45
pasti mantep kokoh. Kedua, pendidikan dimaksudkan untuk membentuk mentalitas ngandel, kandel, kendel, dan bandel dalam diri subjek didik. Artinya,
pendidikan yang menekankan pengolahan kematangan batiniah menumbuhkan rasa percaya diri ngandel
dan membentuk ‘pendirian yang teguh’ kandel pada subjek didik sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang berani kendel dan
tawakal, tidak cepat menyerah bandel. Ketiga, pendidikan itu dilaksanakan demi dan untuk membangun kondisi neng, ning, nung, dan nang dalam kesadaran
diri peserta didik.Artinya, upaya mendidik adalah upaya membentuk kesucian pikiran dan kebatinan subjek didik neng. Bila kondisi ini mewarnai aktivitas
pendidikan, peserta didik akan mengalami ketenangan hati ning, yang lantas pula membuat mereka mampu menguasai diri untuk memiliki “kekuasaan atas
diri sendiri” nung. Manakala subjek didik sudah memiliki ketiga hal itu, mereka sesungguhnya mencapai “kemenangan” nang pada dirinya, yakni
“kemenangan atas ego diri yang cenderung pongah dan serakah Bartolomeus, 2013: 81.
G. Kiprah Taman Siswa Dalam Membangun Budi Pekerti
Pada masa berdirinya Taman Siswa, keadaan pendidikan dan pangajaran pada waktu itu sangat kurang dan sangat mengecewakan. Seperti yang diketahui sesudah
pemerintah kolonial melaksanakan politik etis, jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Akan tetapi walaupun demikian, jumlah sekolah dibandingkan
dengan jumlah anak usia sekolah masih sangat jauh dari cukup. Lagipula sekolah-
46
sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali
tidak ada kepentingan rakyat Indonesia. Misi dari Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan intinya adalah dengan
sarana pendidikan yang ada di Taman Siswa akan mengenalkan kebudayaan sosial dan lain sebagainya kepada anak didik, bukan hanya ilmu pengetahuan saja. Semua
itu tidak terlepas dari konsep yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri perguruan Taman Siswa. Bagaimanapun Ki Hadjar Dewantara berperan
sebagai pionir pendidikan nasional.Hal ini disebabkan karena pada waktu Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, pendidikan yang digunakan adalah
pendidikan dari Belanda yang bertentangan dengan kehendak Ki Hadjar Dewantara.Sedangkan Ki Hadjar Dewantara dengan kelompoknya merupakan
pionir berdirinya pendidikan yang berbeda dengan Belanda, yaitu dengan membuka Taman Siswa, dimana arah sistem pendidikannya sangat jauh berbeda dengan
sistem pendidikan Belanda. Perbedaan yang mendasar adalah jika pendidikan Belanda mengarahkan anak
didiknya agar setelah lulus menjadi stave budak atau antek-anteknya Belanda, yaitu menjadi pegawai pemerintah Belanda. Sedangkan Ki Hadjar Dewantara
dengan membuka Taman Siswa, beliau menyebar benih untuk memberikan jiwa kemerdekaan pada rakyat Indonesia yang putra-putrinya disekolahkan di Taman
Siswa. Risiko dan konsekuensi yang ditanggung cukup berat, termasuk ketika Ki Hadjar Dewantara harus berhadapan langsung dengan pemerintah Belanda dan
47
dikenai hukuman pengasingan akibat mendirikan sekolah yang melawan arus dengan sistem pendidikan Belanda.Dalam perkembangan selanjutnya, program
pendidikan Taman Siswa dikembangkan melalui program SBII Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama. Artinya, konsep pendidikan di Taman Siswa selalu berkembang sesuai
dengan sifat, bentuk, isi, dan irama zaman yang dialami saat itu.Jadi tidak benar kalau Taman Siswa dikatakan tidak reformis. Namun demikian, konsep dasar yang
dikembangkannya masih tetap sama, yaitu menumbuhkan jiwa merdeka pada setiap diri anak didik, yaitu merdeka lahir batin, merdeka pikirannya, dan merdeka
tenaganya. Dengan tujuan agar anak didik menjadi orang yang beriman, bertakwa, terampil, dan akhirnya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat Nurul Zuriah,
2007: 132. Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional suatu
pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya.Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual
saja, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila. Dengan menggunakan dasar kekeluargaan dengan sistem among dapatlah terwujud
dengan baik pendidikan budi pekerti terhadap anak bangsa Soeratman, 1982: 89. Selain berdasarkan kekeluargaan, pendidikan di Taman Siswa menggunakan
Tri Pusat Soeratman, 1982: 95-96. Pusat-pusat pendidikan ini masing-masing harus tahu kewajibannya sendiri-sendiri dan mengakui haknya pusat-pusat lainnya,
yaitu: 1.
Pusat keluarga: buat mendidik budi pekerti dan laku sosial.
48
2. Pusat perguruan: sebagai balai wiyata, yaitu untuk usaha mencari dan
memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek. 3.
Pusat pergerakan pemuda: sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau “Kerajaan Pemuda” untuk melakukan penguasaan diri, yang amat penting untuk
pembentukan watak. Dalam hal ini, perguruan berdiri sebagai titik pusat dari ketiga pusat tersebut
dan menjadi perantara keluarga dan anak-anaknya dengan masyarakat. Antara orang tua, murid dengan guru yang menjadi penasihatnya. Di sini guru harus
melaksanakan metode among. Eksistensi dan inti pendidikan di Taman Siswa sebenarnya adalah sebuah
lembaga pendidikan yang tetap mempertahankan kebudayaan dan juga sosial untuk kemerdekaan anak bangsa. Jadi, dengan pendidikan tersebut diusahakan agar
sebanyak mungkin anak bisa sekolah dan mempunyai jiwa merdeka. Oleh karena itu, pendidikan di Taman Siswa didasarkan atas prinsip atau slogan Ing Ngarsa Sung
Tuladha, yang artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah pemimpin yang memberi contoh dalam perkataan dan
perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para muridnya. Ing Madya Mangun Karsa, yang artinya seseorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para
muridnya dan terus-menerus memprakarsai memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, membangun niat, semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta
didiknya produktif dalam berkarya. Tut Wuri Handayani, yang artinya seorang
49
pendidik selalu mendukung dan menopang mendorong para muridnya berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat Bartolomeus, 2013: 78.
Sebagai komunitas pendidikan, sikap dan hidup yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara ke dalam setiap anggota Taman Siswa sebagai dasar dan sikap
perjuangan hidup mereka di tengah-tengah masyarakat adalah Trikon kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi Bartolomeus, 2013: 90-91.
Kontinuitas atau dasar kultural: terkait dengan kebudayaan yang selalu dinamis dan terbuka untuk nilai-nilai baru dari luar. Bagi Ki Hadjar Dewantara
kebudayaan itu adalah garis kehidupan suatu bangsa yang terus berkembang tanpa terputus-putus. Dalam konteks itu, pengaruh dari kebudayaan lain berupa nilai-nilai
baru dapat diterima dengan catatan bahwa kebudayaan bangsa sendiri tetap berjalan sebagai penuntun nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan wajib dihidupkan
dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kemajuan suatu bangsa adalah ketika bangsa itu tetap setia melajutkan garis hidup dari asal-usulnya yang ditarik terus dari
sumber awalnya sembari terbuka menerima nilai-nilai baru, baik dari bangsa sendiri maupun dari bangsa lain.
Konsentrisitas dasar nasional: terkait dengan alam hidup manusia yang diyakini Ki Had
jar Dewantara sebagai “alam hidup berbulatan” konsentris. Ki Hadjar Dewantara berupaya menginternalisasi kesadaran akan pentingnya
menghormati fakta pluralitas kepada segenap anggota Taman Siswa. Ia menekankan bahwa, meskipun manusia itu berasal dari keluarga yang berbeda, daerah yang
berbeda, agama yang berbeda, dan golongan yang berbeda, tetapi ia tetap diliputi
50
suatu lingkungan hidup yang luas cakupannya. Persatuan bangsa tidak akan rugi manakala perasaan cinta keluarga, cinta suku, cinta daerah, cinta agama dan cinta
golongan disertai dengan kesadaran bahwa perasaan cinta itu berada dalam kondisi damai dan tertib dari lingkungan yang meliputinya, yakni bangsa. Kesadaran
seorang bahwa keluarga, suku, agama, golongan dan daerahnya berada dalam lingkungan bangsa, dan tertib damainya kehidupan keluarganya hanya akan tercapai
apabila ada ketertiban dan kedamaian nasional, menjadi jaminan tidak munculnya primordialisme sempit. Demikian juga manakala semangat kebangsaan kita atau
nasionalisme mengakui bahwa suatu bangsa hanya bisa hidup tentram dan selamat manakala ada perdamaian dunia, maka luapan ekspresi nasionalisme tidak akan
membahayakan kepentingan perdamaian dunia. Konvergensi dasar kemasyarakatan: kehidupan di Taman Siswa selalu
bertaut erat dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Berdasarkan keyakinan seperti itu, Ki Hadjar Dewantara membiasakan bahkan mewajibkan setiap anggota
Taman Siswa untuk hidup membaur dan menjalin relasi dengan masyarakat luas dalam prinsip saling menghormati perbedaan identitas. Setiap anggota Taman Siswa
harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat kalau ia ingin hidup mengabdi kepentingan masyarakat. Bagi Ki Hadjar Dewantara, semangat hidup yang
memencil dan penyakit menjaga “kemurni-murnian” berdasarkan identitas primordial, dia akan membawa kepada kematian. Di sini semakin jelas bahwa Ki
Hadjar Dewantara adalah pemimpin yang berjiwa pluralis. Baginya, perbedaan bukanlah hal yang harus dipertentangkan, diperlawankan satu terhadap yang lain,
51
dan diperdebatkan, tetapi merupakan keniscayaan yang wajib diterima sebagai anugerah istimewa dari sang Pencipta.
H. Pertanyaan Penelitian