Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Sementara evaluasi hasil belajar merupakan komponen penting dari keseluruhan proses pembelajaran. Di samping evaluasi sebagai alat monitoring terhadap jalannya proses belajar mengajar, evaluasi juga dapat memberi arah yang sangat menentukan dari berbagai keputusan yang di buat dalam dunia pendidikan. Dengan evaluasi akan dapat diketahui relevansi antara kemajuan belajar siswa dengan tujuan atau standar yang telah digariskan. Kemampuan belajar tersebut dapat meliputi kemampuan dalam berpikir, menentukan sikap dan perilaku, serta kemungkinan kepribadian yang dapat terbentuk melalui proses belajar mengajar Arifin: 2009, 27. Melihat pentingnya evaluasi dalam dunia pendidikan tersebut, maka kemampuan guru dalam melakukan evaluasi sangat menentukan ketepatan dalam memilih tindakan-tindakan pendidikan yang perlu dilakukan. Kemampuan guru dalam melakukan evaluasi dapat menempati posisi awal bagi peningkatan kualitas belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu, kemampuan guru melakukan evaluasi secara baik dapat menjadi ujung tombak terhadap perbaikan mutu pendidikan. Selain itu tujuan dan hasil pendidikan setidaknya diharapkan mencakup tiga ranah penting, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik semagaimana yang lebih sering dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom Bloom, 1956: 7. Sependapat dengan Bloom, Anderson menyatakan bahwa ketiga ranah tersebut sesuai dengan karakteristik atau tipikal manusia dalam berpikir, berperasaan dan berbuat Anderson: 1981, 4. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, yaitu yang berhubungan dengan cara berpikir yang khas, tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif yaitu cara yang khas dalam merasakan atau mengungkapkan emosi, dan mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai dan tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotorik, yaitu yang berhubungan dengan cara bertindak. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dan proses pendidikan pada umumnya. Dalam konteks ini, karakteristik tersebut dipahami sebagai kualitas yang menunjukkan cara-cara khusus manusia dalam berpikir, berperasaan dan bertindak dalam berbagai suasana Darmadji, 2011: 26. Pendidikan agama Islam mempunyai misi dan jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan bidang studi lainnya. Bidang studi ini harus mampu bersentuhan dan berkomunikasi secara intens dengan bidang studi lain, serta harus tampil utuh dan mampu mawarnai kehidupan secara menyeluruh. Maka dari itu, bidang studi pendidikan agama Islam tidak boleh terpisahkan dari konteks kehidupan nyata, dan dari berbagai nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan program pembelajaran, sebagaimana disebutkan dalam di dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan menyatakan bahwa “Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Serta bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni”. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah tersebut mengenai pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di atas, pendidikan agam Islam juga bertujuan untuk mendidik peserta didik agar menjadi seorang muslim sejati, beriman tangguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang mandiri, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya bahkan kepada sesamanya Mahmud: 1995, 13. Sedangkan materi pelajarannya meliputi al Quran Hadis, aqidah, akhlak, fiqih serta tarikh dan kebudayaan Islam. Baik dari segi tujuan maupun materi programnya, mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak sekedar untuk diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih dari itu untuk diyakini, dipahami, dihayati, serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengandung konsekuensi penting dalam proses pembelajarannya, termasuk segi evaluasi hasil belajarnya. Evaluasi tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berbagai macam aspek kejiwaan yang harus diungkap dalam evaluasi hasil belajar pendidikan agama Islam tentu saja tidak mudah dilakukan oleh seorang guru, beberapa kendala masih sering dihadapi, terutama yang berkaitan dengan evaluasi hasil belajar afektif, di mana sebagian besar materinya menyangkut masalah akhlak atau moral para peserta didik. Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah B. Uno bahwa, pengalaman bertahun-tahun memberikan pelatihan kepada guru di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional dan Kanwil Kemenag, ternyata diperoleh informasi melalui keluhan para guru yang mengalami kesulitan dalam melakukan penilaian pada siswa khususnya aspek afektif. Umumnya penilaian pada aspek ini dilakukan guru hanya dengan memberikan prediksi bahwa batas perilaku yang diperlihatkan siswa sudah sangat baik A, baik B, sedang C, kurang D, dan buruk E. Dapat diketahui karena penilaian pada aspek ini diatur dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang kategori penilaiannya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dari penjelasan guru, mengalami kesulitan untuk memberika kategori penilaian semacam ini karena tidak memiliki kriteria untuk menetapkan kategori ini Uno: 2013, 182. David krathwohl besera kawan-kawannya berpendapat mengenai sulitnya mengembangkan aspek afektif jika dibandingkan dengan aspek lain, seperti kognitif dan psikomotorik Krathwohl, 1964: 9. Oleh karena itu, wajar kiranya jika tujuan pendidikan telah lama mengorientasikan tujuannya hanya pada aspek kognitif saja. Keadaan seperti ini dapat berakibat terbengkalainya aspek afektif dan psikomotorik. Bahkan sering terjadi aspek afektif hanya dipasang dalam tujuan, namun tidak pernah diupayakan implementasinya, baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun dalam evaluasi hasil belajarnya. Tidak teraplikasinya aspek afektif dalam pelaksanaan program belajar mengajar mungkin masih dapat ditolerir jika memang materi pelajarannya secara khas tidak mengutamakan aspek tersebut, misalnya mata pelajaran matematika. Akan tetapi, jika materi pelajarannya lebih mengutamakan keberhasilannya pada aspek afektif dan psikomotorik, sebagaimana mata pelajaran pendidikan agama Islam, maka aplikasi kedua aspek tersebut dalam kegiatan belajar mengajar berikut evaluasi hasil belajarnya, merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar. Karena jika tidak, dapat menimbulkan akibat yang cukup serius, sebagaimana terjadinya dekadensi moral para remaja, seperti tawuran, narkoba, pergaulan bebas, bahkan sampai pada tindak kriminalitas. Sebagaimana pernyataan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN Julianto Witjaksono yang dirilis pada tanggal 12 Agustus 2014 mengatakan jumlah remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah mengalami tren peningkatan. Berdasarkan catatan lembaganya, Julianto mengatakan 46 remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual. Data Sensus Nasional bahkan menunjukkan 48-51 perempuan hamil adalah remaja. Penelitian yang oleh dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2012, mengenai perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA. Hasilnya, dari 4.726 responden, sebanyak 97 mengatakan pernah menonton pornografi, dan 93,7 mengaku sudah tak perawan. Bahkan, 21,26 sudah pernah melakukan aborsi BKKBN: 2014, 12 Agustus. Dengan adanya kasus seperti di atas, yang pertama mendapatkan tudingan adalah guru pendidikan agama, karena mata pelajaran inilah yang paling dekat dengan urusan moral atau akhlak para pelajar. Dengan demikian, seorang guru agama harus terus berupaya untuk menyampaikan misi moral dan perilaku keagamaan yang berada dalam aspek afektif dan psikomotorik daripada sekedar mengisi segenap pengetahuan kepada peserta didik. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah dalam hal evaluasi belajarnya. Jika seorang guru sudah menetapkan standar keberhasilan dari mata pelajaran pendidikan agama Islam lebih mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik maka evaluasi hasil belajarnya juga tidak akan hanya bertumpu pada aspek kognitif saja. Hal ini sejalan dengan kurikulum 2013, yang bentuk penilaiannya adalah penilaian autentik. Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk mengukur kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan mulai dari masukan input, proses, dan keluaran output pembelajaran Permendikbud, No. 66 Tahun 2013. Dalam kurikulum 2013 kompetensi sikap, baik sikap spiritual KI 1 maupun sikap sosial KI 2 tidak diajarkan dalam proses belajar mengajar PBM artinya kompetensi sikap spiritual dan sosial meskipun memiliki kompetensi dasar KD, tetapi tidak dijabarkan dalam materi atau konsep yang harus disampaikan atau diajarkan kepada peserta didik melalui PBM yang terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dengan demikian, sikap spiritual dan sosial harus muncul dalam tindakan nyata peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, maka pencapaian kompetensi sikap tersebut harus dinilai oleh guru secara berkesinambungan dengan menggunakan instrumen tertentu. Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika seorang guru agama melakukan evaluasi hasil belajar hanya dengan teknik tes saja, mengingat untuk mengukur keberhasilan aspek afektif dan psikomotorik diperlukan teknik yang lain yang sifatnya lebih realistis dan akurat, sebagaimana yang telah dituangkan dalam Permendikbud no. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian seperti teknik observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan jurnal. Lebih-lebih penilaian aspek sikap afektif ini mendapat perhatian dari pemerintah, dengan berlakunya Permendikbud No. 53 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, pada pasal 8 c dan d menyebutkan “penilaian aspek sikap dilakukan melalui observasipengamatan sebagai sumber informasi utama dan pelaporannya menjadi tanggung jawab wali kelas atau guru kelas. Hasil penilaian pencapaian sikap oleh pendidik disampaikan dalam bentuk predikat atau deskripsi”. Dengan demikian, dalam penilaian ranah afektif teknik observasi merupakan induk dari segala informasi dan hasil penilaiannya bukan berupa angka-angka melainkan dideskripsikan disertai dengan rubrik penilaian. Penelitian ini dilakukan di SMPN 1 TANARA di Kabupaten Serang Banten, menunjukkan bahwa sekolah ini layak diteliti karena SMPN 1 TANARA merupakan termasuk salah satu sekolah yang memiliki guru Pendidikan Agama Islam berprestasi se- Indonesia. Menurut data dari Kementerian Agama bahwa Drs.H.Jaimudin, M.Pd.I adalah masuk dalam Nominator Pemenang Lomba Apresiasi Guru PAI Berprestasi Tahun 2014 yang telah ditetapkan dengan SK Direktur Pendidikan Agama Islam Nomor : Dt.I.II5178014 Tanggal 27 Nopember 2014, kemudian menurut Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 197 tahun 2014 Tentang Penetapan Penerimaan Penghargaan Apresisasi Pendidikan Islam Tahun 2014 bahwa Drs. H. Jaimudin, M.Pd.I adalah termasuk kategori Guru PAI berprestasi Tingkat SMP Tahun 2014. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, meyakini perlu untuk mengadakan penelitian yang berjudul tentang “Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Ranah Afektif Pendidikan Agama Islam di SMPN 1 Tanara Serang Banten ”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Masalah yang diperoleh dari SMPN 1 Tanara adalah sebagai berikut. a. Tidak teraplikasinya ranah afektif dalam pelaksanaan program belajar mengajar dapat menimbulkan dekadensi moral para remaja. b. Kurangnya pemahaman guru tentang proses penentuan nilai akhir dari mata pelajaran PAI. c. Kurangnya kompetensi guru PAI dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar PAI dalam ranah afektif. d. Guru PAI belum sepenuhnya dalam mengimplementasikan sistem evaluasi ranah afektif.

2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas agar penelitian lebih terarah dan fokus, maka peneliti membatasi hanya pada guru PAI belum sepenuhnya dalam mengimplementasikan sistem evaluasi ranah afektif. Evaluasi yang dimaksud disini adalah penerapan penilaian yang dilakukan oleh guru PAI berprestasi yang bertugas di SMPN 1 Tanara Serang Banten dalam menilai semua aspek dalam pembelajaran PAI kelas IX, mulai dari kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari RPP, soal, dan sistem penilaiannya.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah guru PAI di SMPN 1 Tanara Serang Banten sudah mengimplementasikan evaluasi ranah afektif dengan baik di SMPN 1 Tanara Serang Banten? C. Tujuan Penelitian 1. Akademis Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi evaluasi hasil belajar PAI ranah afektif.

2. Terapan

Tujuan terapan dalam penelitian ini adalah untuk mencari dan memaparkan penyebab evaluasi ranah afektif tidak terlaksana. D. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis Menambah pengetahuan dan pemahaman terkait kompetensi guru PAI dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar PAI pada ranah afektif. 2. Bagi Guru Untuk melakukan inovasi dengan usaha mengoptimalkan peran guru dalam penerapan evaluasi ranah afektif. 3. Bagi Kepala Sekolah Berguna untuk dijadikan acuan untuk memberikan masukan kepada guru dalam proses penerapan evaluasi ranah afektif 4. Bagi lembaga pendidikan Berguna untuk dijadikan sebagai bahan sumber diskusi atau seminarium bagi para guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan kemampuan akademiknya. 5. Bagi lembaga pemerintah Menjadikan bahasan ini sebagai dasar lokakarya dan sidang-sidang birokrat bagi pihak yang akan merumuskan kebijakan tentang peningkatan kualitas kemampuan guru Pendidikan Agama Islam. 6. Bagi peneliti lainnya Sebagai gambaran sekaligus modal awal untuk melakukan penelitian selanjutnya. 7. Bagi keilmuan Memberikan kontribusi bagi khazanah kepustakaan, terutama yang baerkaitan dengan evaluasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam ranah afektif.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kompetensi Guru

Istilah kompetensi guru mempunyai banyak makna, Syaiful Sagala 2013: 29 mengemukakan bahwa “kompetensi adalah kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan.” Sementara Mulyasa 2009: 26 mengemukakan bahwa “kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.” Sedangkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa kompetensi itu mengarah pada kemampuan melaksanakan tugas atau sesuatu yang didapatkan dari hasil pendidikan. Kompetensi guru mengacu kepada perbuatan yang logis untuk dapat memenuhi hal-hal tertentu dalam melaksanakan tugas pendidikan. Selanjutnya, kompetensi guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar pada ranah afektif yaitu bertolak pada kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kompetensi pedagogik Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru, pada pasal 3 ayat 4 menjelaskan bahwa: Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum atau silabus; perancangan pembelajaran; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; pemanfaatan teknologi pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya “PP No. 74 Tahun 2008” h, 6. Jadi kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran menyusun RPP, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dalam penilaian dan evaluasi, guru mampu menyelenggarakan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan. Guru melakukan evaluasi atas efektivitas proses dan hasil belajar dan menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan. Dalam Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru PK Guru, yang telah dibuat oleh kemendiknas 2010, 45 Guru mampu menggunakan hasil analisis penilaian dalam proses pembelajarannya, di antara sebagai berikut: 9 1. Guru menyusun alat penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu seperti yang tertulis dalam RPP. 2. Guru melaksanakan penilaian dengan berbagai teknik dan jenis penilaian, selain penilaian formal yang dilaksanakan sekolah, dan mengumumkan hasil serta implikasinya kepada peserta didik, tentang tingkat pemahaman terhadap materi pembelajaran yang telah dan akan dipelajari. 3. Guru menganalisis hasil penilaian untuk mengidentifikasi topikkompetensi dasar yang sulit sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan masing‐masing peserta didik untuk keperluan remedial dan pengayaan. 4. Guru memanfaatkan masukan dari peserta didik dan merefleksikannya untuk meningkatkan pembelajaran selanjutnya, dan dapat membuktikannya melalui catatan, jurnal pembelajaran, rancangan pembelajaran, materi tambahan, dan sebagainya. 5. Guru memanfatkan hasil penilaian sebagai bahan penyusunan rancangan pembelajaran yang akan dilakukan selanjutnya. Pada kemampuan evaluasi hasil belajar yang harus dilakukan guru antara lain melakukan penilaian kepada peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pendidik pada ranah afektif sudah tertuang dalam PP Nomor 32 Tahun 2013 pasal 64 ayat 3, menyatakan bahwa “penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: a pengamatan terhadap perubahan prilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta b ujian, ulangan, danatau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.” Dengan demikian kompetensi guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar ranah afektif adalah sesuatu hal yang harus dikuasi oleh guru PAI di sekolah . B. Taksonomi dalam Proses Belajar Proses Belajar Mengajar bukan hanya pemupukan ilmu pengetahuan saja, melainkan merupakan proses interaksi yang kompleks yang bertalian dengan sikap, nilai, ketrampilan, dan juga pemahaman. Anak yang sedang belajar pada dasarnya tidak bereaksi terhadap lingkungan secara intelektual, tetapi juga emosional dan sering juga secara pisik. Rangkaian perubahan dan pertumbuhan fungsi-fungsi jasmani, pertumbuhan watak, pertumbuhan intelektual, dan pertumbuhan sosial, itu semua tercakup di dalam peristiwa yang disebut proses belajar mengajar dan berintikan interaksi belajar mengajar Ismail: 2013, 241. Ranah ini sebagai tujuan dari pendidikan di dalam pendidikan dikenal menjadi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga tujuan ranah penilaian ini merupakan Taksonomi yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom beserta pemikir pendidikan lainnya seperti M.D. Englehert, E. Frust, W.H. Hill, David R. Krathwohl dan didukung pula oleh Ralph E. Taylor. Namun Bloom mengkonsentrasikan diri pada ranah kognitif, sementara domain afektif dikembangkan oleh Krathwohl, dan domain psikomotor dikembangkan oleh Simpson.

1. Ranah kognitif

Bloom meghabiskan perhatian sepenuhnya pada ranah kognitif, yang mana diusulkan taksonomi dalam enam jenjang hirarki kategori dari tujuan pendidikan dari hal yang