pendekatan saintifik. Saintifik merupakan sikap yang didasari oleh cara berpikir yang mengikuti metode ilmiah dalam menghadapi suatu persoalan atau fenomena Anas: 2014,
165. Pada pendekatan ini siswa diarahkan untuk mengelaborasikan, menemukan, dan menjelaskan fenomena yang terjadi di lapangan berdasarkan hasil temuannya. Dengan
demikian, pendekatan ini mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa siswa akan memahami pengetahuan berdasarkan apa yang ia rasakan dan temukan.
D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pembelajaran
Dalam pelaksanaan evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai dasar pelaksanaan penilaian. Prinsip-prinsip sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
Permendikbud No. 53 Tahun 2015 tentang penilaian hasil belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, pada pasal 4 ialah:
1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat
istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. 4. Terpadu, berarti penilaian merupakan salah satu komponen yang tidak terpisahkan
dari kegiatan pembelajaran. 5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian mencakup semua aspek
kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara terencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
8. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan. Dan
9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria PAK. PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan
minimal KKM. KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang
akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik Permendkibud No. 66 Tahun 2013, h. 3.
Sementara Anas Sudijono 2011 menyatakan bahwa, “evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila dalam pelaksanaannya berpegang teguh pada tiga
prinsip dasar, yaitu 1 prinsip keseluruhan, 2 prinsip kesinambungan, dan 3 prinsip objektivitas” h, 5.
Dapat disimpulkan dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar pendidikan agama Islam agar dapat berjalan dengan baik hendaknya memakai prinsip-prinsip evaluasi
pembelajaran yakni; sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, komprehensif dan kontinu, sistematis, beracuan kriteria, dan akuntabel.
E. Evaluasi Ranah Afektif
Anas Sujiono 2011: 54 berpendapat bahwa “ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai”. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta
didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama di
sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama
Islam dan sebagainya.
Hingga dewasa ini, ranah afektif merupakan kawasan pendidkan yang masih sulit untuk digarap secara operasional. David Krathwohl beserta para kawan-kawannya yang
merupakan para pakar dengan reputasi akademik mengeluhkan betapa sulit mengembangkan kawasan afektif terutama jika dibandingkan dengan kawasan kognitif
Krathwohl, 1964:22. Kawasan afektif seringkali tumpang tindih dengan kawasan kognitif dan psikomotor. Teoritik bisa membedakannya, praktiknya tidak demikian. Oleh karena itu
David R. Krathwohl Krathwohl, 1964: 7, mendefinisikan ranah afektif sebagai berikut: “affective: objectives which emphasize a feeling tone, an emotion, or a degree of
acceptance or rejection, affective objectivies vary from simple attention to selected phenomena to complex but internally consistent qualities of character and conscience. We
found a large number of such objectivies in the literature expressed as interest, attutides, appreciations, values, and emotional sets or biases.” Afektif ialah perilaku yang
menekankan perasaan. Emosi atau derajat tingkat penolakan atau penerimaan terhadap suatu objek. Tujuan afektif mengubah dari yang sederhana menuju fenomena yang
komplek lebih rumit serta menanamkan fenomena yang sesuai dengan karakter dan kata hatinya. Kita menemukan sejumlah besar tujuan yang tampak melalui sikap, minat,
apresiasi, nilai dan emosi atau prasangka.” Istilah “afektif” sendiri sebenarnya mempunyai makna yang sangat luas. Walaupun
banyak tokoh, termasuk para pakar pendidikan yang menyadari betapa pentingnya ranah afektif ini dalam proses pendidikan, namun belum ada definisi yang dapat disepakati
bersama tentang afektif ini. Maka kaitannya dengan pembelajaran terutama pendidikan agama Islam, bahwa aspek afektif sering disamakan dengan akhlak. Padahal antara sikap
dan akhlak adalah berbeda sekali. Meskipun demikian sebutan untuk ranah afektif merupakan bahasan yang sangat luas sejak diterbitkannya taksonomi tujuan pendidikan
oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan Bloom: 1956, 16. Pada kurikulum 2013 lingkup penilaian ranah afektif merupakan dominan yang utama
sehingga urutannya sangat berbeda dengan kurikulum sebelumnya yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dan masalah sikap pada kurikulum ini dibagi menjadi dua
kompetensi yakni, kompetensi sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan
peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sikap spiritual sebagai perwujudan dari menguatnya interaksi vertikal dengan Tuhan Yang Maha
Esa, sedangkan sikap sosial sebagai perwujudan eksistensi kesadaran dalam upaya mewujudkan harmoni kehidupan kemendikbud: 2014, 7.