pengelolaan kawasan permukiman, berbasis wilayah administrasi, bukan berbasis DAS. Dengan demikian novelty dari penelitian ini mencakup dua hal yaitu dari
segi metode pendekatan dan dari segi hasil, yaitu: a. Dari segi metode pendekatan, model dinamik pengelolaan kawasan
permukiman di DAS Ciliwung hulu memadukan hard system methodology HSM yaitu analisis kesesuaian kawasan untuk permukiman menggunakan
Sistem Informasi Geografis SIG, dengan soft system methodology SSM yaitu analisis status keberlanjutan menggunakan Multi Dimensional Scaling
MDS, analisis kelembagaan menggunakan Interpretative Structural
Modelling ISM dan analisis alternatif kebijakan secara deskriptif. b. Dari segi hasil, model pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung
hulu ini menggunakan batas DAS sebagai satu kesatuan ekoregion bukan batas administrasi, karena DAS adalah sebuah ekosistem yang tidak dapat
disekat-sekat oleh batas administrasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daya Dukung Lingkungan sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan
Permukiman Berkelanjutan
Kawasan permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, merupakan kawasan perkotaan atau perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan PP No 26 2008.
Berdasarkan definisi tersebut, kawasan permukiman adalah bagian dari kawasan budidaya, yaitu kawasan budidaya non pertanian. Sebagai kawasan budidaya non
pertanian, kawasan permukiman tidak hanya sekedar tempat tinggal seperti perumahan, akan tetapi juga merupakan tempat melakukan kegiatan usaha
sehingga dapat merupakan perkotaan maupun perdesaan. Oleh karena itu, pada kawasan permukiman selain terdapat perumahan dan sarana-prasarananya, juga
terdapat kawasan untuk kegiatan ekonomi perdagangan, jasa, rekreasi, industri kecil dan kegiatan sosial. Dalam istilah lain kawasan permukiman sering disebut
sebagai kawasan terbangun. Pengembangan kawasan permukiman membutuhkan sumberdaya alam
seperti lahan dalam jumlah yang besar. Dalam rangka pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan, pengembangan permukiman harus mengacu pada
konsep keseimbangan antara kemampuan ekosistem dalam menyediakan lahan untuk permukiman dibandingkan dengan kebutuhan lahan permukiman. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan diperlukan pengaturan terhadap pengembangan permukiman, sehingga tidak
melampaui luas lahan yang sesuai bagi permukiman. Konsep pembangunan
berkelanjutan tidak hanya ditujukan untuk keharmonisan lingkungan akan tetapi juga keberlanjutan jangka panjang dengan
berbasis sumber daya alam Khanna et al. 1999. Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan adalah dimensi lingkungan, dimensi sosial dan dimensi ekonomi.
Ketiga pilar tersebut oleh berbagai pihak dikembangkan sesuai kebutuhan.
Moffat et al. 2001 menambahkan pilar ke 4 yaitu etika dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut Moffat et al. 2001, pembangunan berkelanjutan bukan
hanya perlu didefinisikan tetapi perlu dideklarasikan sebagai prinsip-prinsip etika. Sejalan dengan Moffat et al. 2001,
The United Nation Commission on Sustainable Development UNCSD memasukan prinsip etika dalam dimensi
kelembagaan sebagai pilar ke 4 pembangunan berkelanjutan UNCSD 2001. Price dan Messerli 2002 memasukan dimensi budaya dan jender culture and
gender, dimensi kebijakan dan legislasi policies and legislation, serta risiko bencana risk. Fisheries Centre UBC selain memasukkan etika sebagai pilar ke
4, juga memasukan dimensi teknologi sebagai pilar ke 5 UBC 2006. Operasionalisasi dari konsep pembangunan berkelanjutan dilakukan melalui
konsep daya dukung carrying capacity Wackernagel 1994; Rees 1996; Khanna et al. 1999; Richard 2002. Operasionalisasi konsep daya dukung lingkungan
mencakup 3 hal Khanna et al. 1999 yaitu : perkiraan kapasitas pendukung; perkiraan kapasitas asimilasi; alokasi optimal dari sumberdaya. Perkiraan
kapasitas pendukung Rees 1996; Khanna et al. 1999 terdiri atas: regenerasi; ketahanan dan titik kritis. Perkiraan kapasitas asimilasi adalah perkiraan
kemampuan ekosistem menyerap sesuatu limbah, atau beban pencemar yang dimasukan tanpa menimbulkan dampak pada ekosistem Rees 1996; Khanna et al.
1999 . Daya dukung lingkungan dapat berbentuk daya dukung lingkungan untuk
biologi dan daya dukung lingkungan untuk penduduk Khanna et al.1999. Daya dukung lingkungan biologi didefinisikan sebagai tingkat konsumsi sumberdaya
dan pembuangan limbah maksimum yang masih dapat dipertahankan tanpa batas waktu dan secara progresif tidak mengganggu bioproduktivitas dan integritas
ekologi suatu kawasan Khanna et al. 1999. Daya dukung lingkungan untuk penduduk diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung penduduk
manusia pada kondisi berkelanjutan. Sejalan dengan hal tersebut, UUPPLH No 322009 mendefinisikan daya dukung lingkungan sebagai kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
Untuk memperkirakan daya dukung dilakukan seleksi terhadap satu atau beberapa sumberdaya yang secara inheren terbatas seperti air, lahan, energi dan
biota, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk memperkirakan seberapa besar sumberdaya tersebut harus disediakan Richard 2002. Perhitungan daya dukung
selain dapat dilakukan melalui perhitungan konsumsi energi atau makanan, juga dapat dilakukan melalui kebutuhan lahan Rees 1996; Richard 2002. Wackernagel
1994, menginterpretasikan konsep daya dukung sebagai lahan per penduduk yang dibutuhkan individu untuk hidup secara berkelanjutan. Perhitungan melalui
kebutuhan lahan dilakukan dengan dua cara yaitu a
Cara sederhana adalah melalui pendugaan kepadatan penduduk pada areal tertentu, selanjutnya dihitung jumlah penduduk yang masih dapat didukung
oleh areal tersebut Richard 2002. Menurut Meadows 1995 dalam Murai 1996, salah satu kriteria pembangunan berkelanjutan ditunjukkan oleh
kepadatan penduduk yang tidak melebihi 50 orang per ha. Kondisi keberlanjutan dikatakan kritis apabila kepadatan penduduk berada antara 100
– 150 orang per ha, sedangkan lebih dari 200 orang per ha maka kepadatan penduduk tidak lagi mengarah pada keberlanjutan tapi cenderung merusak
destructive. b
Cara yang lebih kompleks adalah menggunakan konsep Ecological footprint. Konsep Ecological footprint menghitung seberapa luas lahan yang
dibutuhkan per kapita untuk menghasilkan secara eksklusif barang dan jasa serta mengasimilasi limbah yang dihasilkan tanpa perlu pengelolaan
Wackernagel 1994. Dalam hal ini lahan digunakan sebagai ukuran untuk kombinasi berbagai faktor kebutuhan makanan, energi, air dan sumberdaya
lainnya. Selanjutnya dihitung kebutuhan luas lahan untuk mendukung setiap populasi Wackernagel 1994; Rees 1996; Richard 2002. Penelitian
yang dilakukan Rees dan Wackernagel tahun 1996 di beberapa tempat di dunia, menyimpulkan bahwa ecological footprint rata-rata dunia adalah 1,8
ha per orang Moffat et al. 2001. Ecological footprint negara-negara Asia berkisar antara 0,4 hakapita India sampai 3 hakapita JepangMoffat et
al. 2001; Rees 1996. Negara dengan ecological footprint 3-4 haorang di Eropa adalah Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Belanda, dan
Switzerland, serta negara dengan ecological footprint 4-5 haorang adalah Canada dan USA Rees 1996; Moffat et al. 2001.
Berdasarkan konsep daya dukung lingkungan tersebut, maka daya dukung fisik kawasan permukiman dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk
mendukung kegiatan permukiman. Kemampuan lingkungan untuk mendukung kegiatan permukiman secara berkelanjutan ditentukan oleh kapasitas pendukung,
kapasitas asimilasi, dan alokasi optimal dari sumberdaya. Kapasitas pendukung permukiman berkelanjutan dalam implementasinya dijabarkan menjadi status
keberlanjutan permukiman. Kapasitas asimilasi kawasan permukiman dijabarkan menjadi kemampuan kawasan permukiman untuk menampung penduduk. Alokasi
optimal dari sumberdaya dalam implementasinya dijabarkan sebagai alokasi lahan yang sesuai untuk dijadikan permukiman.
Pada dekade mendatang terdapat indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap ekosistem akan terus meningkat, kondisi tersebut dipicu oleh naiknya
jumlah penduduk. United Nations Population Funds UNPF memperkirakan penduduk dunia akan mencapai 9,3 milyar pada tahun 2050 Richard 2002,
sehingga permintaan dan konsumsi akan sumberdaya biologi biota dan sumberdaya fisik seperti lahan dan air akan bertambah pesat pula. Hal tersebut
sekaligus akan meningkatkan dampak terhadap ekosistem. Dampak terhadap ekosistem terjadi karena perkembangan jumlah penduduk dan kegiatan sosial
ekonomi penduduk, meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman. Peningkatan kebutuhan lahan akan memicu perubahan ekosistem. Perubahan
ekosistem dipicu oleh faktor penggerak driven factor yang bersifat langsung dan tidak langsung. Faktor penggerak perubahan yang langsung adalah suatu faktor
yang dapat merubah suatu aspek dari ekosistem tertentu secara langsung, faktor tersebut antara lain adalah perubahan pada tataguna lahan dan penutupan lahan
setempat MA Board 2001.
2.2 Evaluasi Kawasan Permukiman
Timbulnya masalah degradasi fungsi DAS sebagai penyedia jasa ekosistem diduga berkaitan dengan semakin besarnya kawasan di dalam DAS yang kedap air
impervious area. Kawasan permukiman merupakan kawasan terbangun sehingga perubahan tutupan lahan dari lahan hutan atau pertanian menjadi permukiman,
menyebabkan permukaan tanah menjadi kedap air Mustafa et al. 2005. Dampak yang ditimbulkan dari pembangunan permukiman yang tidak terkendali adalah
menurunnya kemampuan DAS dalam mengatur keseimbangan tata air, seperti diperlihatkan oleh terjadinya kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim
hujan. Beberapa hasil penelitian di DAS Ciliwung Irianto 2000; Tim IPB 2002; Kadar 2003; Lukman 2006, menunjukkan adanya korelasi antara peningkatan
debit sungai Ciliwung pada musim hujan dengan perubahan penggunaan lahan DAS Ciliwung, terutama perubahan penggunaan lahan dari kawasan tidak
terbangun seperti kawasan hutan dan pertanian menjadi kawasan permukiman. Konsep daya dukung sebagai operasionalisasi konsep pembangunan
berkelanjutan, selain memperhitungkan seberapa besar populasi yang dapat didukung oleh suatu sumberdaya, juga memperhitungkan dimana mereka akan
dialokasikan Khanna et al. 1999, dengan demikian akan terjadi kompetisi diantara berbagai keinginan penggunaan pada sebidang lahan yang sama.
Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan seleksi terhadap kesesuaian lahan Saroinsong et al. 2006. Seleksi dilakukan dengan cara
mengevaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman. Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman akan melibatkan berbagai
faktor sebagai kriteria. Menurut Van der Zee 1986, pemilihan lahan untuk permukiman ditentukan oleh faktor relif, iklim, tanah, vegetasi dan akses terhadap
air. Selanjutnya Van der Zee 1990 menyatakan evaluasi lahan untuk permukiman menghasilkan kesesuaian lahan land suitability permukiman, yang dikelompokan
menjadi 4 yaitu S
1
sangat sesuai, S
2
sesuai, S
3
kurang sesuai dan N tidak sesuai.
Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman juga harus berpedoman pada ketentuan perundangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan perundangan yaitu:
PP No 262008 tentang RTRWN; Perpres N0 542008 tentang penataan ruang Jabodetabekpunjur; Perda Provinsi Jawa Barat No 22003 tentang RTRW Provinsi
Jawa Barat; Perda Provinsi Jawa Barat No 22006 tentang Kawasan Lindung dan; Perda Kabupaten Bogor No 192008 tentang RTRW Kabupaten Bogor, ketentuan
kawasan permukiman adalah: tidak berada di kawasan lindung, tidak berada di kawasan resapan air dan bukan daerah rawan bencana alam maupun buatan
manusia. Berdasarkan persyaratan kesesuaian lahan dan ketentuan perundangan yang
berlaku bagi kawasan permukiman, maka kriteria untuk menilai kawasan permukiman adalah: a berlokasi di kawasan budidaya; b aman dari bencana alam
dan; c kualitas tapak permukiman Tabel 1. Tabel 1. Kriteria dan Faktor Kesesuaian Kawasan Permukiman
Kriteria Parameter
Variabel Ukuran
Kemiringan lereng . 40
ketinggian tempat. 2000 m dpl.
Erosi tanah. Tidak-agak peka.
Intensitas curah hujan. 27 mmhari.
Jarak sempadan sungai . 1. Bukan kawasan
resapan air dan bukan kawasan
lindung. Relief, iklim, tanah,
geologi, sempadan sungai, danau.
Jarak sempadan danau. 30 m kiri kanan .
200 m tepi danau. 2. Aman dari bencana
alam . Longsor, gerakan tanah,
bahaya gunung api. Tingkat keamanan
bencana. Aman terhadap
bencana.
Relief tanah. Kemiringan lereng.
15 3.Kualitas tapak
permukiman: a. Fisik tapak
Ketinggian tempat ≤1000 m
b. Ketersediaan air Sumber air .
Ketersediaan. jarak 100 m
c. Aksesibilitas Jaringan jalan.
Ketersediaan. Dilalui jaringan
jalan
Sumber: PP No 262008; Perpres No 542008; Keppres No 321990; Perda Prov Jawa Barat No 22003; Perda Prov Jawa Barat No 22006; Perda Kabupaten Bogor No 192008 ; SK Menteri PU No 20KPTS1986, Bappeda Kabupaten Bogor
2001, Van der Zee 1986, dan Van der Zee 1990
Salah satu alat yang sering dipakai untuk mengevaluasi kesesuaian lahan kawasan permukiman adalah Sistem Informasi Geografis SIG Ligtenberg et al.
2004; Syartinilia et al. 2006; Saroinsong et al. 2006. Kelebihan SIG adalah kemampuannya menangani kompleksitas dan volume basis data yang besar secara