Hasil dan Pembahasan Saran

4632

2.3. Landasan Pengaturan Gadai Syariah di Indonesia

Landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Dalam Alqur‟an Surah Al Baqarah Ayat 283, terjemahannya: Jika kamu dalam perjalanan dan bermu‟amalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang peneliti, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. Sedangkan dalam Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra: Dari Aisyah berkata: Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi HR Anas. Landasan hukum berikut pengaturan gadai di Indonesia adalah Ijma‟ ulama atas hukum mubah boleh perjanjian gadai. Antara lain bermula dari lahirnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, atas dasar itulah setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah Safitri, 2009:3. Adapun mengenai prinsip rahn gadai telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25DSN-MUIIII2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26DSN-MUIIII2002 tentang Rahn Emas.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Perjanjian Utang Piutang sebagai Perikatan Pokok di Pegadaian Syariah

Sebagai salah satu lembaga keuangan yang hadir untuk memberikan pinjaman dana kepada nasabah yang membutuhkan maka tentu saja lembaga pegadaian termasuk juga lembaga pegadaian syariah dalam menjalankan transaksi keuangan adalah tegak berdasarkan perjanjian utang piutang antara nasabah dengan lembaga pegadaian sebagai badan hukum. Beberapa hasil penelitian, telah menunjukkan bahwa lembaga pegadaian pada hakikatnya merupakan lembaga pemberi pinjaman uang dengan berlandaskan kepada hukum gadai Rahmawati, 2009:2-3. Begitu juga untuk lembaga pegadaian syariah, hadir sebagai salah satu lembaga pemberi pinjaman dana yang terutama dikhususkan bagi umat Islam yang berkeinginan melakukan hubungan transaksi dengan tetap berbasis kepada Syariah Islam Santoso, 2013:3. Uraian paragraf diatas sekaligus menjadi pijakan argumentasi peneliti untuk meletakkan perjanjian utang piutang sebagai kerangka perikatan pokok yang terdapat utamanya di pegadaian syariah. Untuk lebih memperkuat argumentasi bahwa di pegadaian syariah yang pada dasarnya meletakkan perikatan utang piutang sebagai perjanjian pokok, berikut dicantumkan kutipan klausula perjanjian antara para pihak debitur yang disebut rahin dengan kreditur atau murtahin di Pegadaian Syariah di Indonesia Mirza M:2009: “...Perjanjian ini dibuat dan ditandatangani pada tanggal sebagaimana tercantum pada bukti surat rahn, oleh dan antara: I. Kantor CABANG PEGADAIAN SYARIAH CPS sebagaimana tersebut dalam Surat Bukti Rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Pemutus Marhun Bih KPM-nya. Dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS. Untuk selanjutnya disebut sebagai “MURTAHINPENERIMA GADAI”. II. RAHINPEMBERI GADAI adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam Surat Bukti Rahn ini. Sebelumnya para pihak menerangkan bahwa Rahin membutuhkan pinjaman dana dari Murtahin, dan sebagai jaminan atas pinjaman dana tersebut, RAHIN menggadaikan harta miliknya yang sah Marhun secara sukarela kepada MURTAHIN. Untuk maksud tersebut, para pihak membuat dan mendatangani akad ini dengan ketentuan sebagai berikut: 4633 1. Rahin dengan ini mengaku telah menerima pinjaman dari Murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu pinjaman sebagaimana tercantum dalam Surat Bukti Rahn ini. 2. MURTAHIN dengan ini mengakui telah menerima barang milik RAHIN yang digadaikan kepada MURTAHIN MARHUN dan karenanya MURTAHIN berkewajiban mengembalikannya pada saat RAHIN telah melunasi pinjaman dan kewajiban-kewajiban lainnya. 3. Atas transaksi RAHN tersebut di atas, RAHIN dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentan yang berlaku. 4. Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan RAHIN tidak melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad, maka RAHIN dengan ini menyetujui danatau memberikan kuasa penuh yan tidak dapat ditarik kembali untuk melakukan penjualanlelang MARHUN yang berada dalam kekuasaan MURTAHIN guna pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut. Dalam hal hasil penjualanlelang MARHUN tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban RAHIN maka RAHIN wajib membayar sisa kewajibannya kepada MURTAHIN sejumlah kekurangannya. 5. Bilamana terdapat kelebihan hasil penjualan MARHUN maka RAHIN berhak menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka waktu satu tahun sejak dilaksanakan penjualan MARHUN, RAHIN tidak mengambil kelebihan tersebut, maka dengan ini RAHIN menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai shodaqoh yang pelaksanaannya diserahkan kepada MURTAHIN. 6. Apabila MARHUN tersebut tidak laku dijualdilelang, maka RAHIN menyetujui pembelian MARHUN tersebut oleh MURTAHIN minimal sebesar harga taksiran MARHUN. 7. Segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah BASYARNAS. Putusan BASYARNAS adalah bersifat final dan mengikat. Demikian akad ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak ditandatangani.” Apabila mencermati kutipan klausula perjanjian para pihak yang berlangsung di Pegadaian Syariah Indonesia, maka sesungguhnya perjanjian utang piutang merupakan perikatan pokok yang mendasari hubungan transaksional atau hubungan hukum antara pihak debitur RAHIN dengan pihak kreditur MURTAHIN. Dengan demikian, menurut peneliti, untuk menganalisis hubungan perikatan atau hubungan hukum yang berlangsung antara para pihak tersebut, maka seyogyanya pokok dasar analisisnya adalah hubungan perjanjian utang piutang. Sehingga untuk meletakkan analisis terhadap apa saja asas hukum pokok yang seharusnya melandasi hubungan hukum antara para pihak yang berlangsung di pegadaian syariah, tentu saja kita harus kembali merujuk kepada perikatan pokok yang melandasi hubungan perjanjian tersebut. Dalam konteks pegadaian syariah, yang menjadi perikatan pokoknya adalah perjanjian utang piutang.

3.2. Penegakan Asas

Taawun dalam Perjanjian Utang Piutang di Pegadaian Syariah Istilah Taawun diambil dari bahasa Arab yaitu Ta‟awana, Yata‟aawuna, Ta‟awuna, yang artinya tolong- menolong, gotong-royong, bantu-membantu dengan sesama manusia. Dalam perspektif Islam, taawun hendaknya menjadi dasar terutama bagi seorang muslim untuk saling tolong menolong dengan sesama muslim yang lainnya. Dalil pensyariatan bagi setiap muslim untuk saling tolong menolong, adalah dinyatakan secara tegas dalam Al- Qur‟an sebagai berikut: .... Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya Q.S. Al-Maidah:3. Berdasarkan ayat tersebut, tidak setiap bentuk tolong-menolong itu baik, melainkan ada juga yang tidak baik. Tolong-menolong yang baik adalah apabila mengarah pada kebaikan dan ketaqwaan sesuai petunjuk syariah. Adapun tolong-menolong yang menyangkut masalah dosa dan permusuhan termasuk perkara yang dilarang agama. Tolong- menolong bebas dilakukan dengan siapapun termasuk non muslim, selama tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam hal akidah dan ibadah tidak ada kompromi antara agama yang satu dengan yang lain. 4634 Mencermati penjelasan terminologis serta dalil pensyariatan taawun itu sendiri, maka dapat dikemukakan bahwa taawun sesungguhnya harus menjadi landasan dalam berprilaku setiap muslim termasuk antara lain interaksi hubungan muamalah satu sama lain. Pada ayat lain dalam Al- Qur‟an Allah SWT berfirman: “Allah Ta‟ala berfirman yang artinya: “ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar” Q.S. At- Taubah Ayat 7. Mencermati beberapa Hadits Nabi Muhammad SAW, yang terkait erat dengan perjanjian utang piutang, seperti pada pertanyaan beliau kepada Malaikat Jibril berkenaan dengan status pemberi utang, yang kemudian dijawab oleh Jibril dengan kedudukan utama pemberi utang dibandingkan dengan pemberi sedekah, maka tentu saja, karakter dasar perjanjian utang piutang tidak boleh diletakkan dalam kerangka profit oriented atau karena ada motivasi bisnis motivasi mencari untung. Sehubungan dengan itu, hubungan transaksional antara para pihak, yaitu antara nasabah dengan lembaga pegadaian syariah, menurut peneliti, pertama-tama haruslah diletakkan pada kerangka pokok hubungan transaksional tersebut. Di lembaga pegadaian syariah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perjanjian utang piutang merupakan kerangka pokok hubungan transaksional antara para pihak nasabah dengan lembaga pegadaian syariah, sedangkan akad rahn perjanjian gadai hanyalah merupakan implikasi saja untuk menanamkan kepercayaan debitur terhadap kreditur. Dengan demikian, menurut peneliti, peletakan hubungan perjanjian antara debitur dan kreditur di pegadaian syariah adalah semestinya diletakkan pada kerangka asas taawun sebagai metanorma yang melandasinya. Dengan meletakkan asas taawun sekaligus untuk mempertegas karakteristik perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah, sebagai hubungan perjanjian yang memang didasari oleh aspek tolong menolong dan kebajikan semata-mata bukan karena hubungan bersifat bisnis. Berdasar pada penjelasan tersebut, maka makna asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, adalah asas yang mendasari hubungan perjanjian yang didorong oleh spirit moralitas dan kemanusiaan berbasis spiritual bukan karena berorientasi kepada timbangan komersialitas matematis. Melalui penegakan asas taawun ini, lembaga pegadaian syariah semestinya mengeksiskan diri sebagai salah satu lembaga keuangan murni syariah bersifat non-profit. Artinya, titik tumpu lembaga pegadaian syariah memang betul-betul mengedepankan nilai-nilai sosialitas Santoso, 2013:11. Asas taawun yang hendak ditegakkan dalam perjanjian utang piutang di lembaga pegadaian syariah, adalah sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan untuk membantu debitur yang sangat membutuhkan bantuan dana guna mengatasi berbagai kebutuhan yang memang sangat mendesak. Asas taawun hendak menegakkan suatu mekanisme hubungan perjanjian antara debitur dan kreditur yang jauh dari praktik-praktik perijonan yang sangat dilarang keras dalam hukum Islam. Urgensi penegakan asas taawun dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah secara fundamental adalah selain untuk lebih mempertegas eksistensinya sebagai lembaga murni syariah, juga sekaligus untuk lebih membedakannya dengan lembaga pegadaian konvensional yang masih memungut bunga dalam aktivitas transaksi keuangan. 4635

4. Penutup