Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3
untuk diakui dan tidak dikucilkan dalam pergaulan. Beberapa kasus lain adalah kasus remaja yang kabur dari rumah. Kebanyakan dari mereka kabur
karena berselisih paham dengan orang tua atau keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tua. Kasus lain yang memprihatinkan pada masa remaja adalah
adanya tindakan bunuh diri. Seperti yang terjadi pada seorang siswa SMP berusia 15 tahun yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara meloncat dari
sebuah menara setinggi 30 meter karena tidak diberi uang oleh orang tuanya untuk memperbaiki motor KOMPAS Senin, 30 April 2012.
Tindakan-tindakan remaja di atas merupakan tindakan yang kurang adaptif. Salah satu pemicu mereka melakukan tindakan tersebut adalah
perubahan hidup yang dialami remaja secara tiba-tiba. Remaja mengalami perubahan hidup yang besar dalam rentang kehidupannya. Adanya beberapa
perubahan dalam masa kehidupan dari fase anak-anak menuju fase remaja dapat menimbulkan perasaan tertekan, kebingungan, ketakutan dan
ketidakpastian yang mempengaruhi remaja dalam mengatasi masalah-masalah dalam hidupnya. Apabila perubahan dalam perkembangan tersebut disertai
dengan kejadian lain seperti perceraian orang tua, kehilangan orang yang dicintai, konflik dengan teman dan keluarga, kesulitan ekonomi, serta
kesulitan di sekolah, maka remaja mengalami krisis hidup yang berat sehingga melampaui kapasitas mereka untuk mengatasi masalah Susana, 2006.
Munculnya perilaku yang melibatkan tindakan bunuh diri merupakan cermin dari kehidupan remaja yang penuh dengan konflik dan
ketidakmatangan remaja yang membuat mereka memilih untuk mengambil
4
risiko yang membahayakan dirinya sendiri Papalia, Olds, dan Feldman 2009. Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang disertai oleh
berkembangnya kapasitas intelektual, stres dan harapan-harapan baru yang dialami remaja membuat mereka mudah mengalami gangguan baik berupa
gangguan pikiran, perasaan maupun gangguan perilaku. Stres, kesedihan, kecemasan, kesepian, keraguan pada diri remaja mempengaruhi cara berpikir
mereka ketika memecahkan suatu masalah. Namun, pada dasarnya remaja mulai berpikir lebih abstrak, logis dan
idealis dibandingkan ketika masa anak-anak Khun, 1999 dalam Santrock, 2002. Remaja mulai menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah
dan menguji pemecahan masalah tersebut secara sistematis. Pemecahan masalah tersebut dikenal dengan penalaran deduktif hipotesis hypothetical
deductive reasoning yang merupakan konsep operasional formal milik Piaget. Adanya perubahan hidup yang besar dalam kehidupan mereka menuntut
mereka untuk mampu bertahan dalam keadaan tersebut. Beberapa dari mereka kurang mampu mengolah diri sehingga cenderung memilih melakukan
tindakan-tindakan yang berbahaya. Tidak jarang beberapa dari mereka mampu bertahan dan mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Kemampuan
remaja untuk bertahan dalam suatu situasi atau masalah yang berat biasa di kenal dengan istilah resiliensi recilience.
Grotberg 1995 mengemukakan bahwa resiliensi terbentuk dari tiga aspek. Pertama, I Have yaitu aspek yang berhubungan dengan dukungan sosial
yang diperoleh individu dari lingkungan sosial terhadap dirinya. Kedua, I Am
5
yaitu aspek resiliensi yang menggambarkan kepribadian positif dalam diri individu itu sendiri. Ketiga, I Can merupakan aspek dari resiliensi yang
berhubungan dengan kompetensi sosial keterampilan sosial dan interpersonal individu hasil pembelajaran dari interaksinya dengan orang lain.
Individu yang dapat mengembangkan ketiga aspek tersebut dengan baik akan mampu
bertahan dan menghadapi situasi-situasi yang sulit. Hal tersebut membentuk individu mengembangkan resiliensi dalam dirinya. Ketiga aspek pembentuk
resiliensi tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Resiliensi dapat berkembang dalam diri individu manakala terjadi interaksi diantar ketiga
aspek tersebut Desmita, 2009. Resiliensi menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang.
Resiliensi biasanya muncul dari fungsi normatif pada sistem adaptasi manusia dengan ancaman terbesar untuk perkembangan manusia. Resiliensi pada
dasarnya berasal dari proses yang memandang lebih positif perkembangan manusia dan proses adaptasi Masten, 2001. Werner 1990 menyatakan
bahwa remaja yang memiliki resiliensi berhasil mengatasi masalah meskipun dalam kemiskinan, memiliki orang tua dengan gangguan atau psikopatologi,
dan berada dalam keluarga yang berselisih. Para remaja ini lebih bertanggung jawab dan berorientasi pada prestasi daripada teman-teman mereka yang
bermasalah. Remaja tersebut juga lebih matang secara sosial dan telah mampu menyerap nilai-nilai yang positif. Mereka akan lebih perhatian, empatik dan
lebih tanggap terhadap lingkungan sosial dibandingkan dengan teman-teman seusianya yang kesulitan mengatasi masalah Werner, 1990.
6
Beberapa studi longitudinal mengungkapkan bahwa anak dengan resiliensi memperoleh banyak dukungan emosional dari orang-orang di luar
keluarga mereka. Teman, tetangga dan guru memberikan nasihat dan memberikan kenyamanan ketika mereka menghadapi masa transisi atau krisis
Werner, 1990. Anak-anak yang memiliki resiliensi cenderung disukai oleh teman bermain dan teman-teman sekelasnya serta memiliki satu atau lebih
teman dekat, walaupun mereka berasal dari keluarga yang miskin, kacau dan sumbang. Mereka akan cenderung menjaga teman kecil mereka hingga
dewasa dan tetap bergantung pada mereka untuk memperoleh dukungan emosional Werner, 1990. Wallerstein dan Kelly dalam Werner 1990
melakukan studi tentang peran teman dalam kehidupan anak yang orang tuanya bercerai mengemukakan bahwa teman dapat memperkaya dan
memperluas kualitas kehidupan anak-anak yang memiliki resiliensi. Layaknya saudara, teman lebih berperan sebagai tambahan dan bukan sebagai pengganti
untuk hubungan yang erat dan stabil dengan satu orang dewasa di rumah atau lingkungan sekitarnya.
Paul R. Smokowski, Arthur J. Reynolds dan Nikolaus Bezruczko 1999 melakukan penelitian yang fokus pada perkembangan dari resiliensi
remaja dan faktor pelindung dengan sampel 86 siswa SMA dalam kota Chicago. Faktor pelindung merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
faktor yang melindungi individu dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko
.
Fokus analisis pada tiga kategori faktor pelindung yaitu atribut internal, hubungan dalam keluarga, dan sistem dukungan eksternal. Salah satu hasil
7
dari penelitian tersebut mengungkapkan beberapa remaja mendeskripsikan teman menawarkan pemodelan peran yang lebih negatif daripada pemodelan
peran positif. Remaja yang memiliki resiliensi dan sangat cerdas mengadopsi sikap hati-hati. Mereka membedakan teman-teman yang dapat diandalkan
menjadi rekan di sekolah atau di lingkungan. Persahabatan yang positif merupakan hal yang penting dalam resiliensi. Memiliki perasaan positif
terhadap teman dapat membuat hubungan positif pula dengan saudara dan keluarga.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh M. Salis Yuniardi dan Djudiyah 2011 pada remaja yang berasal dari keluarga dengan orangtua tunggal
single parent di kota Malang menunjukkan bahwa terapi dukungan kelompok support group therapy terbukti berhasil mengembangkan
resiliensi remaja dengan orangtua tunggal. Terapi dukungan kelompok merupakan terapi yang dilakukan bersama dengan kelompok teman sebaya
yang memiliki masalah yang kurang lebih sama. Terapi ini dilakukan dengan cara berbagi informasi sharing tentang permasalah yang dihadapi dan solusi
yang perlu dilakukan dalam rangka proses saling belajar dan menguatkan Yalom, 1985 dalam Yuniardi dan Djudiyah, 2011. Pada dasarnya remaja
yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh hidup dengan ayah atau ibu saja mengalami ketimpangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dapat
menyebabkan adanya beban psikologis yang berat bagi remaja yang berada dalam kondisi tersebut. Penelitian ini memberi gambaran pada subyek tentang
bagaimana memandang suatu masalah sebagai sesuatu yang memberikan
8
variasi hasil pada individu yang mengalaminya. Masalah atau kemalangan yang dihadapi individu cenderung memberikan reaksi awal yang disfungsi,
tetapi setiap individu tetap memiliki kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan.
Pengaruh keberadaan teman sebaya paling kuat terjadi pada masa remaja awal atau sekitar usia 12-13 tahun Fuligni dalam Papalia, Olds, dan
Feldman 2009. Teman sebaya adalah individu yang tingkat dan kematangan dan umumnya kurang lebih sama. Teman sebaya menyediakan sarana untuk
perbandingan secara sosial dan sumber informasi tentang dunia di luar keluarga. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin diperlukan untuk
perkembangan sosial yang normal pada masa remaja Santrock, 2003. Perubahan yang terjadi pada masa perkembangan remaja, membuat mereka
merasa tidak aman dan terganggu. Remaja cenderung menutup diri pada orang dewasa. Ketika berada dalam masalah mereka cenderung lebih terbuka
terhadap teman-teman sebayanya. Hal ini terjadi karena remaja lebih memilih untuk menentukan sikap, keinginan dan pemecahan masalah sendiri.
Berdasarkan hubungan antara remaja dengan teman sebaya ini dapat muncul apa yang di sebut konformitas. Konformitas muncul ketika individu
meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan oleh tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan. Tekanan yang nyata contohnya seorang
anak mendapat teguran dari teman sekelompoknya ketika dia tidak memakai sepatu warna hitam sama seperti teman
–temannya yang lain. Sedangkan tekanan yang dibayangkan contohnya karena melihat semua temannya
9
memakai sepatu warna hitam seorang anak memutuskan untuk menggunakan sepatu dengan warna yang sama seperti teman
–temannya Santrock, 2003. Konformitas dapat dikatakan merupakan salah satu perilaku adaptif.
Hal ini dikarenakan setiap individu memerlukan penyesuaian diri dengan orang lain. Selain itu, tindakan orang lain dapat menjadi sumber informasi
bagi individu tentang cara bertindak yang tepat dalam keadaan tertentu. Remaja berusaha meluangkan waktu bersama dengan kelompok teman sebaya
untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi lingkungan, motivasi untuk berusaha memperoleh prestasi khususnya dalam bidang akademik, dan tak
jarang hobi bersama. Meningkatnya kedekatan remaja dengan dengan kelompok teman sebayanya mencerminkan adanya kepedulian remaja untuk
mengenali diri mereka sendiri. Aktivitas bercerita dengan teman membantu remaja menggali perasaan, mendefinisikan tentang identitas dan harga diri
mereka Buhrmester, 1996 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan konformitas juga
menimbulkan perilaku yang kurang adaptif. Hal ini tampak dari ketergantungan remaja terhadap kelompoknya. Remaja cenderung akan
melakukan apa saja yang menjadi tuntutan dalam kelompok. Remaja mulai kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak jarang
remaja membenarkan segala perilaku-perilaku negatif. Pemecahan masalah yang dipilih pun menjadi kurang tepat dan mengakibatkan munculnya masalah
baru. Hal tersebut mungkin saja membuat remaja semakin terpuruk dalam kondisi yang sulit dan menghambat perkembangan resiliensi dalam dirinya.
10
Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, peneliti ingin melihat secara khusus apakah konformitas kelompok teman sebaya memiliki hubungan
terhadap resiliensi. Subjek yang menjadi sasaran penelitian adalah remaja yang berada pada masa remaja awal dengan rentang usia 12-15 tahun Mönks,
Knoers, Haditono, 2006. Peneliti memutuskan untuk meneliti remaja awal
karena pada masa tersebut remaja berada dalam masa transisi dari masa kanak-kanak akhir menuju ke masa remaja awal. Pada masa transisi ini,
remaja berpotensi mengalami permasalahan dalam hidupnya.