Prestise, yakni pengakuan dari masyarakat, individu atau
kelompok misalnya: sanjungan, kewibawaan dan lain sebagainya. hal ini juga sering disebut sebagai ajang pamer atau unjuk gigi
Menjalin solidaritas dan silahturahmi
Motif-motif tersebutlah yang selama ini melatarbelakangi seseorang untuk melakukan kerjasama resiprositas nyumbang. Masyarakat bukan hanya
berfikir untuk sekedar meringankan beban atau menjalin silahturahmi belaka, pertimbangan dan perhitungan ekonomis saat ini sangat diperlukan, karena
mereka berasumsi bahwa apa yang selama ini mereka berikan dan mereka keluarkan untuk sekedar nyumbang adalah penghasilan yang didapat dari jerih
payah sehingga jerih payah tersebut juga harus dihargai dengan pengembalian yang setimpal. Selain itu untuk menyelenggarakan pesta atau hajatan juga
diperlukan modal apalagi mengingat kebutuhan ekonomi saat ini sangat tinggi, mereka bukan saja mengundang tapi juga menjamu tamu dengan hidangan jadi
setidaknya tamu juga menghargai dari setiap perjamuan makanan yang disediakan.
4.6. Nilai Uang Bagi Masyarakat
Uang tidak hanya digunakan sebagai instrument pertukaran untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi juga sebagai instrument untuk membiayai
kebutuhan sosial. Barang-barang sosial yang bisa diperoleh dengan uang adalah pendidikan, status sosial, atau produk-produk konsumsi prestise industri seperti
:TV berwarna, mebel mewah, mobil, tanah, emas dan sebagainya. Semakin banyak barang konsumsi yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi status
sosial seseorang. Semakin tinggi status sosial maka semakin tinggi posisi sosial
Universitas Sumatera Utara
politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu orang menggunakan uang untuk membayar kewajiban-kewajiban sosial, simpati sosial dan kebutuhan-kebutuhan
sosial lainnya. Misalnya, sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya sudah
meninggal atau yang sedang menyelenggarakan sebuah hajatan seperti pesta pernikahan, sunatan, kelahiran bayi dan sebagainya, akan menerima beberapa
sumbangan finansial dari para tamu, kerabat dan tetangga. Sumbangan ini diartikan sebagai ekspresi budaya dan kebiasaan sosial dalam masyarakat di desa
Rawang. Orang yang tidak mengikuti kebiasaan sosial ini akan dianggap sebagai orang yang menyimpang. Tidak ada kesepakatan tentang besarnya sumbangan
finansial yang harus diberikan kepada orang yang punya hajatan atau slametan. Tetapi masyarakat memiliki asumsi bahwa sumbangan yang diberikan minimal
sekitar Rp. 5.000 lima ribu paling sedikit. Dalam hal ini sumbangan sosial kadang-kadang bisa digunakan untuk
sebuah media dimana seseorang bisa menunjukkan posisi sosial seseorang dalam masyarakat. Jika seseorang merasa bahwa posisi sosialnya tinggi, maka ia akan
memberikan lebih dari yang minimum, ia juga takut akan sanksi sosial jika ia memberikan sumbangan kurang dari minimum. Orang lain akan menyebutnya
sebagai “wong medit” atau orang pelit. Dengan kata lain uang itu tidak hanya digunakan sebagai instrument atau alat ekonomi tetapi juga sebagai simbol sosial
budaya. Fungsinya sebagai media transaksi ekonomi uang juga digunakan
masyarakat setempat sebagai ekspresi simbolik simpati dalam bentuk konstribusi sosial finansial. Konstribusi sosial ini termasuk untuk perayaan pernikahan untuk
Universitas Sumatera Utara
kelahiran atau upacara kematian yang terlihat dalam kegiatan sum,bang menyumbang. Meskipun dilakukan dengan suka rela, orang sering
mengganggapnya bagian dari kewajiban sosial. Konstribusi mutual diantara tetangga merupakan sebuah kebiasaan sosial yang telah ada sejak lama dan dijaga
sebagai sebuah institusi sosial hingga saat ini. Menurut scott, institusi ini merupakan warisan tradisional dan bisa di implementasikan sebagai semacam
‘jaminan sosial’ atau ‘gift’. Jaminan sosial ini bisa berfungsi dalam sebuah masyarakat tanpa regulasi
formal. Misalnya seseorang yang telah memberikan uang pada orang lain sebagai
sebuah konstribusi sosial akan menciptakan kondisi hutang budi bagi pihak yang
menerima. Ini menghendaki bahwa orang yang menerima konstribusi akan mengembalikan uang tersebut pada si penyumbang pada peristiwa yang serupa.
Berapa rupiah si penerima itu harus mengembalikan tergantung jumlah konstribusinya. Seperti dalam kutipan wawancara berikut ini:
“Konstribusi finansial mutual di antara para tetangga merupakan sebuah kebiasaan tradisional yang tetap dijaga sampai sekarang,
meskipun lingkungan sosial telah berubah. Konstribusi-konstribusi baik berupa uang maupun barang pada dasarnya dianggap sebagai
sebuah ekspresi simpati dan empati masyarakat. Perubahan sosial telah merubah bentuk konstribusi. Konstribusi pada awalnya
berbentuk barang dan diberikan ketika si penyumbang hadir pada acara hajatan. Sekarang konstribusi cendrung diberikan dalam
bentuk uang dan si penyumbang akan dengan segera pergi sesudahnya. Bapak Kasdih, 53 tahun
Monetisasi merupakan sebuah proses yang meluas di wilayah pedesaan
yang sedang mengalami transisi seperti Desa Rawang saat ini. Monetisasi membawa pada sebuah situasi dimana uang digunakan untuk semua membentuk
tujuan sosial ekonomi. Uang sebagai unit kalkulasi memungkinkan untuk menghitung dengan tepat berapa rupiah seseorang harus membayar sebagai
Universitas Sumatera Utara
sebuah konstribusi sosial. Sebelum monetisasi meluas, dalam masyarakat pedesaan konstribusi sosial berbentuk kerja sukarela atau sumbangan dalam
bentuk barang, seperti beras, gula, minyak dan sebagainya, meskipun saat ini masih dapat dijumpai dalam masyarakat namun tidak menutup kemungkinan jika
praktisnya uang akan menggeser semua itu . Penggunaan uang telah memudahkan seseorang untuk mengekspresikan simpati dan juga konstribusi dalam pengertian
jumlah yang lebih obyektif. Sekarang ini kesuksesan hajatan dalam masyarakat bukan dilihat dari
meriahnya hajatan yang diselenggarakan tetapi dilihat dari banyaknya undangan tamu yang hadir serta banyaknya sumbangan yang diterima artinya banyak tamu
berarti banyak yang menyumbang, sedangkan banyaknya sumbangan berarti dapat mengembalikan modal hajatan ada uang lebih dari modal yang dikeluarkan. Hal
lain yang unik sering kali dijumpai dalam masyarakat dan lingkungan tempat tinggal kita adalah ketika ada seorang warga desa yang melangsungkan hajatan,
orang tersebut kita kenal dan yang punya hajat juga kenal dengan kita, namun ada unsur sengaja atau pun tidak kita yang kenal justru tidak diundang, dalam hal ini
kita terkadang seringkali merasakan aneh seperti ada yang salah dengan diri kita dan merasa ditinggalkan. Namun sebaliknya ketika kita menerima undangan,
tidak jarang kita mengeluh, apalagi kalau undangan yang datang jumlahnya banyak. Keluhan seperti ini sering kita dengar dalam lingkungan tempat tinggal
kita, bahkan kondisi ini menjadi dilematis karena banyak orang yang mengeluhkan tradisi tersebut. Disatu sisi dieluhkan tetapi di sisi lain seolah tidak
berdaya untuk menolaknya, seperti butuh sekali dengan tradisi ini sehingga mau tidak mau akhirnya justru turut melestarikannya.
Universitas Sumatera Utara
Tradisi nyumbang dalam masyarakat tidak dapat dihilangkan selama masih ada orang-orang yang mau melakukan resiprositas didalamnya, dan tradisi ini
akan semakin langgeng jika tidak ada pengingkaran dan manfaat dari tradisi ini sendiri masih dirasakan oleh masyarakat. Jadi strategi yang paling tepat untuk
mempertahankan tradisi nyumbang ini yaitu tetap dilakukannya kerjasama resiprositas. Jika kerjasama resiprositas ini masih ada walaupun terdapat motif-
motif lain dibelakang yang mengiringinya, pada dasarnya pelestarian tradisi ini sudah dilakukan bukan saja yang berkaitan dengan aktivitasnya namun juga
dengan ritual budaya Jawa didalamnya. Gambaran resiprositas yang ada dalam masyarakat ini bukan hanya untuk
mempertahankan tradisi semata namun resiprositas yang dibangun juga disesuaikan dengan kebutuhan hidup yang dijalani, semakin kedepan maka
semakin banyak latarbelakang seseorang untuk melakukan kerjasama resiprositas tersebut. Sehingga dengan demikian tradisi nyumbang dan budaya Jawa dalam
hajatan dapat bertahan walaupun berada dalam arus perkembangan zaman. Tanpa adanya resiprositas, tradisi nyumbang serta budaya Jawa dalam hajatan tidak akan
terlestarikan seperti yang ada sekarang, dan bahkan acara hajatan dalam masyarakat juga tidak akan dijumpai sampai sekarang.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Jawa di Desa Rawang tidak dapat dilepaskan dari serangkaian kegiatan upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup, dimana
dalam siklus daur hidup tersebut terdapat acara seremonial seperti selamatan mitoni, spasaran dan meninggal dan hajatan khitanan dan pernikahan. Di
dalam menggelar hajatan dan selamatan tersebut terdapat tradisi yang melekat dalam kegiatannya yakni tradisi nyumbang.
Tradisi nyumbang dalam masyarakat dimaksudkan untuk membantu meringankan orang yang memiliki hajatan. Bantuan ini diperoleh dari para
tetangga, kerabat, kolegan dan masyarakat tentunya adalah mereka yang terlibat di dalam hajatan tersebut. Bantuan yang diberikan dapat berupa materi uang,
barang dan non materi tenaga, jasa. Bantuan yang diberikan ini juga bukan cuma-cuma mereka melakukannya karena adanya resiprositas yang diinginkan,
tentunya ini disesuaikan dari kebutuhan dan latar belakang setiap individu yang terlibat. Resiprositas dianggap sebagai sebuah strategi bukan saja untuk menjalin
kerjasama tetapi juga untuk upaya melestarikan tradisi sesuai dengan mengikuti perkembangan zaman.
Penelitian ini telah dilakukan dan dari hasil penelitian ini juga telah dapat disimpulkan, terutama dari pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah.
Pertanyaan pertama dapat dijawab yaitu tradisi nyumbang yang ada dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa seperti slametan dan hajatan pada dasarnya untuk
membantu meringankan beban si pemilik hajat, namun pada perkembangannya
Universitas Sumatera Utara