Koordinasi dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman

Perizinan sebagai instrumen pengendalian tata ruang di Kabupaten Bogor terdiri berbagai jenis izin yaitu: izin lokasi, izin peruntukan penggunaan tanahIPPT Perda kab Bogor No 192000, izin mendirikan bangunan IMB Perda Kab Bogor No 232000. Walaupun berbagai izin penggunaan lahan dan mekanisme pemberian izin sudah tersedia, akan tetapi ketidakselarasan penyimpangan antara rencana tata ruang RTRW sebagai alat pengendali dengan pelaksanaan di lapangan tetap terjadi. Kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan permukiman adalah koordinasi antar para pemangku kepentingan pemerintah dan instansi terkait di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Koordinasi dalam hal penggunaan lahan pada tingkat lokal sangat penting, Bapeda pada tingkat provinsi dan kabupaten harus merupakan institusi yang menjalankan koordinasi Firman 2004. Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang terjadi karena masalah perizinan atas pemanfaatan ruang. Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal, yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna penanaman modalnya PerMen AgrariaKepala BPN No 21999. Luas dan jenis pemanfaatan izin lokasi adalah : lebih besar dari 25 ha untuk usaha pertanian, dan lebih besar dari 1 ha untuk usaha bukan pertanian PerMen AgrariaKepala BPN No 21999. Izin lokasi yang tidak sesuai dengan RTRW berpotensi meningkatkan perubahan pemanfaatan lahan dari lahan non permukiman menjadi lahan permukiman. Analisis antara peta izin lokasi tahun 2005 dengan peta RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 menunjukan: a terdapat izin lokasi di kawasan yang diperuntukan bagi hutan lindung seluas 17.99 ha atau 8,17 dari izin lokasi di DAS Ciliwung hulu; b beberapa izin lokasi yang diberikan tampaknya bukan untuk usaha pertanian, karena luasannya 25 ha, akan tetapi berada di kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan pertanian, seperti lahan basah 14,49 ha, lahan kering 6,50 ha, dan tanaman tahunan10,94 ha. Selanjutnya izin lokasi diperlihatkan Tabel 59. Tabel 59 Ketidakselarasan Izin lokasi 2005 Dengan RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 Luas Izin Lokasi Pemanfaatan Ruang RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 ha 1. NON PERMUKIMAN a. Hutan Lindung 17,99 8,17 b. Lahan Basah 14,49 6.58 c. Lahan Kering 6,50 2.95 d. Perkebunan 92,17 41.87 e. Tanaman Tahunan 10,94 4.97 2. PERMUKIMAN 78,03 35,45 JUMLAH 1+2 220,11 100 Sumber: Hasil analisis peta izin lokasi tahun 2005 dan RTRW Kab Bogor 2000-2010 Izin lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan dalam RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 menunjukkan koordinasi antar instansi yang lemah. Tata ruang seharusnya dapat menjadi alat koordinasi Brackhahn dan Kärkkäinen 2001; Wirojanagud et al. 2006. UUPR No 262007 Pasal 26:2c menyebutkan RTRW Kabupaten menjadi pedoman pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; dan Pasal 26:3 menyebutkan RTRW kabupatenkota yang telah dilengkapi rencana rinci dan zoning regulation menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan. Oleh karena itu RTRW Kabupaten Bogor seharusnya dioperasionalkan agar dapat menjadi alat koordinasi penataan ruang. Persoalan yang dihadapi saat ini adalah RTRW Kabupaten Bogor sebagai alat koordinasi belum dapat dioperasionalkan, skala peta RTRW 1:100.000. Oleh karena itu perlu dibuat rencana rinci tata ruang RDTR dengan skala yang lebih besar. Rencana rinci tersebut perlu dilengkapi peraturan zonasi. Rencana tata ruang yang belum operasional tersebut menyulitkan bagi instansi yang berwenang mengeluarkan izin, karena tidak ada ketentuan pemanfaatan ruang dalam bentuk peta zonasi zoning map dan legal text yang dapat dijadikan dasar pemberian izin. Berdasarkan analisis ISM, aktivitasprogram yang dibutuhkan untuk memperkuat koordinasi adalah : a Program pembuatan data dasar tentang karakteristik fisik, sosial dan ekonomi DAS Ciliwung hulu yang selalu up to date dan dapat diakses dengan mudah oleh instansi terkait pengelolaan permukiman; b Program pendataan penggunaan lahan yang tidak sesuai penataan ruang permukiman RTRW; c Program pembuatan pedoman teknis tentang pembangunan perumahan permukiman di DAS bagian hulu; d Program penjabaran RTRW dalam rencana rinci tata ruang dan peraturan zonasi e Program pengembangan sistem informasi yang berkaitan dengan penataan ruang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian yang dapat diakses dengan mudah murah oleh masyarakat luas. Kelima aktivitasprogram tersebut dibutuhkan karena RTRW yang dilengkapi rencana rinci berikut peraturan zonasi memerlukan data yang akurat dan detail tentang lokasi bangunan, jaringan utilitas dan infrastruktur, pemanfaatan lahan, status lahan, karakteristik fisik lingkungan, penduduk, kegiatan sosial ekonomi. Data yang akurat dan detail tersebut dipakai untuk analisis tata ruang Gupta 2002; Wirojanagud et al. 2005. Koordinasi juga memerlukan informasi, oleh karena itu RTRW, rencana rinci serta peraturan zonasi harus dapat diakses oleh para pemangku kepentingan baik pemerintah maupun masyarakat. Salah satu hambatan dalam koordinasi adalah setiap institusi mempunyai sistem informasi sendiri-sendiri dan tidak ada pertukaran informasi diantara institusi tersebut Firman 2004. Selain koordinasi, perkembangan kawasan permukiman yang tidak terkendali, dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap pemeliharaan lingkungan hidup dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam membangun permukiman. Persepsi masyarakat yang rendah sampai sedang Sabri 2004 diduga mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam membangun permukiman. Kondisi tersebut terlihat dari pembangunan permukiman di kawasan tidak sesuai permukiman yaitu di zona lindung 5,86 dan di zona budidaya non permukiman 36,68 dari luas masing-masing zona. Berdasarkan hasil analisis ISM, perubahan yang diharapkan dari pengelolaan permukiman melalui berbagai aktivitasprogram adalah : a. Peningkatan koordinasi antar instansi terkait tata ruang dan permukiman; b. Peningkatan konsistensi dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang terkait pengelolaan permukiman; c. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan permukiman; Koordinasi yang meningkat diantara lembaga kunci dan antara lembaga kunci dengan lembaga pada jenjang di bawahnya dalam pengelolaan tata ruang termasuk permukiman, akan menjadi penggerak keberhasilan pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu. Koordinasi yang meningkat akan meningkatkan konsistensi dalam melaksanakan peraturan.

9.3. Skenario Pengelolaan Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu

Persoalan lokasi dan alokasi kawasan permukiman, serta kendala kelembagaan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan permukiman memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Hasil analisis menggunakan model sistem dinamik menunjukkan parameter koordinasi, dan konsistensi terhadap peraturan, mempunyai sensitivitas yang paling tinggi, sehingga merupakan faktor pengungkit keberhasilan pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu. Kesimpulan tersebut sama dengan hasil analisis kelembagaan yang menempatkan koordinasi sebagai elemen kunci yang akan menggerakan pengelolaan kawasan permukiman. Selain koordinasi dan konsistensi terhadap peraturan, elemen yang dapat menjadi penggerak keberhasilan pengelolaan permukiman adalah partisipasi masyarakat. Pada model dinamis, ketiga elemen kunci tersebut ditambah dengan laju kelahiran dan migrasi masuk merupakan parameter model yang bersinergi mengendalikan pertumbuhan kawasan permukiman. Hasil simulasi dengan melakukan intervensi terhadap parameter koordinasi, konsistensi terhadap peraturan, partisipasi masyarakat dan laju kelahiran dan migrasi masuk, menunjukkan peningkatan kinerja DAS Ciliwung hulu sangat baik, dibandingkan intervensi terhadap salah satu parameter saja. Secara garis besar dibuat 2 macam skenario model, yaitu skenario tanpa intervensi TI dan skenario menggunakan intervensi. Skenario menggunakan intervensi terdiri atas: a Skenario pengendalian Penduduk PP; b Skenario pemberdayaan masyarakat PM; c Skenario penguatan kelembagaan pemerintah PK; dan d Skenario kolaborasi pemerintah dan masyarakat KPM. Pada skenario TI pengelolaan permukiman dilakukan seperti yang terjadi saat ini, kinerja DAS Ciliwung hulu semakin menurun karena jumlah penduduk dan kebutuhan ruang untuk permukiman yang semakin besar melebihi daya dukung kawasan permukiman. Perkembangan permukiman semakin tidak terkendali merambah kawasan tidak sesuai untuk permukiman seperti zona lindung dan zona budi daya non permukiman, akibatnya volume air limpasan semakin membesar. Pada skenario PP, intervensi dilakukan dengan menurunkan laju pertumbuhan penduduk DAS Ciliwung hulu dari 3,14 tahun menjadi 2 tahun. Skenario PP ini dilakukan melalui 2 kebijakan yaitu kebijakan KB dan kebijakan pengembanagan kawasan wisata alam di luar kawasan Puncak. Kebijakan KB dimaksudkan untuk menekan pertambahan penduduk akibat kelahiran. Kebijakan ini walaupun mempunyai manfaat positif, antara lain dapat mengurangi jumlah penduduk dan luas lahan permukiman, akan tetapi pada pelaksanaanya tidak mudah untuk dilakukan karena sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat. Kebijakan pengembangan kawasan wisata alam diluar kawasan Puncak dimaksudkan untuk mengurangi migrasi masuk ke DAS Ciliwung hulu. Kebijakan pengembangan kawasan wisata ini memerlukan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut skenario PP tidak dapat berdiri sendiri tetapi memerlukan skenario PM dan skenario PK. Pada skenario PM dilakukan intervensi dalam bentuk peningkatan partisipasi masyarakat dari 67, 90 menjadi 80 . Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk