Aspek Kelestarian Pemanfaatan Satwaliar

pendugaan ukuran populasi dapat juga dilakukan dengan pendekatan CPUE Cacth per unit effort yang selama ini sering dilakukan terhadap populasi ikan. Hingga saat ini untuk data kelimpahan ular jali di alam masih sangat jarang, begitu juga dengan ular jenis lainnya di Indonesia. Data yang tersedia selama ini merupakan stok jumlah yang terkumpul di pengumpul ular yang sering dianggap sebagai kelimpahan panenan, padahal jumlah stok tersebut belum dapat menggambarkan hasil panenan sebenarnya di tingkat penangkap. Parameter utama yang berpengaruh terhadap ukuran populasi adalah natalitas kelahiran, mortalitas kematian, imigrasi dan emigrasi Krebs 1978, sehingga akan mempengaruhi kepadatan suatu populasi satwa. Populasi meningkat dengan adanya natalitas, yang ditandai dengan dihasilkannya individu baru dengan kelahiran birth, penetasan hacthing, perkecambahan germination atau pembelahan diri fission Krebs 1978. Tingkat kelahiran merupakan jumlah organisme yang dilahirkan oleh individu betina per unit waktu. Ular jali, d alam satu cluth per individu betina dewasa terdapat telur antara 7–16 buah van Hoesel 1959, sedangkan yang dipelihara di penangkaran, menurut Aji 2011 telah dapat matang kelamin pada umur 11–18 bulan dan dapat berkembangbiak selama 2–3 kali dalam satu tahun dengan rata- rata satu cluth sebanyak 15 butir telur yang akan menetas dalam rentang waktu 56-69 hari terutama dipengaruhi oleh suhu kandangsarang. Mortalitas akan menentukan populasi, yang akan menyebabkan berkurangnya kepadatan populasi Krebs 1978; Odum 1994. Mortalitas kematian diartikan sebagai kematian individu-individu dalam populasi pada suatu kurun waktu tertentu Odum 1994. Mortalitas terbagi menjadi 1 mortalitas minimun yaitu kematian pada kondisi yang ideal atau tidak ada faktor yang membatasi atau individu mati hanya karena faktor umur yang sudah tua dan 2 mortalitas ekologi mortalitas saja yaitu hilangnya individu dalam kondisi lingkungan tertentu. Menurut Seber 1982, didalam populasi yang dieksploitasi, biasanya mortalitas total dibagi menjadi mortalitas akibat eksploitasi tersebut dan mortalitas karena proses alami predasi, karena penyakit dan akibat kondisi iklim. Berdasarkan teori dasar diatas, dapat disebutkan bahwa untuk di Indonesia kematian yang diakibatkan adanya pemanfaatan, mortalitas minimal dapat dilihat dari adanya kuota tangkap sebesar 95 000 ekor KKH 2011, disamping kebutuhan untuk konsumsi lokal dan kematian karena penyakit dan faktor alami lainnya. Informasi biologi dari suatu spesies yang mempunyai peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan, baik pertimbangan ekologis maupun ekonomis dalam hal pemanfaatan adalah informasi morfologi. Berdasarkan Campbell dan Lack 1985 dalam Nopiansyah 2007, menyatakan bahwa morfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk pada spesies dalam populasi khususnya polimorfolisme. Morfologi anggota tubuh dari suatu jenis binatang merupakan hasil sebuah proses adaptasi terhadap lingkungan yang antara lain berupa seleksi terhadap ukuran tubuh bila mana terdapat beberapa tekanan seperti kelimpahan mangsa, kompetisi makanan secara interspesifik dam intraspesifik, seleksi ukuran mangsa dan sistem sosial intraspesifik Kurniati et al. 1997. Di dalam cabang ilmu hayat terdapat pengukuran morfometri, yang merupakan pengukuran bentuk tubuh yang dilakukan pada spesies. Pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dalam pendugaan umur dibandingkan dengan pengukuran terhadap bobot badan Campbell Lack 1985 dalam Nopiansyah 2007. Pertambahan panjang dari ukuran-ukuran tubuh bisa dijadikan dasar untuk pendugaan umur lebih lanjut Caughley 1977 dalam Nopiansyah 2007. Keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan Mansjoer et al. 1989 dalam Nopiansyah 2007. Parameter morfometrik yang digunakan merupakan bagian-bagian tubuh yang mudah terlihat dan mudah diukur, untuk jenis ular yang sering diukur adalah panjang kepala, SVL snout- vent lenght, panjang ekor dan berat badan Boeadi et al.1998; Auliya 2010. Berdasarkan pengamatan terhadap 174 ekor ular, yang terdiri dari 102 ekor jantan dan 72 ekor betina Boeadi et al.1998, diperoleh informasi rata-rata ukuran SVL ular jali yang dipanen, untuk jantan: 1415.4 mm dan betina: 1329 mm; panjang kepala untuk jantan: 41.3 mm dan betina: 38.8 mm; panjang ekor untuk jantan: 481.3 mm dan betina: 465.2 mm; ukuran body mass untuk jantan: 884.9 mm dan betina: 657.5 mm

2.4. Kharakteristik Habitat

Kegiatan pelestarian jenis satwaliar sangat erat kaitannya dengan upaya pelestarian dan perlindungan habitat dari satwaliar tersebut. Meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan hutan serta krisis ekonomi yang melanda Indonesia sangat berpengaruh dalam degradasi habitat satwa. Pada gilirannya faktor-faktor tersebut akan mendorong berlanjutnya kerusakan habitat, meningkatnya pemanfaatan yang tidak berazaskan pada prinsip konservasi KKH 2010. Parameter lain yang juga sangat penting diketahui dalam pengelolaan satwaliar adalah karakteristik habitat. kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiak satwaliar disebut habitat. Habitat yang sesuai bagi satu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Menurut van Hoesel 1959, berdasarkan perilaku ular jali yang suka berburu mangsa di sawah-sawah dan semak belukar dekat lahan pertanian lainnya, maka perlu diketahui berbagai karakteristik habitat yang berpengaruh sehingga dipilih oleh ular jali. Bailey 1984 menyatakan bakwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi habitat satwaliar, yaitu faktor biotik kualitas dan kuantitas pakan, predasi, penyakit dll, faktor fisik suhu, kelembaban, curah hujan dll dan faktor edaphictanahkedalaman, struktur, tekstur, kandungan kimia dll.. Alikodra 1990 juga menyatakan bahwa Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwaliar yaitu terdiri dari makanan, air, temperatur, kelembaban, tekanan udara dan tempat berlindung maupun kawin. Paramater tersebut perlu diketahui, terutama untuk melihat pemilihan habitat oleh ular jali yang menyukai tipe habitat sawah dan lahan pertanian lainnya. Suatu hal yang menjadi ancaman bagi kelangsungan kelestarian reptil dan amphibi adalah adanya perusakan dan hilangnya habitat satwaliar tersebut Dodd Jr 1993; Iskandar Erdelen 2006. Ancaman tersebut semakin meningkat dengan adanya alih fungsi lahan sawah dan pertanian ke peruntukan non-pertanian. Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa kurun waktu tahun 1990-an diperkirakan mencapai 43 000 ha per tahun Mawardi 2006, sedangkan hasil sensus pertanian tahun 2003 luas alih fungsi lahan sawah nasional selama periode 2000-2003 rata-rata sebesar 55 720 ha per tahun Irawan 2008 dan menurut Mustopa 2011 selama periode tahun 2006 – 2009, terjadi di beberapa daerah di Jawa tengah sebesar per tahun : Kab. Demak 57.95 ha, Kab. Kudus 14.05 ha, Kab. Semarang 25.42 ha, Kab. Grobogan 17.65 ha, Kab. Kendal 29.91 ha dan Kab. Batang 10.54 ha. Hal ini terutama disebabkan karena peningkatan populasi manusia Amir et al. 1993 yang membawa konsekuensi pesatnya laju pembangunan di sektor permukiman Mawardi 2006, industri, perkantoran, jalan dan sarana publik lainnya Irawan 2008. Dari aspek kelestarian ular jali dan satwaliar lainnya yang mempunyai ketergantungan dengan tipe habitat persawahan dan lahan pertanian lainnya, perlu monitoring lebih lanjut dari dampak alih fungsi lahan tersebut. Perilaku ular jali sering membuat sarang untuk meletakkan telur-telurnya didalam lubang atau dicelah-celah tanah yang basah, dibawah batu, dibawah akar pohon atau diantara sisa-sisa tumbuhan yang sudah busuk van Hoesel 1959, maka kondisi-kondisi spesifik tersebut perlu dijaga untuk melestarikan jenis tersebut Lee et al 2011. Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka beberapa peubah lingkungan yang dianggap berpengaruh terhadap karakteristik lingkungan ular jali adalah : a. Suhu. Menurut Krebs 1978 dan Alikodra 1990, suhu dan kelembaban adalah faktor pembatas utama yang mempengaruhi penyebaran makhluk hidup di bumi. Faktor suhu berperan penting dalam setiap tahap dari siklus kehidupan makhluk hidup dan dapat membatasi distribusi suatu jenis dalam hal daya bertahan hidup survival dan dalam reproduksi. Menurut Aji 2011, dalam pengamatan terhadap ular jali diperoleh bahwa faktor suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang dan berat tubuh ular. Suhu dan jenis pakan juga berpengaruh terhadap jumlah pakanperilaku pakan, dimana perilaku makan dan aktivitas harian anakan ular jali lebih meningkat pada suhu tinggi, dibandingkan dengan perilaku makan dan aktivitas harian pada suhu yang lebih rendah. Mendukung yang disampaikan Krebs 1978, bahwa suhu berpengaruh dalam reproduksi, hasil pengamatan Aji 2011 mendapatkan interval suhu yang sesuai untuk penetasan ular jali di penangkaran adalah 30 o C–36 o C optimal: 32 o C–34 o C, dengan keberhasilan 80 menetas. Oleh karena itu, akan sangat bermanfaat apabila dapat diketemukan sarang ular jali di habitat alaminya, sehingga dapat diukur suhu dan peubah lainnya, yang akan sangat berguna dalam hal pemanfaatan lebih lanjut. b. Kelembaban. Faktor ini bersama suhu merupakan faktor pembatas kehidupan makhluk hidup. c. Sifat fisik dan kimia tanah. Sifat fisik tanah disini dibatasi hanya terhadap jenis tanah dan kondisi tekstur tanah, sedangkan sifat kimia tanah hanya dibatasi pada pH tanah. Menurut Alikodra 1990, tanah mempunyai pengaruh terhadap penyebaran satwaliar. Tekstur dan komposisi tanah merupakan faktor fisik yang penting dalam pertumbuhan vegetasi, yang kemudian menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya. Masih sangat terbatas informasi tentang pengaruh satwaliar terhadap kondisi tekstur tanah. Terkait dengan kondisi pH tanah, kandungan bahan kimia tanah juga bervariasi, beberapa jenis tanah ada yang bersifat alkalis pH tinggi, yang lainnya asam pH rendah atau netral. d. Ketinggian tempat. Ular jali adalah jenis ular yang mempunyai kebiasaan tinggal dalam liang-liang tanah di sekitar lokasi pertanian dan belukar di perbukitan hingga mencapai ketinggian 800 m dpl Sidik 2006. Jenis ular ini juga dapat ditemukan di ketinggian hingga 1000 m dpl. e. Jarak dari sumber air dan permukiman. Ular ini juga diketahui erat berhubungan dengan daerah perairan yang debit airnya berlimpah, seperti saluran irigasi. Ular Jali sering ditemukan di dataran rendah yang berparit, berarti ular tersebut sedang atau akan melakukan aktifitas mencari mangsa. Menurut van Hoesel 1959, habitat jenis ular ini sering ditemukan di sawah-sawah, tetapi sering juga dijumpai di tempat-tempat teduh diantara semak belukar pada tepi-tepi sungai yang curam. Ular ini tidak jarang terlihat di permukiman penduduk, seperti pekarangan atau kebun. Oleh