Pola Penggunaan Lahan Karakteristik, Persepsi, dan Preferensi Pengunjung

102

5.1.4 Topografi

Keadaan topografi dan tingkat kemiringan lereng yang beragam, yaitu datar 0-8, landai 8-15, agak miring 15-25, curam 25-40, dan sangat curam 40, menyebabkan tidak semua lahan dapat digunakan untuk usaha pertanian dalam pengembangan agrowisata. Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti memiliki topografi yang datar 0- 8. Hal ini berpengaruh pada pemanfaatan lahan baik untuk pertanian lahan kering, lahan basah, dan perikanan tambak. Wilayah utara Kecamatan Sulamu memiliki topografi kawasan yang landai dengan penutupan lahan hutan dan semak belukar sehingga penduduk pada kawasan memiliki aktivitas yang rendah di bidang pertanian. Memasuki jalan utama desa Pantai Beringin, Pitay, Sulamu, dan Pantulan topografi lahan menjadi landai. Kemiringan yang cukup landai dapat dilihat pada kondisi jalan dan kawasan yang berbukit. Topografi kawasan ini memiliki daya tarik panorama alam yang indah yang akan disukai pengunjung. Dari aspek aktivitas pertanian, beberapa desa ini dapat mengembangkan usaha ternak pada kawasan karena keberadaan lahan penggembalaan yang luas, di samping pertanian tanaman perkebunan seperti jambu mete.

5.1.5 Hidrologi, Drainase, dan Tingkat Bahaya Erosi

Pada aspek hidrologi kawasan, sumber air berasal dari sungai dan mata air tanah. Beberapa sungai besar yang dimanfaatkan penduduk untuk sumber aliran irigasi yang mencakup Desa Bipolo, Desa Oeteta, dan Desa Pariti. Sumber air tanah dangkal pada kawasan Desa Bipolo, Oeteta, dan Pariti dapat dimanfaatkan oleh penduduk desa dengan pembuatan sumur bor untuk mendukung aktivitas pertanian masyarakat. Sistem drainase lingkungan yang baik perlu dibangun pada kawasan ini untuk menghindari terjadinya genangan air di musim hujan. Kondisi air tanah dalam yang terdapat di Kelurahan Sulamu, Desa Pantai Beringin, Pitay, dan Pantulan menyebabkan penduduk sulit memperoleh air, tetapi hal ini dapat dihindari dengan pembuatan embung air untuk menampung dan mengalirkan air menuju bak penampung air masyarakat dan sebagai cadangan persediaan air di musim kemarau. Tingkat bahaya erosi yang beragam pada tapak seperti rawan banjir dan rawan longsor pada daerah perbukitan karena kegiatan penebangan pohon hutan. Hal ini dapat dihindari dengan melakukan usaha pengurangan laju air permukaan tanah dengan cara penanaman sejajar kontur, pertanian berteras, penanaman penutup tanah, pelarangan izin penebangan hutan, dan pemahaman pada penduduk tentang pentingnya perlindungan tanah perbukitan bagian utara kawasan demi keberlanjutan kawasan Kecamatan Sulamu.

5.1.6 Pola Penggunaan Lahan

Jika dilihat dari tata guna lahan pada tapak, kawasan hutan 31,5, hutan semak belukar 26, tanah terbuka 15,5, dan lahan pertanian 11,4 menempati persentase terbesar di Kecamatan Sulamu. Lahan pertanian menempati posisi keempat terbesar dari kelompok ini. Khususnya, lahan pertanian seperti padi 103 sawah dan perikanan tambak lebih dominan dan memiliki kemungkinan dikembangkan menjadi usaha pertanian unggulan pada agrowisata kawasan karena letaknya yang berdekatan dan lebih mudah dicapai oleh pengunjung jika dibandingkan dengan kawasan hutan, hutan semak, dan tanah terbuka. Jika dilihat dari pola penggunaan lahan di Kecamatan Sulamu, ada desa-desa yang memiliki kesamaan karakteristik lanskap satu sama lain karena faktor pendukung yang dimiliki topografi lahan, jenis tanah, dan ketersediaan air tanah. Misalnya Desa Bipolo, Oeteta, dan Pariti memiliki kesamaan aktivitas pertanian lahan basah, peternakan penggembalaan, dan perikanan tambak ikan atau garam. Desa Pantai Beringin, Pitay, Sulamu, dan Pantulan memiliki kesamaan pada pertanian lahan kering padi gogo, palawija, perikanan tangkap, dan peternakan penggembalaan. Area pertanian lahan basah di beberapa lokasi terletak pada kelerengan yang relatif datar 0-8 yang memiliki kesesuaian lahan yang cukup ideal untuk daerah pertanian padi sawah Hardjowigeno dan Yogaswara 2001. Sebagian pertanian lahan kering padi gogo, palawija, sayuran menempati daerah dengan tingkat kemiringan lereng 8-15 dan sebagian tersebar di daerah yang relatif datar yang keduanya dapat dinikmati dari jalan utama desa. Hal lain yang menarik perhatian pengunjung adalah pemandangan lanskap alam sepanjang perjalanan wisata. Pembukaan lahan perikanan tambak ikan ataupun garam di Desa Bipolo, Desa Pariti, dan Desa Oeteta perlahan-lahan menekan keberadaan hutan bakau yang ada di pesisir pantai desa. Hal ini akan berdampak merugikan keberlanjutan ekosistem kawasan yang ada di sepanjang muara sungai, karena bakau selama ini mendukung keberlanjutan usaha tani masyarakat. Kegiatan penebangan kayu hutan juga sering dilakukan di bagian utara desa Pantai Beringin, Pitay, Sulamu, dan Pantulan. Beberapa kali banjir tahunan pada musim hujan yang terjadi karena bertemunya aliran air sungai dengan air pasang dari laut yang merugikan hasil perikanan masyarakat. Hal ini harus diantisipasi dengan pelarangan pembukaan lahan tambak dan penebangan hutan serta penanaman kembali pohon hutan dan bakau pada lokasi-lokasi yang mengalami penipisan vegetasi.

5.2 Aspek Biologis