109 mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak
menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS memecahkan masalah.
Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan
jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi
presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan
pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.
Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa
kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah
. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan
tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator. Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan
taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat
perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
c. Pertemuan Kedua
Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi
prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge
110 diantaranya panjang diameter lingkaran dan panjang busur lingkaran. Peneliti
memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar,
tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi
berdasarkan kelompok pada pertemuan sebelumnya. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.
Pada fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan
adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara
berkelompok dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan schema automation rumus-rumus
yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami
ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki
representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam
kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan
kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa
difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip
111 Cognitive Load Theory
. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa
mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan game serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS hanya satu macam,
yaitu menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.
Diskusi tidak diperbolehkan antarkelompok. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan
pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta
untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak
menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS memecahkan masalah.
Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan
jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi
presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan
pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.
112 Kegiatan selajutnya adalah turnamen antarkelompok. Pada rencana
awal, siswa dirangking berdasarkan skor individu untuk menempati meja turnamen secara berurut akan tetapi karena keadaan kelas dan kondisi siswa
yang kurang kondusif, peneliti membagi meja turnamen berdasarkan kelompok game. Setiap kelompok dibari empat pertanyaan berkaitan materi
pembelajaran pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang diambil dengan cara diundi. Kelompok yang sudah selesai memecahkan soal langsung
mengumpulkan jawabannya. Kemudian peneliti menilai kelompok mana yang dapat memecahkan soal dengan cepat dan tepat untuk menentukan
kelompok terbaik. Penilaian skor berdasarkan akumulasi skor game pada kedua pertemuan dan skor tournament. Penghargaan yang diberikan pada
kelompok terbaik berupa sertifikat. Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa
kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah
. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan
tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator. Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan
taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat
perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
113
2. Model individu