Kecamatan Fatuleu, sebelah selatan dengan Kecamatan Kupang Timur, dan sebelah barat sebagai daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut
Sabu. Luas tapak dari hasil digitasi peta citra adalah 22.898 ha atau 228.9 km
2
. Nama desa dan luasan desa di Kecamatan Sulamu dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Nama dan luas desa di Kecamatan Sulamu
Nama Desa Luas Desa
Ha Kelurahan Sulamu
1 574 7
Desa Pantulan 3 387
15 Desa Pitay
2 444 11
Desa Pantai Beringin 1 637
7 Desa Pariti
3 256 14
Desa Oeteta 4 061
18 Desa Bipolo
6 540 29
Total 22 898
100
4.1.2 Aksesibilitas
Lokasi tapak dapat dicapai dari ibukota Kabupaten Kupang menuju pertigaan Oelamasi melewati jalan arteri primer jalan kewenangan nasional, yaitu Jalan Timor
Raya sejauh 25 km, lalu mengarah ke kiri mengikuti jalan kolektor primer jalan kewenangan provinsi yang terletak sepanjang Desa Bipolo, Oeteta, dan Pariti, serta
jalan lokal primer menuju Desa Pantai Beringin, Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Pantulan. Peta aksesibilitas menuju tapak dapat dilihat pada Gambar 5.
Tapak dapat ditempuh dari beberapa jalur dari Kota dan Kabupaten Kupang. Jalur alternatif lain adalah dari luar Kabupaten Kupang ke Kecamatan Sulamu yang
juga telah banyak digunakan sebagai jalur transportasi. Beberapa jalur transportasi darat dan laut tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bandara Eltari Kupang – Kecamatan Kupang Tengah – Oelamasi –
Kecamatan Sulamu. b.
Terminal Kupang – Kecamatan Kupang Tengah – Oelamasi – Kecamatan Sulamu.
c. Pelabuhan Tenau – Terminal Kupang – Kecamatan Kupang Tengah –
Oelamasi – Kecamatan Sulamu.
48
d. Kota Kupang – Dermaga Oeba – Dermaga Sulamu – Kecamatan Sulamu,
sebagai satu-satunya jalur laut dengan lama perjalanan 20-25 menit tanda panah.
Gambar 5 Peta aksesibilitas menuju tapak Bappeda Kupang 2010 Masing-masing jalur dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum
yang banyak tersedia, baik angkutan perkotaan AK di Kabupaten Kupang maupun angkutan perdesaan AD ketika memasuki pertigaan Oelamasi menuju lokasi tapak
dari arah timur, yang berasal dari luar Kabupaten Kupang menuju tapak, juga terdapat kondisi jalan yang relatif baik berupa jalan aspal hotmix.
Kota Kupang ke Kecamatan Sulamu ditempuh jarak 30 km dan angkutan yang digunakan jalur ini adalah angkutan umum minibus berwarna kuning dan pick-
up beratap dengan ijin trayek yang melayani perjalanan dari Desa Bipolo sampai Desa Pariti. Angkutan ini memfasilitasi perjalanan transportasi warga desa yang
ingin membeli kebutuhan atau menjual hasil pertanian ke Pasar Oesao yang berjarak 13 km dari Desa Bipolo. Untuk menuju Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan
Sulamu, sampai Desa Pantulan terdapat akses jalan yang buruk, belum terdapat angkutan umum. Apabila warga keempat desa tersebut memiliki keperluan ke pasar
atau ke kota, cara alternatif adalah dengan menggunakan motor atau menyewa kendaraan bersama-sama. Namun, selain angkutan umum desa, di wilayah Oelamasi
sampai Kecamatan Sulamu juga terdapat ojek sebagai sarana transportasi. Pelayanan ojek ini berperan cukup penting karena keterbatasan jumlah angkutan umum
perdesaan yang ada Gambar 6.
49
Gambar 6 Angkutan umum di Kecamatan Sulamu Ditinjau dari status kewenangan jalan, untuk mencapai tapak terbagi tiga jenis
jalan, yaitu jalan nasional, provinsi, dan kabupaten. Jalur jalan dari Kupang menuju Oelamasi adalah jalur jalan arteri primer atau jalan dengan kewenangan nasional,
jalur jalan dari Oelamasi menuju Desa Pantai Beringin adalah jalan dengan kewenangan provinsi, sedangkan jalan desa dari Pantai Beringin ke Sulamu adalah
jalan kewenangan kabupaten. Dilihat dari kondisinya, jaringan jalan yang menghubungkan Kupang dengan Desa Pariti adalah jalan dengan kondisi baik,
sedangkan jaringan jalan yang menghubungkan Desa Pantai Beringin sampai Desa Pantulan adalah jaringan jalan dengan kondisi kurang baik, dan rusak. Kondisi jalan
lokal desa pada tapak dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Kondisi jalan di Kecamatan Sulamu
4.1.3 Iklim
Berdasarkan data yang tercatat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Naibonat pada periode tahun 2007
– 2012, Kecamatan Sulamu memiliki curah hujan rata-rata tahunan 1770 mmtahun dengan rata-rata
curah hujan bulanan 147.5 mmbulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari 504 mm dan terendah pada bulan Juli dan Agustus 0 mm. Jumlah hari
hujan sebesar 87 haritahun. Suhu udara rata-rata bulanan sebesar 26,85
C dengan kelembaban rata-rata 76,80 . Lama penyinaran matahari rata-rata adalah 7,88
jamhari dengan kecepatan angin rata-rata 1,60 kmjam yang menurut Skala Beaufort adalah angin sepoi lemah. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson,
Angkutan umum Pick-up beratap Angkutan umum Colt kuning
Kondisi jalan baik di Oelamasi, Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti
Kondisi jalan rusak di Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu,
dan Desa Pantulan.
50
Kecamatan Sulamu tergolong tipe iklim E, yakni daerah agak kering dengan bulan basah 200 mmtahun berlangsung selama 5 bulan Desember-April dan bulan
kering 100 mmtahun berlangsung selama 7 bulan Mei – November. Iklim
selama lima tahun ini tidak banyak mengalami perubahan, hanya dari unsur suhu rata-rata dan kecepatan angin rata-rata yang mengalami peningkatan pada tahun 2007
dan 2008. Hal ini dapat disebabkan oleh aspek pemanasan global. Data iklim rata- rata kawasan tahun 2007
– 2012 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Data iklim rata-rata kawasan tahun 2007 - 2012
Bulan Suhu
rata-rata
o
C Kelembaban
nisbi Lama
penyinaran jamhari
Kecepatan angin
kmjam Curah
hujan mm
Hari hujan hari
Januari 26,60
87,20 4,70
1,11 504,00
23,00 Pebruari
26,60 89,10
5,10 1,11
271,00 13,00
Maret 26,30
87,90 6,10
0,88 177,00
12,00 April
26,70 82,30
7,30 0,56
225,00 11,00
Mei 27,10
74,70 8,90
1,41 42,00
3,00 Juni
26,40 71,50
8,70 2,42
34,00 2,00
Juli 25,70
68,40 9,20
2,70 0,00
0,00 Agustus
26,30 63,20
9,60 3,33
0,00 0,00
September 26,50
70,70 9,70
1,76 15,00
2,00 Oktober
28,5 67,70
9,20 1,91
98,00 3,00
Nopember 28,6
76,00 8,90
1,11 171,00
7,00 Desember
27,00 82,90
7,10 0,85
233,00 11,00
Jumlah 1770,00
87,00 Rata-rata
26,85 76,8
7,88 1,60
147,50 7,25
4.1.4 Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat pada kawasan dilihat berdasarkan peta sistem lahan Sistem Lahan RePPProT didalam Kusnadi 2012. Jenis tanah Regosol
memiliki 60 komposisi pasir dengan tekstur kasar merupakan tanah yang baru mengalami perkembangan Aluvium marin muda. Jenis tanah tersebut terletak pada
daerah pantai, yaitu di pesisir pantai Teluk Kupang dan sebagian besar Kelurahan Sulamu, Pitay, dan Pantulan secara potensial tanah ini kurang baik untuk
pengembangan pertanian terutama tanaman musiman. Demikian pula halnya dengan budi daya perikanan tambak. Sifatnya yang porus dan lepas sehingga sulit memegang
air. Namun jenis tanah tersebut prospektif untuk pengembangan tanaman kerastahunan karena banyak dijumpai jenis tanaman yang mampu beradaptasi
dengannya seperti kelapa dan lontar.
Jenis tanah Gleisol berkembang dari bahan endapan yang dibawa aktivitas air sungai kemudian diendapkan pada rawa yang dekat Teluk Kupang. Tanah ini
memiliki ciri hidromorfik berupa bercak berwarna coklat kemerahan. Gleisol dijumpai di sekitar pesisir Desa Bipolo yang dipengaruhi pasang surut kawasan.
51
Lahan ini berupa rawa yang sebagian telah dimanfaatkan untuk pengembangan tambak garam.
Jenis tanah grumusol terletak di Desa Bipolo dan Oeteta, merupakan tanah mineral dengan kandungan liat tinggi, yang pada musim hujan akan lengket karena
mengembang dan pada musim panas akan mengerut. Persebaran jenis tanah ini terdapat di daerah iklim subarid yang memiliki curah hujan kurang dari 2.500 mmth.
Di kawasan studi, grumusol telah dikembangkan menjadi lahan pertanian sawah intensif dengan pola tanam padi-palawija-bera serta tanaman perkebunan seperti Jati.
Peta jenis tanah Kecamatan Sulamu dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta jenis tanah Kecamatan Sulamu Kusnadi 2012 Kambisol adalah tanah yang ditemukan di dataran tinggi batu gamping dan
daerah sekitar erosi. Tanah ini memiliki horizon A berwarna merah gelap hingga coklat gelap kemerahan dengan tekstur sedang memiliki konsistensi gembur hingga
agak teguh pada keadaan lembab. Jenis tanah ini agak masam dan tersebar pada area dengan kemiringan lereng 15 . Secara genesis tanah ini merupakan tanah yang
sedang berkembang karena tidak ditemukan gejala-gejala hidromorfik. Jenis tanah ini tidak sesuai sebagai daerah pertanian yang terdapat pada sebelah utara kawasan.
Jenis tanah mediteran juga ditemukan di kawasan, merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk tua, yaitu batuan liat dan vulkanik di bawah rejim
iklim basah dengan kandungan basa 50. Mediteran umumnya memiliki karakteristik kedalaman efektif dangkal-agak dalam, tekstur agak kasar, drainase
penampang baik, KTK rendah sampai sedang, dan status kesuburan tanah rendah sampai sedang. Bentuk struktur batu di kawasan adalah batu kali yang bulat dan
pipih. Pemanfaatan tanah ini umumnya berupa belukar dan lapangan rumputpadang penggembalaan.
Jenis tanah rendzina atau tanah putih terdapat pada beberapa lokasi kawasan yang berkembang dari bahan kapur. Tanah ini dicirikan dengan adanya horizon yang
mengandung bahan organik lebih dari 1, berwarna gelap dengan kejenuhan basa lebih dari 50. Rendzina dijumpai di wilayah perbukitan kawasan. Vegetasi pada
52
tanah ini umumnya berupa semak belukar dan tanah kosong yang ditemukan di sebelah utara kawasan Kecamatan Sulamu.
4.1.5 Topografi
Topografi kawasan adalah wilayah dataran rendah yang cukup luas, yang diapit oleh daerah pantai Teluk Kupang dan perbukitan. Daerah ini memiliki
bentuk lahan yang beragam. Landform pada daerah studi disusun oleh lereng yang bervariasi mulai dari datar 0-8, landai 8-15, agak miring 15-25, curam
25-40, dan sangat curam 40 Gambar 9.
Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti memiliki topografi yang datar 0- 3 sehingga sangat berpengaruh pada pemanfaatan lahan untuk pertanian lahan
kering, lahan basah, dan perikanan tambak. Di wilayah utara desa memiliki topografi kawasan yang landai dan curam dengan penutupan lahan hutan dan semak belukar.
Perpindahan kompleks kantor Pemerintahan Kabupaten Kupang ke Oelamasi, maka akan berpengaruh pada perubahan fungsi lahan kawasan sehingga dikhawatirkan
tidak memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lahan seperti berubahnya lahan pertanian menjadi permukiman.
Memasuki jalan utama desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan topografi lahan menjadi landai. Kemiringan sebesar 8-15 dapat
dilihat pada kondisi jalan dan kawasan yang berbukit. Pertanian pada skala luas sebagai pemanfaatan kawasan lebih sulit ditemui pada desa-desa tersebut dan
sebagian besar penduduk melakukan kegiatan pertanian lahan kering di pekarangannya.
Gambar 9. Peta topografi Kecamatan Sulamu Bappeda Kupang 2010
53
4.1.6 Hidrologi, Drainase, dan Tingkat Bahaya Erosi
Jika dilihat dari kondisi hidrologi kawasan, sumber air yang ada pada tapak adalah dari sungai dan mata air tanah. Beberapa sungai yang merupakan air
permukaan yang ada di Kecamatan Sulamu menurut sistem hidrologi di Kabupaten Kupang termasuk dalam daerah aliran sungai DAS Biboko yang mencakup Desa
Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, dan Kelurahan Sulamu diliputi oleh DAS Netatekok, sedangkan Desa Pantulan diliputi
oleh DAS Pantulan Emilda et al. 2012.
Tapak dilewati oleh beberapa sungai dari DAS Biboko. Dari survei penelitian yang dilakukan, sungai tersebut rata-rata memiliki lebar 8-15 m yang umumnya
mempunyai arus yang tenang. Pola aliran sungai yang terdapat pada tapak adalah pola dendritik seperti percabangan yang tidak teratur dengan arah dan sudut yang
beragam yang berkembang di batuan yang homogen.
Sumber air tanah pada kawasan dipergunakan oleh penduduk desa untuk keperluan sehari-hari yaitu sebagai air minum dan kebutuhan penting lainnya.
Sumber air tanah kawasan terbagi dua, yaitu sumber air tanah dangkal di Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan setengah bagian Desa Pariti, serta sumber air tanah
menengah ke dalam yang terdapat di Kelurahan Sulamu, Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, dan Desa Pantulan karena memiliki relief wilayah berbukit-bukit Gambar 10.
Gambar 10 Peta hidrologi Kecamatan Sulamu Bappeda Kupang 2010 Prasarana irigasi yang ada di kawasan adalah bendungan Gambar 11,
embung, dan gorong-gorong yang dalam keadaan baik, sedangkan saluran primer, saluran sekunder, dan saluran tersier dalam keadaan baik dan rusak yang hanya
ditemukan pada Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Pada sebagian tapak belum ada sistem drainase lingkungan yang permanen dan jika musim hujan akan
terjadi genangan air. Penyebab dari genangan adalah adanya saluran irigasi yang meluap pada musim hujan.
54
Di Kecamatan Sulamu, erosi lebih sering disebabkan oleh faktor air, dengan kerusakan tanah di lokasi pada akhir perpindahan aliran permukaan yang
mengangkat butir-butir tanah dengan terjadinya proses pengendapan Parker dan Bryan 1989. Tingkat bahaya erosi pada tapak sangat beragam, yaitu rawan banjir
kategori buruk dan sedang serta rawan longsor kategori rawan dan sangat rawan. Data yang diperoleh dari Bappeda Kupang 2010 menunjukkan kawasan Desa
Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti terletak di daerah rawan banjir sedang, sedangkan Desa Pariti terletak di kawasan rawan longsor. Demikian pula, Desa
Pantulan yang terletak di kawasan rawan banjir buruk. Kategori rawan erosi ini terjadi karena adanya pertemuan sungai dan laut daerah muara yang dipicu oleh
penggunaan kayu bakau mangrove untuk kebutuhan masyarakat.
Sungai Biboko Bendungan irigasi di Desa Bipolo
Gambar 11 Hidrologi di Kecamatan Sulamu
4.1.7 Pola Penggunaan Lahan
Sebagai wilayah perdesaan memiliki pola penggunaan lahan kawasan hutan 31,5, hutan semak belukar 26, tanah terbuka 15,5, dan lahan pertanian
11,4 yang merupakan persentase terbesar di Kecamatan Sulamu Gambar 12 dan Tabel 11. Jenis pertanian yang dilakukan masyarakat terdiri dari pertanian padi
sawah, pertanian lahan kering palawija, pekarangan, serta pertanian perikanan seperti tambak ikan, dan garam. Di Desa Bipolo, Oeteta dan Pariti, agroekosistem
sawah padi memiliki persentase luas lahan terbesar dibandingkan dengan agroekosistem lainnya.
Desa-desa di Kecamatan Sulamu adalah desa-desa yang secara perlahan telah terpengaruh oleh kehidupan kota. Hal ini dapat dilihat dari lanskap pertanian alami
yang masih dikelola secara tradisional berpadu dengan permukiman penduduk yang memiliki bangunan semi permanen dan permanen, tetapi pekarangan yang luas
dengan penanaman tanaman pangan dan sayuran. Permukiman penduduk yang ada pada kawasan terletak di sepanjang jalan utama desa, sedangkan lahan pertanian
sawah atau kebun berada di belakang area permukiman penduduk secara mengelompok Gambar 13 dan 14. Namun, pada beberapa kawasan desa ditemukan
lokasi pertanian yang berada tepat di pinggir jalan utama desa.
55
Gambar 12 Peta tata guna lahan Kecamatan Sulamu Bappeda Kupang 2010 Tabel 11. Prosentase tata guna lahan di Kecamatan Sulamu Land use
Desa Kawasan
Hutan Hutan
Bakau Sungai
Tambak Hutan
Semak Per-
Mukiman Perta-
nian Tanah
Terbuka Jumlah
Sulamu 25 10
877 155
105 412
1 574 Pantulan
983 160 138
801 60,1
59 996
3 387 Pitay
378 28,8 150
1 035 56,8
80 715
2 444 P.Beringin 231
68 51 997
34 170
86 1 637
Pariti 1 258
196 143 10,5
907 215
498 28
3 256 Oeteta
1 376 232 152
20 877
313 715
376 4 061
Bipolo 3 003
305 727 600
469 126
388 922
6 540 Jumlah
7 229 1 005 1 371
630,5 5 963
959,9 2015
3 535 22 898
31,5 4,4
6 2,7
26 4,1
8,7 15,5
Gambar 13 Peta lokasi permukiman dan lahan pertanian kawasan
56
Area pertanian sawah Kebun sayuran
Kebun pepaya Lahan penggembalaan
Jalan lokal Area tambak
Gambar 14 Pemanfaatan lahan di Kecamatan Sulamu 4.2. Aspek Biologis
Berdasarkan pengamatan vegetasi, ditemukan beberapa jenis vegetasi dominan pada agroekosistem dan area hutan semak desa. Desa Bipolo, Desa Oeteta,
Desa Pariti, Desa Pantai Beringin, Desa Pitay, Desa Sulamu, dan Desa Pantulan, hampir memiliki kesamaan vegetasi yang dominan Tabel 12. Beberapa jenis pohon
buah-buahan juga ditemukan di kebun pekarangan warga Desa Bipolo, Oeteta, Pariti, dan Pantai Beringin Tabel 13. Di Desa Pitay, Desa Sulamu, dan Desa Pantulan,
tanaman yang dominan adalah tanaman pangan, sedangkan tanaman buah-buahan jarang ditemukan pada lahan pekarangan warga. Hal ini berkaitan dengan kondisi
ketersediaan air pada kawasan.
Jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan, di antaranya, adalah tanaman pangan seperti padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Jenis
tanaman hortikultura buah, antara lain berupa jambu mete, pepaya, pisang beranga,
57
mangga, kelapa, lontar, dan semangka. Jenis tanaman sayuran, antara lain, sawi, tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan bayam.
Tabel 12 Jenis tanaman dominan pada kawasan di Kecamatan Sulamu
Nama Lokal Nama Botani
Kelompok Fungsi
Gamal Gliricidia sepium
Pohon kayu Makanan ternak, pagar
lahan Kapuk
Ceiba pentandra Pohon kayu
Bahan bangunan, bahan bakar
Gewang Corypha utan
Palem Bahan bangunan,
makanan, pakan ternak
Lontar Borassus flabellifer
Palem Bahan bangunan,
makanan, pakan ternak
Lamtoro Leucaena leucocephala
Pohon kayu Pakan ternak
Nyamplung Calophyllum Inophyllum
Pohon kayu Konservasi pantai
Jati Tectona grandis
Pohon kayu Bahan bangunan,
tanaman konservasi hutan
Beringin Ficus benjamina
Pohon kayu Tanaman konservasi
KomBidara Ziziphus mauritiana
Pohon kayu Tanaman konservasi
Angsana Pterocarpus indicus
Pohon kayu Konservasi lahan
Flamboyan Delonix regia
Pohon kayu Konservasi lahan
Bunga kupu Bauhinia purpurea
Pohon kayu Konservasi lahan
Kusambi Schleichera Oleasa
Pohon kayu Konservasi
Turigala
Sesbania grandiflora
Pohon kayu Pakan ternak
Bambu
Bambusa vulgaris
Pohon kayu Bahan bangunan
Tabel 13 Jenis pohon buah di pekarangan penduduk Nama Lokal
Nama Botani Kelompok
Fungsi Kelapa
Cocos nucifera Pohon
Penghasil buah Nangka
Artocarpus heterophyllus
Pohon Penghasil buah
Jambu mete Anacardium
occidentale Pohon
Penghasil buah Mangga
Mangifera indica Pohon
Penghasil buah Pepaya
Carica papaya Pohon
Penghasil buah Pisang
Musa paradisiaca Pohon
Penghasil buah Satwa yang diamati pada penelitian ini dibatasi pada satwa yang
dibudidayakan, yaitu jenis ternak sapi, kambing, babi, ayam kampung, dan ikan. Sapi, kambing, babi, dan ayam yang diusahakan pada skala kecil biasanya
ditempatkan di pekarangan rumah penduduk. Sebagian besar penduduk dalam kawasan melakukan kegiatan pemeliharaan ternak sapi dan kambing dengan cara
penggembalaan pada suatu lahan ternak yang dipisahkan dengan lahan pertanian pada suatu masa tanam. Ternak babi dan ayam pada skala kecil dipelihara di dalam
pekarangan warga.
Selain satwa yang dibudidayakan, pada musim tertentu di kawasan ini sering terlihat burung kuntul putih Egretta intermedia, cangak australia Egretta
58
novaehollandiae dan bluwok Mycteria cinerea yang memiliki habitat di pantai, hutan bakau, dan tambak, yang sering menjadi perhatian penduduk karena menjadi
hama bagi ikan tambak warga Desa Bipolo.
Perikanan pada tapak umumnya diusahakan pada skala kecil di Desa Oeteta dan Desa Pariti yang menghasilkan produk perikanan yang dijual, sedangkan desa-
desa lainnya di Kecamatan Sulamu tidak melakukan kegiatan budi daya perikanan. Di Desa Bipolo terdapat suatu lokasi usaha tani ikan bandeng, nila, dan mas yang
diperbolehkan sebagai tempat pemancingan seluas kurang lebih 50 ha Gambar 15.
Lokasi pemancingan ikan Lokasi penggembalaan ternak
Gambar 15 Perikanan dan peternakan di Kecamatan Sulamu
4.3 Aspek Sosial Budaya
Jumlah penduduk Kecamatan Sulamu pada tahun 2011 adalah 14.874 jiwa dengan total penduduk laki-laki 7.386 jiwa dan perempuan 7.488 jiwa. Jumlah
penduduk berdasarkan kelompok umur yang menggambarkan usia kerja dapat dilihat pada Tabel 14. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah kelompok umur tertinggi
pada usia 15-49 tahun usia produktif, yaitu sebanyak 7.110 47,8 dan usia 50 tahun tidak produktif sebanyak 2.460 jiwa Tabel 14. Jumlah penduduk terbanyak
terdapat di Kelurahan Sulamu 5.100 jiwa, sedangkan yang paling sedikit terdapat di Desa Pantai Beringin 576 jiwa Tabel 15.
Tabel 14 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur
Umur Jumlah
Umur 0-14 tahun Usia belum produktif
5 304 35,7
Usia produktf 15-49 tahun
7 110 47,8
Usia tidak produktif 50 tahun
2 460 16,5
Jumlah 14 874
100 Sumber : Profil desa 2011
Pada umumnya, penduduk kawasan memiliki mata pencaharian sebagai petani selain itu sebagai peternak dan nelayan karena lokasi kawasan adalah daerah
pesisir sekitar Teluk Kupang. Aktivitas masyarakat dilakukan di daratan dengan melakukan budi daya pertanian lahan kering padi gogo dan palawija dan lahan
basah padi sawah pada musim hujan, yaitu di Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Di area Desa Pitay, Kelurahan Sulamu, dan Desa Pantulan, selain sebagai
59
nelayan dengan pekerjaan sampingan sebagai petani, masyarakat juga memiliki mata pencaharian sebagai buruh bangunan di Kota Kupang.
Tabel 15 Jumlah penduduk tiap desa di Kecamatan Sulamu
Desa Jumlah Jiwa
Kepala Keluarga
Kepala Keluarga Tani
L P
Total Kepadatan
km Sulamu
1 379 1 115
2 566 2 534
5 100 161,4
Pantulan 228
206 507
908 995
42,5 Pitay
216 169
473 449
922 34,3
P. Beringin 145
135 282
294 576
16,8 Pariti
759 759
1 501 1 624
3 125 52,7
Oeteta 554
624 1 248
1 230 2 478
58,5 Bipolo
417 374
809 869
1 678 40,5
Jumlah 3 698
3 382 7 386
7 488 14 874
Sumber : Profil desa 2011
Menurut data tingkat pendidikan masyarakat Tabel 16, tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Sulamu mayoritas berpendidikan tingkat sekolah dasar
SD dengan jumlah 7.128 orang 66,5. Kelurahan Sulamu memiliki masyarakat dengan jumlah terbesar yang memiliki pendidikan SD, yaitu sebanyak 2.144 orang.
Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti memiliki masyarakat dengan kesadaran untuk sekolah yang lebih tinggi, yaitu hingga tingkat perguruan tinggi, masing-
masing 13, 10, dan 21 orang.
Tabel 16 Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Sulamu
Desa Tingkat Pendidikan
SD SMP
SMA PT
Jumlah Sulamu
2 144 877
39 9
3 069 Pantulan
355 45
34 1
435 Pitay
322 97
54 2
475 Pantai Beringin
220 123
98 3
444 Pariti
1 877 566
401 13
2 857 Oeteta
1 233 565
344 10
2 152 Bipolo
977 140
155 21
1 293 Jumlah
7 128 2 413
1125 59
10 725 66,5
22,5 10,5
0,5 100
Sumber : Profil desa 2011
Penduduk desa-desa di Kecamatan Sulamu didominasi oleh Suku Timor sebagai suku asli daerah, serta Suku Rote dan Sabu sebagai suku pendatang sejak
awal terbentuknya desa. Ketiga suku ini merupakan pemeluk mayoritas agama Kristen Protestan dan Katolik. Namun, di Kelurahan Sulamu, mayoritas
penduduknya adalah Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi dengan pemeluk mayoritas agama Islam.
60
Data dalam profil desa di Kecamatan Sulamu Tabel 17, di daerah studi menunjukkan jumlah yang tinggi untuk kelompok masyarakat dengan mata
pencaharian sebagai
petani. Dua
desa dengan
jumlah warga
yang bermatapencaharian sebagai petani terbanyak adalah Desa Oeteta 1.068 dan Desa
Pariti 1.008, sekitar 50 dan 60. Desa Bipolo memiliki persentase tertinggi yaitu 977 orang atau 94 penduduk desa bermatapencaharian sebagai petani. Kelurahan
Sulamu memiliki jumlah warga dengan mata pencaharian terbesar yaitu sebagai nelayan 659 orang atau 13.
Tabel 17 Jenis pekerjaan masyarakat di Kecamatan Sulamu
Desa Jenis Pekerjaan
Petani PNS
Pedagang Nelayan
Buruh K. swasta
Jumlah Sulamu
615 143
55 577
178 32
1 600 Pantulan
403 143
18 45
22 2
633 Pitay
281 11
21 48
35 2
398 P.Beringin
132 9
8 20
18 2
189 Pariti
1 008 46
42 117
69 9
1 291 Oeteta
1 068 41
36 55
60 11
1 271 Bipolo
748 20
29 18
33 3
851 Jumlah
4 255 413
209 880
415 61
6 233 Persentase
68,2 6,6
3,5 14,1
6,7 0,9
1
Sumber: Profil desa 2011
4.4 Analisis Karakter Lanskap Pertanian Terpadu