Kelembagaan dalam Pengelolaan Kawasan Permukiman di Daerah Aliran Sungai DAS

Kelembagaan selalu menjadi issu penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pembangunan pada umumnya. Berbagai macam penyebab kerusakan sumberdaya dan degradasi lingkungan tidak hanya disebabkan masalah ekonomi namun lebih pada masalah kelembagaan Rustiadi dan Viprijanti 2006. Kegagalan pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam membuat, mengimplementasikan kebijakan secara benar, serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan sumberdaya alam Djogo et al. 2003 . Dampak kelembagaan pada degradasi sumberdaya sangat jelas terlihat pada sumberdaya yang memiliki karakteristik milik bersama common seperti DAS, karena ketiadaan penguasaan yang bersifat privat privat property. Sumberdaya seperti air tanah, lahan, hutan, sungai, dan danau yang merupakan bagian DAS adalah barang spesifik yang bermanfaat bagi semua orang atau anggota komunitas tertentu, disebut sebagai barang kompetitif rivalness yang tidak dapat dijadikan sesuatu yang eksklusif non excludability karena milik masyarakat. Sterner 2003 menyebut barang dengan sifat rivalness dan non excludability sebagai Common Pool Resources CPRs. Common Pool Resources CPRs selain memiliki ciri rivalness dan non excludability juga memiliki ciri terbatas, sehingga harus ada biaya yang dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak yang jadi pemanfaat Rustiadi dan Viprijanti 2006. Penggunaan yang berlebihan dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki sebuah DAS, dan adanya free riders, menyebabkan CPRs seperti DAS cenderung mengalami kerusakan. Untuk mencegah pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan diperlukan perangkat kebijakan policy instrument. Instrumen kebijakan dapat berupa carrot sebagai simbol insentif ekonomi, stick sebagai simbol instrumen hukumregulasi, dan sermont sebagai simbol instrumen informasi Sterner 2003. Instrumen kebijakan merupakan intervensi negara yang dirancang untuk mencapai tujuan serta untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan kebijakan Djogo et al. 2003. Oleh karena itu, instrumen kebijakan yang akan diterapkan sangat tergantung pada pemerintah. Instrumen kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat berbentuk pajak, biaya, ongkos, provisi, regulasi, zoning, pembatasan bans, izin, liability bonds, labeling, information disclosure, pelibatan publik dan international treaties Sterner 2003. Salah satu instrumen kebijakan yang dapat digunakan pemerintah untuk meningkatkan dan memperbaiki daya dukung lingkungan DAS adalah Information disclosure dalam bentuk sosialisasi perencanaan tata ruang dan permukiman serta peraturan perundang-undangan pada masyarakat. Sosialisasi mengenai peraturan- peraturan yang berkaitan dengan penataan permukiman adalah hal yang penting, agar masyarakat dapat terlibat secara intensif. Sosialisasi ini dilakukan secara simultan dan komprehensif dan ditujukan agar masyarakat dapat terlibat aktif mematuhi aturan tata ruang dan permukiman yang dibuat. Sosialiasi tidak hanya sekedar memasang papan pengumuman, tetapi mengajak masyarakat untuk memahami esensi perundang-undangan dengan cara dialogis dan berkelanjutan, memberikan ganjaran dan imbalan simbolik untuk berbagai jenis perilaku positif bagi penataan permukiman. Selain sosialisasi, kebijakan pengelolaan sumberdaya dapat menggunakan instrumen pelibatan publik. Pelibatan publik dalam bentuk partisipasi masyarakat secara formal telah tertuang dalam UUPR No 262007, UUPPLH No 322009 ; UUPP No 4 1992, dan PP no 691996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat, karena p ersepsi sebagai komponen kognitif dari sikap mendasari secara relatif totalitas sikap seseorang Sueca et al. 2001. O leh karena itu, persepsi masyarakat terhadap fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu berperan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam membangun permukiman di kawasan yang sesuai untuk permukiman. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tiga macam kekuatan power yaitu coercive pemaksaan, remunerative imbalan keuntungan dan normatif Etzioni 1961. Ketiga kekuatan tersebut bekerja berdasarkan alat pengontrolnya yang berupa sanksi fisik, materi dan simbol, menghasilkan tipe partisipasi alienative, calculative dan moral Etzioni 1961. Tipe partisipasi tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan dan penghasilan Soedjono 1990; Dewi 1997; Sabri 2004. Ketiga faktor sosial ekonomi tersebut secara tidak langsung menunjukkan tingkat kualitas kehidupan masyarakat. Salah satu ukuran tingkat kualitas kehidupan masyarakat dari perspektif pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia IPM. Empat komponen IPM adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli masyarakat. Berdasarkan komponen pembentuk IPM tersebut, maka IPM dapat menjadi langkah awal untuk memperkirakan kecenderungan partisipasi masyarakat. Secara kelembagaan pihak-pihak yang terlibat stakeholders dalam pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah pemerintah daerah Kabupatenkota Bogor, pemerintah pusat, para akademisi, LSM, serta kalangan masyarakat dan pengusaha yang melakukan kegiatan di DAS Ciliwung hulu. Stakeholders dibagi menjadi primary stakeholders dan secondary stakeholders ODA 1995. Primary stakeholders adalah mereka yang terpengaruh secara positif bermanfaat atau negatif tidak sengaja diatur seperti masyarakat. Secondary stakeholders adalah para intermediari dalam proses penyampaian program kegiatan atau para pemberi pemahaman pada primary stakeholders, mereka terdiri dari funding, implementing, monitoring, organisasi advokasi, pemerintah, LSM, dan organisasi sektor swasta. Berdasarkan hal tersebut maka masyarakat yang bertempat tinggal atau yang melakukan kegiatan di DAS Ciliwung hulu dikatakan sebagai primary stakeholders, sedangkan kalangan pemerintah baik pusat maupun daerah, para akademisi, dan LSM yang berkaitan atau peduli dengan DAS Ciliwung hulu adalah secondary stakeholders. Menurut Kartodihardjo 2006, semakin tidak jelas hubungan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat terhadap sumberdaya, maka keduanya akan saling mengandalkan, dan pada taraf tertentu kondisi tersebut akan menjadikan DAS sebagai barang tanpa pemilik open access. Tragedi open access terhadap sumberdaya dipicu oleh kevakuman kelembagaan yang tercipta oleh suatu proses desentralisasi yang tidak komplit Kartodihardjo 2006. Berdasarkan fenomena yang terjadi di DAS Ciliwung hulu saat ini, diperkirakan, kelembagaan yang mengatur tata ruang DAS tidak berfungsi, sehingga terjadi tragedi open access dimana alih fungsi lahan terjadi tanpa kendali. Pada era otonomi daerah, keinginan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah PAD dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menjalankan fungsi- fungsi pemerintahan telah mendorong pemerintah daerah mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Menurut Dharmawan 2005, DAS sebagai suatu sumberdaya yang bersifat CPRs, tidak lagi dijaga secara bersama- sama akibatnya derajat susceptibility kerawanan DAS terhadap terjadinya “tragedy of the commons” meningkat tajam, sedangkan pada ranah struktural, otonomi daerah menghadapi persoalan kekosongan ruang kelembagaan. Dharmawan 2005 menggambarkan persoalan kekosongan ruang kelembagaan sebagai institutional krisis, sebagai berikut : a. Ruang-ruang dialog dan ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya koordinasi antar pemegang otoritas administratif dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara partisipatif, tidak terbentuk. b. Terbatasnya ruang untuk mengkomunikasikan kebijakan menyebabkan tidak terbangunnya komunikasi partisipatif tentang seberapa dalam derajat pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah administratif masing-masing harus dicapai. c. Ketidakhadiran ruang komunikasi, menyebabkan ketidakcukupan informasi bagi pemangku otoritas kebijakan lingkungan untuk mengambil keputusan seberapa dalam derajat eksploitasi sumberdaya alam wilayah masing-masing dapat ditoleransi. d. Ketiadaan ruang komunikasi mencapai taraf yang secara ekologis membahayakan manakala setiap pihak tidak lagi menghiraukan dan tidak ingin mempedulikan kebijakan lingkungan di wilayah administratif tetangganya. Hal ini akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi tidak terkontrol. e. Dampak dari kekosongan ruang kelembagaan adalah terjadi kesulitan dalam mengembangkan proses-proses koordinasi dan komunikasi antar pemerintah daerah, antar sektor, serta antar beragam kepentingan lainnya 2.4. Metode Interpretative Structural Modelling ISM Interpretative Structural Modelling ISM adalah proses analisis menggunakan komputer yang memungkinkan individu-individu atau kelompok mengembangkan peta hubungan yang kompleks diantara banyak elemen yang terlibat dalam situasi yang kompleks. Metode ISM sering digunakan untuk memberikan pemahaman dasar pada situasi yang kompleks, serta menyusun tindakan untuk memecahkan masalah. Metode ISM yang dikembangkan oleh Saxena tahun 1992 Eriyatno 1999; Marimin 2004, merupakan teknik permodelan yang memberikan basis analisis program, dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna bagi formulasi kebijakan serta perencanaan strategis Eriyatno 1999. Metode ISM dibagi dalam dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen Eriyatno dan Sofyar 2006. Metode ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki Marimin 2004. Penyusunan tingkat hierarki berdasarkan pada lima kriteria Eriyatno 1999 yaitu: a Kekuatan pengikat bond strength di dalam dan antar kelompoktingkat; b Frekuensi relatif dari osilasi guncangan, dimana tingkat yang lebih rendah lebih mudah terguncang dibandingkan dengan tingkat yang lebih tinggi; c Konteks, dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat; d Liputan containment dimana liputan yang lebih tinggi mencakup pula tingkat yang lebih rendah; e Hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat di tingkat bawahnya. Struktur dari sistem hierarki dibutuhkan untuk menjelaskan pemahaman terhadap perihal yang dikaji. Menurut Saxena 1992 dalam Eriyatno 1999 program terdiri dari sembilan elemen yaitu asektor masyarakat yang terpengaruh program; b kebutuhan dari program; c kendala utama program; d perubahan yang dimungkinkan; e tujuan dari program; f tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program; g aktivitas yang dibutuhkan untuk perencanaan tindakan; h ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas program; dan i Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya setiap elemen dari program yang dikaji diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen, dan ditetapkan hubungan kontekstual antar sub-elemen tersebut.

2.5. Model Sistem Dinamik dan Analisis Kebijakan

Penataan kawasan permukiman pada DAS bersifat kompleks dan dinamis. Untuk itu proses analisisnya harus menyeluruh holistic dan berkembang sesuai dengan waktu. Pendekatan kesisteman merupakan pendekatan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, dinamis dan probabilistik Eriyatno 1999 dan didasarkan pada Cybernetic, holistic dan effectiveness Kholil 2005. Pendekatan kesisteman merupakan penerapan sistem ilmiah dalam manajemen, yang dapat memberikan dasar untuk memahami adanya penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Melalui pendekatan kesisteman dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi Marimin 2004. Perilaku sistem dikelompokan menjadi empat Muhamadi et al. 2001 yaitu : a. Pembelajaran : perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas kemampuan sistem untuk menciptakan keluaran berdasarkan proses sebelumnya. b. Emerjensi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas pemunculan realitas baru yang tidak terduga dalam sistem. c. Ko-evolusi: perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas perilaku mikro mempengaruhi perilaku makro. d. Non Linieritas: proses perubahan tidak berbanding lurus, non linieritas merupakan perilaku hasil dari terjadinya kombinasi antara simpal positif dan simpal negatif, dimana simpal negatif mengalami waktu tunda. Bentuk lain dari non linieritas adalah random. Untuk menganalisis berbagai masalah yang bersifat sistemik, rumit, berubah cepat dan mengandung ketidakpastian dapat dipakai pendekatan kesisteman menggunakan model dinamik Muhamadi et al. 2001. Hal tersebut karena sistem dinamik merupakan proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari objek yang menjadi perhatian Muhamadi et al. 2001. Selain itu, sistem dinamik dapat digunakan untuk menganalisis struktur sistem fisik, biologi, dan sosial serta dapat memperlihatkan perilaku dari sistem tersebut; dan menganalisis perubahan struktur yang terjadi pada salah satu bagian dari sistem yang akan memberikan efek pada perilaku sistem secara keseluruhan Martin 1997. Hasil pengkajian empiris yang dilakukan para pakar terhadap pola perilaku dinamik, telah teridentifikasi 8 pola dasar perilaku dinamik Kim dan Anderson 1998; Muhammadi et al. 2001, yaitu : a Batas Keberhasilan Limits to Success: Pada batas keberhasilan, kegiatan pertumbuhan pada awalnya membawa keberhasilan yang semakin meningkat, dengan bertambahnya waktu keberhasilan tersebut menyebabkan sistem mencapai batas sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat. Keberhasilan memicu munculnya mekanisme pembatasan dan menyebabkan keberhasilan tersebut menurun. Kecenderungan yang ditunjukkan ditentukan oleh kegiatan pertumbuhan awal Gambar 3.