Rantai Tata Niaga Tata Niaga Ular Jali Di wilayah Jawa Tengah

Pengamatan terhadap ular jali sebelumnya di wilayah Jawa Tengah oleh Boeadi et al. 1998, meliputi wilayah penyebaran di Purwodadi, Klaten dan Magelang; Mumpuni 2002 melakukan pengamatan di wilayah Wonogiri, Cilacap, Purwodadi dan Sragen; Sidik 2006 mengambil sampel di wilayah Demak dan Sragen. Menurut para pemburu ular di wilayah Kabupaten Boyolali dan Sragen, penyebaran ular jali hingga saat ini semakin berkurang, sedangkan jumlah para pemburu cenderung semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan pertemuan di lokasi tangkap wilayah Boyolali dengan para pemburu ular lainnya yang berasal dari Purwodadi serta faktor perilaku pemburu yang berorientasi mendapatkan ular jali dengan menggali sarang sehingga merusak sarang. Hal ini selain mengakibatkan kerusakan habitat juga berpengaruh mematikan anakan dan merusak telur, apabila disaat musim mengerami atau menetas. Para pengumpul besar ular jali yang terdapat di bagian timur wilayah Jawah Tengah Pati, Sragen, Boyolali, banyak menerima ular jali dari wilayah pencarian yang sama akan tetapi beda pemburu dan pengumpul kecil-sedang, sehingga terlihat adanya tumpang tindih daerah tangkap antar pemburu. Para pemburu yang berasal dari Purwodadi mencari ular jali hingga ke daerah Boyolali atau pemburu dari Sragen dan daerah lain mencari ular jali hingga ke Wonogiri. Para pemburu dan para pengumpul kecil-sedang bebas mencari ular di seluruh Jawa Tengah, tanpa ada pembagian wilayah tangkap masing-masing pemburu atau pengumpul. BKSDA Jawa Tengah sebagai management autority dalam hal peredaran satwa liar, tidak memberlakukan pembagian wilayah tangkap masing-masing pengumpul yang tentunya mempunyai banyak agen berupa pengumpul kecil- sedang dan para pemburupenangkap. Hal ini berbeda dengan yang diberlakukan oleh BKSDA Jawa Timur dengan membagi wilayah tangkap masing-masing pengumpul besar dengan jejaring dibawahnya.

5.2. Parameter Demografi

Permasalahan mendasar dari upaya konservasi jenis terletak pada data yang menyangkut parameter demografi tingkat kelahiran, kematian, sex ratio dan ukuran populasi. Parameter tersebut merupakan komponen penting dalam mempelajari perkembangan populasi satwaliar Bailey 1984; Santosa 1993 Santosa 2008. Pada pengamatan ular jali ini peubah dalam parameter demografi yang diamati adalah sex ratio dan ukuran populasi berupa kelimpahan panenan di tingkat pengumpul dan kelimpahan relatif tangkapan di lapangan.

5.2.1. Sex Ratio

Salah satu aspek penting dari parameter demografi satwa liar adalah peubah sex ratio. Total ular jali yang dapat diamati jenis kelaminnya adalah 159 ekor, terdiri dari 75 jantan dan 84 betina, sehingga sex ratio ular jali yang diperoleh selama pengamatan adalah 1 : 1.12. Beberapa penelitian tentang ular, diketahui sex ratio untuk ular The black rat snake Elaphe obselata obselata di Canada adalah 1 : 1 Brennan Tischendorf 2004 dan untuk jenis the red rat snake Pantherophis guttatus di Florida adalah 5 : 6 Hambold Murphy 2011. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa dari beberapa jenis rat snake di dunia mempunyai sex ratio yang hampir sama. Kondisi sex ratio yang optimal pada jenis ular tersebut berpengaruh terhadap efektivitas perkawinanproses perkembangbiakan Thohari et al. 2011. Berdasarkan sistem perkawinan pada reptil umumnya dan pada ular, yang cenderung poligami, yaitu satu jantan dapat mengawini beberapa betina, kondisi sex ratio tersebut harus dipertahankan sehingga keberlangsungan perkembangbiakan ular jali tetap terjaga. Kondisi sex ratio, dari sisi tingkat mortalitas akibat pemanenan, menunjukkan bahwa jumlah ular jali betina yang lebih banyak tertangkap dapat menjadi kecenderungan yang kurang baik, karena dengan kelas ukuran dewasa 0.7 kg merupakan kelompok reproduksi produktif, sehingga semakin banyak ular jali betina tertangkap akan menurunkan potensi kelimpahan di habitatnya. Pada saat menyaksikan proses penyembelihan ular jali di UD. Walang Sakti-Boyolali, dari beberapa ular jali betina tersebut diketemukan telur yang belum ditetaskan dan bakal telur yang belum sempurna folikel Gambar 3. Menurut beberapa pemburu dan pengumpul ular jali, pada periode waktu pengamatan berlangsung, merupakan periode mendekati musim bertelur dan mengerami. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian ular jali disarankan BKSDA Jawa Tengah melarang perburuan ular yang bersifat merusak sarang yang merupakan habitat dari ular tersebut.

5.2.2. Kelimpahan Ular Jali

Keberhasilan reproduksi satwaliar sangat menentukan kepadatan populasi Alikodra 1990, yang merupakan besaran populasi dalam suatu unit ruang. Hingga saat ini informasi terkait dengan kondisi populasi ular jali di Jawa Tengah masih sangat sedikit bahkan belum tersedia datanya. Menurut Auliya 2010 masih sangat sedikit data terkait dengan status populasi ular jali di Jawa dan wilayah lain di Indonesia, tidak ada data kuantitatif yang tersedia, tidak ada bukti atau keterangan terkait peningkatan populasi bahkan selama pelarangan ekspor ular jali pada periode 1993–2005. Salah satu kelemahan dalam pengelolaan populasi satwa liar, terutama jenis yang telah dimanfaatkan oleh manusia dengan pengambilan dari alam, dikhawatirkan tiba-tiba akan terjadi kelangkaan jenis tanpa ada pengendalian dalam pemanfaatannya karena tidak adanya data dan informasi yang memadai terkait kondisi populasinya. Pendugaan ukuran populasi ular jali sangat diperlukan, akan tetapi dengan metode sensus akan sangat sulit dilakukan karena merupakan tugas yang sangat berat Dodd Jr 1993 Garel et al. 2005 . Berdasarkan kondisi tersebut, pada pengamatan ini diupayakan untuk dapat memperoleh data dan informasi terkait dengan kondisi populasi ular jali, walaupun masih bersifat kelimpahan relatif. Menurut PBC 1998, seringkali hasil dari pengukuran kelimpahan relatif untuk memperkirakan ukuran populasi ular masih dianggap bias, akan tetapi apabila dilakukan dengan metode yang Gambar 3 Telur dan bakal telur di indivudi ular jali betina yang disembelih. benar dan sesuai serta dengan sumberdaya yang intensif, pada data yang terkumpul banyak akan memberikan data dan informasi yang valid dan bermanfaat. Oleh karena itu dilakukan pengumpulan data ukuran populasi dengan pendekatan kelimpahan relatif ular jali yang berasal dari hasil tangkapanpanenan di tingkat pengumpul dan di tingkat pencari yang diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan kelimpahan di habitatnya.

5.2.2.1. Kelimpahan Panenan

Kelimpahan panenan ini dikumpulkan dari para pengumpul, terutama yang berskala usaha sedang hingga besar. Proses menggumpulkan data dari pengumpul ternyata cukup sulit, karena sebagian besar dari mereka adalah orang tua yang menjalankan usaha mereka secara sederhana dan tradisional dalam hal administrasi. Para pengumpul belum terbiasa dengan pencatatan recording data dari ular yang masuk dan keluar. Meskipun mereka menghitung jumlah dan bobot satwa sesuai spesifikasi satuan masing-masing jenis untuk menentukan harga, akan tetapi hanya dalam catatan nota yang sekali pakai yang kemudian dibuang atau disertakan kepada penyetor. Pengamat mencoba memberikan tally sheet yang sangat sederhana untuk diisi catatan harian penerimaan jumlah serta kelas ukuran ular jali yang masuk, akan tetapi mereka tidak mengisi catatan tersebut dengan berbagai kendala yang sifatnya teknis. Data dan informasi hasil panenan yang dapat dicatat secara rutin tersebut merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan ukuran populasi ular jali dan penentuan kuota tangkapedar di suatu wilayah. KepMenHut 447Kpts- II2003, Pasal 32; ayat 1 a dan b, merupakan salah satu ketentuan menekankan perlunya pengkajian dan monitoring daerah tangkap, kondisi kelimpahan dan laporan realisasi produksi riil tahun sebelumnya. Demikian juga seperti yang disampaikan Seber 1982, pemanenan adalah salah satu komponen dari tingkat kematian mortalitas, disamping kematian yang disebabkan oleh sebab alami tua, penyakit dan predator. Oleh karena itu, tingkat pemanenan dapat dijadikan ukuran untuk menduga tingkat kematian ular jali di alam yang diharapkan tidak melebihi tingkat kelahiran natalitas, sehingga kelangsungan populasi di alam tetap lestari. Terdapat 3 pengumpul besar yang menyampaikan catatan rekapitulasi, walaupun kurang lengkap hanya catatan jumlah, sedangkan yang lainnya merupakan hasil wawancara, sehingga diperoleh rata-rata jumlah ular jali yang mereka terima dari pemburupenangkap langsung dan atau dari para pegumpul dibawahnya. Hasil rekapitulasi yang merupakan perkiraan kelimpahan panenan hasil perolehan ular jali tersaji pada Tabel 6, sebagai berikut: Tabel 6. Estimasi kelimpahan panenan ular jali per tahun di Jawa Tengah No Nama Pengumpul Alamat Jumlah rata2 terima ular jali per tahun Keterangan 1 UD. Naga Jaya Pati 63 000 2 UD. Naga Puspa Pati 1 710 3 UD. Indonesia Fauna Cilacap 40 032 4 UD. Welang Sakti Boyolali 7 884 5 Pak Waluyo Boyolali 8 400 6 UD. Mintorejo Sragen 11 160 Perkiraan Jumlah untuk wilayah Jawa Tengah 132 186 per thn Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa pengumpul baik dengan pencatatan langsung maupun hasil wawancara dengan pengumpul, diperoleh data berupa jumlah ular jali yang diterima baik per hari, per minggu dan atau per bulan. Jumlah yang tercatat tersebut minimal dari data 1–3 bulan dihitung rata- rata per bulan dan per hari. Diantara para pengumpul yang ada di Jawa Tengah, diperoleh 6 pengumpul yang mempunyai skala usaha pengumpul ular yang cukup besar. Sebagian besar 5 pengumpul telah mempunyai ijin usaha, sedangkan 1 pengumpul belum mempunyai ijin usaha. Apabila perolehan ular jali yang diterima masing-masing pengumpul dari hasil rata-rata per bulan diasumsikan dalam satu tahun maka diperoleh kelimpahan panenan di tingkat pengumpul sebanyak 132 186 ekor ular jali per tahun untuk wilayah Jawa Tengah. Kelimpahan relatif berdasarkan panenan yang terkumpul di beberapa pengumpul besar tersebut lebih dari 2 kali lipat jatah kuota tangkap ular jali untuk wilayah Jawa Tengah yang sebesar 40 700 ekor 40 500=kulit; 200=hidup. Menurut Sugardjito et.al. 1998, tingkat tangkapan dalam setahun ular jali di Jawa Tengah sekitar 24 671–117 551 ekor. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi management authority dan scientific authority, apakah meningkatkan jumlah kuota wilayah atau melakukan pengendalian pemanenan di alam. Penentuan kebijakan tersebut harus didukung kegiatan penelitian lanjutan yang lebih intensif dan mendalam. Menurut Seber 1982, hasil dari perhitungan kelimpahan relatif terutama berguna untuk membandingkan populasi jenis yang sama di lokasi pengamatan yang berbeda. Penerimaan ular jali rata-rata per bulan untuk masing-masing pengumpul dari 6 pengumpul besar di Jawa Tengah dapat dilihat pada Lampiran 3. Selain dari 6 pengumpul besar tersebut, sebenarnya terdapat beberapa pengumpul yang termasuk berskala usaha cukup besar, akan tetapi tidak banyak menerima ular jali, karena mereka mempunyai fokus jenis reptil lain misalnya UD. Jari Asih-Pati terutama menerima jenis tokek; UD. Snake Center terutama menerima ular kobra dan atau menjadi “posisi” agen dengan menjual hidup ular jali yang diperolehnya dalam jumlah sedikit ke pengumpul besar yang menerima dan memproses ular jali. Hasil wawancara dengan beberapa pemburu hingga pengumpul besar, diperoleh bahwa beberapa faktor mempengaruhi jumlah penerimaan jumlah ular jali di masing-masing pengumpul. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Faktor Harga. Faktor harga mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mengendalikan peredaran ular jali. Adanya kelas ukuran ular jali yang ditangkap juga dipengaruhididorong oleh faktor harga. Fluktuasi dan selisih harga diantara para pengumpul besar yang terdapat di wilayah Jawa Tengah mempengaruhi tujuan para pengumpul sedang, agen dan pemburupenangkap langsung untuk menjual ular jali yang mereka kumpulkan. Pada saat ini harga ular jali cukup tinggi, yaitu berkisar Rp 50 000.00–Rp 65 000.00 di tingkat pengumpul besar untuk kelas ukuran 1 kgekor. 2. Faktor Lokasi Pengumpul. Keberadaan para pengumpul besar ular jali yang ada di Jawa Tengah tersebar di beberapa lokasiwilayah kotakabupaten,