113
2. Model individu
a. Pra-eksperimen
Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge
siswa pada kedua kelas maupun antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan
seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya
merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental. Kegiatan ini berlangsung cukup kondusif. Tes yang dilakukan selama
40 menit. Sedangkan 40 menit terakhir digunakan untuk membahas tes. Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau
lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi prior- knowledge
. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan bertanya dan ditanya. Pada saat bertanya dan ditanya, siswa cenderung aktif.
b. Pertemuan Pertama
Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi
prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge
diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat
kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen.
Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang
dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa
114 mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan
materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah- masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan schema automation
rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui
penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.
Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu,
terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah
agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang
belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa
difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip Cognitive Load Theory
. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Sub-materi LKS ada dua
macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.
Siswa tidak diperbolehkan berdiskusi dengan siswa lainnya. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan
115 kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar
kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi
siswa dalam mengerjakan LKS memecahkan masalah. Pada akhir fase ini, siswa diberi kunci jawaban LKS.
Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa
kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah
. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan
tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator. Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan
taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat
perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
c. Pertemuan Kedua