Gambaran Sistem Informasi Gizi di Suku Dinas Kesehatan Kota

106

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain : 1. Ruangan yang ramai menyebabkan situasi dan kondisi menjadi kurang kondusif saat berlangsungnya wawancara mendalam dengan informan. Hal tersebut sangat mempengaruhi kejelasan informasi yang diberikan. 2. Hasil wawancara yang didapatkan pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh kejujuran informan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.

6.2 Ruang Lingkup Sistem Informasi Gizi

Kasus kurang gizi yang masih ada di setiap tahunnya mengharuskan pemerintah untuk membuat program dalam menanggulanginya. Dalam menanggulangi permasalahan gizi masyarakat yang ada, diperlukan informasi yang tepat. Salah satu upaya untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai permasalahan gizi yang ada ialah melalui sistem informasi gizi dimana sistem informasi gizi merupakan subsistem dari surveilans gizi sebagai fasilitas dalam kegiatan pelaporan hasil surveilans gizi karena mencakup data hasil pelaksanaan kinerja pembinaan gizi masyarakat yang berguna sebagai pemantauan status gizi balita secara rutin yaitu untuk mewaspadai adanya KLB balita gizi buruk. Besarnya cakupan ruang lingkup sistem informasi gizi di suku dinas kesehatan kota administrasi Jakarta Selatan menyebabkan pelaporan kinerja pembinaan gizi masyarakat melalui website sistem informasi gizi masih belum optimal karena tidak sebanding dengan sumber daya yang tersedia. Sumber daya yang tersedia dapat dikatakan masih kurang dikarenakan pekerjaan mereka terutama TPG di puskesmas tidak hanya mengerjakan laporan tetapi juga konseling di klinik gizi dan turun lapangan untuk kegiatan kunjungan ke rumah balita yang gizi buruk yang BGM. Keterbatasan waktu yang tersedia menyebabkan pengerjaan laporan dilakukan di sela-sela pekerjaan yang lain bahkan seringkali mengharuskan mereka mengerjakan di rumah. Hal tersebut menyebabkan beban kerja yang diterima terlalu tinggi sehingga masih sering terjadi keterlambatan pelaporan.

6.3 Sumber Daya Sistem Informasi Gizi

Sumber daya dalam sistem informasi gizi terdiri dari kebijakan, kegiatan koordinasi, dana, tenaga pelaksana, dan sarana pendukung dalam pelaksanaan sistem informasi gizi. Kebijakan dari tingkat pusat yang berisi kerangka kerja untuk sistem informasi gizi yang mewajibkan pelaksanaan sistem informasi gizi bagi tingkat daerah tidak tersedia sehingga pihak Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan pun kurang memiliki kewajiban penuh dalam pelaksanaan pelaporan melalui website sistem informasi gizi di daerah tersebut dan belum menjadikannya sebagai prioritas. Menurut teori HMN WHO,2008, regulasi mengenai sistem informasi gizi diperlukan agar dapat memungkinkan mekanisme yang akan dibentuk untuk memastikan ketersediaan data, pertukaran data, kualitas dan penyebaran data. Regulasi juga diperlukan dalam pelaksanaan sistem informasi gizi sebagai aturan yang dapat mewajibkan pelaksanaan sistem informasi gizi di tingkat daerah sehingga kegiatan pelaporan kinerja pembinaan gizi masyarakat melalui sistem informasi gizi dapat lebih baik lagi. Tidak adanya kebijakan mengenai pelaksanaan sistem informasi gizi menjadi salah satu kelemahan pada komponen sumber daya dalam sistem informasi gizi di Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan karena dapat mempengaruhi kepastian cakupan yang harus dilaporkan yang menyebabkan masih belum stabilnya format dalam website sistem informasi gizi tersebut sehingga tenaga pelaksana masih mengalami kesulitan saat mengunggah laporan. Hal tersebut menyebabkan tenaga pelaksana belum menjadikan pelaporan melalui sistem informasi menjadi prioritas. Adanya kebijakan juga sebagai aturan yang pasti mengenai waktu pelaporan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan tenaga pelaksana dalam melakukan pelaporan sehingga tidak terjadi keterlambatan. Selain itu, kebijakan juga dapat mengatur bahwa diperlukan adanya kegiatan rutin pemantauan pelaporan melalui sistem informasi gizi berupa pertemuan. Menurut WHO 2008, perlu ada kegiatan rutin untuk pemantauan kinerja sistem informasi gizi dari berbagai subsistem, mulai dari dinas kesehatan sampai ke puskesmas. Tetapi, hasil dari penelitian diketahui bahwa kegiatan koordinasi yang dilaksanakan tidak selalu berupa pertemuan yang rutin melainkan hanya melalui telepon. Kegiatan koordinasi berupa pertemuan dibutuhkan untuk mempermudah pemantauan apabila ditemukan kejanggalan pada data karena penjelasan secara langsung akan lebih jelas dibandingkan hanya melalui telepon. Selain mempermudah saat ditemukan kejanggalan pada data, kegiatan koordinasi berupa pertemuan juga dibutuhkan untuk mengetahui kendala apa saja yang dialami para tenaga pelaksana di tiap tingkatan sehingga dapat ditemukan solusi untuk mengatasi kendala tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan tidak rutinnya kegiatan pemantauan berupa pertemuan adalah tidak tersedianya kebijakan yang mengharuskan mengadakan pertemuan dalam kegiatan pemantauan. Anggaran yang spesifik dianggarkan untuk pelaksanaan sistem informasi gizi belum tersedia tetapi sudah tersedia anggaran dalam program surveilans gizi. Anggaran yang tersedia tersebut dianggap memadai bagi informan terutama staf gizi di suku dinas kesehatan karena memang belum menjadikan pelaporan melalui sistem informasi gizi sebagai prioritas. Menurut WHO 2008, anggaran diperlukan dalam perencanaan guna peningkatan sumber daya. Anggaran yang digunakan dalam pelaksanaan sistem informasi gizi melekat pada program gizi dikarenakan tidak adanya kebijakan yang mengatur pelaporan melalui sistem informasi gizi sehingga alokasi dana untuk peningkatan sumber daya lainnya terutama pemerataan sarana pendukung berupa ICT di tiap Puskesmas masih belum merata. Tenaga pelaksana sistem informasi gizi di Suku Dinas Kesehatan telah mendapatkan pelatihan dari kementerian kesehatan mengenai pelaksanaan sistem informasi gizi, tenaga pelaksana gizi di puskesmas telah mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan Provinsi dan arahan dari Suku Dinas Kesehatan, dan kader di posyandu sudah mendapatkan pelatihan dari pihak puskesmas. Tetapi, tenaga pelaksana di tiap tingkat manajemen kesehatan dinilai kurang memadai karena jumlah mereka yang terbatas dengan beban kerja yang tinggi.